SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany

Sebagian besar argumen filosofis telah digunakan untuk menetapkan wujud yang dikenal sebagai wajibul wujud, Tuhan. Jika argumen itu ditambahkan dengan argumen-argumen yang lain, maka akan dapat tertetapkan sifat-sifat yang mesti dan tidak mesti bagi wajibul wujud.

Denga argumen-argumen itu, kita mengenal Tuhan dengan segala sifat-Nya yang khas yang membedakan dzat-Nya dari makhluk-makhluk-Nya. Jika sekedar menetapkan bahwa Tuhan itu adalah wajibul wujud maka tidaklah memadai untuk mengenal Dia sebagaimana mestinya.

Dari aspek itulah, sangat urgen untuk menetapkan sifat-sifat yang tidak mesti bagi Tuhan, supaya kita dapat mengetahui bahwa Dia itu suci dari sifat-sifat yang khusus pada makhluk-makhluk-Nya, yang tidak mungkin dinisbahkan pada dzat-Nya.

Pada dimensi lain, kita perlu menegaskan sifat-sifat yang mesti bagi Tuhan, supaya menjadi nyata bahwa Dialah yang layak untuk disembah. Begitu pula, masalah itu akan berkonsekuensi pada penetapan doktrin-doktrin keimanan Islam lainnya seperti keadilan Tuhan, kenabian, keimamahan, dan eskatologi (alam akhirat).


Pada argumen tentang penegasan wujud Tuhan, kita sampai pada kesimpulan bahwa wujud Tuhan itu tidak membutuhkan sebab lagi. Karena Dialah sebab bagi semua realitas yang mungkin. Dibawah ini  terdapat dua sifat bagi Tuhan sebagai wajibul wujud:

Pertama, bahwa wajibul wujud tidak butuh kepada selain-Nya, karena kalau ia butuh kepada wujud yang lain sekecil apa pun, maka wujud yang lain itu merupakan sebab bagi-Nya. Dan telah kita ketahui  makna sebab dalam filsafat, yaitu bahwa wujud sesuatu itu dibutuhkan untuk keberadaan sesuatu yang lain.

Kedua, bahwa segala yang mungkin (mumkinul wujud) adalah akibat dan butuh kepada sebab. Jadi, wajibul wujud merupakan sebab utama bagi kemunculan dan keberadaan wu-jud-wujud mungkin tersebut.
Berdasarkan dua kesimpulan ini, kami berusaha  membahas konsekuensi masing-masing yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut. Kita juga akan membuktikan adanya sifat-sifat tidak mesti dan sifat-sifat mesti bagi wajibul wujud.

Manusia memiliki dua bentuk pengenalan terhadap Tuhan, yaitu:
  1. Pengenalan hudhuri yang bersumber langsung dari pertalian sebab-akibat antara Wajib al-Wujud dan mumkin al-wujud (makhluk) dan keniscayaan kebergantungan wujud manusia kepada Tuhan;
  2. Pengenalan hushuli yang terwujud lewat akal-pikiran dan pemahaman-pemahaman teoritis manusia. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa pengenalan semacam ini tidak berhubungan dengan pengenalan hakikat dzat Tuhan, melainkan pengenalan yang hanya berkaitan dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Oleh karena itu, pengenalan hushuli kita kepada Tuhan yang murni dihasilkan dari pemahaman-pemahaman akal-pikiran hanya berkaitan dengan sifat dan perbuatan Tuhan. Dari sini kita bisa memberikan penekanan yang lebih pada pembahasan sifat-sifat Tuhan dan perannya dalam pengenalan Tuhan, karena dengan semakin dalam dan luas pengenalan kita atas sifat-sifat Tuhan maka akan mencapai kesempurnaan pengenalan terhadap-Nya.

Tentunya, pada pembahasan pembuktian wujud Tuhan kita telah mengenal sifat semacam keniscayaan wujud (wujub al-wujud) dimana kemudian kita mengenal Tuhan dengan sifat tersebut. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa Tuhan memiliki begitu banyak sifat dimana untuk mencapai pengenalan terhadap-Nya secara sempurna mengharuskan kita untuk mengenal sifat-sifat tersebut secara lebih luas. Oleh karena itu, dalam masalah ini, tidak seharusnya kita mencukupkan diri dengan membatasi pengenalan hanya pada beberapa sifat-Nya saja.

