“Apakah tidak cukup bahwa TuhanMu menyaksikan segala sesuatu?”
Mulla Sadra mengutip ayat ini dalam prolog salah satu bukunya, dan kutipan ini menjelaskan suatu hal yang amat mendalam. Tuhan menyaksikan diriNya sendiri dalam seluruh manifestasi-manifestasinya, yang merupakan seluruh maujud yang memancar dari CahayaNya dan Wujud-Nya yang Tiada Terhingga. Sedangkan filosof adalah saksi dari Yang Nyata, menjadi manifestasi penyaksian Tuhan yang sumbernya hanya bisa dalam Tuhan dan oleh karena itu mengamalkan penyaksian (syahadah) yang paling otentik. (Saduran dari Christian Jambet, “The Act of Being: The Philosophy of Revelation in Mulla Sadra”, Zone Books, New York, 2006).
Premis 1 Tidak ada yang lebih jelas dan meliputi ketimbang keberadaan.
Uraian : Segala yang ada tidak benar-benar ada sebelum memiliki keberadaan. Keberadaan merupakan “cahaya” yang menjelaskan kesangathakikatan segala sesuatu. Oleh karena itu niscaya keberadaan lebih jelas ketimbang semua yang dijelaskannya.
Premis 2 Tuhan adalah keberadaan mutlak yang tidak dibatasi oleh kekurangan apa pun.
Uraian : Tuhan adalah realitas keberadaan mutlak. Sumber dari semua keberadaan. Bila Tuhan bukan keberadaan mutlak tanpa batas, maka ada yang membatasi Tuhan. Maka sesuatu yang terbatas dan memiliki sifat-sifat ketidaksempurnaan bukanlah Tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah hakikat keberadaan mutlak tanpa batas.
Sebagai implikasi dari premis 1 dan premis 2 adalah : Tuhan (yakni keberadaan mutlak tanpa batas) adalah Yang Maha Jelas dan menjadi Penjelas bagi semua selainNya. Tuhan menjadi Saksi bagi DiriNya dan bagi semua selainNya.
Maka jelaslah makna firmanNya : “Apakah tidak cukup bahwa TuhanMu menyaksikan segala sesuatu?”
(Wallahu a’lam bish-shawaab, to be continued)
“Apakah tidak cukup bahwa TuhanMu menyaksikan segala sesuatu?”
(filsafatislam/ABNS)
Mulla Sadra mengutip ayat ini dalam prolog salah satu bukunya, dan kutipan ini menjelaskan suatu hal yang amat mendalam. Tuhan menyaksikan diriNya sendiri dalam seluruh manifestasi-manifestasinya, yang merupakan seluruh maujud yang memancar dari CahayaNya dan Wujud-Nya yang Tiada Terhingga. Sedangkan filosof adalah saksi dari Yang Nyata, menjadi manifestasi penyaksian Tuhan yang sumbernya hanya bisa dalam Tuhan dan oleh karena itu mengamalkan penyaksian (syahadah) yang paling otentik. (Saduran dari Christian Jambet, “The Act of Being: The Philosophy of Revelation in Mulla Sadra”, Zone Books, New York, 2006).
Premis 1 Tidak ada yang lebih jelas dan meliputi ketimbang keberadaan.
Uraian : Segala yang ada tidak benar-benar ada sebelum memiliki keberadaan. Keberadaan merupakan “cahaya” yang menjelaskan kesangathakikatan segala sesuatu. Oleh karena itu niscaya keberadaan lebih jelas ketimbang semua yang dijelaskannya.
Premis 2 Tuhan adalah keberadaan mutlak yang tidak dibatasi oleh kekurangan apa pun.
Uraian : Tuhan adalah realitas keberadaan mutlak. Sumber dari semua keberadaan. Bila Tuhan bukan keberadaan mutlak tanpa batas, maka ada yang membatasi Tuhan. Maka sesuatu yang terbatas dan memiliki sifat-sifat ketidaksempurnaan bukanlah Tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah hakikat keberadaan mutlak tanpa batas.
Sebagai implikasi dari premis 1 dan premis 2 adalah : Tuhan (yakni keberadaan mutlak tanpa batas) adalah Yang Maha Jelas dan menjadi Penjelas bagi semua selainNya. Tuhan menjadi Saksi bagi DiriNya dan bagi semua selainNya.
Maka jelaslah makna firmanNya : “Apakah tidak cukup bahwa TuhanMu menyaksikan segala sesuatu?”
(Wallahu a’lam bish-shawaab, to be continued)
“Apakah tidak cukup bahwa TuhanMu menyaksikan segala sesuatu?”
(filsafatislam/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar