Pertanyaan:
Salam...
Saya memiliki pertanyaan fikih:
1. Apa yang menjadi parameter diharamkannya MLM? Di sini ada MLM haji, dimana pihak MUI dan Dewan Syariah Nasional menghalalkan MLM jenis ini. Apakah untuk keperluan Islami, sesuatu yang haram menjadi halal? Seperti MLM...
2. Bagaimana hukumnya menjual ikan tidak bersisik kepada saudara2 Ahlusunnah yang menghalalkan ikan tidak bersisik?
3. Sepuluh tahun lalu teman saya meminjam duit, 1.000,000. Dan stelah sepuluh tahun berlalu, ia baru dapat menyerahkan kembali pinjaman tersebut. Duit, 1.000.000 sekarang tidak begitu bernilai, apakah ia harus membayar lebih utang tersebut? Kalau ia harus membayar lebih apakah tidak termasuk riba? Terima kasih...
Saya memiliki pertanyaan fikih:
1. Apa yang menjadi parameter diharamkannya MLM? Di sini ada MLM haji, dimana pihak MUI dan Dewan Syariah Nasional menghalalkan MLM jenis ini. Apakah untuk keperluan Islami, sesuatu yang haram menjadi halal? Seperti MLM...
2. Bagaimana hukumnya menjual ikan tidak bersisik kepada saudara2 Ahlusunnah yang menghalalkan ikan tidak bersisik?
3. Sepuluh tahun lalu teman saya meminjam duit, 1.000,000. Dan stelah sepuluh tahun berlalu, ia baru dapat menyerahkan kembali pinjaman tersebut. Duit, 1.000.000 sekarang tidak begitu bernilai, apakah ia harus membayar lebih utang tersebut? Kalau ia harus membayar lebih apakah tidak termasuk riba? Terima kasih...
Jawaban Global:
Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil
Jawaban Detil:
Terkait dengan perusahaan-perusahaan MLM Anda dapat melihat jawabannya pada Pertanyaan
5830 (Site: 6057, Indeks: Line Marketing dan Perusahaan-perusahan MLM dalam Pandangan Islam)
. Dan harus diperhatikan bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan suci dan
islami sekali-kali media-media haram tidak dapat digunakan.
Terkait dengan pertanyaan kedua, silahkan Anda perhatikan istiftaat (pertanyaan fikih) di bawah ini:
Pertanyaan: Apakah boleh menjual ikan-ikan yang haram dimakan kepada orang-orang yang menghalalkannya (seperti Ahlusunnah)?
Jawaban: Tidak dibenarkan menjual ikan-ikan haram sekalipun kepada
mereka yang menganggapnya halal. Anda dapat menerima uang dari pihak
pembeli (Ahlusunnah) dengan cara mushâlaha (melakukan jalan damai) dengan mereka.
[1]
Adapun berkaitan dengan pertanyan ketiga Anda, jawabannya adalah sebagai berikut:
Dalam urusan hutang, orang yang berhutang harus menjadi penjamin
turunnya pajak dan nilai uang, akan tetapi dari dalil-dalil riba hutang (riba qardhi)
dapat disimpulkan bahwa dalam urusan hutang bersandar pada uang atau
benda (itu sendiri) bukan pada nilai uang. Dalam menafikan riba,
kuantitas dan banyaknya uang diperhatikan. Dan yang menjadi fokus kami
adalah bahwa apabila nilai uang yang menjadi ukuran dalam hutang pada
masa instabilitas pereknomian, maka masalah hutang harus ditutup secara
total; karena dari satu sisi perhitungan akurat penambahan atau
pengurangan pajak, akan mustahil atau sangat pelik untuk dilakukan. Dari
sisi lain, riba yang diharamkan dalam Islam terbagi menjadi dua bagian,
riba hutang (qardhi) dan riba transaksi (muamalah). Riba
hutang adalah pemberi hutang menyaratkan untuk mengambil lebih (surplus)
dalam memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain.
[2]
Dengan memperhatikan bahwa memberikan pinjaman atau hutang
merupakan sebuah amalan mustahab dan secara umum, apabila amalan seperti
ini menimbulkan problema tertentu, sudah pasti secara praktis akan
ditinggalkan oleh masyarakat. Karena itu, harus diterima bahwa
pembahasan hutang harus ditinggalkan dan mengharuskan bahwa dalil-dalil
hutang hanya berlaku pada masa khusus (ketika tercipta kestabilan
perekonomian) dan tidak ada (fukaha) yang menerima masalah ini.
[3]
Iya, apabila ada seseorang yang ingin pada masa instabilitas
perekonomian dan inflasi, nilai hartanya tidak berkurang dan tidak ingin
dirugikan, maka ia harus menggunakan jalan dan aturan lain.
[4]
Dan berikut ini kami akan menyinggung hanya dua cara sebagai
contoh: Tentu saja pada kondisi instabilitas perekonomian dan inflasi,
Anda dapat menggunakan cara berikut ini untuk menebus persoalan
sedemikian:
Syarat hutang dalam jual-beli:
Penjual menjual barang dengan harga mahal dan menentukan syarat bahwa ia meminjamkan sejumlah uang kepada pembeli (buyer,
debitor) dan pada masa pembayaran ia akan mengambil sejumlah uang itu
dari debitor (pengutang). Dan apabila debitor tidak mampu menyerahkan
hutang tersebut, maka tiada yang harus ditambahkan dari uang tersebut.
Misalnya, apabila kita ingin meminjamkan uang Rp. 100.000 kepada
seseorang berjangka tiga bulan dan mengkalkulasi bahwa turunnya nilai
uang tersebut ini dalam masa ini sebanyak Rp. 5000. Untuk menebus
penurunan ini kita dapat menjual misalnya barang murah seharga Rp. 5000
kepada pengutang dan dalam transaksi jual-beli ini kita menyaratkan
bahwa 100 Ribu kita pinjamkan kepada pembeli atau pembeli berkata bahwa
saya membeli barang ini seharga Rp. 5000 dengan syarat Anda meminjamkan (qardh al-hasanah) Rp. 100.000 kepada saya.
[5]
Akan tetapi cara seperti ini tidak ada manfaatnya terkait dengan
masalah yang Anda hadapi dan Anda dapat menggunakannya dalam memberikan
pinjaman-pinjaman lainnya kepada orang lain. Bagaimanapun Anda harus
camkan bahwa memberikan pinjaman kepada saudara Muslim akan mendapatkan
ganjaran dan pahala yang melimpah di sisi Allah Swt.
Referensi:
[1]
.
Mirza Jawad Tabrizi, Shirat al-Najât, jil. 5, hal. 216. Tanpa tahun.
[2]
. Terkait dengan falsafah keharaman riba h
utang terdapat banyak persoalan yang
dijelaskan oleh para ahli yang menurut hemat kami ada dua pendapat yang
penting untuk dibahas:
A. Tabiat hutang tidak menerima untung
adalah hutang tamlik (penguasaan) harta terhadap yang lain sebagaimana
dengan hilangnya harta yang dihutangi maka orang yang berhutang
bertanggung jawab untuk mengembalikan harta tersebut dan pihak kreditor
tidak akan menerima kerugian sedikit pun demikian juga keuntungan tidak
akan ia peroleh (break event point). Silahkan lihat, Majmu'e Atsar, jil. 20, hal. 272.
B. Tabiat riba adalah bahwa uang yang
dberikan kepada Anda dan sejumlah tertentu setiap bulan diambil dari
keuntungan Anda dan apabila tiba masa pembayaran namun belum dibayar
maka sesuai dengan perjanjian sebelumnya, uang tersebut tidak akan
menghasilkan keuntungan dan tidak diperlukan perjanjian baru lainnya.
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Juzwe Dars-e Ayatullah Gerami, hal. 7-23.
[3] . Juzwe Dars-e Ayatullah Gerami, hal. 7-23.
[4] . Sebagian orang mengajukan teori untuk menebus pengurangan nilai uang pada kondisi inflasi ekuasi tahunan yaitu hutang nilai uang dan sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa lantaran tiadanya kalkulasi akurat dan tiadanya pengetahuan tentang nilai uang pada masa hutang dan pembayarannya, dan keharusan riba, teori seperti ini tidak dapat diterima. Lantaran kriteria keharamam riba adalah kerugian yang ditimbulkannya (pada salah satu pihak). Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Muhammad Husain Ibrahimi, "Pul, Bank, Sharrafi", hal-hal. 109-114; Hamu, Qardh al-Hasanah, hal-hal. 94-96
[5] . Dalam Fikih terdapat pembahasan yang disebut sebagai hila syar'i (solusi syar'i) riba yang diterima oleh sebagian fukaha dan ditolak oleh sebagian lainnya. Dan bagaimanapun bentuk yang telah dijelaskan merupakan sebuah cara yang, menurut hemat kami, dapat dipertahankan dan dapat menjawab tiga jenis problema "1. Tiadanya maksud imperatif. 2. Konyolnya transaksi semacam ini. 3. Adanya falsafah keharaman riba dalam hal ini. Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat, Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hal. 495, Masalah 7; Juzwe Dars-e Ayatullah Gerami, hal-hal. 23-38, dengan memanfaatkan Pertanyaan No. 3473 (Site:3697).
(islamquest/ABNS)
[3] . Juzwe Dars-e Ayatullah Gerami, hal. 7-23.
[4] . Sebagian orang mengajukan teori untuk menebus pengurangan nilai uang pada kondisi inflasi ekuasi tahunan yaitu hutang nilai uang dan sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya bahwa lantaran tiadanya kalkulasi akurat dan tiadanya pengetahuan tentang nilai uang pada masa hutang dan pembayarannya, dan keharusan riba, teori seperti ini tidak dapat diterima. Lantaran kriteria keharamam riba adalah kerugian yang ditimbulkannya (pada salah satu pihak). Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Muhammad Husain Ibrahimi, "Pul, Bank, Sharrafi", hal-hal. 109-114; Hamu, Qardh al-Hasanah, hal-hal. 94-96
[5] . Dalam Fikih terdapat pembahasan yang disebut sebagai hila syar'i (solusi syar'i) riba yang diterima oleh sebagian fukaha dan ditolak oleh sebagian lainnya. Dan bagaimanapun bentuk yang telah dijelaskan merupakan sebuah cara yang, menurut hemat kami, dapat dipertahankan dan dapat menjawab tiga jenis problema "1. Tiadanya maksud imperatif. 2. Konyolnya transaksi semacam ini. 3. Adanya falsafah keharaman riba dalam hal ini. Untuk telaah lebih jauh, silahkan lihat, Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hal. 495, Masalah 7; Juzwe Dars-e Ayatullah Gerami, hal-hal. 23-38, dengan memanfaatkan Pertanyaan No. 3473 (Site:3697).
(islamquest/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar