SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah

Bagian dari seri Dua Belas Imam
Imam Ali ar-Ridha
A depiction by a Muslim artist.
penggambaran fiksi
Ali bin Musa bin Ja'far
Imam Kedelapan
Kunyah Abu al-Hasan
Lahir 11 Dzulkaidah 148 H
1 Januari 765 Masehi
Meninggal 17 Safar 203 H
26 Mei 818 Masehi
Tempat lahir Madinah
Dikuburkan Masyhad
Masa hidup Sebelum Imamah: 35 tahun
(148 - 183 H)
Imamah: 20 tahun
(183 - 203 AH)
- 17 tahun di Madinah
- 3 tahun di Khurasan
Gelar ar-Ridha (Persia: Reza)
Istri-istri Sayyidah Sabika (dikenal pula Khaizarun)[1]
Ummul Fadhl binti al-Ma'mun[1]
Ayah Musa al-Kadzim
Ibu Najmah
Keturunan Muhammad al-Jawad (pengganti)
Ali · Hasan · Husain
as-Sajjad · al-Baqir · ash-Shadiq
al-Kadzim · ar-Ridha · al-Jawad
al-Hadi · al-Asykari · al-Mahdi

Imām Alī bin Mūsā ar-Riđhā (Bahasa Arab: علي بن موسى الرضا) (Madinah, 11 Dzulkaidah 148 H - Masyhad, 17 Safar 203 H[2]) (diperkirakan 1 Januari 765 - 26 Mei 818) adalah imam ke-8 dalam tradisi Syi'ah Dua Belas Imam. Dalam Bahasa Persia, dia sering dipanggil dengan nama Imam Reza dan dijuluki dengan panggilan Abu al-Hasan.[2] Dia hidup pada masa berkuasanya tiga orang Khalifah Bani Abbasiyah yaitu Harun ar-Rasyid, al-Amin dan al-Ma'mun[3] dan diangkat oleh al-Ma'mun menjadi putra mahkota kekhalifahan dimana hal ini menyebabkan pemberontakan dari keluarga Bani Abbasiyah lainnya terhadap al-Ma'mun.[2]

Julukan lainnya yang diberikan kepada Imam Ali ar-Ridha adalah ash-Shabir, ar-Radhi, al-Wafi, az-Zaki, dan al-Wali.[4] Selain itu julukan lainnya adalah:
  1. Imam Zamin'i Tsamin, Tsamin berarti delapan, Zamin berarti keselamatan dan keamanan.[5]
  2. Gharibul-Ghurabaa[5]
  3. Alim'i ali Muhammad[5]

Kelahiran dan kehidupan keluarga


Kelahiran

Pada tanggal 11 Dzulkaidah 148 H, seorang anak laki-laki lahir di rumah Imam Musa al-Kadzim (Imam ke-7) di Madinah, yang nantinya akan mengambil posisi keimaman, setelah ayahnya.[6] Namanya adalah Ali dengan julukan ar-Ridha. Dia lahir satu bulan setelah kakeknya, Imam Ja'far ash-Shadiq meninggal.

Ibu

lbunya bernama Taktam[7][2] ada pula yang menyebut bernama Najmah[8][3][9], yang dijuluki Ummu al-Banin, seorang yang shalehah, ahli ibadah, utama dalam akal dan agamanya dan setelah melahirkan Ali ar-Ridha, Musa al-Kadzim memberinya nama at-Thahirah.[7][2]

Saudara

Dia memiliki saudara yang bernama Zaid, yang melakukan revolusi dan membuat kerusuhan di Madinah. Zaid pernah tertangkap dan dibawa atas perintah al-Ma'mun ke Khurasan untuk diadili. Al-Ma'mun membebaskannya sebagai penghormatan terhadap Imam Ali ar-Ridha.[10]
Imam memiliki saudara lain yang bernama Abdullah, dimana ia hidup sampai masa Imam Muhammad al-Jawad.[4]
Imam memiliki seorang saudari yang bernama Fatimah Maksumah, ia meninggal di Qom, Iran ketika datang dari Madinah menuju Masyhad untuk mencari kakaknya, Imam Ali ar-Ridha. Kuburan Fatimah Maksumah, sampai saat ini masih terdapat di Qom, dan menjadi pusat ziarah di sana.[11]

Istri-istri

Imam menikah dengan Sayyidah Sabika yang juga dikenal dengan nama Khaizarun. Istri Imam ini adalah keturunan sahabat Muhammad, yang juga pembela setia Ali, Ammar bin Yasir. Khaizarun merupakan ibu dari Imam ke-9, Muhammad al-Jawad.[1]
Selain itu, Imam dinikahkan pula dengan putri dari khalifah saat itu, Ummul Fadhl binti al-Ma'mun, dimana menurut riwayat, Ummul Fadhl begitu mengetahui Imam telah memiliki istri lain yang telah memberikan keturunan, maka ia menjadi marah, dan setuju untuk memberi racun kepada Imam hingga menyebabkan wafatnya Imam.[1]

Keturunan

Putra-putra Imam bernama:[7]
  1. Hasan
  2. Muhammad al-Jawad, penerus keimaman
  3. Ja'far
  4. Ibrahim
  5. Husain
Putri Imam bernama Aisyah.[7]

Referensi

Sumber


Pendapat lain:

IMAM ALI AR-RIDHA, TELADAN PEJUANG YANG SABAR

Hari Lahir

Imam Ali Ar-Ridha as lahir pada 11 Dzulqa’dah 148 H. di Madinah. Ayah beliau adalah Imam Musa Al-Kazim as dan ibunya seorang wanita mukmin nan saleh, bernama Najmah. Imam as menghabiskan masa kanak-kanaknya di sisi sang ayah.
Imam Musa as berwasiat dan memberi isyarat kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan putranya, Ali Ar-Ridha.
Ali bin Yaqthin berkata, “Pernah aku bersama Abdus Saleh (salah satu gelar Imam Musa Kazim—penj.). Tiba-tiba datang Ali Ar-Ridha as, lalu beliau (Imam Musa) berkata, “Wahai Ali bin Yaqthin, dialah penghulu anak-anakku.”
Hisyam menambahkan, “Sesungguhnya aku beritakan kepadamu bahwa dia adalah Imam setelahku.”
Demikian pula salah seorang sahabat pernah bertanya tentang imam sepeninggalnya. Imam Musa as memberi isyarat kepada anaknya, Ali Ar-Ridha sembari berkata, “Dialah Imam (pemimpin) setelahku.”
Pada masa itu, situasi amat menguatirkan, sehingga Imam Musa as berwasiat kepada para sahabatnya agar merahasiakan keimamahan putranya itu.

Budi Pekerti Yang Agung

Para Imam Ahlulbait as adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih oleh Allah SWT untuk membimbing masyarakat secara benar dan menjadi contoh yang paling unggul untuk mencapai derajat kemanusiaan dan akhlak mulia.
Ibrahim bin Abbas mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Abul Hasan Ar-Ridha as mengatakan sesuatu yang merusak kehormatan seseorang, juga tidak pernah memotong pembicaraan seseorang hingga ia menuntaskannya, dan tidak pernah menolak permintaan seseorang tatkala dia mampu membantunya. Beliau tidak pernah menjulurkan kakinya ke tengah majelis. Aku tidak pernah melihatnya meludah, tidak pernah terbahak-bahak ketika tertawa, karena tawanya adalah senyum. Di waktu-waktu senggang, beliau menghamparkan suprah dan duduk bersama para pembantu, mulai dari penjaga pintu sampai pejabat pemerintahan. Dan barang siapa yang mengaku pernah melihat keluhuran budi pekerti seseorang seperti beliau, maka janganlah kau percaya.”
Seorang laki-laki menyertai Imam Ar-Ridha dalam perjalanannya ke Khurasan. Imam mengajaknya duduk dalam sebuah jamuan makan. Beliau mengumpulkan para tuan dan budak untuk menyiapkan makanan dan duduk bersama. Orang itu lalu berkata, “Wahai putra Rasulullah, apakah engkau mengumpulkan mereka dalam satu jamuan makan?”
“Sesungguhnya Allah SWT adalah satu. Manusia lahir dari satu bapak dan satu ibu. Mereka berbeda-beda dalam amal perbuatan”, demikian jawab Imam as.
Salah seorang dari mereka berkata, “Demi Allah, tidak ada yang lebih mulia di muka bumi ini selain engkau, wahai Abul Hasan (panggilan Imam Ar-Ridha)!”
Imam menjawab, “Ketakwaanlah yang memuliakan mereka, wahai saudaraku!”
Salah seorang bersumpah dan berkata, “Demi Allah, engkau adalah sebaik-baik manusia.”
Imam menjawabnya, “Janganlah engkau bersumpah seperti itu. Sebab orang yang lebih baik dari aku adalah yang lebih bertakwa kepada Allah. Demi Allah, Dzat yang menorehkan ayat ini, ‘Kami ciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah orang yang paling bertakwa.’
Pernah suatu saat, Imam Ali Ar-Ridha as berbincang-bincang dengan masyarakat. Mereka bertanya tentang masalah-masalah hukum. Tiba-tiba seorang warga Khurasan masuk dan berkata, “Salam atasmu wahai putra Rasulullah! Aku adalah seorang pengagummu dan pecinta ayahmu serta para datukmu. Aku baru saja kembali dari haji dan aku kehilangan nafkah hidupku. Tak satu harta pun tersisa lagi padaku. Jika engkau sudi membantuku sampai di negeriku, sungguh nikmat besar Allah atasku, dan bila aku telah sampai, aku akan menginfakkan jumlah uang yang kau berikan kepadaku atas namamu, karena aku tidak berhak menerima infak.”
Dengan nada lembut, Imam Ar-Ridha as berkata kepadanya, “Duduklah, semoga Allah mengasihanimu!”
Kemudian Imam melanjutkan perbincangannya dengan masyarakat sampai mereka bubar. Setelah itu, Imam bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, beliau mengeluarkan tangannya dari balik pintu sambil berkata, “Mana orang Khurasan itu?”
Orang Khurasan itu mendekat dan Imam berkata, “Ini 200 Dinar. Pergunakanlah untuk perjalananmu dan janganlah engkau menafkahkan hartamu atas nama kami.”
Orang Khurasan itu mengambilnya dengan penuh rasa syukur, lalu meninggalkan Imam as.
Setelah itu Imam keluar dari kamar. Salah seorang sahabat bertanya, “Kenapa engkau menyembunyikan wajahmu dari balik pintu, wahai putra Rasulullah?”
Imam berkata, “Agar aku tidak melihat kehinaan pada raut wajah orang yang meminta. Tidakkah kau mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Berbuat baik dengan sembunyi-sembunyi adalah sama seperti tujuh puluh kali ibadah haji, dan orang yang terang-terangan dalam berbuat jahat sungguh terhina, dan orang yang sembunyi dalam melakukannya akan diampuni.’”

Jangan Merasa Bangga!

Ahmad Al-Bazanthi adalah salah seorang ulama terkemuka dan seringkali melakukan surat-menyurat dengan Imam Ali Ar-Ridha. Kemudian, ia mengakui kebenaran kedudukan beliau sebagai imam.
Al-Bazanthi pernah menceritakan pengalamannya berikut ini:
“Imam Ar-Ridha as memintaku datang menjumpainya dan mengirimkan keledai kepadaku sebagai kendaraan. Sesampainya di sana, kami duduk dalam sebuah pembahasan. Hingga tiba waktu Isya’, kami melaksanakan shalat. Seusai shalat, Imam meminta kepadaku untuk bermalam. Aku menjawab, ‘Tidak demi jiwaku yang menjadi tebusanmu, aku tidak membawa mantel (selimut) dan pakaian.’
Beliau berkata kepadaku, ‘Allah akan melewatkan malammu dalam keadaaan sehat dan kami akan tidur di atap rumah.’
Sementara Imam turun, aku berkata pada diriku sendiri, ‘Sungguh aku telah mendapatkan kemulian dari Imam yang aku tidak temukan pada orang lain. Aku telah tertipu oleh setan.’
Di waktu subuh, Imam membangunkanku sambil memegang tanganku. Kepadaku beliau menuturkan, ‘Suatu hari, Amirul Mukminin Ali as menengok Sha’sa’ah bin Sauhan yang tengah sakit. Ketika dia hendak bangun, Amirul Mukminin berkata kepadanya, ‘Wahai Sha’sa’ah, janganlah engkau merasa bangga terhadap saudara-saudaramu hanya karena aku menjengukmu.’
Seakan-akan Imam membaca apa yang terlintas dalam benak Al-Bazanthi. Beliau menasehatinya dan mengingatkan kakeknya, Imam Ali bin Ali Thalib as bagaimana menjenguk salah seorang sahabatnya.

Nasihat untuk Saudara

Zaid adalah saudara Imam Ali Ar-Ridha as. Dia melakukan pemberontakan di kota Bashrah dan membakari rumah orang-orang Abbasiyah, sehingga dia digelari dengan Sang Api.
Khalifah Ma’mun segera mengirim pasukan besar dan terjadilah pertempuran sengit. Di sana, Zaid menyerah dan meminta damai. Namun, akhirnya ia tertangkap dan dipenjara.
Tatkala Imam Ali Ar-Ridha as diangkat oleh Ma’mun sebagai pengganti khalifah, Ma’mun memutuskan untuk mengirimkan Zaid kepada Imam. Imam as sangat marah atas perbuatan saudaranya yang membakar rumah dan merampas harta benda rakyat tanpa hak.
Kepada saudaranya Imam as berkata, “Hai Zaid, apa yang membuat engkau tertipu hingga engkau menumpahkan darah dan merampok? Apakah kau tertipu oleh perkataan orang-orang Kufah, bahwa Fatimah as telah disucikan rahimnya sehingga Allah mengharamkan anak keturunannya dari api neraka? Celakalah engkau! Sesungguhnya yang dimaksudkan Rasul saw dari sabda itu bukanlah aku, bukan pula kau. Akan tetapi, Hasan dan Husain. Demi Allah, sesungguhnya keselamatan dari api neraka itu tidak akan didapati kecuali dengan ketaatan kepada Allah SWT. Apakah kau mengira akan masuk surga dengan tetap bermaksiat kepada Allah? Kalau begitu, kau lebih besar daripada Allah dan dari ayahmu, Musa bin Ja’far as!”
Zaid berkata,”Bukankah aku saudaramu?”
Imam menjawab, “Ya, kau adalah saudaraku selama kau taat kepada Allah. Bagaimana Nabi Nuh as memohon, ‘Tuhanku, sesungguhnya anakku dari keluargaku dan janjimu pasti nyata dan engkau maha pengasih.’ Dan bagaimana Allah membalasnya, ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah dari keluargamu, karena dia bukan perbuatan saleh.’ Demi Allah, wahai Zaid! Tidak seorang pun akan mendapatkan kedudukan di sisi Allah kecuali ketaatan kepada-Nya.”

