SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany
 
Penjabaran Burhan shiddiqin dalam Kitab Asfar

Penguraian burhan shiddiqin dalam kitab al-Asfar al-arba’ah sebagai berikut:
Wujud merupakan suatu realitas yang riil, hakiki, tunggal, dan basith (tidak berangkap dan tidak memiliki bagian-bagian) yang tidak ada perbedaan yang esensial di antara individu-individunya, kecuali dalam derajat kesempurnaan dan kekurangan, kuat dan lemah. Puncak kesempurnaan wujud terletak pada Yang Maha Sempurna (baca: Tuhan) yang sama sekali tidak bergantung kepada selain-Nya, Dia berdiri sendiri, dan Dia ada dengan sendirinya. Karena setiap wujud yang lemah secara esensial bergantung kepada selainnya.

Oleh karena itu, wujud memiliki dua realitas, yakni yang tidak butuh kepada selainnya dan yang bergantung kepada yang lain. Wujud yang pertama disebut Wâjib al-Wujud, yaitu suatu wujud yang murni, Maha Sempurna, tidak memiliki kekurangan, dan tidak mempunyai keterbatasan sedikitpun. Wujud yang kedua adalah realitas selain Wâjib al-Wujud, yakni perbuatan-perbuatan-Nya dan manifestasi-manifestasi-Nya. Selain Tuhan adalah tidak abadi, punah, sirna, dan tidak langgeng kecuali berpijak, bertumpu, dan bersama-Nya. Sebagaimana Tuhan berfirnan, “Dia bersama kalian dimana saja kalian berada.”

Wâjib al-Wujud mustahil tidak sempurna, berkekurangan, dan lemah, karena hakikat wujud-Nya adalah basith, tidak berangkap, aktual murni, dan tidak memiliki keterbatasan. Suatu realitas wujud, jika ia adalah suatu akibat, maka pastilah tercipta dan secara esensial bergantung kepada sebabnya.

Oleh karena itu, suatu realitas wujud yang sempurna dan secara esensial tidak bergantung kepada yang lain maka niscaya ia adalah Wâjib al-Wujud. Oleh karena itu, berdasarkan pembagian wujud tersebut, maka secara ringkas kita dapat menegaskan tentang eksistensi Wâjib al-Wujud.

Terdapat perbedaan sudut pandang dari beberapa penafsir filsafat Mulla Sadra dalam penjelasan argumentasi di atas dan penetapan mukadimah yang digunakan.

Secara umum, terdapat dua penafsiran burhan shiddiqin, penafsiran yang berpijak kepada konsep kesatuan wujud (wahdah al-wujud) yang lebih dekat kepada irfan teoritis dan penafsiran yang bertumpu pada teori gradasi wujud (tasykik al-wujud) yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip filsafat.

Perbedaan penafsiran ini muncul karena penekanan Mulla Sadra – dalam beberapa uraiannya tentang burhan shiddiqin – atas kesatuan wujud individual, walaupun pada sisi lain Mulla Sadra juga menerima kesatuan wujud gradasional (wahdah al-tasykik) yang gradasinya ditopang oleh unsur kesatuan dan kejamakan wujud.

Dibawah ini terdapat dua bentuk penafsiran yang dipaparkan oleh Syahid Muthahhari dalam catatan kakinya terhadap kitab Ushul-e Falsafe wa Rawasy-e[1] Realism dan kitab Syarh-e Mukhtashar Manshumah[2]:

1. Tafsiran pertama berdasarkan konsep kesatuan wujud
  1. Wujud itu bersifat hakiki dan kuiditas hanyalah majasi atau bersifat penampakan wujud belaka;
  2. Wujud adalah tunggal, dengan makna bahwa wujud tidak beragam secara horisontal tapi beragam secara vertikal dan gradasional, misalnya ada wujud yang kuat dan lemah, ada yang sempurna dan cacat. Wujud ini beragam namun juga satu. Dalam ungkapan lain, kesatuan dalam kejamakan dan kejamakan dalam kesatuan;
  3. Hakikat wujud tidak menerima bentuk-bentuk ketiadaan seperti kekurangan dan kelemahan, karena hakikat ketiadaan bagi wujud bermakna keterbatasan wujud-wujud tersebut;
  4. Hakikat wujud qua wujud (hakikat wujud dipandang dari wujud itu sendiri) adalah setara dengan kesempurnaan, kemutlakan, dan ketidakbergantungan. Sementara kekurangan dan keterbatasan adalah ketiadaan. Hakikat wujud lawan dari ketiadaan dan segala ketiadaan bukanlah hakikat wujud;
  5. Sesungguhnya ketiadaan yang bermakna kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan adalah sifat akibat (ma’lul). Karena pada hakikatnya, akibat ialah kebergantungan itu sendiri dan mustahil akibat menempati posisi sebagai sebab (yakni akibat mustahil berubah menjadi sebab).

Dengan memperhatikan pendahuluan-pendahuluan di atas, maka argumen shiddiqin dapat dijabarkan dalam bentuk sebagai berikut, “Hakikat wujud tidak bisa ditolak keberadaannya, hakikat wujud adalah eksistensi itu sendiri, karenanya mustahil tiada.”

Pada dimensi lain, hakikat wujud – dalam keberadaaannya sendiri – tidak bergantung dengan syarat dan kondisi apa pun. Karena wujud itu memiliki eksistensi maka ia dikatakan berada, dan keberadaannya tidak bergantung pada asumsi tentang eksistensi yang lain. Tolok ukur keberadaannya tidak lain adalah wujud itu sendiri.

Dan pada sisi lain, segala kesempurnaan, keagungan, kekayaan, kebesaran, keaktualan, dan ketidakterbatasan berasal dari wujud; yakni tidak ada hakikat lain selain wujud; karena itulah, eksistensi dalam zatnya identik dengan ketidakbersyaratan dengan sesuatu yang lain.

Kesimpulannya, hakikat wujud dalam zat dan esensinya – dengan tidak memandang segala wujud yang terbatas yang juga dikategorikan sebagai “realitas yang ada” – adalah mustahil tiada.[3]

2. Tafsiran kedua berpijak pada konsep kesatuan wujud
Terdapat beberapa pendahuluan dalam penafsiran ini, antara lain:
  1. Kaidah prinsipalitas wujud dan kemajasian kuiditas;
  2. Hanya terdapat satu wujud. Pada hakikatnya, kejamakan realitas yang disaksikan di alam ini tidak lain adalah manifestasi, citra, bayangan, dan tajalli dari wujud itu;
  3. Secara umum wujud terbagi dua: Wâjib al-Wujud dan mumkin al-wujud (baca: segala makhluk);
  4. Watak kebergantungan segala makhluk sama seperti kebergantungan hakiki suatu akibat kepada sebabnya.

Penjelasan argumentasi
Berdasarkan mukadimah pertama, wujud merupakan sesuatu yang hakiki, prinsipil, dan mendasar. Bahkan wujud adalah realitas hakiki yang benar-benar berada. Dan berdasarkan pendahuluan kedua, wujud sebagai realitas hakiki yang tunggal, esa, dan satu. Yang hakiki di alam ini hanyalah wujud dan manifestasinya.
Nah, sekarang bisa dianalisa, apakah wujud yang disaksikan di alam ini adalah Wâjib al-Wujud ataukah mumkin al-wujud? Kalau wujud itu adalah Wâjib al-Wujud (baca: Tuhan) maka terbuktilah eksistensi Tuhan. Kalau wujud itu adalah mumkin al-wujud maka ia harus bergantung kepada realitas lain. Dan realitas lain yang menjadi “tempat” bergantung segala makhluk tidak lain adalah Wâjib al-Wujud.

Hakikat wujud setara dengan kemestian mengada secara azali. Ini berarti bahwa ‘hakikat wujud qua hakikat wujud” adalah eksistensi, keberadaan, dan kemandirian itu sendiri. Dan tidak satupun faktor dan kondisi yang menyebabkan wujud itu menjadi tiada.

Hakikat wujud qua hakikat wujud tidak lain adalah Wâjib al- Wujud, karena mumkin al-wujud secara hakiki hanyalah bersifat manifestasi belaka, memiliki kuiditas selain wujud, dan memiliki keterbatasan dan kebergantungan.[4]

3. Tafsiran ketiga berasaskan konsep kesatuan wujud
Penafsiran ini adalah juga dari para penganut aliran kesatuan wujud, penafsiran filosof Mulla Hadi Sabzewari, yang berpijak pada beberapa pendahuluan sebagai berikut:
  1. Teori prinsipalitas wujud;
  2. Wujud adalah yang hakiki dan tunggal yang ketunggalan dan kesatuannya bergradasi dan bertingkat;
  3. Wujud tidak memiliki kekurangan dan keterbatasan;
  4. Segala kekurangan dan keterbatasan bersumber dari masing-masing tingkatan wujud. Tingkatan wujud disebut juga kuiditas (mahiyah). Jadi kekurangan dan keterbatasan tidak berasal wujud, melainkan dari kuiditas;

Berdasarkan mukadimah-mukadimah di atas, filosof Mulla Hadi Sabzewari berkesimpulan: wujud yang dalam ketunggalannya terdapat kejamakan yang bergradasi itu tidak lain adalah Wâjib al-Wujud.[5]

4. Tafsiran keempat berdasarkan konsep gradasi wujud
Terdapat beberapa pendahuluan dalam penafsiran ini, antara lain:
  1. Wujud bersifat hakiki dan kuiditas hanyalah majasi;
  2. Terdapat derajat dalam wujud. Derajat sebab (‘illah) lebih tinggi dari akibat (ma’lul);
  3. Akibat secara mutlak bergantung kepada sebabnya. Akibat adalah kebergantungan itu sendiri. Dengan ungkapan lain, lemah dan rendahnya derajat akibat menyebabkan timbulnya kebutuhan kepada derajat yang paling kuat dan paling tinggi. Akibat tidak memiliki kemandirian eksistensial sedikitpun.

Dengan mukadimah-mukadimah di atas, maka berdasarkan maktab filsafat Mulla Sadra, burhan shiddiqin dapat dijabarkan sesuai sebagai berikut:
Tingkatan wujud yang lain – dengan mengecualikan tingkatan yang paling tingggi yang memiliki kesempurnaan tak terbatas, tidak butuh kepada yang lain, dan mandiri secara mutlak – tidak lain adalah kebergantungan itu sendiri. Dan kalau tingkatan yang paling tinggi tidak eksis maka semua tingkatan wujud yang lain juga mustahil eksis, karena konsekuensi keberadaan tingkatan wujud yang rendah tanpa tergantung pada keberadaan tingkatan wujud yang paling tinggi adalah tingkatan wujud yang rendah menjadi realitas yang mandiri secara mutlak, sementara hakikat tingkatan wujud yang rendah adalah kebergantungan dan kebutuhan itu sendiri.[6]

Perbandingan tafsiran antara yang berpijak pada konsep kesatuan wujud dan gradasi wujud
Kalau kita ingin menghakimi dan berpihak pada salah satu penafsiran di atas, walaupun secara lahiriah semua penafsiran itu sesuai dengan teks-teks yang terdapat dalam kitab Asfar, maka penafsiran yang berpijak pada konsep kesatuan wujud kelihatannya sangat sesuai dengan kecenderungan irfani Mulla Sadra dan juga seirama dengan penjabaran burhan shiddiqinnya dalam kitab al-Masyâ’ir dan kitab Asrar al-Ayât.
Penafsiran yang berpijak pada konsep kesatuan wujud lebih sesuai dari penafsiran yang bertumpu pada teori gradasi wujud. Disamping itu, garis besar yang diberikan Mulla Sadra setelah menguraikan burhan shiddiqin memang sesuai dengan penafsiran yang berpijak pada konsep kesatuan wujud.

Mulla dalam hal ini berkata, “Sesungguhnya para filosof ilahi memandang dan menegaskan bahwa wujud merupakan asas dari segala sesuatu, kemudian mereka meneliti bahwa hakikat wujud, secara esensial, merupakan Wajib al-Wujud. Sesungguhnya watak kebergantungan dan kebutuhan akibat kepada sebab yang diletakkan kepada wujud  bukan karena didasarkan pada hakikat wujud, tetapi didasarkan pada kekurangan atas hakikat wujud. Setelah itu, mereka memandang apa-apa yang menyebabkan kemestian esensi (wujub) dan kebergantungan (imkan), dengan itu mereka sampai pada tauhid zat dan sifat-Nya dan mengenal kualitas perbuatan-perbuatan-Nya dari sifat-sifat-Nya”.[7]

Tipologi Burhan Shiddiqin Mulla Sadra
Mulla Sadra, dalam kitab Asfar, menganggap penjabarannya atas burhan shiddiqin lebih sempurna dibandingkan penguraian yang dilakukan oleh filosof-filosof sebelumnya dengan beberapa alasan, antara lain:
  1. Burhan ini disamping menegaskan eksistensi Tuhan juga menetapkan keesaan dan ketunggalan-Nya serta sifat-sifat seperti ilmu, kekuasaan, hidup, kehendak dan kepenciptaan-Nya;
  2. Burhan ini tidak menggunakan perantara selain Tuhan dalam menegaskan wujud, sifat dan perbuatan Tuhan;
  3. Burhan ini tidak membutuhkan kaidah kemustahilan daur dan tasalsul dalam penegasan eksistensi Tuhan;[8]
  4. Dalam burhan ini, membahas dan menunjuk kepada hakikat wujud dan bukan komprehensi dan pengertian atas wujud.[9]

Sebagian peneliti filsafat menambahkan kekhususan kelima burhan shiddiqin selain yang telah disebutkan di atas, antara lain: dalam burhan ini, bersandar pada komprehensi-komprehensi yang bersifat eksistensial dan tak menggunakan kuiditas dan watak kebergantungannya. Dan jelaslah bahwa burhan seperti ini lebih sesuai dengan konsep kehakikian wujud (ashâlah al-wujud).[10]

Diantara kekhususan-kekhususan yang disebutkan di atas, kekhususan pertama berhubungan dengan hasil dan konklusi yang ingin dicapai dari burhan shiddiqin dalam kitab Asfar, kekhususan kedua dan keempat berkaitan dengan tolok ukur burhan shiddiqin dan kekhususan ketiga dan kelima berhubungan dengan pendahuluan-pendahuluan yang digunakan dalam burhan tersebut.

Kekhususan-kekhususan itu akan dianalisa dan dibahas dalam tiga kerangka sebagai berikut:
1. Capaian burhan shiddiqin
Sebagaimana yang telah dikatakan, sesuai dengan penjabaran Mulla Sadra atas burhan shiddiqin dalam kitab Asfar, bahwa untuk menetapkan masalah-masalah yang sangat penting berkaitan dengan makrifat Tuhan, seperti masalah-masalah: penegasan wujud Tuhan, penetapan keesaan dan kesatuan Tuhan, pengenalan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, kekuasaan dan hidup dimana semua itu merupakan sifat-sifat kesempurnaan zat Tuhan dan juga mengenal sifat-sifat perbuatan Tuhan seperti kehendak, penciptaan dan pengaturan.

Berkaitan dengan kemampuan burhan shiddiqin dalam membuktikan sifat-sifat Tuhan yang disebutkan di atas, Mulla Sadra menjelaskan, “Dengan perantaraan burhan tersebut, ditegaskan dimensi ketunggalan dan keesaan Tuhan yang berangkat dari pendekatan bahwa wujud adalah suatu hakikat yang tunggal dimana dalam zat-Nya tak ada kekurangan dan keterbatasan, karena ilmu tak lain adalah wujud itu sendiri maka dari itu dibuktikan pula tentang sisi hidup dan ilmu Tuhan yang berhubungan dengan diri-Nya sendiri dan juga berkaitan dengan sesuatu selain-Nya. Sifat kekuasaan dan kehendak-Nya juga terbukti karena kedua sifat-sifat tersebut bergantung kepada hidup dan ilmu-Nya. Dengan burhan tersebut, ditegaskan pula kepenciptaan dan kepengaturan-Nya, karena wujud yang paling sempurna adalah Yang Maha Pencipta dan Maha Aktif terhadap selain-Nya, Dialah Yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha berkehendak, Maha Hidup, Maha Pencipta Yang Aktif.”[11]

Berdasarkan penjelasan Mulla Sadra tersebut, burhan shiddiqin juga menegaskan kesatuan, ketunggalan dan keesaan Tuhan, karena wujud adalah realitas hakiki yang tunggal dimana tak terdapat sedikitpun kekurangan dan keterbatasan.

Dengan ketakterbatasan inilah, hakikat wujud merupakan realitas yang tunggal dan tak jamak. Dengan ungkapan lain, burhan tersebut menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud murni atau wujud mutlak, dan karena wujud mutlak itu mustahil berulang dan bersekutu, maka wujud Tuhanpun mustahil menjadi jamak dan banyak.

Dengan burhan tersebut, hidup dan ilmu Tuhan juga terbukti, karena kedua sifat tersebut secara hakiki memiliki keidentikan dengan wujud sementara Tuhan adalah wujud murni.

Disamping itu, dengan perantaraan burhan tersebut, kekuasaan dan kehendak Tuhan menjadi jelas, karena kedua sifat ini mengikuti dua sifat sebelumnya (baca: hidup dan ilmu) dan mustahil terpisah darinya.
Dengan perkataan lain, setiap wujud yang memiliki ilmu dan kehidupan pasti mempunyai kekuasaan dan kehendak, tak terkecuali Tuhan. Pada akhirnya, kepenciptaan dan kepengaturan Tuhan juga terbukti, karena wujud yang kuat (dengan segala sifat kesempurnaan yang dimilikinya) mesti memancarkan cahaya wujud-Nya ke “sekelilingnya”.

Masalah yang masih tertinggal dan belum dibahas adalah apakah semua penjabaran dan penafsiran yang berangkat dari argumentasi Mulla Sadra – penafsiran yang berpijak pada kesatuan wujud dan gradasi wujud – memiliki kesamaan dalam kekhususan-kekhususan di atas ataukah memiliki perbedaan? Jawaban kami atas pertanyaan tersebut adalah negatif.

Argumentasi-argumentasi tersebut, walaupun kesemuanya menegaskan Wâjib al-Wujud bi al-dzat (niscaya-ada dengan sendirinya), tetapi setiap dari argumentasi-argumentasi tersebut bersandar pada mukadimahnya masing-masing, dengan demikian, mereka mengenal Wâjib al-Wujud bi al-dzat yang ditegaskan itu dengan warna yang khusus.

Rinciannya sebagai berikut: dalam penafsiran pertama dan ketiga dari aliran kesatuan wujud, ditegaskan Tuhan yang memiliki kesempurnaan mutlak dan tak bersekutu; penafsiran kedua dari aliran tersebut, memperkenalkan Tuhan dengan sifat kesatuan dan keesaan; sedangkan penafsiran dari aliran gradasi wujud, menetapkan kemandirian kepenciptaan dan kepengaturan Tuhan.

Oleh karena itu, secara gamblang, dalam penafsiran pertama dan ketiga menyatakan bahwa Tuhan memiliki zat yang tunggal dan sifat-sifat yang maha sempurna, sementara dalam penafsiran kedua, secara nyata, hanya menegaskan kesatuan Wâjib al-Wujud dan untuk membuktikan sifat zat dan perbuatan Tuhan membutuhkan tambahan argumentasi lagi.

Pada penafsiran keempat, tidak menetapkan ketunggalan Tuhan dan juga sifat kesempurnaan-Nya, tetapi hanya menegaskan bahwa Tuhan adalah wujud yang mandiri dan tak membutuhkan selain-Nya serta yang selain-Nya adalah kebergantungan dan keberhubungan itu sendiri kepada Tuhan, jadi dalam hal ini hanya sifat kemandirian Tuhan yany terbukti bukan sifat-sifat zat Tuhan.

Capaian dan hasil dari penjabaran burhan shiddiqin Mulla Sadar dalam kitab Asfar dimana bukan hanya menegaskan eksistensi Tuhan, tetapi juga membuktikan secara langsung dan nyata sifat-sifat zat dan perbuatan Tuhan.

Sementara dalam penjabaran burhan shiddiqin versi Ibnu Sina, Khawjah Nashir al-Din Thusi dan filosof-filosof lainnya, hanya mampu menegaskan keniscayaan esensi wujud Tuhan (niscaya-ada dengan sendirinya), dan dengan perantaraan keniscayaan esensi wujud Tuhan tersebut maka ditetapkanlah sifat-sifat maha sempurna bagi Tuhan dan menafikan segala kekurangan dan sifat-sifat negatif bagi-Nya.
Jadi, jelaslah bahwa dalam burhan shiddiqin Ibnu sina secara tak langsung menetapkan sifat jamal dan jalal Tuhan.

2. Tolok ukur burhan shiddiqin
Kekhususan dan kelebihan yang lain dari penjabaran burhan shiddiqin dari Mulla Sadra adalah disamping tidak meletakkan selain Wujud Tuhan sebagai perantara dalam penegasan eksistensi-Nya juga dengan hanya berkontemplasi dan merenungkan hakikat keberadaan kita dapat membuktikan kebenaran akan wujud Tuhan.

Pentingnya kekhususan tersebut, dalam pandangan Mulla Sadra, sampai pada tingkat dimana tolok ukur burhan shiddiqin mesti diletakkan dalam kerangka kekhususan tersebut. Jika kita menginginkan dasar-dasar dan perspektif Mulla Sadra sendiri dalam menentukan tolok ukur burhan shiddiqin, maka kita harus memandang langsung bagaimana dia menjelaskan dan menjabarkan burhan shiddiqin itu sendiri.

Disamping itu, kita juga mesti memisahkan satu sama lain berbagai penjabaran dan penafsiran yang berbeda atas burhan tersebut, karena walaupun semua penafsiran tersebut berangkat dari konsep ashâlah al-wujud dimana menunjukkan bahwa obyek perenungan dan pembahasan filosofis tak lain adalah hakikat eksistensi itu sendiri dan bukan komprehensi atasnya, tetapi jangan sampai kita melupakan tujuan dan inti utama yang dipatok oleh Mulla Sadra dalam burhan tersebut, yaitu menjadikan Tuhan itu sendiri bersaksi atas diri-Nya sendiri atau Tuhan itu sendiri yang menegaskan eksistensi-Nya.

Tujuan tersebut hanya akan tercapai jika kita konsisten “melupakan” dan tak memandang selain wujud-Nya dan tak meletakkan sifat-sifat makhluk, walaupun hanya sekedar asumsi rasional, dalam inti argumentasi, jadi kita hanya dan hanya “berpikir” dan “merenung” seputar hakikat eksistensi dan keniscayaan esensi wujud Tuhan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tujuan burhan tersebut di atas hanya sesuai dengan penafsiran yang didasarkan pada konsep kesatuan wujud dan bukan penafsiran yang berpijak pada teori gradasi wujud, karena dalam penafsiran tersebut, disamping berbicara soal kesatuan juga membincangkan masalah kejamakan, imkan fakir[12] dan keberhubungan akibat itu sendiri terhadap sebab.

Oleh karena itu, dengan tolok ukur yang ditentukan oleh Mulla Sadra, hanya penafsiran dan penjabaran yang berpijak pada kaidah kesatuan wujud, khususnya penafsiran pertama, sangat sesuai dengan tolok ukur tersebut, dan bentuk penafsiran tersebut bisa dikatakan sebagai penafsiran yang sangat sempurna dan bisa mewakili keinginan hakiki Mulla Sadra.

3. Mukadimah burhan shiddiqin
Sebagaiman telah kita saksikan penjabaran burhan shiddiqin dalam kitab Asfar dimana sebagian penafsiran-penafsiran tersebut berpijak pada imkan fakir dan keberhubungan akibat itu sendiri kepada sebab. Dan salah satu keunggulan dari penafsiran tersebut karena bersandar kepada imkan fakir dan bukan berangkat dari imkan mâhuwi (watak dan sifat kebergantungan kuiditas dari sisi komprehensi di alam pikiran).
Hal penting yang berkaitan dengan mukadimah burhan shiddiqin yang telah disebutkan di dalam kitab Asfar adalah sama sekali tidak bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul, sementara pada burhan shiddiqin versi Ibnu Sina tetap berpijak pada konsep kemustahilan tersebut.

Jadi ada perbedaan penjabaran Mulla Sadra dengan penjabaran Ibnu Sina terhadap burhan tersebut. Menurut para peneliti filsafat, perbedaan tersebut muncul karena Mulla Sadra berpijak pada teori imkan fakir sedangkan Ibnu Sina bersandar pada imkan mâhuwi[13].

Oleh karena itulah, akibat, dalam Hikmah Muta’aliyah adalah kebergantungan dan kebutuhan itu serndiri kepada sebab, sedangkan berdasarkan pandangan Ibnu Sina tentang akibat adalah suatu wujud yang bergantung dan butuh kepada sebab, dengan penjelasan lain, wujud akibat berdasarkan imkan mâhuwi, adalah wujud yang bergantung dan tidak mandiri, atau suatu wujud yang berdiri sendiri tapi pada saat yang sama dia juga bergantung dan butuh kepada yang lain.

Ayatullah Jawadi dalam hal ini berkata, “wujud akibat tidak bisa diartikan sebagai “suatu zat yang bergantung”, tetapi dimaknakan sebagai “kebergantungan dan kebutuhan itu sendiri kepada Tuhan”. Kebergantunga akibat kepada sebab tidak sama seperti “kegenapan angka empat” dimana kegenapan merupakan kemestian bagi angka empat; karena berdasarkan analisa, zat itu lebih dahulu dari “kemestian zat”. Jika hal ini diterapkan pada hubungan antara sebab dan akibat maka kebergantungan akibat merupakan kemestian wujud akibat, ini berarti bahwa pada tingkatan wujud akibat tak terdapat kebergantungan dan kebutuhan akibat kepada sebab dan kebergantungan tersebut hanyalah merupakan sifat “yang mesti” bagi akibat sebagaimana kegenapan juga sebagai sifat “yang mesti” bagi angka empat. Akibat bergantung dan butuh kepada sebab hanya pada tingkatan tertentu dari wujud akibat dan bukan pada keseluruhan wujudnya. Ini adalah kritik yang ditujukan kepada teori imkan mâhuwi. Berdasarkan Hikmah Muta’aliyah, ketika dikatakan bahwa “wujud” ini bergantung dan butuh kepada sebab yakni kebergantungan dan kebutuhan itu sendiri, jadi bukan suatu wujud yang bergantung dan butuh kepada sebab.”[14]



Referensi:
[1] . Karya Allamah Thabathabai.
[2] . Karya Mulla Hadi Sabzewari.
[3] . Murtadha Muthahhari, Syarh-e Ushul-e Falsafe wa Rawesy Realism, jilid 5, hal. 92 dan 93.
[4] . Murtadha Mutahhari, Syarh-e Mukhtashar Manzumah, Jilid 2, hal. 130,  131, 152 dan 153.
[5] . Mulla Hadi Sabzewari, Ta’liqah bar Asfar, jilid 6, hal. 16.
[6] . Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Omuzesy Falsafe, jilid 2, hal. 342.
[7] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 6, hal 14.
[8] . Penjelasan kaidah tersebut dapat dilihat dalam makalah kami yang berjudul argumen imkan dan wujub.
[9] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 6, hal. 24-26.
[10].  Taqi Mishbah Yazdi, Omuzesy Falsafe, jilid 2, hal. 343.
[11] . Mulla Sadra, jilid 6, hal. 24 dan 25.
[12] . Yang dimaksud dengan imkan fakir (al-imkan al-faqr) adalah kebergantungan dan keberhubungan wujud akibat kepada wujud sebab dan keterbatasan dan kekurangan esensial wujud kontingen (bergantung, makhluk, akibat) dan kebutuhannya kepada sebab. Watak kebergantungan (imkan) dalam istilah ini adalah sifat untuk realitas hakiki wujud-wujud akibat, dan menjelaskan keberhubungan wujud akibat itu sendiri kepada sebabnya.
[13] . Imkan mâhuwi adalah sifat dan watak kebergantungan kuiditas di alam pikiran dan bukan di alam nyata. Imkan mâhuwi pada tingkatan tertentu bukan kuiditas itu sendiri karena tidak terdapat pada inti zat kuiditas, imkan mahuwi lebih merupakan sifat dari kuiditas di alam pikiran.
[14] . Abdullah Jawadi Amuli, Syarh-e Hikmah Muta’aliyah Asfar-e Arba’ah, bagian pertama dari jilid keenam, hal. 127.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top