Berbagai kisah yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. telah
dinubuatkan oleh nabi sebelum beliau juga pada masa hidupnya Nabi
Muhammad saw.: [1]
Kisah pendeta Bahira :
Sekali waktu ketika Rasulullah saw. berlum beranjak dewasa dan masih hidup bersama Abu Thalib, pamannya itu mengadakan perjalanan untuk berdagang ke Syria seraya membawa serta Rasulullah saw.
Kafilah dagangnya besar dan sarat muatan. Tatkala mereka memasuki Syria, mereka tiba di sebuah kota bernama Busra dan berhenti singgah dekat sebuah biara. Mereka memasang tenda dan beristirahat. Seorang pendeta bernama Bahira keluar dari biara dan mengundang kafilah itu untuk makan malam. Semua orang dalam kafilah itu menerima undangan pendeta dan kemudian masuk ke dalam biara. Akan tetapi, Abu Thalib meninggalkan keponakannya di luar guna menjaga dagangan mereka.
Bahira bertanya, “Sudahkan semuanya hadir?” Abu Thalib menjawab bahwa semuanya sudah hadir, kecuali seorang anak muda, anggota paling muda dalam kafilahnya. Bahira berkata, “Ajaklah dia kemari.” Abu Thalib yang meninggalkan Rasulullah saw. di luar di bawah sebuah pohon zaitun, memanggil beliau agar masuk. Bahira melihat Rasulullah saw. dari dekat dan berkata kepadanya, “Mendekatlah kemari, aku harus berbicara kepadamu.” Dia menarik Rasulullah saw. ke samping. Abu Thalib mengikuti mereka. Bahira lalu berkata kepada Rasulullah saw.: “Aku akan bertanya kepadamu dan bersumpah kepadamu demi Lat dan ‘Uzza agar engkau menjawab pertanyaanku.”
Rasulullah saw. menjawab, “Tak ada sesuatu pun lebih menjijikkanku daripada kedua berhala itu.” Bahira lalu berkata, “Baiklah, aku bersumpah kepadamu demi Tuhan Yang Esa agar engkau menjawab pertanyaanku dengan jujur.” Rasulullah saw. menjawab, “Aku selalu berkata jujur, tak pernah berdusta. Bertanyalah.” Bahira bertanya, “Apa yang paling kau sukai?” Rasulullah saw. menjawab, “Kesendirian.” Bahira bertanya, “Apa yang paling sering dan paling suka kau perhatikan?” Dia menjawab, “Langit dan bintang-bintangnya.” Bahira bertanya, “Apa yang kau pikirkan?”
Rasulullah saw. tetap diam, tetapi Bahira memperhatikan dahi beliau dengan teliti dan akhirnya bertanya, “Kapan dan dengan pikiran apa engkau tidur?” Beliau menjawab, “Ketika, selagi aku melihat langit, aku menlihat bintang-bintang dan mendapatinya berada dalam pangkuanku, dan diriku ada di atasnya.” Bahira bertanya, “Apakah kau juga bermimpi?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, dan apa saja yang aku lihat dalam mimpi, aku lihat juga dalam keadaan berjaga.” Bahira terus bertanya, “Apa, misalnya, yang kau lihat dalam mimpi?” Rasulullah saw. diam. Bahira juga diam.
Setelah hening sejenak, Bahira bertanya, “Boleh aku melihat di antar kedua bahumu?” Tanpa bergerak, Rasulullah saw. menjawab, “Ya, silakan.” Bahira berdiri, mendekat dan kemudian menyibakkan jubah Rasulullah saw. dari bahunya. Dia melihat tahi lalat hitam, dan bergumam, “Sama.” Abu Thalib bertanya, “Sama dengan apa? Apa yang Anda katakan?” Bahir berkata, “Katakan kepadaku. Apa hubungan Anda dengan anak ini?” Abu Thalib, yang sangat mencintai Rasulullah saw. seperti anaknya sendiri, menjawab, “dia anakku.” Bahira menukas, “Bukan. Ayah anak ini telah meninggal” Abu Th?lib bertanya, “Betul. Bagaimana Anda tahu? Dia memang anak saudaraku.” Bahira berkata kepada Abu Thalib, “Dengar. Anak ini akan menjalani kehidupan yang gemilang dan luar biasa kelak di kemudian hari. Jika orang lain mengetahui apa yang telah kulihat dan mereka mengenalinya, mereka akan membunuh anak ini. Sembunyikan dan lindungi dia dari musuh-musuhnya.” Abu Thalib bertanya, “Katakan padaku, siapa sesungguhnya anak ini?” Bahira pun menjawab, “Dalam sorot matanya, ada tanda-tanda seorang Nabi besar, begitu pula di punggungnya.”
Kisah pendeta Nesturius :
Beberapa tahun kemudian, Rasulullah saw. sekali lagi mengadakan perjalanan ke Damaskus, mengurusi bisnis Khadijah dengan membawa barang-barang dagangannya. Khadijah menyertekan pelayan wanitanya, Maysarah, untuk menemaninya dan memerintahkannya agar benar-benar mematuhi beliau. Dalam perjalanan ini juga, ketika mereka tiba di Syiria, mereka berhenti dekat kota Busra dan beristirahat di bawah sebuah pohon. Di dekat situ ada sebuah biara milik seorang pendeta bernama Nesturius, yang sudah kenal dengan Maysarah. Dia bertanya kepadanya, “Siapakah orang yang tengah beristirahat di bawah pohon itu?”
Maysarah menjawab, “Salah seorang dari suku Quraisy.” Pendeta itu berkata, “Belum pernah dan tidak bakal pernah ada seorang yang beristirahat di bawah pohon itu kecuali seorang dari rasul-rasul Allah.” Lalu dia bertanya: “Apakah matanya sedikit berwarna merah?” Maysarah menjawab: “Ya, matanya memang senantiasa berwarna demikian.” Pendeta berkata, “Ya, memang benar. Dia adalah rasul Allah yang terakhir. Mudah-mudahan saja aku berumur panjang dan menyaksikan dia diperintah untuk menyeru manusia beribadah kepada Allah.”
Nubuat kaum Yahudi Madinah
Ada banyak kabilah Yahudi, yang telah membaca keterangan-keterangan tentang nabi yang akan datang, hijrah dari tanah air mereka dan menetap di Hijaz, khususnya di Madinah dan sekitarnya. Mereka tengah menanti-nanti kedatangan nabi yang diharapkan itu. Karena mereka adalah orang-orang kaya, orang-orang Arab merasa iri kepada mereka dan bahkan menjarah harta benda mereka.
Orang-orang Yahudi yang sedih itu selalu berkata, “Kami akan bersabar atas siksaan dan penindasan kalian atas kami hingga Nabi yang dijanjikan berhijrah dari Makkah dan tiba di sini. Kemudian, kami akan memeluk agama Nabi Suci itu dan menuntut balas atas kalian.” Faktor utama yang menyebabkan orang-orang Madinah cepat menerima Islam adalah kesiapan mentalmereka mengenai berita gembira itu. Mereka kelak menerima Islam, namun orang-orang Yahudi mengingkarinya, lantaran sikap keras kepala mereka.
Allah swt. menyebut-nyebut nubuat-nubuat ini di beberapa tempat. Berkaitan dengan berimannya sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, Allah swt. berfirman dalam al-Qur’an:
Nubuat-nubuat tersebut adalah nubuat yang kita ketahui melalui sejarah. Tuhan juga menunjukkan kita bukti yang sangat kuat, yaitu dalam bentuk tulisan. Salah satu contohnya adalah dalam Perjanjian Lama. Abdul Ahad Dawud menuliskan [2]:
Pada tahun 721 SM, Israel dan ibu kotanya Syakim (Nablus) jatuh ke tangan orang-orang Assyria. Penduduknya yang merupakan sisa-sisa sepuluh keturunan Israel (Ya’qub) kemudian dibuang ke seluruh penjuru Assyria. Hampir satu setengah abad kemudian (pada tahun 586 SM), kerajaan Yahudza dan ibu kotanya al-Quds jatuh ke tangan orang=orang Kaldan di bawah pimpinan Nebukadnezar. Pada saat itu, Haikal Sulaiman dihancurkan. Eksekusi mati diberlakukan terhadap semua keturunan Yahudza dan Benyamin: pendiri kerajaan Yahudza. Yang selamat dari pembantaian itu diasingkan ke Babylon. Mereka tinggal di pengasingan tersebut sampai Cyrus, Raja Persia, menaklukkan Babylon pada tahun 538 SM. Cyrus lalu mengizinkan mereka kembali ke Palestina dan membangun ulang kota al-Quds berikut Haikal Sulaiman.