Di Majelis Ma’mun

Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh-tokoh mazhab Islam, lalu memerintahkan mereka untuk berdiskusi dengan Imam Ali Ar-Ridha as. Ma’mun melakukan itu hanya untuk menjatuhkan Imam di hadapan soal-soal mereka.
Imam as bertanya kepada seorang sahabatnya yang bermana Hassan Naufal, “Apakah engkau tahu mengapa Ma’mun mengumpulkan para pemuka agama dan tokoh mazhab itu?”
Naufal menjawab, “Dia ingin sekali mengujimu.”
Imam berkata, “Senangkah engkau melihat saat-saat Ma’mun menyesali perbuatannya?.”
“Tentu”, jawab Naufal.
Imam berkata, “Yaitu tatkala dia mendengar jawabanku dari kitab Taurat terhadap penganut Taurat, jawabanku dari kitab Injil tehadap penganut Injil, jawabanku dari kitab Zabur terhadap penganut Zabur, dan jawabanku dari kitab Ibraniyyah terhadap kaum Sabiah.”
Imam Ali Ar-Ridha as menyiapkan perjalanannya bersama sahabatnya ke istana Khalifah. Setelah sampai dan istirahat sejenak, diskusi pun dimulai.
Jatsliq berkata, “Saya tidak ingin berdiskusi dengan orang yang menggunakan Al-Qur’an sebagai dalilnya, karena aku mengingkarinya, dan juga orang yang menggunakan hadis Nabi Muhammad, karena aku tidak mempercayai kenabiannya.”
Imam Ar-Ridha as berkata, “Jika aku berdalil dengan kitab Injil, apakah engkau akan beriman?”
“Tentu, saya akan menerimanya”, begitu tegas Jatsliq.
Lalu Imam Ali Ar-Ridha as membacakan beberapa ayat Injil yang di dalamnya Nabi Isa as mengabarkan kedatangan nabi setelahnya, sebagaimana yang juga diberitakan oleh Hawariyyun (sabahat setia Nabi Isa). Imam juga membacakan sebagian ayat dari Injil Yohanes.
Jatsliq dengan penuh keheranan berkata, “Demi kebenaran Isa Al-Masih, aku tidak pernah menyangka bahwa di antara ulama muslim ada orang sepertimu.”
Kemudian Imam Ali Ar-Ridha berpaling kepada pemuka Yahudi dan berdalil dengan ayat-ayat Taurat dan Zabur.
Tak ketinggalan pula, Imran Ash-Shabi yang ahli dalam ilmu Kalam. Dia bertanya kepada Imam tentang keesaan Tuhan dan masalah-masalah Kalam lainnya.
Ketika masuk waktu Zhuhur, Imam as bangkit untuk melaksanakan shalat. Setelah itu, beliau melanjutkan diskusi dengan Imran sampai dia mengakui kebenaran agama Allah yang hak. Lalu dia menghadap Kiblat dan bersujud kepada Allah untuk menyatakan keislamannya.

Perjalanan ke Marv

Tak seorang pun tahu alasan sebenarnya yang mendorong Khalifah Ma’mun untuk meminta Imam Ali Ar-Ridha as menjadi penggantinya kelak.
Ketika Imam as tinggal di Madinah Al-Munawwarah, tiba-tiba datang perintah Khalifah kepada beliau untuk melakukan perjalanan ke Marv.
Imam as menyiapkan perjalanannya ke Khurasan. Beliau tiba di kota Bashrah, lalu bertolak menuju Baghdad, kemudian singgah di kota Qom yang mendapatkan sambutan begitu hangat dari masyarakat di sana. Kala itu, Imam menjadi tamu salah seorang penduduk, dan semenjak hari itu ditetapkanlah hari berdirinya “Madrasah Ar-Ridhawiyyah.”

Di Naisyabur

Naisyabur merupakan salah satu kota tua dan pusat ilmu pengetahuan, lalu runtuh dan hancur ketika penyerangan bangsa Mongol.
Iring-iringan kafilah Imam Ali Ar-Ridha as dijemput oleh masyarakat di sana dengan penuh suka cita, sementara ratusan ulama dan pelajar berdiri paling depan.
Para ulama dan ahli hadis berkumpul di sekitar para pengiring Imam, sedang di tangan mereka buku dan alat menulis. Mereka menunggu Imam meriwayatkan hadis-hadis dari kakeknya Rasulullah saw, sampai-sampai di antara mereka ada yang memegang tali kekang tunggangan Imam dan berkata, “Demi kebenaran ayahmu yang suci, riwayatkanlah kepada kami hadis sehingga kami dapat mendapatkan ilmu darimu.”
Imam as berkata, “Aku mendengar ayahku Musa bin Ja’far berkat, ‘Aku mendengar Ayahku, Ja’far bin Muhammad berkata, ‘Aku mendengar ayahku Muhammad bin Ali berkata, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Husain berkata, ‘Aku mendengar ayahku Husain bin Ali berkata, ‘Aku mendengar ayahku Ali bin Abi Thalib berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Aku mendengar Jibril berkata, ‘Aku mendengar Allah berfirman, “Kalimat La Ilaha illallah adalah bentengku. Barang siapa masuk ke dalam bentengku, niscaya ia terbebas dari azabku.’”
Hadis ini terkenal dengan Hadis Silsilah Dzahabiyah (Untaian Emas). Sebanyak dua ribu perawi mencatat hadis ini.
Imam Ali Ar-Ridha as meninggalkan Naisyabur pada waktu pagi. Di tengah perjalanan masuk waktu Zhuhur, Imam as meminta air untuk berwudhu. Akan tetapi, para pengikutnya sulit mendapatkan air.
Imam menggali tanah. Tiba-tiba muncul mata air. Beliau berwudhu bersama orang-orang yang menyertainya. Hingga sekarang ini, mata air itu masih mengalir.
Imam Ar-Ridha as dan rombongan tiba di Sina Abad dan beliau menyandarkan punggungnya ke salah satu batu besar di gunung itu. Masyarakat di sana adalah pengrajin kuali dan periuk untuk keperluan masak. Imam memohon kepada Allah untuk memberkahi mereka dan meminta untuk dibuatkan periuk.
Imam as masuk ke rumah Hamid bin Qahthabah Ath-Tha’i dan masuk ke qubah yang di dalamnya terdapat kuburan Harun Ar-Rasyid. Di samping kuburan itu, beliau menuliskan sesuatu lalu berkata, “Ini adalah tanahku, dan di sinilah aku akan dikuburkan. Allah akan menjadikannya tempat ziarah bagi pengikutku. Demi Allah, barangsiapa yang menziarahiku, maka wajib baginya ampunan dan rahmat Allah melalui syafaat kami Ahlulbait.”
Kemudian, beliau melakukan shalat dua rakaat dan sujud yang lama sambil bertasbih sebanyak lima ratus kali.

Di Marv

Sampailah Imam Ali Ar-Ridha as di Marv. Ma’mun berusaha menampakkan rasa hormat dengan cara menyambut beliau dan mengadakan pesta penyambutan. Dia mengharapkan Imam supaya sudi menduduki kursi khalifah. Akan tetapi, beliau menolaknya.
Imam Ali Ar-Ridha as tahu benar akan maksud yang disembunyikan oleh Ma’mun. Dia telah membunuh saudaranya sendiri, Muhammad Amin, lantaran haus kekuasan dan kekhalifahan. Lalu, bagaimana mungkin dia mau turun tahta?
Ma’mun berusaha menarik simpati masyarakat dengan menampakkan kecintaannya kepada Ahlulbait. Dia menetapkan kewajiban menaati Imam sebagai calon penggantinya, walaupun dengan cara-cara paksa.
Di hadapan permintaan Ma’mun yang penuh dengan pemaksaan dan bahkan ancaman itu, akhirnya Imam Ridha as menerima untuk dijadikan penggantinya kelak dengan syarat, bahwa beliau tidak ikut campur dalam urusan-urusan pemerintahan.
Segera kepingan-kepingan uang dicetak dengan nama Imam, dan Ma’mun membiarkan masyarakat memakai pakaian hitam sebagai lambang orang-orang Abbasiyah, dan memakai pakaian hijau sebagai lambang orang-orang Alawiyah (keturunan Imam Ali bin Abi Thalib as).
Lebih dari itu, Ma’mun bahkan menikahkan anak perempuannya dengan Imam Ar-Ridha as dan menikahkan anak perempuannya yang lain dengan putra beliau, yaitu Muhammad Al-Jawad as.

Shalat Hari Raya

Imam Ali Ar-Ridha as dibaiat sebagai calon pengganti Khalifah pada 5 Ramadhan 201. Setelah 25 hari, tibalah hari pertama dari bulan Syawal, yaitu Hari Raya Idul Fitri. Satu hari sebelumnya, Ma’mun memerintahkan Imam Ar-Ridha as untuk menjadi imam shalat hari raya Idul Fitri.
Imam merasa keberatan. Tetapi Ma’mun bersikeras pada keputusannya, dan mengirim utusan untuk memata-matai gerak-gerik beliau.
Imam as menerima dengan satu syarat, yaitu melakukan shalat hari raya sesuai dengan ajaran Rasulullah saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.
Ma’mun menyetujui syarat itu dan memerintahkan tentaranya untuk bersiap-siap menjemput Imam esok pagi.
Masyarakat berkerumun di jalan-jalan dan di atap-atap rumah, sementara pasukan berbaris sambil menunggu Imam as keluar.
Matahari terbit menampakkan garis kemilauan emas dan menyelimuti bumi dengan panas dan cahayanya.
Imam Ali Ar-Ridha as mandi dan memakai pakaian dan serban putih sambil membiarkan salah satu ujungnya jatuh di depan dadanya dan ujung lainnya terurai di antara kedua bahunya. Beliau memakai wewangian dan memegang tongkat. Beliau memerintahkan orang-orang terdekatnya serta para pembantunya untuk melakukan hal yang sama. Dan, Imam pun keluar bersama mereka tanpa alas kaki.
Beberapa langkah kemudian, Imam Ar-Ridha as mengangkat suaranya sambil mengumandangkan takbir; Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Imam muncul dari dalam rumah, sedangkan pasukan istana serta komandannya melihat Imam bersama kelompok besar berjalan di samping kuda-kuda mereka. Mereka pun hanyut dan segera turun dari kuda, lalu melepaskan sepatu-sepatu mereka dan ikut berjalan mengiringi Imam as dengan kaki telanjang.
Imam bertakbir di pintu gerbang. Masyarakat juga ikut bertakbir sehingga gema takbir membahana ke seluruh penjuru kota. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing dan tumpah-ruah ke jalan-jalan.
Berkali-kali masyarakat menghadiri shalat hari raya yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan dan kemewahan yang jauh dari dari makna takbir. Kali ini mereka menyaksikan hari raya besar yang penuh dengan semangat Islam yang dibawa oleh Nabi saw dan kini dihidupkan kembali oleh cucunya, Imam Ali Ar-Ridha as.
Mata-mata yang mengintai gerakan Imam dan masyarakat segera melaporkan hasil pengawasannya kepada Ma’mun. Dia malah kuatir terhadap dampak yang akan muncul apabila Imam melanjutkan perjalanannya untuk melaksanakan shalat hari raya dan menyampaikan khutbah.
Ma’mun segera mengutus seseorang untuk menemui Imam Ar-Ridha as yang masih dalam perjalanan. Kepada beliau, ia menyampaikan pesan secara lisan, “Sungguh kami telah membuatmu kepayahan, wahai putra Rasulullah. Kami senang bila Anda istirahat. Untuk itu, kembalilah!”
Imam as kembali, sementara masyarakat bertanya-tanya. Sungguh mereka telah terpesona oleh sosok beliau yang mengingatkan mereka akan kerendahan hati ayah dan kakeknya.

Tujuan Ma’mun

Tak seorang pun yang mengingkari kelicikan dan muslihat Ma’mun dalam berpolitik, sebagaimana yang dia lakukan di balik penetapannya atas Imam Ali Ar-Ridha as sebagai pengganti kekhalifahannya. Tentu, ada maksud-maksud tertentu yang disembunyikan Ma’mun, di di antaranya:
1. Mengharapkan dukungan orang-orang Alawiyah yang ingin membalas dendam kepada pemerintahan Abbasiyah dan bertekad melakukan berbagai pemberontakan dan kerusuhan, yaitu dengan mengangkat Imam as sebagai penganti kekhalifahannya kelak dan mengganti pakaian hitam dengan pakaian hijau.
2. Merangkul orang-orang Alawiyah dengan cara melibatkan mereka dalam pemerintahan agar masyarakat mengetahui, bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanya karena ingin kekuasaan dan kesenangan, bahwa mereka tidak ingin menegakkan keadilan, tetapi tujuan mereka adalah untuk memperoleh harta kekayaan.
3. Ma’mun berusaha mengumpulkan tokoh-tokoh Alawiyah di ibu kota negara lalu melakukan penangkapan atas mereka, satu persatu, seperti yang terjadi pada Imam Ar-Ridha as.
Tentunya, Imam as mengetahui seluruh tipu-daya Ma’mun dan berusaha menggagalkannya dalam banyak kesempatan dan sikap beliau, seperti dalam diskusi dengan para pemuka agama, salat haru raya, dan syarat beliau atas Ma’mun agar tidak ikut campur dalam urusan negara dan politik.

Di’bil Al-Khuza’i

Pada masa itu, syair mendapat perhatian khusus dan penghargaan yang tinggi. Syair juga biasa ditempatkan pada surat-surat kabar untuk menyebarluaskan berita, seruan, ataupun maksud-maksud politik. Penguasa memberi dukungan dan imbalan yang besar untuk mengukuhkan pemerintahan mereka.
Sebagian penyair menolak bujukan pemerintah dan tetap teguh dalam mempertahankan kebenaran, sekalipun dalam keadaan serbakurang dan tertindas, sebagaimana yang dilakukan oleh pujangga Di’bil Al-Khuza’i.
Sejarah mencatat pertemuan Di’bil dengan Imam Ali Ar-Ridha. Abu Shalt Al-Hirawi meriwayatkan, “Di’bil menjumpai Imam Ar-Ridha as di Marv dan berkata, ‘Wahai putra Rasulullah, aku telah membuat syair dan aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak membacakan kepada seseorang sebelum engkau mendengarkannya.’
Imam as menyambutnya dan mengucapkan banyak terima kasih, lalu mempersilahkan untuk menyenandungkannya. Di antara bait-bait syair Di’bil ialah:
Kediaman-kediaman manusia suci
kini telah sunyi dari pengunjung.
Rumah wahyu tidak lagi
dituruni kabar-kabar langit.
Pusara di Kufah dan
yang lainnya di Thaibah (Baqi’),
pula yang di Fakh
senantiasa tercurah salawatku.
Dan pusara di Baghdad,
milik jiwa yang suci
Tercurahkan rahmat Sang Pengasih
dalam ruang-ruang kedamaian.
Imam lalu menyambutnya,
Pusara di Thus betapa besar
Dera nestapa yang menimpanya.
Di’bil dengan penuh keheranan bertanya, ‘Aku tidak pernah tahu, siapakah pemilik pusara itu?’
‘Itulah pusaraku, wahai Di’bil,” jawab Imam as.
Sang penyair melanjutkan senandung syairnya yang menyisipkan penderitaan dan musibah yang terus menerus menimpa Ahlulbait. Imam as menangis, dan air matanya berderai menghangatkan pipinya.
Imam memberikan 100 Dinar sebagai hadiah kepada Di’bil. Namun, ia merasa berat menerimanya, dan meminta dari beliau sehelai kain untuk mendapatkan berkah darinya. Imam menghadiahkan jubah dari bulu yang ditenun sebagai tambahan dari uang 100 Dinar.
Di’bil memohon diri. Dalam perjalanan pulang, ia dan kafilahnya dihadang oleh segerombolan perampok. Seluruh harta benda mereka dirampas. Sambil duduk membagi hasil rampasan, salah seorang perampok melantunkan satu bait puisi:
Aku melihat mereka membagi-bagi harta rampasan.
Di tangan mereka harta rampasan dari emas.
Mendengar bait itu, Di’bil bertanya kepada perampok tersebut, “Siapa yang membuat puisi tadi?”
“Ini puisi Di’bil”, jawabnya.
“Akulah Di’bil”, kata Di’bil memperkenalkan diri.
Para perampok itu pun segera mengembalikan harta-harta kafilah yang bersamanya dengan penuh hormat, serta meminta maaf kepada mereka.
Di’bil dan kafilahnya melanjutkan perjalanan sampai di kota Qom. Di sana, sebagian masyarakat berebut ingin menukar baju Imam dengan seribu Dinar, namun Di’bil menolaknya. Di tengah itu, datanglah sekelompok pemuda dari luar kota Qom menginginkan sepotong (secarik) dari pakaian Imam untuk mengambil berkah dengan imbalan 1000 Dinar. Maka, Di’bil pun merelakannya.
Ketika sampai di rumahnya, Di’bil mendapati istrinya menderita sakit di bagian matanya. Ia memeriksakannya, kepada satu tabib ke tabib yang lain. Tapi, mereka semua mengatakan, “Sudah tidak ada gunanya kamu mengobatinya, karena istrimu akan menderita kebutaan.”
Di’bil merasa sedih sekali. Tiba-tiba ia teringat potongan baju Imam. Kemudian dia melilitkannya di mata sang istri dari awal malam hingga esok harinya. Tatkala istri Di’bil terjaga, ia tidak merasakan sakit sedikit pun berkat keramat Imam Ali Ar-Ridha as.

Hari Kesyahidan

Setelah Ma’mun merasa jenuh dan putus asa membujuk Imam Ali Ar-Ridha as dengan kekuasaan, sementara beliau tetap teguh dan bersih dari kepentingan dunia, Ma’mun senantiasa mencari-cari kesempatan untuk membunuh beliau.
Di Baghdad, orang-orang Abbasiyah mengumumkan pembangkangannya. Lalu mereka membaiat orang-orang kaya sebagai khalifah pengganti Ma’mun, karena kuatir akan berpindahnya kekuasaan dan kekhalifahan ke tangan orang-orang Alawiyah.
Untuk menarik simpati mereka di Baghdad dan tetap mengakuinya sebagai khalifah, Ma’mun merencanakan pembunuhan terhadap Imam. Dia bubuhkan racun ganas di dalam anggur.
Imam as meninggal karena racun itu dan kembali ke haribaan Allah dalam keadaan syahid dan teraniaya.
Imam Ali Ar-Ridha as syahid pada tahun 203 H. dan dimakamkan di kota Thus (Masyhad, Iran).
Sementara itu, Ma’mun menampakkan dirinya sedih di hadapan masyarakat dengan tujuan menepis kecurigaan dan tuduhan mereka terhadapnya. Dia pun ikut serta mengantarkan jenazah suci Imam as dan berjalan tanpa alas kaki sambil menangis.[]

Mutiara Hadis Imam Ali Ar-Ridha

• “Barang siapa yang tidak berterima kasih kepada orang tuanya, maka dia tidak bersyukur kepada Allah SWT.”
• “Barang siapa yang selalu mengawasi dirinya, niscaya akan beruntung, dan barang siapa melalaikannya, pasti akan merugi.”
• “Sebaik-baik akal adalah kesadaran seseorang akan dirinya sendiri.”
• “Bila seorang mukmin marah, maka kemarahannya tidak akan mengeluarkan dirinya dari bersikap benar. Dan jika ia senang, maka kesenangannya tidak akan menghanyutkannya ke dalam kebatilan. Dan jika ia punya kekuatan, ia tidak akan merebut lebih dari haknya.”
• “Sesungguhnya Allah membenci orang-orang yang menceritakan kejelekan orang dan orang yang mendengarkannya serta orang yang banyak bertanya.”

Riwayat Singkat Imam Ali Ar-Ridha

Nama        : Ali.
Gelar        : Ridha.
Panggilan : Abu Hasan.
Ayah         : Musa Al-Kazhim as.
Ibu            : Najmah.
Kelahiran : Madinah, 11 Dzulqa’dah 148 H.
Wafat       : 203 H.
Makam    : Thus, Masyhad-Iran.

*****

Imam Ridha as Lahir
11 Dzulqa'dah tahun 138 Hijriah, Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s., Imam ke-delapan kaum muslimin dan keturunan Rasulullah Sawgenerasi ke-7, terlahir ke dunia di kota Madinah. Setelah wafatnya ayahanda Imam Ridha, yaitu Imam Musa Al-Kadhim as, Imam Ridha meneruskan tugas ayah beliau sebagai pemimpin dan pembimbing umat Islam. Khalifah Ma'mun dari Dinasti Abbasiah yang berkuasa saat itu, merasa khawatir atas pengaruh Imam Ridha di tengah umat Islam. Demi menarik simpati rakyat dan mencari legalitas atas kekuasaannya, Khalifah Ma'mun kemudian mengangkat Imam Ridha sebagai putra mahkota. Imam Ridha juga dipaksa untuk meninggalkan Madinah dan tinggal di Marv, di timur laut Iran dengan tujuan agar Khalifah Ma'mun dapat lebih mudah mengontrol segala perilaku Imam Ridha.

Namun, keinginan Ma'mun untuk menghilangkan pengaruh Imam Ridha atas umat Islam tidak tercapai. Ketinggian iman, ilmu, dan akhlak Imam Ridha telah menimbulkan pengaruh besar di kalangan rakyat Khurasan dan masyarakat menjadi sadar akan hakikat Ahlul Bait Rasulullah. Untuk menghancurkan popularitas Imam Ridha di tengah masyarakat, Ma'mun bahkan mengundang pemuka berbagai agama untuk berdebat dengan Imam Ridha. Namun, ketinggian ilmu Imam Ridha malah membuat para pemuka agama itu mengakui kebenaran Imam Ridha. Akhirnya, Ma'mun mengambil keputusan untuk membunuh Imam Ridha dengan cara meracuni beliau pada tahun 203 Hijriah. 

Salah satu hadis dari Imam Ridha as adalah sebagai berikut, "Orang yang akan dekat denganku di Hari Kiamat adalah orang yang selama di dunia berakhlak lebih baik dan bersikap lebih dermawan terhadap keluarganya.".

*****

IMAM KEDELAPAN: IMAM RIDHA AS


Ali bin Musa as, menurut sebagian pendapat, lahir di Madinah pada tanggal 11 Dzulkaidah tahun 148 Hijriah.  Ayahnya adalah Musa bin Ja’far as dan ibunya adalah Ummul Banin atau Najmah.
Imam Ali bin Musa memiliki sebutan “Abu Hasan”.  Julukan-julukannya adalah ar-Ridha, ash-Shabir, ar-Radhi, al-Wafi, az-Zaki, dan al-Wali.  Julukannya yang paling masyhur adalah ar-Ridha.  Imam Ridha as berpulang ke rahmat Allah pada akhir bulan Shafar tahun 203 Hijriah, di Propinsi Thus, Desa Senabad. Di desa itu pula ia dimakamkan.

Dengan demikian, usia Imam Ridha adalah lima puluh lima tahun.  Hidupnya bersama sang ayah sekitar tiga puluh tahun.  Periode imamah adalah sekitar dua puluh tahun.

Nash-Nash Imamah
Sebelumnya telah dikatakan bahwa dalil-dalil imamah secara global dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok:  pertama, dalil-dalil umum, yaitu dalil-dalil rasional dan tekstual yang dapat digunakan untuk membuktikan imamah setiap imam; kedua, dalil-dalil khusus, yaitu nash-nash yang dilontarkan setiap imam untuk membuktikan imamah imam setelahnya.  Dalam pasal ini, kami akan menyebutkan nash-nash imamah Ali Ridha as.

Syaikh Mufid ra menulis, “Di antara perawi-perawi yang terpercaya, bertakwa, berilmu, dan fakih, yang meriwayatkan nash-nash imamah Ali bin Musa ar-Ridha as adalah orang-orang berikut ini: Daud bin Katsir ar-Riqqi, Muhammad bin Ishaq bin Ammar, Ali bin Yaqtain, Nu’aim Qabusi, Husain bin Mukhtar, Ziyad bin Marwan, Al-Makhzumi, Daud bin Sulaiman, Nashr bin Qabus, Daud bin Zarabi, Yazid bin Salith, dan Muhamamd bin Sinan.”*

Daud ar-Riqqi menuturkan, “Aku berkata kepada Abu Ibrahim (Musa) as,  “Kukorban diriku untukmu sementara usiaku semakin bertambah.  Tariklah tanganku dan selamatkan aku dari api Jahanam.  Siapakah pemilik otoritas terhadap kami sepeninggalmu?”  Imam menunjuk putranya Abu Hasan dan berkata, “Inilah pemilik otoritas terhadap kalian sepeninggalku.”*

Muhammad bin Ishaq bin Ammar mengatakan kepada Abu Hasan yang pertama (Musa), “Tidakkah engkau tunjukkan kepadaku seseorang yang akan kupelajari darinya berbagai masalah agamaku?”  Beliau menjawab, “Inilah putraku, Ali, sebagaimana ayahku menggandeng tanganku dan membawaku ke dalam raudhah Rasulullah saw seraya berkata, “Putraku! Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Aku telah menjadikan khalifah di muka bumi.” Jika Allah telah berjanji, Dia akan melaksanakannya.”*

Husain bin Nu’aim ash-Shahaf mengatakan, “Aku, Hisyam bin Hakam, dan Ali bin Yaqtain (saat itu) tengah berada di Baghdad.” Ali Yaqtain berkata,  “Aku berada di hadapan Abdus Shalih (Musa) as dan dia berkata kepadaku, “Wahai Ali bin Yaqtain, inilah Ali, sayyid (tuan) putra-putriku.  Aku telah memberikan sebutanku (Abu Hasan, pent) kepadanya.”  Menurut riwayat lain, Imam Musa Kazhim berkata, “Aku telah memberikan kitab-kitabku kepadanya.”  Pada saat itu, Hisyam menepukkan tangannya ke dahi sembari berucap, “Wahai Ali!  Bagaimana kauucapkan omongan seperti itu?”  Ali bin Yaqtain menjawab, “Demi Allah, Aku berkata sebagaimana yang kudengar.”  Lalu Hisyam berkata, “Sungguh perkara imamah setelah Musa bin Ja’far akan berada pada dirinya (Ali ar-Ridha, peny.)”*

Nu’aim Qabusi mengatakan, “Abu Hasan Musa as berkata, “Putraku, Ali, adalah anak teragung, termulia, dan paling kucintai.”
Husain bin Mukhtar menuturkan, “Telah sampai kepada kami surat-surat dari Abu Hasan Musa as, saat ia di penjara, yang mengatakan, “Wasiatku kepada putraku yang agung untuk melaksanakan tindakan ini dan itu dan si fulan tidak dapat mendatangkan bahaya baginya hingga aku menemuimu atau ajal menjemputku.”*
Ziyad bin Marwan al-Qindi menyatakan, “Aku mendatangi Abu Ibrahim (Musa) as, yang saat itu tengah bersama putranya, Abu Hasan (Ali ar-Ridha).  Beliau berkata, “Wahai Ziyad! Ini adalah putraku. Tulisannya adalah tulisanku. Perkataannya adalah perkataanku dan utusannya adalah utusanku.  Apa pun yang dikatakannya adalah perkataanku.”*

Al-Makhzumi, yang ibunya keturunan Ja’far bin Abi Thalib, menuturkan, “Abu Hasan Musa as mengumpulkan kami dan berkata, “Tahukah kalian untuk maksud apa aku mengumpulkan kalian di tempat ini?” Kami menjawab, “Tidak.”  Ia berkata, “Saksikanlah bahwa putraku ini adalah penerima wasiat (washi) yang menduduki kedudukan (qaim maqom) dan pengganti (khalifah)-ku.  Siapa saja yang memiliki piutang dariku, tagihlah kepadanya!  Kepada siapa saja aku telah berjanji, dialah yang harus melaksanakan janji-janjiku.  Siapa pun yang terpaksa harus menemuiku harus dengan catatan dan wasiatnya.”*

Daud bin Sulaiman menuturkan, “Aku berkata kepada Abu Ibrahim (Musa) as,  “Aku khawatir terjadi sesuatu dan tidak lagi dapat menemuimu.  Beritakanlah kepada kami, siapakah imam sepeninggalmu?”  Ia berkata, “Putraku Fulan –maksudnya Abu Hasan Ali ar-Ridha as.”*

Nashr bin Qabus mengatakan, “Aku berkata kepada Abu Ibrahim as, “Aku bertanya kepada ayahmu, siapakah imam setelahnya?  Ia merekomendasikan engkau sebagai imam setelah dirinya.  Ketika ayahmu meninggal dunia, orang-orang pergi ke sana-sini untuk menentukan pengganti.  Akan tetapi, aku dan para sahabatku telah menerima imamah-mu.  Kini, katakan siapakah imam sepeninggalmu!”  Ia berkata, “Putraku Fulan.”*

Daud bin Zarabi menuturkan, “Aku membawa sejumlah uang ke hadapan Abu Ibrahim Musa as.  Ia menerima sebagian uang itu dan menolak sebagian yang lain. Aku bertanya, “Mengapa engkau tidak menerima sebagian uang yang lain dan mengembalikannya kepadaku?”  Ia menjawab, “Pemilik perkara ini (Imam Ali ar-Ridha, peny.) akan menagihnya darimu.”
Setelah Imam Musa as wafat, Abu Hasan Ridha as mengutus seseorang kepadaku untuk menagih uang itu dan aku pun menyerahkannya kepadanya.”*

Yazid bin Salith dalam kandungan hadis yang panjang menuturkan, “Abu Ibrahim as pada tahun wafatnya mengatakan kepadaku, “Tahun ini aku akan ditangkap dan dipenjarakan.  Dengan demikian, perkara imamah sepeninggalku akan beralih kepada putraku, Ali, yang senama dengan Ali dan Ali.  Ali yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib dan Ali yang kedua adalah Ali bin Husain as.  Putraku mewarisi pemahaman, ketabahan, wara’, zikir, dan agama dari Ali yang pertama serta mewarisi cobaan terhadap musibah-musibah dan kesabaran dari Ali yang kedua.”*

Muhammad bin Ismail bin Fadhl al-Hasyimi menuturkan, “Aku mendatangi Abu Hasan Musa bin Ja’far as saat ia sakit keras.  Aku berkata,  “Semoga Allah tidak berkehendak terjadi suatu peristiwa pada dirimu (kematian) karena kepada siapakah aku merujuk sepeninggalmu?”  Ia berkata, “Kepada putraku, Ali. Tulisannya adalah tulisanku dan ia akan menjadi washi dan khalifahku.”*

Abdullah bin Marhum mengatakan, “Aku keluar dari Basrah dan bergerak menuju Madinah.  Di tengah jalan, aku bertemu Abu Ibrahim Musa as yang tengah melakukan perjalanan ke Basrah.  Ia memberikan sejumlah surat kepadaku dan berkata, “Bawalah surat-surat ini ke Madinah dan serahkan kepada putraku, Ali.  Ia adalah washi yang menduduki kedudukan (qaim maqom) dan putra terbaikku.”*

Muhammad bin Zaid al-Hasyimi menuturkan, “Kini para Syiah berkewajiban menjadikan Ali bin Musa sebagai imam mereka.”  Lalu ditanyakan, “Mengapa?”  “Karena Abu Hasan bin Ja’far as telah menetapkannya sebagai washi-nya,” jawabnya.*

Haidar bin Ayyub mengatakan, “Aku berada di Madinah, di sebuah tempat bernama Qaba.  Muhammad bin Zaid bin Ali pun hadir di tempat itu tetapi terlambat datang.  Aku bertanya, “Kukorbankan jiwaku untukmu, mengapa engkau terlambat datang?”  Ia menjawab, “Abu Ibrahim memanggilku dan sejumlah putra-putra keturunan Ali dan Fatimah yang seluruhnya berjumlah tujuh belas orang.  Saat itu, beliau berkata kepada kami, “Jadilah kalian sebagai saksi bahwa putraku, Ali, adalah washi dan wakilku, yang telah kutetapkan pada masa kehidupanku dan setelah kematianku  sebagaimana kepemimpinan (amr)-nya akan berlaku.”
Setelah itu, Muhammad bin Zaid menambahkan, “Demi Allah! Setelah Musa bin Ja’far, mereka akan memilih putranya, Ali as, sebagai imam.”  Haidar berkata, “Semoga Allah memanjangkan umur Musa bin Ja’far. Namun, mengapa engkau dapat mengatakan hal itu?”  Ia menjawab, “Hai Haidar! Ketika telah menetapkan Ali sebagai washi-nya, Musa bin Ja’far telah menyerahkan imamah kepadanya.”  Ali bin Hakam mengatakan, “Meski telah mendengar semua itu, ketika meninggal dunia, Haidar masih ragu terhadap imamah Ali as.”*

Abdurrahman bin Hajjaj berkata, “Abu Hasan Musa as berwasiat kepada putranya, Ali as. Dalam kaitan dengan hal ini, ia menulis surat dan menjadikan enam puluh orang tokoh Madinah sebagai saksi.”*
Hasan bin Ali bin Khazzaz menuturkan, “Kami berangkat ziarah ke Mekkah.  Ali bin Abu Hamzah turut serta bersama kami dan membawa uang serta barang-barang.  Aku menanyainya, “Kemana uang-uang ini akan kaubawa?”  Uang-uang ini terkait dengan Abdus Shalih (Musa) as. Ia memerintahkan kami untuk menyerahkannya kepada putranya, Ali as.  Ia telah menetapkannya (Ali) sebagai washi-nya.”*

Ja’far bin Khalaf menuturkan, “Aku mendengar Abu Hasan Musa bin Ja’far as berkata, “Orang yang paling berbahagia adalah yang menyaksikan penggantiku sebelum kematian menjemputnya. Allah swt telah memberi petunjuk kepadaku (tentang) putraku, Ali ar-Ridha as, sebagai washi.”*

Musa bin Bakr berkata, “Aku berada di sisi Abu Ibrahim as yang mengatakan, “Ja’far Shadiq as berkata, “Orang yang paling berbahagia adalah orang yang sebelum ajal menjemput(nya) menyaksikan imamnya.”  Saat itu, ia menunjuk putranya, Ali as, dan berkata, “Allah swt menunjukkannya kepadaku sebagai khalifah (pengganti).”*

Ibn Faddhal menuturkan, “Aku mendengar Ali bin Ja’far as berkata, “Aku berada di sisi saudaraku, Musa bin Ja’far as.  Ia bersumpah demi Allah bahwa ia adalah hujjah Allah di muka bumi setelah ayahnya.  Ketika itu, putranya, Ali as, datang.  Musa bin Ja’far as mengatakan kepadaku, “Wahai Ali bin Ja’far!  Ia adalah pemilik otoritas (shahib)-mu.  Kedudukannya di sisiku seperti kedudukanku di sisi ayahku.  Semoga Allah mengukuhkanmu dalam agamamu!”
Kemudian aku menangis dan berkata dalam hatiku, “Saudaraku Musa sedang memberitakan kematiannya.”  Lalu Imam Musa berkata, “Wahai Ali, takdir Ilahi akan terjadi.  Rasulullah, Amirul Mukminin, Fatimah, Hasan, dan Husain adalah suri teladanku.”
Ucapan tersebut dilontarkan oleh Musa bin Ja’far as tiga hari sebelum ia ditangkap untuk kedua kalinya atas perintah Harun al-Rasyid.*

Dalam kaitan dengan imamah Ali bin Musa ar-Ridha as, kami juga memiliki hadis-hadis lain yang termaktub dalam kitab-kitab hadis tetapi untuk lebih ringkasnya, kami menghindari penyebutan semuanya.
Di samping itu, terdapat berbagai mukjizat yang terkait dengan Imam Ali ar-Ridha as dan tercatat dalam kitab-kitab hadis yang dapat bermanfaat untuk membuktikan imamah-nya.

Keutamaan dan Kepribadian Sosial
Imam Ridha as, seperti juga ayahnya, memiliki semua keutamaan dan kesempurnaan insani serta merupakan pribadi yang tersohor dan istimewa di tengah-tengah masyarakat pada zamannya.

Syaikh Mufid menulis, “Setelah Musa bin Ja’far as, putranya, Ali bin Musa ar-Ridha as, meraih imamah sebab ia lebih unggul daripada semua saudara dan Ahlulbaitnya.  Keilmuan, ketabahan, ketakwaan, dan kesungguhannya jelas di mata semua orang. Orang-orang khusus dan awam mengakui keutamaan dan kesempurnaannya dan ayahnya pun menerangkan imamah-nya.”*

Di tempat lain, Mufid menulis, “Ali bin Musa ar-Ridha as adalah manusia yang paling utama, paling berakal, paling mulia, serta paling berilmu dari seluruh saudaranya.”*

Ibrahim bin Abbas menuturkan, “Sama sekali aku tidak pernah melihat Imam Ridha as  berkata keras dengan seseorang atau memotong pembicaraan seseorang atau menolak orang yang membutuhkannya jika mampu memenuhi hajat orang itu.  Aku tidak pernah menyaksikan kakinya diulurkan di hadapan orang lain, bersandar pada saat kedatangan orang lain, memaki para hamba sahayanya, atau tertawa terbahak-bahak, bahkan tertawanya pun berupa senyuman.  Tatkala duduk di hadapan hidangan, ia pun menyuruh duduk semua hamba sahaya, pembantu, dan penjaga rumahnya di hadapan hidangan yang sama. Ia sedikit tidur dan banyak terjaga di malam hari. Kebanyakan malamnya ia lalui dalam keadaan terjaga hingga saat subuh. Ia sangat banyak berpuasa.  Ia tidak pernah meninggalkan puasa tiga hari dalam sebulan dan ia berkata, “Berpuasa tiga hari dalam setiap bulan memiliki pahala puasa dahr (setiap hari hingga akhir hayat, pent). Perbuatan ihsan dan sedekahnya dilakukan secara diam-diam dan pada malam hari.  Jika ada orang yang mengira telah melihat lebih baik daripadanya, janganlah kalian percayai!”*

Ibnu Sibagh al-Maliki menulis, “Setiap orang yang mencermati ihwal Ali bin Musa akan mengerti bahwa beliau telah mewarisi kakeknya, Ali bin Abi Thalib dan Ali bin Husain as.   Ia memiliki iman yang kukuh dan kedudukan yang tinggi.  Begitu banyak pendukungnya dan argumentasi-argumentasinya jelas sehingga Khalifah al-Makmun pun menempatkan beliau di hatinya dan mengikutsertakannya dalam urusan kenegaraan.  Ia (al-Makmun) menyerahkan perkara khilafah setelah dirinya kepada beliau dan menikahkan putrinya dengannya di hadapan khalayak umum.  Ia memiliki keutamaan-keutamaan (manaqib) yang tinggi dan sifat-sifat yang mulia.  Dalam kemuliaan diri, ia adalah seorang Hasyimi dan mempunyai akar kenabian.”*

Ziyad bin Marwan menuturkan, “Aku berada di sisi Musa al-Kazhim.  Abu Hasan ar-Ridha pun berada di sana.  Imam Musa berujar kepadaku, “Ini adalah putraku, Ali as.  Tulisannya adalah tulisanku, perkataannya adalah perkataanku, dan utusannya adalah utusanku.  Setiap yang ia katakan adalah benar.”*

Al-Makmun, dalam sebuah surat yang berisi pengangkatan putra mahkota (penerus khilafah) yang dikirim kepada Ali bin Musa ar-Ridha as menulis, “Sejak permulaan khilafah, saya senantiasa berusaha menemukan orang terbaik sebagai penerus kekuasaan saya.  Setelah melalui pencarian, saya tidak menemukan seseorang yang lebih layak menduduki posisi ini daripada Abu Hasan Ali bin Musa ar-Ridha as karena saya telah menyaksikan keutamaan, keilmuan, dan ketakwaannya yang lebih unggul daripada semua manusia.  Ia berpaling dari dunia dan dari para penyembah dunia serta mengutamakan akhirat daripada dunia.  Saya yakin terhadap hal ini dan ini merupakan hal yang disepakati.  Oleh karena itu, saya mengangkatnya sebagai putra mahkota (penerus kekuasaan) saya.”*

Abu Shalt mengatakan, “Al-Makmun berkata kepada Ali bin Musa as, “Wahai putra Rasulullah! Karena keutamaan, keilmuan, kezuhudan, dan ibadahmu telah terbukti bagiku, aku menilai dirimu lebih layak menggantikan diriku.”*

Ilmu dan Pengetahuan 
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dan dibuktikan melalui dalil-dalil rasional (aqliy) dan tekstual (naqliy), salah satu syarat terpenting seorang imam adalah mengetahui keseluruhan masalah yang berkaitan dengan agama dan tanggung jawab terbesar imam adalah menjaga, menyebarkan, dan menerapkan hukum serta undang-undang agama. Pada prinsipnya, falsafah imamah mesti didapati pada pelaksanaan tanggung jawab penting ini.  Semua imam adalah demikian dan Imam Ridha pun demikian pada zamannya.

Pada periode dua puluh tahun imamah-nya, ia melakukan upaya penyebaran hukum-hukum agama dan mendidik para murid terpelajar dengan tulus.  Berkat upaya beliau, para murid, dan perawinya yang tulus, tersebarlah sejumlah besar hadis yang contoh-contohnya dapat ditelaah dalam kitab-kitab hadis.

Terdapat hadis-hadis dari beliau as yang sampai kepada kita dalam semua persoalan yang berkaitan dengan agama, seperti makrifatullah (mengenal Allah), tauhid, sifat-sifat kesempurnaan dan kesucian Allah swt, penciptaan alam semesta dan falsafahnya, keadilan Ilahi, jabr (determinasi) dan ikhtiar (free will), qadha dan qadar, kenabian dan falsafahnya, kemaksuman, ilmu dan imamah serta syarat-syarat imam dan falsafah imamah, akhlak mulia dan akhlak tercela, aneka ragam hal yang diharamkan dan dosa serta balasannya dan berbagai bab fikih.

Jika merujuk kitab-kitab hadis, akan kita saksikan hadis-hadis yang berkaitan dengan tema-tema tersebut dan puluhan lainnya yang semacam itu.  Di samping hadis-hadis itu, terdapat pula sejumlah dialog dan kajian ilmiah dengan para penguasa saat itu, ulama, serta tokoh-tokoh dari berbagai agama yang tercatat dalam buku-buku sejarah dan hadis.

Melalui telaah dan kajian terperinci tentang hadis dan dialog ilmiah beliau, kita dapat mengetahui kedudukan keilmuannya.*

*****
(al-shia.org/wikipedia/ibrahimamini/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top