Urgensi pembahasan sifat Tuhan adalah adanya perbedaan pemahaman di kalangan para penyembah Tuhan dan monoteis, yang walaupun mereka menganut konsep keesaan Tuhan, tapi di antara mereka terdapat perbedaan yang tajam sehingga seakan-akan masing-masing mereka menyembah Tuhan yang berlainan. Sebagai misal, seseorang yang menganggap Tuhan memiliki anggota badan yang senantiasa hilir mudik di antara langit dan bumi, dengan seseorang yang menganggap Tuhan suci dari sifat-sifat jasmani semacam ini, masing-masing mereka ini memiliki dua kesimpulan yang sangat berbeda dalam mengenal Tuhan-nya. Demikian juga, seseorang yang mengenal Tuhan dengan meyakini bahwa kodrat Tuhan adalah terbatas atau menganggap-Nya tidak mengetahui peristiwa yang bakal terjadi, akan sangat berbeda dengan seseorang yang percaya terhadap kemutlakan ilmu dan kodrat Tuhan.

Oleh karena itu, dengan memperhatikan adanya ikhtilaf-ikhtilaf tajam dalam masalah sifat-sifat Tuhan yang muncul di kalangan para penyembah Tuhan ini, maka penganalisaan yang teliti dan akurat pada pembahasan ini sangat signifikan untuk menemukan pandangan yang paling benar dan komprehensip terhadap Tuhan.

Nama, Sifat, dan Perbuatan
Pada pembahasan yang berkaitan dengan pengenalan Tuhan, kita akan banyak bertemu dengan tiga istilah seperti asma (nama-nama) Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan perbuatan-perbuatan Tuhan. Poin yang perlu mendapatkan perhatian di sini adalah bahwa istilah-istilah ini pada cabang-cabang keilmuan yang berbeda kadangkala muncul dengan arti yang berbeda pula, dan tidak senantiasa memiliki satu makna yang konstan. Karena pembahasan kita berada pada wilayah ilmu kalam (teologi), maka yang penting bagi kita adalah makna istilah sebagaimana yang dimaksud oleh para teolog atau mutakallim. Dalam literatur ilmu kalam, istilah “sifat Ilahi” lebih banyak digunakan. Istilah ini terkadang digunakan sama dengan asma (nama-nama). Kata-kata seperti ‘âlim, ‘alîm“, qâdir, hayyu, dan murîd … dikatagorikan sebagai sifat dan asma Ilahi. Kadangkala terdapat pula perbedaan antara sifat dan asma Tuhan ini dimana berdasarkan hal tersebut, kata-kata semacam ‘ilm, kodrat, hayât dan … adalah merupakan sifat-sifat Tuhan sedangkan kata-kata seperti ‘âlim, ‘alîm, qâdir, hayyu dan … merupakan asma Tuhan.

Jumlah asma Tuhan sangat sedikit dan hanya berkisar pada kata-kata semacam Allah dalam bahasa Arab dan Khudo dalam bahasa Persia atau Tuhan dalam bahasa Indonesia, akan tetapi sifat-sifat Tuhan sangat banyak seperti ‘âlim, hayyu, murîd, qâdir, … dan lain yang sejenisnya. Walhasil, yang dimaksud dengan “sifat” pada pembahasan kita kali ini adalah kata yang dinisbahkan kepada Tuhan dan terpredikasi pada dzat Ilahi.

Keluasan Tema Sifat Ilahi dalam Teologi
Pentingnya pembahasan sifat Ilahi dalam ilmu kalam menjadikannya dikaji secara meluas dan menjadi wacana yang senantiasa hangat. Hadirnya berbagai dimensi pembahasan yang partikular dan mendetail yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya, menjadikan pembahasan ini semakin rumit. Di sini, kami berupaya semaksimal mungkin untuk memperkenalkan tolok ukur dan aspek-aspek utama pembahasan sehingga bisa menyajikan pembahasan ini secara lebih sistimatis.

Pembahasan yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan bisa kita analisa dalam dua tahapan global:
  1. Pembahasan sifat secara umum. Pada tahapan ini kita akan mempelajari hukum-hukum dan masalah-masalah sifat secara umum, tanpa memperhatikan adanya sifat-sifat khusus. Tahapan ini biasa disebut “Keuniversalan sifat-sifat Tuhan“;
  2. Pembahasan khusus terkait dengan masing-masing sifat. Setelah menyelesaikan pembahasan hukum-hukum sifat Tuhan secara umum, pembahasan pada tahapan ini akan difokuskan pada sifat-sifat khusus Tuhan yang utama, seperti ilmu, kodrat, hidup, dan lain-lain.

Bisa juga kedua tahapan pembahasan itu di golongkan dalam salah satu bagian dari setiap tahapan pembahasan di bawah ini:
  1. Pembuktian kesatuan dzat dan sifat-Nya. Pada tahapan ini, pembicaraan berkisar tentang pembuktian kesatuan dzat Tuhan dengan sifat-sifat-Nya. Bahasan ini, pada tahapan pertama (dari dua tahapan tersebut di atas) berhubungan dengan pembuktian umum kesatuan dzat Tuhan dengan seluruh sifat sempurna-Nya. Dan pada tahapan kedua, menyajikan argumentasi-argumentasi atas kesatuan dzat Ilahi dengan masing-masing sifat. Sebagai contoh, pada tahapan akhir, disajikan argumentasi atau dalil-dalil yang menyatakan bahwa Tuhan adalah ‘âlim, qâdir, hayyu, dan lain sebagainya;
  2. Penjelasan sifat Ilahi dan karakteristiknya. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang makna dari masing-masing sifat Ilahi dan karakteristik-karakteristiknya yang membedakannya dengan sifat-sifat makhluk.

Di bawah ini akan kami sajikan pokok-pokok utama pembahasan ilmu kalam tentang sifat-sifat Tuhan, yang pembahasan kami nantinya akan berpijak pada pokok-pokok tersebut. Bagian paling pokok dan mendasar adalah pembahasan dalam tahapan pertama (pembahasan umum sifat) adalah sebagai berikut:
  1. Pengelompokan sifat-sifat. Pada pembahasan ini disajikan pengelompokan masyhur yang disusun oleh para teolog dalam masalah sifat-sifat Ilahi dan juga akan didefinisikan istilah-istilah yang berkaitan dengan masing-masingnya;
  2. Probabilitas pengenalan sifat-sifat Ilahi. Pada bagian ini, disajikan solusi atas masalah fundamental yang terkait dengan kemungkinan pengenalan sifat-sifat Tuhan. Demikian juga akan diketengahkan sebagian pandangan dalam ilmu kalam atas kemungkinan dan kemustahilan pengenalan sifat-sifat Tuhan;
  3. Metodologi pengenalan sifat-sifat. Setelah menjelaskan tentang adanya kemungkinan pengenalan sifat-sifat akan dilanjutkan dengan menganalisa metode dan perangkat yang digunakan dalam proses pengenalan yang berada dalam jangkauan dan kewenangan manusia;
  4. Penjelasan makna sifat-sifat Ilahi. Pada pembahasan ini dijelaskan tentang maksud dari sifat-sifat yang sama antara Tuhan dengan makhluk-Nya yang kemudian sifat-sifat homogen ini dinisbahkan pada Tuhan, begitu pula akan dibahas perbedaan antara sifat Tuhan dan sifat makhluk-Nya;
  5. Pembuktian Umum atas sifat-sifat sempurna Tuhan. Pembahasan ini meliputi penyajian argumentasi-argumentasi umum atas kemestian Tuhan memiliki sifat-sifat sempurna;
  6. Hubungan hakiki antara dzat Tuhan dan sifat-sifat. Pada bagian ini akan dijelaskan bahwa sifat-sifat Ilahi identik dengan dzat-Nya, dan tidak ada perbedaan antara keduanya. Pembahasan ini juga dikaji dalam pasal Tauhid Sifat;
  7. Penetapan Tuhan atas asma dan sifat-sifat-Nya sendiri. Pertanyaan mendasar dalam pembahasan ini adalah apakah dalam penyifatan Tuhan mesti sesuai dengan asma dan sifat-sifat Tuhan yang disebutkan dalam al-Quran dan riwayat, ataukah penyifatan Tuhan bisa dengan menggunakan setiap sifat yang menunjukkan kesempurnaan.

Pada tahapan kedua yaitu pembahasan khusus tentang sifat-sifat dan juga sebagian dari sifat-sifat utama dianalisa dalam beberapa sudut pandang di bawah ini:
  1. Penjelasan mendetail tentang makna masing-masing sifat;
  2. Penyajian argumentasi khusus atas kesatuan dzat Tuhan dengan masing-masing sifat;
  3. Membahas berbagai keraguan dan pertanyaan yang berkaitan dengan sebagian dari sifat-sifat Tuhan.

Pengelompokan Sifat-sifat Tuhan 
Dalam pembahasan ilmu kalam biasanya sifat-sifat Tuhan dikelompokkan berdasarkan berbagai sudut pandang, dan setiap bentuk pembagian itu memiliki nama-nama khusus. Pada kesempatan ini, sebelum memasuki pembahasan selanjutnya kami akan menyiratkan pembagian sifat-sifat dan istilah-istilah khusus yang sering digunakan:

1. Sifat mesti dan tidak mesti
Salah satu pengelompokan yang sering digunakan dalam sifat Tuhan adalah sifat mesti (tsubuti) dan tidak mesti (salbi). Sifat tsubuti menjelaskan dimensi kesempurnaan Tuhan dan menetapkan bahwa kesempurnaan itu mesti ada, nyata, dan hakiki pada dzat Tuhan. Pada sisi lain, sifat salbi menunjukkan pada ketiadaan penisbahan Tuhan atas sifat-sifat yang tak sempurna dan menafikan dzat Tuhan dari segala bentuk ketaksempurnaan, keterbatasan, dan kekurangan. Karena ketaksempurnaan dan kekurangan merupakan salb atau negasi kesempurnaan itu sendiri maka hakikat sifat negasi diibaratkan sebagai negasi dari negasi kesempurnaan dan karena negasi dari negasi akan menjadi positif, maka sifat salbi atau negasi pada akhirnya akan berujung pada kesempurnaan dzat Tuhan. Berdasarkan hal ini, sifat ilmu, kodrat, iradah, dan hidup merupakan sifat-sifat tsubuti Tuhan dan sifat non-materi, tak-bergerak merupakan sebagian dari sifat-sifat salbi atau negasi Tuhan.

Dari penjelasan tersebut, menjadi jelas bahwa sifat negasi sama sekali tidak menunjukkan adanya kekurangan pada dzat Tuhan, melainkan sebagaimana sifat tsubuti yang menghikayatkan kesempurnaan dzat Tuhan. Karena pada dasarnya, sifat-sifat negasi menetapkan ketidaklayakan sifat-sifat untuk Tuhan dan mengandung kemestian penolakan ketaksempurnaan dan kelemahan pada dzat Tuhan. Sebagai misal, bergeraknya suatu maujud menunjukkan ketaksempurnaannya, karena gerak bermakna bahwa sesuatu yang bergerak tersebut pada awalnya tidak memiliki kesempurnaan khas dan setelah melakukan gerakan ia mencapai kesempurnaan. Jelas, bahwa makna semacam ini tidak sesuai untuk kesempurnaan mutlak Tuhan, oleh karena itu, gerak harus tiada pada dzat Tuhan. Penolakan sifat gerak ini yaitu penafian gerak, pada akhirnya akan berujung pada pembuktian atas kesempurnaan Tuhan, karena penafian ketaksempurnaan sesuatu tidak lain adalah pembuktian kesempurnaan sesuatu. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sifat tak bergerak merupakan salah satu sifat negasi atau salbi Tuhan.

Kadangkala dikatakan bahwa sifat jasmani, gerak, materi dan semisalnya merupakan sifat negasi Tuhan, karena sifat-sifat itu ternegasikan pada dzat Tuhan. Akan tetapi anggapan ini salah karena sifat negasi juga disandarkan pada Tuhan sebagaimana sifat tsubuti. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa ketakjasmanian, ketakbergerakan, ketakmaterian, dan lain sebagainya merupakan sifat-sifat negasi Tuhan. Oleh karena itu, berlawanan dengan anggapan sebagian, maksud dari sifat negasi bukanlah bermakna bahwa sifat ini dinegasikan dari Tuhan, melainkan maksudnya adalah bahwa sifat-sifat ini meniscayakan penolakan ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan. Memang terdapat perbedaan yang sangat halus dari penafsiran atas sifat negasi ini yang kurang mendapat perhatian.

Mungkin di sini akan muncul pertanyaan, apabila maksud dari sifat negasi akhirnya berujung pada pembuktian kesempurnaan Tuhan (misalnya Tuhan non-materi), lalu kenapa kesempurnaan yang tertetapkan itu (kenon-materian Tuhan) tidak langsung dikategorikan pada sifat tsubuti, bukankah dengan mengetengahkan pengertian yang menunjukkan ketaksempurnaan kemudian dinegasikan kembali, membuat pembahasan yang semula pendek menjadi panjang dan tema yang semula mudah menjadi rumit?
Dalam menjawab pertanyaan ini bisa dikatakan bahwa yang benar adalah bahwa setiap sifat negasi senantiasa  memestikan satu sifat tsubuti, akan tetapi kadangkala makna negasi secara khusus apabila dikomparasikan dengan makna tsubuti lebih akrab dan lebih mudah dipahami oleh pikiran masyarakat umum dan lebih banyak digunakan dalam bahasa-bahasa umum. Sebagai contoh, non-jasmani atau non-materi Tuhan yang meniscayakan sifat tajarrud (immateriality, spirituality) Tuhan, dalam pikiran masyarakat umum makna non-jasmani dan non-materi lebih mudah dipahami daripada makna tajarrud.

Poin lain dalam penjelasan sifat negasi adalah bahwa sifat ini secara langsung dan tegas menegasikan segala bentuk ketaksempurnaan Tuhan dan menunjukkan perbedaan nyata antara Tuhan dan makhluk-Nya. Ketika dikatakan bahwa Tuhan bukan jasmani atau Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu, maka hal ini menegaskan perbedaan riil antara Tuhan dan makhluk-Nya yang jasmani dan terikat dengan tempat dan masa. Berbeda dengan sifat tsubuti tidak tegas menunjukkan perbedaan antara Tuhan dengan makhluk-Nya.

2. Sifat dzat dan sifat perbuatan
Sesungguhnya sifat-sifat yang dinisbatkan kepada Allah, adakalanya berupa konsep-konsep (gambaran di mental) yang diperoleh akal dari pengamatannya atas zat Allah, sambil menekankan bahwa sifat-sifat tersebut mencakup berbagai kesempurnaan seperti; sifat hidup (Al-Hayah), ilmu (Al-‘Ilm), dan kuasa (Al-Qudrah) dan sifat-sifat lainnya. Atau, ada-kalanya sifat-sifat itu berupa konsep-konsep yang diperoleh akal dari pengamatannya atas bentuk-bentuk hubungan antara Allah swt dengan makhluk-makhluk-Nya seperti; penciptaan (Al-Khaliqiyah) dan pemberian rizki (Ar-Razikiyah). Kelompok pertama disebut sebagai sifat–sifat dzatiyah, dan kelompok kedua sebagai sifat-sifat fi’liyah.  

Perbedaan mendasar antara dua sifat tersebut ialah bahwa sifat-sifat pada kelompok pertama merupakan realitas objektif yang nyata bagi dzat Ilahi yang suci-Nya. Adapun sifat-sifat pada kelompok kedua merupakan relasi  (nisbah) antara Allah dan makhluk-Nya. Di sini, dzat Allah dan dzat makhluk-Nya merupakan dua sisi relasi,  misalnya Al-Khaliqiyah. Sifat ini diperoleh dari hubungan yang terdapat pada makhluk-makhluk-Nya dengan dzat Allah. Dalam hal ini, Allah swt. dan seluruh makhluk merupakan dua sisi hubungan tersebut. Akan tetapi  dalam realitasnya,  tidak terdapat apa pun selain dzat Allah yang suci dan dzat-dzat makhluk-Nya. Artinya bahwa Al-Khaliqiyah itu bukanlah sebuah realitas yang nyata.

Sudah jelas bahwa pada tataran dzat, Allah swt. memiliki sifat Al-Qudrah (kekuasaan) untuk mencipta. Akan tetapi, sifat ini merupakan sifat dzatiyah. Adapun Al-Khalq (penciptaan) merupakan mafhum idlafi (konsep relasional) yang diperoleh pada tataran tindakan Allah. Oleh karena itu, Al-Khaliq (pencipta) termasuk sifat fi’liyah. Lain halnya jika kita menafsirkan  Al-Khaliq (pencipta) dengan Al-Qadir ‘alal khalq (kuasa untuk mencipta), dalam hal ini ia kembali kepada sifat dzatiyah, yakni  Al-Qudrah

Sifat-sifat dzatiyah Allah yang penting ialah Al-Hayah (hidup), Al-‘Ilm (tahu), dan Al-Qudrah (kuasa). Adapun sifat mendengar (As-Sami’) dan melihat (Al-Bashir), apabila kita tafsirkan kedua sifat ini bahwa Allah mengetaui apa saja yang didengar dan apa saja yang dilihat, atau kuasa untuk men-dengar dan melihat, maka kedua sifat tersebut menginduk  kepada Al-‘Alim dan Al-Qadir (Mahatahu dan Mahakuasa). Namun, jika maksud kedua sifat itu adalah mendengar dan melihat secara tindakan  (fi’li) yang dicerap akal dari hubungan Dzat Yang Mahadengar dan Mahalihat dengan segala sesuatu yang mungkin untuk didengar dan dilihat, maka kedua sifat tersebut harus digolongkan ke dalam sifat fi’liyah. Sebagimana sifat ilmu terkadang digunakan dengan pengertian demikian ini. Istilah seperti ini dinamakan sebagai ilmu fi’li.

Sebagian mutakalimin menggolongkan sifat berkata (Al-Kalam) dan berkehendak (iradah) ke dalam sifat dzatiyah, yang Insya Allah  hal ini akan kita bahas pada bagian berikutnya. 

Menetapkan Sifat-sifat Dzat Tuhan
Cara yang paling mudah untuk menetapkan sifat Al-Hayah, Al-Qudrah dan Al-‘Ilm pada Allah swt. adalah sebagai berikut; bahwa tatkala konsep (dari sifat-sifat) tersebut berlaku pada makhluk-makhluk, ia merupakan kesempurnaan bagi mereka. Konsekuensinya adalah sifat-sifat itu pun terdapat pada Sebab Pengada dalam bentuk yang lebih mulia dan lebih sempurna. Karena, setiap kesempurnaan yang ada pada makhluk manapun bersumber dari Sebab Pengada, yaitu Allah swt. Dengan demikian, Dia pasti memiliki sifat-sifat  tersebut sehingga menganugerahkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Sebab, tidak mungkin suatu dzat adalah sebagai Pencipta kehidupan, sementara Dia sendiri tidak memilikinya, atau menganugerahkan pengetahuan dan kekuasaan kepada makhluk-makhluk-Nya, sementara Dia sendiri jahil dan lemah. Jelas, bahwa setiap yang tidak memiliki sesuatu tidak akan dapat memberikan sesuatu kepada selainnya (Faqidu As-Syai La Yu’thihi).

Maka itu, keberadaan sifat-sifat kesempurnaan pada sebagian makhluk-Nya merupakan dalil atas keberadaan sifat-sifat tersebut pada Al-Khaliq (pencipta) tanpa berkurang dan terbatas. Artinya, Allah swt. memiliki sifat hidup, ilmu dan kuasa secara mutlak dan tak terbatas. Untuk selanjutnya, kami akan membahas masing-masing dari ketiga sifat tersebut secara lebih luas.


Sifat dzat merupakan salah satu kesempurnaan Tuhan, terpancar dari dzat Tuhan dan dipredikasikan pada dzat-Nya, sebagai contoh, salah satu dari kesempurnaan Ilahi adalah Dia mampu melakukan setiap perbuatan yang mungkin. Akal dengan memperhatikan kesempurnaan ini akan mendapatkan makna “kodrat” lalu menisbahkannya kepada dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat perbuatan diperoleh dari hubungan khusus antara dzat Tuhan dan maujud-maujud lain. Sebagai contoh, Tuhan memiliki hubungan kepenciptaan dengan eksistensi-eksitensi lain, dimana dengan memberikan wujud pada eksistensi-eksistensi tersebut berarti Dia mengeluarkan mereka dari “alam ketiadaan”. Dengan memperhatikan adanya hubungan khusus ini, kita akan menetapkan sifat mencipta pada-Nya lalu menyebut-Nya sebagai Pencipta (Khâliq).

Dari gambaran di atas, menjadi jelas bahwa untuk menjelaskan Tuhan dengan sifat dzat cukup dengan memandang pada dzat Ilahi saja, dan kita tidak perlu lagi menggambarkan sesuatu yang berada di luar dzat-Nya. Hal ini berbeda pada sifat perbuatan, karena selain kita harus memperhatikan dzat Tuhan, kita juga harus memperhatikan “hal-hal” yang lain yang terkait dengan-Nya.[1] Sebagai contoh, apabila kita ingin menyifati Tuhan dengan sifat Pencipta maka langkah pertama, kita harus memandang eksistensi lain yang diciptakan oleh-Nya, dan kemudian dengan memandang hubungan Tuhan dengan eksistensi tersebut, kita akan menisbahkan sifat mencipta pada-Nya. Dengan ibarat lain, sumber perolehan sifat dzat adalah dari dzat Tuhan itu sendiri, akan tetapi sifat perbuatan terambil dari perbuatan Tuhan, dengan arti bahwa dengan memperhatikan perbuatan-Nya sendiri akan tersifati dengan sifat ini.

Dengan memperhatikan kajian di atas, sifat-sifat semacam ilmu, kodrat dan hidup merupakan sebagian dari sifat-sifat dzat Tuhan dan sifat-sifat semacam pemberi nikmat, rahmat, hidayah, dan lain-lain adalah termasuk sifat-sifat perbuatan Tuhan. Tentu saja sebagaimana yang akan kami bahas pada tema-tema selanjutnya, sebagian dari sifat-sifat (seperti ilmu atau iradah) dari satu sisi bisa dikatakan sifat dzat dan dari dimensi lain terkadang disebut sifat perbuatan.

3. Sifat tetap dan tambahan
Di sini terdapat pula pengelompokan ketiga yakni sifat Tuhan dibagi menjadi dua bagian yaitu sifat tetap dan tambahan. Sifat tetap (nafsi) merupakan sifat-sifat mandiri dan bukan merupakan tambahan dari yang lain, akan tetapi sifat tambahan merupakan sifat yang lahir akibat tambahan dari yang lain. Sebagai contoh, hidup merupakan sifat tetap akan tetapi ilmu, kodrat dan iradah merupakan sifat-sifat tambahan, karena makna ilmu bersumber dari hubungan dengan obyek yang diketahui dan makna kodrat berhubungan dengan sesuatu yang dikuasai serta makna iradah terkait dengan sesuatu yang dikehendaki.[2]

4. Sifat dzat dan khabar
Pengelompokan ini khusus pada Ahli Hadis. Maksud dari sifat dzat di sini adalah sifat yang menunjukkan kesempurnaan dzat Tuhan. Pada sisi yang lain, sifat khabar adalah sifat yang terdapat dalam teks-teks suci agama (al-Quran dan hadis) yang dinisbahkan pada Tuhan. Apabila memperhatikan makna lahiriahnya, hal ini akan meniscayakan kematerian dan kejasmanian Tuhan serta kemiripan-Nya dengan makhluk-makhluk materi. Sebagai contoh, dalam al-Quran terdapat ayat yang secara lahiriah memperkenalkan Tuhan sebagai suatu realitas yang memiliki organ dan anggota badan seperti muka, tangan dan mata. Berdasarkan pembagian ini, sifat-sifat tersebut yaitu Tuhan memiliki wajah, tangan dan mata merupakan sifat khabar, karena konsekuensi penerimaan makna lahiriah dari sifat-sifat itu ialah penerimaan akan kematerian Tuhan.

Referensi:
[1]. Tentang apa “hal” lain tersebut, terdapat penjelasan yang beragam. Pada salah satu penjelasan dikatakan bahwa “hal” lain tersebut merupakan suatu maujud lain dimana antara Tuhan dengannya terdapat interaksi khusus, misalnya sesuatu yang tercipta. Akan tetapi berdasarkan pendapat lainnya dikatakan bahwa maksud dari “hal” lain adalah perbuatan Tuhan itu sendiri, karena dalam pandangan yang lebih detil dikatakan bahwa seluruh maujud merupakan perbuatan Tuhan.
[2]. Tentu saja pada bagian ini terdapat pula istilah lainnya dimana dalam pembahasan ilmu kalam tidak sering dipergunakan. Sebagai contoh, berdasarkan sebuah pengelompokan, sifat Tuhan terbagi menjadi sifat hakiki, seperti hay (hidup), ‘âlim dan sifat tambahan seperti Pencipta dan Maha berkehendak, Dan sifat hakiki ini juga terbagi dua sifat hakiki murni, seperti hayy dan sifat hakiki tambahan seperti ‘âlim dan qâdir.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top