Ketika fondasi Haikal Sulaiman yang baru diletakkan, terdengarlah teriaan kegembiraan di antara kaum Yahudi. Perasaan haru dan tangis bahagia juga muncul dari kalangan tua yang pernah menyaksikan Haikal Sulaiman dengan mata sendiri sebelum tempat ibadah itu dihancurkan.
Pada saat itulah Allah mengutus seorang nabi yang bernama Hagai untuk menyampaikan risalah penting kepada semua yang hadir:
Paragraf diatas diterjemahkan dari satu-satunya naskah Bibel di milik penulis buku “Muhammad in The Bible” dengan bahasa lokal. Setelah dikomparasikan dengan naskah lain, didapati bahwa terjemah Bibel yang lain menerjemahkan kata Ibrani Himdah dan Syalom menjadi “harapan” (desire) dan “kedamaian” (peace).
Para mufasir Yahudi dan Nasrani sama-sama menilai penting kedua janji yang terdapat di dalam nubuat tersebut. Keduanya memahamai bahwa kata Himdah merupakan nubuat akan munculnya seorang mesias. Kalau nubuat ini hanya diinterpretasikan dengan arti ‘harapan’ dan ‘kedamaian’, tentu ia akan menjadi angan-angan kosong tanpa tujuan konkret. Sebaliknya, jika kita pahami kata Himdah sebagai sosok yang nyata, dan kata Syalom sebagai agama serta agama Islam. Sebab, kata Himdah dan Syalom dengan sangat detil menunjuk pada makna kata Ahmad dan Islam.
Sebelum menetapkan kebenaran nubuat yang berkenaan dengan kata Ahmad dan Islam ini,akan lebih baik jika asal dua kata ini diurai.
Pertama: Kata Himdah di dalam bahasa Ibrani diucapkan, “ve yavu himdath kol haggoyim” yang secara literal berarti, ‘maka kelak akan datang Himdah bagi semua bangsa’. Kata ini diambil dari bahasa Ibrani kuno atau Arami; aslinya adalah himd yang dilafalkan tanpa huruf mati menjadi himid, di dalam bahasa Ibrani berarti ‘harapan yang sangat besar’, ‘sesuatu yang sangat diinginkan’, atau ‘sesuatu yang selalu dikejar oleh manusia’. Di dalam bahasa Arab, kata kerja ha-mi-da juga berasal dari akar kata yang sama: ha’-mim-dal; yang berarti ‘pujaan’, atau ‘yang terpuji’.
Jadi apakah ada yang lebih patut dipuji dibandingkan seseorang yang selalu didamba dan diharapkan? Apa pun arti yang diambi dari akar kata ini, hakikatnya tidak akan berubah dan tidak dapat diperdebatkan lagi: kata Ahmad dalam bahasa Arab merupakan turunan dari kata Himdah.
Allah berfirman,
“(ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, ‘Wahai bani Israel, sesungguhnya aku utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad),” (QS. ASH-SHAFF (61):6).
Di dalam Injil Yohanes yang ditulis dalam bahas Yunani muncul nama Paracletos: bentuk kata yang tidak dikenal dalam sastra Yunani. Akan tetapi ada kata Periqlytos yang makna dan maksudnya tepat merujuk pada kata Ahmad. Jadi, kata itu pasti merupakan terjemahan Yunani asli bagi kata Himdah dalam bahasa Arami sebagaimana yang dilafalkan oleh Isa al-Masih.
Kedua: Mengenai asal kata syalom dan syalama dalam bahasa Ibrani, serta kata salam dan islam dalam bahasa Arab, tampaknya saya tidak perlu membebani pembaca dengan uraian linguistik. Sebab, semua ahli bahasa Semit mengetahui bahwa kata syalom dan syalam merupakan derivasi dari satu kata yang sama. Keduanya memunculkan arti ‘kedamaian’ atau ‘penyerahan diri’.
Nubuat tentang Nabi Muhammad saw. ditemukan juga dalam agama Hindu. Abdul Ahad Dawud dan Abdul Haq Vidyarthi menuliskan [3]
Sejak dulu, kaum Hindu sudah dikenal atas tindakan mereka mengagungkan pahlawan. Sifat mereka ini, sesungguhnyalah, kemudian menjadi salah satu bentuk di dalam agama mereka. Maharishi Vyasa adalah sosok yang sangat dihormati oleh kaum Hindu sebagai Rishi agung dan mendapat bimbingan langit. Dia adalah sosok yang sangat‘Alm, takut kepada Tuhan, dan manusia yang berhati suci. Dialah pria yang menyusun Weda di bawah berbagai tajuk. Dia juga menulis kitab yang sangat berharga yang berhubungan dengan mistisme. Gita dan Maha Bharata adalah hasil karya penanya yang sangat luar biasa. Namun, karya terhebatnya adalah delapan belas volume kitab Purana. Yang terutama di antara kitab Purana adalah sebuah kitab yang dikenal sebagai “Bhavishya Puran” di mana sang Maharishi melontarkan pengamatan luar biasa tentang berbagai kejadian pada masa depan. Kitab ini disebut Bhavishya Puran karena memuat berbagai kejadian yang akan terjadi pada masa depan. Kaum Hindu menganggap kitab ini sebagai firman Tuhan sama halnya dengan Weda. Maharishi Vyasa hanyalah orang yang mengumpulkan kitab ini. Penulis sebenarnya adalah Sang Mahakuasa. Kopi dari Bhavishya Puran, yang berbagai nubuatnya kami kutip dalam uraian ini, dicetak oleh Venktesh-wer Press di Mumbai. Kami menemukan nubuat berikut di dalam Prati Sarg ParvIII: 3, 3, 5-8
“Seorang malechha (berasal dari negara lain dan berbicara bahasa lain) guru spiritual akan datang bersama para sahabatnya. Namanya adalah Muhammad. Raja (Bhoj) setelah memandikan Maha Dev Arab (yang serupa malaikat) di dalam “Panchgavya” dan Sungai Gangga (untuk membersihkan dirinya dari dosa) menawarkan hadiah kepadanya atas pengabdiannya yang tulus dan menghormatinya, dan kemudian berkata, ‘Aku membungkuk di hadapanmu, wahai kebanggaan manuia, penghuni Arabia. Engkau telah kumpulkan kekuatan besar untuk membunuh iblis dan engkau sendiri terlindung dari musuh-musuh malechha. Wahai citra Tuhan Yang Mahaasih, Tuhan Yang Mahabesar, akulah hambaMu, dan anggaplah aku sebagai hambaMu yang bersimpuh di hadapanMu.’”
Tentang nubuat nabi-nabi terdahulu terhadap nabi-nabi sesudahnya, Imam‘Ali kw. bersabda [4]
“Allah yang Mahasuci tak pernah membiarkan hambaNya tanpa nabi diutuskan kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada mereka atau argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah yang mendustainya. Di antara yang mendahului menyebutkan yang menyusulnya atau pengikut yang telah dikenalkan oleh pendahulunya.”
Referensi :
[1] Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1996, pp. 77-80
[2] Abdul Ahad Dawud, Muhammad in The Bible, Penerbit Almahira, Jakarta, 2009, pp.3-5
[3] Abdul Haq Vidyarthi dan ‘Abdul Ahad Dawud, Ramalan tentang Muhammad saw. Dalam Kitab suci Agama Zoroaster, Hindu, Buddha, dan Kristen, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2008, pp.28-35
[4] Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 1, Khutbah 1, pp. 31
(filsafatislam/ABNS)
Kisah pendeta Bahira :
Sekali waktu ketika Rasulullah saw. berlum beranjak dewasa dan masih hidup bersama Abu Thalib, pamannya itu mengadakan perjalanan untuk berdagang ke Syria seraya membawa serta Rasulullah saw.
Kafilah dagangnya besar dan sarat muatan. Tatkala mereka memasuki Syria, mereka tiba di sebuah kota bernama Busra dan berhenti singgah dekat sebuah biara. Mereka memasang tenda dan beristirahat. Seorang pendeta bernama Bahira keluar dari biara dan mengundang kafilah itu untuk makan malam. Semua orang dalam kafilah itu menerima undangan pendeta dan kemudian masuk ke dalam biara. Akan tetapi, Abu Thalib meninggalkan keponakannya di luar guna menjaga dagangan mereka.
Bahira bertanya, “Sudahkan semuanya hadir?” Abu Thalib menjawab bahwa semuanya sudah hadir, kecuali seorang anak muda, anggota paling muda dalam kafilahnya. Bahira berkata, “Ajaklah dia kemari.” Abu Thalib yang meninggalkan Rasulullah saw. di luar di bawah sebuah pohon zaitun, memanggil beliau agar masuk. Bahira melihat Rasulullah saw. dari dekat dan berkata kepadanya, “Mendekatlah kemari, aku harus berbicara kepadamu.” Dia menarik Rasulullah saw. ke samping. Abu Thalib mengikuti mereka. Bahira lalu berkata kepada Rasulullah saw.: “Aku akan bertanya kepadamu dan bersumpah kepadamu demi Lat dan ‘Uzza agar engkau menjawab pertanyaanku.”
Rasulullah saw. menjawab, “Tak ada sesuatu pun lebih menjijikkanku daripada kedua berhala itu.” Bahira lalu berkata, “Baiklah, aku bersumpah kepadamu demi Tuhan Yang Esa agar engkau menjawab pertanyaanku dengan jujur.” Rasulullah saw. menjawab, “Aku selalu berkata jujur, tak pernah berdusta. Bertanyalah.” Bahira bertanya, “Apa yang paling kau sukai?” Rasulullah saw. menjawab, “Kesendirian.” Bahira bertanya, “Apa yang paling sering dan paling suka kau perhatikan?” Dia menjawab, “Langit dan bintang-bintangnya.” Bahira bertanya, “Apa yang kau pikirkan?”
Rasulullah saw. tetap diam, tetapi Bahira memperhatikan dahi beliau dengan teliti dan akhirnya bertanya, “Kapan dan dengan pikiran apa engkau tidur?” Beliau menjawab, “Ketika, selagi aku melihat langit, aku menlihat bintang-bintang dan mendapatinya berada dalam pangkuanku, dan diriku ada di atasnya.” Bahira bertanya, “Apakah kau juga bermimpi?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, dan apa saja yang aku lihat dalam mimpi, aku lihat juga dalam keadaan berjaga.” Bahira terus bertanya, “Apa, misalnya, yang kau lihat dalam mimpi?” Rasulullah saw. diam. Bahira juga diam.
Setelah hening sejenak, Bahira bertanya, “Boleh aku melihat di antar kedua bahumu?” Tanpa bergerak, Rasulullah saw. menjawab, “Ya, silakan.” Bahira berdiri, mendekat dan kemudian menyibakkan jubah Rasulullah saw. dari bahunya. Dia melihat tahi lalat hitam, dan bergumam, “Sama.” Abu Thalib bertanya, “Sama dengan apa? Apa yang Anda katakan?” Bahir berkata, “Katakan kepadaku. Apa hubungan Anda dengan anak ini?” Abu Thalib, yang sangat mencintai Rasulullah saw. seperti anaknya sendiri, menjawab, “dia anakku.” Bahira menukas, “Bukan. Ayah anak ini telah meninggal” Abu Th?lib bertanya, “Betul. Bagaimana Anda tahu? Dia memang anak saudaraku.” Bahira berkata kepada Abu Thalib, “Dengar. Anak ini akan menjalani kehidupan yang gemilang dan luar biasa kelak di kemudian hari. Jika orang lain mengetahui apa yang telah kulihat dan mereka mengenalinya, mereka akan membunuh anak ini. Sembunyikan dan lindungi dia dari musuh-musuhnya.” Abu Thalib bertanya, “Katakan padaku, siapa sesungguhnya anak ini?” Bahira pun menjawab, “Dalam sorot matanya, ada tanda-tanda seorang Nabi besar, begitu pula di punggungnya.”
Kisah pendeta Nesturius :
Beberapa tahun kemudian, Rasulullah saw. sekali lagi mengadakan perjalanan ke Damaskus, mengurusi bisnis Khadijah dengan membawa barang-barang dagangannya. Khadijah menyertekan pelayan wanitanya, Maysarah, untuk menemaninya dan memerintahkannya agar benar-benar mematuhi beliau. Dalam perjalanan ini juga, ketika mereka tiba di Syiria, mereka berhenti dekat kota Busra dan beristirahat di bawah sebuah pohon. Di dekat situ ada sebuah biara milik seorang pendeta bernama Nesturius, yang sudah kenal dengan Maysarah. Dia bertanya kepadanya, “Siapakah orang yang tengah beristirahat di bawah pohon itu?”
Maysarah menjawab, “Salah seorang dari suku Quraisy.” Pendeta itu berkata, “Belum pernah dan tidak bakal pernah ada seorang yang beristirahat di bawah pohon itu kecuali seorang dari rasul-rasul Allah.” Lalu dia bertanya: “Apakah matanya sedikit berwarna merah?” Maysarah menjawab: “Ya, matanya memang senantiasa berwarna demikian.” Pendeta berkata, “Ya, memang benar. Dia adalah rasul Allah yang terakhir. Mudah-mudahan saja aku berumur panjang dan menyaksikan dia diperintah untuk menyeru manusia beribadah kepada Allah.”
Nubuat kaum Yahudi Madinah
Ada banyak kabilah Yahudi, yang telah membaca keterangan-keterangan tentang nabi yang akan datang, hijrah dari tanah air mereka dan menetap di Hijaz, khususnya di Madinah dan sekitarnya. Mereka tengah menanti-nanti kedatangan nabi yang diharapkan itu. Karena mereka adalah orang-orang kaya, orang-orang Arab merasa iri kepada mereka dan bahkan menjarah harta benda mereka.
Orang-orang Yahudi yang sedih itu selalu berkata, “Kami akan bersabar atas siksaan dan penindasan kalian atas kami hingga Nabi yang dijanjikan berhijrah dari Makkah dan tiba di sini. Kemudian, kami akan memeluk agama Nabi Suci itu dan menuntut balas atas kalian.” Faktor utama yang menyebabkan orang-orang Madinah cepat menerima Islam adalah kesiapan mentalmereka mengenai berita gembira itu. Mereka kelak menerima Islam, namun orang-orang Yahudi mengingkarinya, lantaran sikap keras kepala mereka.
Allah swt. menyebut-nyebut nubuat-nubuat ini di beberapa tempat. Berkaitan dengan berimannya sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, Allah swt. berfirman dalam al-Qur’an:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS AL-A’RAF(7):157)
“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (QS AL-BAQARAH(2):89)
Nubuat-nubuat tersebut adalah nubuat yang kita ketahui melalui sejarah. Tuhan juga menunjukkan kita bukti yang sangat kuat, yaitu dalam bentuk tulisan. Salah satu contohnya adalah dalam Perjanjian Lama. Abdul Ahad Dawud menuliskan [2]:
Pada tahun 721 SM, Israel dan ibu kotanya Syakim (Nablus) jatuh ke tangan orang-orang Assyria. Penduduknya yang merupakan sisa-sisa sepuluh keturunan Israel (Ya’qub) kemudian dibuang ke seluruh penjuru Assyria. Hampir satu setengah abad kemudian (pada tahun 586 SM), kerajaan Yahudza dan ibu kotanya al-Quds jatuh ke tangan orang=orang Kaldan di bawah pimpinan Nebukadnezar. Pada saat itu, Haikal Sulaiman dihancurkan. Eksekusi mati diberlakukan terhadap semua keturunan Yahudza dan Benyamin: pendiri kerajaan Yahudza. Yang selamat dari pembantaian itu diasingkan ke Babylon. Mereka tinggal di pengasingan tersebut sampai Cyrus, Raja Persia, menaklukkan Babylon pada tahun 538 SM. Cyrus lalu mengizinkan mereka kembali ke Palestina dan membangun ulang kota al-Quds berikut Haikal Sulaiman.
Ketika fondasi Haikal Sulaiman yang baru diletakkan, terdengarlah teriaan kegembiraan di antara kaum Yahudi. Perasaan haru dan tangis bahagia juga muncul dari kalangan tua yang pernah menyaksikan Haikal Sulaiman dengan mata sendiri sebelum tempat ibadah itu dihancurkan.
Pada saat itulah Allah mengutus seorang nabi yang bernama Hagai untuk menyampaikan risalah penting kepada semua yang hadir:
“Semua bangsa akan Ku-gemparkan dan akan datang Himdah untuk semua bangsa, sehingga Aku akan memenuhi rumah-Ku ini dengan keagungan. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Aku memiliki perak dan emas. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Keagungan rumah baru itu lebih hebat dari keagungannya dulu. Demikianlah firman Tuhan semesta alam. Di tempat inilah aku akan memberikan Syalom. Demikianlah firman Tuhan semesta alam.” (Hagai 9/7-9).
Paragraf diatas diterjemahkan dari satu-satunya naskah Bibel di milik penulis buku “Muhammad in The Bible” dengan bahasa lokal. Setelah dikomparasikan dengan naskah lain, didapati bahwa terjemah Bibel yang lain menerjemahkan kata Ibrani Himdah dan Syalom menjadi “harapan” (desire) dan “kedamaian” (peace).
Para mufasir Yahudi dan Nasrani sama-sama menilai penting kedua janji yang terdapat di dalam nubuat tersebut. Keduanya memahamai bahwa kata Himdah merupakan nubuat akan munculnya seorang mesias. Kalau nubuat ini hanya diinterpretasikan dengan arti ‘harapan’ dan ‘kedamaian’, tentu ia akan menjadi angan-angan kosong tanpa tujuan konkret. Sebaliknya, jika kita pahami kata Himdah sebagai sosok yang nyata, dan kata Syalom sebagai agama serta agama Islam. Sebab, kata Himdah dan Syalom dengan sangat detil menunjuk pada makna kata Ahmad dan Islam.
Sebelum menetapkan kebenaran nubuat yang berkenaan dengan kata Ahmad dan Islam ini,akan lebih baik jika asal dua kata ini diurai.
Pertama: Kata Himdah di dalam bahasa Ibrani diucapkan, “ve yavu himdath kol haggoyim” yang secara literal berarti, ‘maka kelak akan datang Himdah bagi semua bangsa’. Kata ini diambil dari bahasa Ibrani kuno atau Arami; aslinya adalah himd yang dilafalkan tanpa huruf mati menjadi himid, di dalam bahasa Ibrani berarti ‘harapan yang sangat besar’, ‘sesuatu yang sangat diinginkan’, atau ‘sesuatu yang selalu dikejar oleh manusia’. Di dalam bahasa Arab, kata kerja ha-mi-da juga berasal dari akar kata yang sama: ha’-mim-dal; yang berarti ‘pujaan’, atau ‘yang terpuji’.
Jadi apakah ada yang lebih patut dipuji dibandingkan seseorang yang selalu didamba dan diharapkan? Apa pun arti yang diambi dari akar kata ini, hakikatnya tidak akan berubah dan tidak dapat diperdebatkan lagi: kata Ahmad dalam bahasa Arab merupakan turunan dari kata Himdah.
Allah berfirman,
“(ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, ‘Wahai bani Israel, sesungguhnya aku utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad),” (QS. ASH-SHAFF (61):6).
Di dalam Injil Yohanes yang ditulis dalam bahas Yunani muncul nama Paracletos: bentuk kata yang tidak dikenal dalam sastra Yunani. Akan tetapi ada kata Periqlytos yang makna dan maksudnya tepat merujuk pada kata Ahmad. Jadi, kata itu pasti merupakan terjemahan Yunani asli bagi kata Himdah dalam bahasa Arami sebagaimana yang dilafalkan oleh Isa al-Masih.
Kedua: Mengenai asal kata syalom dan syalama dalam bahasa Ibrani, serta kata salam dan islam dalam bahasa Arab, tampaknya saya tidak perlu membebani pembaca dengan uraian linguistik. Sebab, semua ahli bahasa Semit mengetahui bahwa kata syalom dan syalam merupakan derivasi dari satu kata yang sama. Keduanya memunculkan arti ‘kedamaian’ atau ‘penyerahan diri’.
Nubuat tentang Nabi Muhammad saw. ditemukan juga dalam agama Hindu. Abdul Ahad Dawud dan Abdul Haq Vidyarthi menuliskan [3]
Sejak dulu, kaum Hindu sudah dikenal atas tindakan mereka mengagungkan pahlawan. Sifat mereka ini, sesungguhnyalah, kemudian menjadi salah satu bentuk di dalam agama mereka. Maharishi Vyasa adalah sosok yang sangat dihormati oleh kaum Hindu sebagai Rishi agung dan mendapat bimbingan langit. Dia adalah sosok yang sangat‘Alm, takut kepada Tuhan, dan manusia yang berhati suci. Dialah pria yang menyusun Weda di bawah berbagai tajuk. Dia juga menulis kitab yang sangat berharga yang berhubungan dengan mistisme. Gita dan Maha Bharata adalah hasil karya penanya yang sangat luar biasa. Namun, karya terhebatnya adalah delapan belas volume kitab Purana. Yang terutama di antara kitab Purana adalah sebuah kitab yang dikenal sebagai “Bhavishya Puran” di mana sang Maharishi melontarkan pengamatan luar biasa tentang berbagai kejadian pada masa depan. Kitab ini disebut Bhavishya Puran karena memuat berbagai kejadian yang akan terjadi pada masa depan. Kaum Hindu menganggap kitab ini sebagai firman Tuhan sama halnya dengan Weda. Maharishi Vyasa hanyalah orang yang mengumpulkan kitab ini. Penulis sebenarnya adalah Sang Mahakuasa. Kopi dari Bhavishya Puran, yang berbagai nubuatnya kami kutip dalam uraian ini, dicetak oleh Venktesh-wer Press di Mumbai. Kami menemukan nubuat berikut di dalam Prati Sarg ParvIII: 3, 3, 5-8
“Seorang malechha (berasal dari negara lain dan berbicara bahasa lain) guru spiritual akan datang bersama para sahabatnya. Namanya adalah Muhammad. Raja (Bhoj) setelah memandikan Maha Dev Arab (yang serupa malaikat) di dalam “Panchgavya” dan Sungai Gangga (untuk membersihkan dirinya dari dosa) menawarkan hadiah kepadanya atas pengabdiannya yang tulus dan menghormatinya, dan kemudian berkata, ‘Aku membungkuk di hadapanmu, wahai kebanggaan manuia, penghuni Arabia. Engkau telah kumpulkan kekuatan besar untuk membunuh iblis dan engkau sendiri terlindung dari musuh-musuh malechha. Wahai citra Tuhan Yang Mahaasih, Tuhan Yang Mahabesar, akulah hambaMu, dan anggaplah aku sebagai hambaMu yang bersimpuh di hadapanMu.’”
Tentang nubuat nabi-nabi terdahulu terhadap nabi-nabi sesudahnya, Imam‘Ali kw. bersabda [4]
“Allah yang Mahasuci tak pernah membiarkan hambaNya tanpa nabi diutuskan kepada mereka, atau tanpa kitab yang diturunkan kepada mereka atau argumen yang mengikat atau dalil yang kuat. Para rasul itu tidak merasa kecil karena kecilnya jumlah mereka dan besarnya jumlah yang mendustainya. Di antara yang mendahului menyebutkan yang menyusulnya atau pengikut yang telah dikenalkan oleh pendahulunya.”
Referensi :
[1] Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam, Pustaka Hidayah, Jakarta, 1996, pp. 77-80
[2] Abdul Ahad Dawud, Muhammad in The Bible, Penerbit Almahira, Jakarta, 2009, pp.3-5
[3] Abdul Haq Vidyarthi dan ‘Abdul Ahad Dawud, Ramalan tentang Muhammad saw. Dalam Kitab suci Agama Zoroaster, Hindu, Buddha, dan Kristen, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2008, pp.28-35
[4] Nahjul Bal?ghah, Ansariyan Publications, Qum, 2002 M/1423 H, Vol. 1, Khutbah 1, pp. 31
(filsafatislam/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar