Oleh: Mohammad Adlany
Apa ranah dan tema kajian hermeneutik? Sebagian memberi jawaban sederhana: Hermeneutik merupakan tradisi berfikir dan kontemplasi filosofis yang mengupayakan penjelasan tentang konsepsi dan pemahaman (fahm, verstehen, understanding) dan memberikan solusi terhadap persoalan tentang faktor-faktor yang mengakibatkan hadirnya makna bagi segala sesuatu. Segala sesuatu ini bisa berupa syair, teks-teks hukum, perbuatan manusia, bahasa, atau kebudayaan dan peradaban asing.[1]
Pengenalan masalah “pemahaman” sebagai sebuah ranah, tema, dan batasan pengkajian hermeneutik akan menghadapkan pada dua dilemma asasi, pertama adalah bahwa pemahaman dan persepsi itu dibahas dalam berbagai disiplin yang berbeda dan memiliki fungsi pada banyak cabang-cabang pengetahuan.
Epistemologi (theory of knowledge), filsafat analisis, dan filsafat klasik (metafisika) adalah bidang-bidang ilmu yang juga mengkaji masalah-masalah pemahaman dan persepsi ini dalam sudut pandang tertentu. Dengan demikian, pertama-tama harus diketahui dengan jelas bahwa dari sudut pandang mana disiplin hermeneutik memandang permasalahan pemahaman dan persepsi itu yang membedakannya dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya.
Kedua, aliran-aliran berbeda yang terdapat dalam disiplin hermeneutik sendiri memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap persoalan pemahaman dan persepsi itu. Akan tetapi, adanya kesamaan konsepsi yang sedikit terhadap persoalan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan patokan terhadap tema dan penjelas batasan pembahasan bagi hermeneutik, karena masing-masing aliran pemikiran itu mengkaji tujuan-tujuan khusus dimana tujuan khusus inilah yang lantas menyebabkan perbedaan tema dan ranah pembahasannya.
Sebagai contoh, seseorang yang memandang pemahaman itu dari sudut pandang fenomenologikal, maka dalam hermeneutiknya mustahil ia berupaya menemukan dan menegaskan suatu metode untuk memisahkan antara pemahaman yang benar dan yang keliru.
Yang jelas seorang seperti Wilhelm Dilthey mengarahkan tujuan itu demi menggapai humaniora yang valid dan benar. Dengan memandang hermeneutik sebagai metodologi, diharapkan refleksi-refleksinya, pada puncaknya, akan menghadirkan suatu metode umum untuk keseluruhan humaniora.
Yang pasti, aliran-aliran hermeneutik mengkaji tema pemahaman itu, yang satu membahas kemutlakan pemahaman dari aspek fenomenologikal, yang lain menjelaskan hakikat dan syarat-syarat wujud kehadiran pemahaman, aliran dari mengkajinya dari sisi ruang-waktu dan sejarah, dan yang lainnya meneliti pemahaman dunia internal-kejiwaan individu dan pikiran-pikiran setiap manusia lewat peninggalan-peninggalan seni dan literatur-literatur, dan berupaya mencipta suatu metode yang valid dan akurat untuk memahami pikiran-pikiran individu dan kehidupan internal-kejiwaan setiap manusia.
Dua perspektif dalam masalah pemahaman ini, dengan tidak memandang perbedaan dalam ruang lingkup kajian pemahaman, yang satu menunjuk pada pemahaman secara mutlak dan yang lainnya menyibak pemahaman kehidupan internal-kejiwaan manusia. Dua tema pembahasan ini tidak bisa dipungkiri memiliki perbedaan dan tidak bisa dikatakan bahwa aliran-aliran hermeneutik membahas semua persoalan tersebut secara merata dan komprehensif.
Lahirnya kajian hermeneutik filosofis yang dipelopori oleh Martin Heidegger di abad keduapuluh Masehi dan pengembangan ranah pembahasannya ditangan Hans-Georg Gadamer melahirkan pengaruh yang cukup besar pada cabang-cabang ilmu, seperti kritik literatur, metodologi, teologi, dan ilmu-ilmu sosial.
Sebagian menyangka bahwa domain pembahasan hermeneutik adalah sama dengan tema hermeneutik filosofis, yakni refleksi filosofis dan fenomenologikal dalam substansi pemahaman dan syarat-syarat eksistensial kehadirannya. Yang paling keliru adalah orang yang menyangka bahwa satu-satunya ranah pengkajian yang mungkin bagi hermeneutik adalah sebagaimana pandangan-pandangan para filosof Jerman terhadap hermeneutik dan tradisi-tradisi hermeneutik di Jerman pada abad keduapuluh.
Pada dasarnya, hermeneutik filosofis terkait secara horizontal dengan pembahasan-pembahasan universal hermeneutik yang senantiasa kita butuhkan dan tidak ada jalan lain kecuali harus membahasnya. Kita menerima semua pemikiran penafsiran tentang pemahaman teks atau setiap kecenderungan dalam kritik literatur atau memilih pembahasan tentang filsafat humaniora yang ada pada setiap maktab. Kita tidak mungkin menolak dan memungkiri keberadaan pengkajian tentang substansi pemahaman manusia dan analisis hakikat wujudnya.
Akan tetapi, makna dari ungkapan di atas tidaklah membatasi ruang lingkup pembahasan hermeneutik pada garis horizontal itu. Sebagai contoh, kita bisa memperluas tema itu pada kategori penafsiran dan pemahaman teks serta terus mengajukan teori-teori penafsiran baru dalam kategori pemahaman teks. Pengajuan teori-teori baru ini tidak masuk dalam wilayah dan koridor pengkajian hermeneutik filosofis, akan tetapi tergolong dalam tema perumusan dan pengkajian hermeneutik.
Tidak terdapat alasan yang tepat bagi kita untuk membatasi hermeneutik hanya pada tema pengkajian hermeneutik filosofis yang meliputi maktab Jerman dan Perancis, atau hanya pada maktab Jerman saja yakni perspektif Heidegger dan Gadamer.
Tentang ranah hermeneutik dan ketidaklogisan pembatasan domainnya hanya pada hermeneutik filosofis, Richard E. Palmer menyatakan bahwa kita bisa menunjuk tiga kategori yang berbeda secara ekstrim dalam wilayah hermeneutik, ketiga kategori tersebut antara lain:
- Hermeneutik regional (khusus) merupakan bentuk hermeneutik yang pertama kali ditetapkan sebagai suatu disiplin ilmu. Pada kategori ini, dengan maksud merumuskan kualitas penafsiran teks-teks, dibentuk kumpulan dari kaidah-kaidah dan metode-metode untuk setiap cabang-cabang ilmu dan pengetahuan, seperti ilmu hukum, linguistik, kitab-kita suci, dan filsafat.
Dan setiap ilmu itu memiliki kumpulan kaidah dan dasar penafsiran yang khusus untuknya. Berdasarkan hal ini, setiap ilmu memiliki hermeneutik tersendiri yang khusus berhubungan dengan ilmu tersebut.
Dengan dalil ini, masing-masing hermeneutik ini berkaitan erat dengan suatu tradisi pemikiran dan ilmiah tertentu. Seperti dari setiap hermeneutik yang mengajarkan metode tafsir teks-teks suci tak akan digunakan dalam penafsiran teks-teks literatur klasik.[2]
- Hermeneutik umum yang berfungsi menetapkan metode pemahaman dan penafsiran. Hermeneutik ini tidak dikhususkan untuk ilmu tertentu, melainkan diterapkan untuk semua cabang ilmu-ilmu tafsir. Kehadiran jenis hermeneutik ini dimulai pada abad kedepanbelas dan orang pertama yang menyusun secara sistimatik adalah teolog Jerman bernama Schleiermacher (1768-1834 M).
Kaidah-kaidah dan dasar-dasar umum hermeneutik ini menjadi tolok atas pemahaman teks, dengan tidak memandang latar belakang teks itu. Para ahli hermeneutik mesti berusaha menyusun dan menetapkan kaidah-kaidah umum tersebut.
Upaya Wilhelm Dilthey semestinya berada pada wilayah ini, karena ia menekankan ilmu manusia secara mutlak, namun, asumsinya sangat sesuai dengan asumsi para pengkritik hermeneutik umum. Dilthey mempunyai perspektif bahwa segala prilaku, perkataan, dan karya-karya tulis manusia mewakili kehidupan pikiran dan internal-kejiwaan mereka.
Dan semua ilmu manusia seharusnya diarahkan dalam pencarian dan penyingkapan kehidupan internal-kejiwaan manusia sebagai pemiliki perbuatan dan karya-karya tulis, dan masalah bisa menjadi suatu kaidah, aturan, metode umum dan universal. Dan tujuan utama keberadaan hermeneutik adalah menyusun dan menetapkan kaidah dan metode ini, yakni menghadirkan secara pasti dan benar suatu metodologi yang menjadi mizan bagi ilmu manusia.
- Hermeneutik filosofis yang berupaya menganalisa secara filosofis fenomena pemahaman itu. Oleh sebab itu, tidak terdapat kecenderungan dalam hermeneutik ini untuk berusaha menghadirkan suatu metode, dasar, dan kaidah yang bisa menjadi tolok ukur atas pemahaman dan penafsiran, baik itu metode yang terkait dengan pemahaman teks atau dalam humaniora secara umum. Namun, apabila kita mencermatinya, jenis hermeneutik ini bukan hanya peduli terhadap adanya ketetapan satu metode, bahkan senantiasa menggugat metodologi dan menyanggah suatu pernyataan yang berbunyi, “Lewat penetapan metode bisa mencapai hakikat”.[3]
Dengan memperhatikan tiga kategori berbeda yang tersebut di atas, kita tak mungkin mengkhususkan tema hermeneutik itu kepada salah satu dari ketiga kategori itu. Ketidakmungkinan ini karena ketiga kategori tersebut di bawah cakupan hermeneutik, dengan demikian, tak logis jika tema hermeneutik hanya berkaitan dengan salah satu dari ketiga kategori atau perspektif itu, misalnya hanya menekankan pada hermeneutik filosofis. Dengan realitas seperti ini, arus hermeneutik dalam semua aspek dan bidang ilmu akan senantiasa berlanjut.[4]
Hermeneutik dan Pengetahuan Lain
1. Hermeneutik dan Epistemologi
Hubungan dekat di antara kedua ilmu ini karena keduanya sama-sama mengkaji tema pemahaman dan makrifat manusia. Walaupun demikian, kita tidak dapat menyamakan kedua ilmu tersebut dan menyatakan bahwa hermeneutik itu tidak lain adalah epistemologi itu sendiri atau sebaliknya. Hermeneutik, sebagaimana yang telah dijelaskan, menguraikan metode pencapaian pemahaman, syarat-syarat dan kaidah perwujudanya.
Sementara pada epistemologi membahas persoalan-persoalan seperti, apakah makrifat manusia bersifat fitri, inderawi, empirik, atau gabungan dari semua itu? Apakah konsepsi pikiran manusia berakar pada fitrah atau indera? Apakah makrifat manusia bersifat terbatas dan bagaimana terwujudnya konsepsi-konsepsi yang tak terbatas itu dalam pikiran? Tolok ukur kebenaran dan kesalahan? Hubungan antara pikiran pemikir (subjek yang memikir) dan alam eksternal (objek yang dipikir)? Media-media dan sumber-sumber pengetahuan manusia?
Tak satupun dari masalah-masalah tersebut ini dibahas dalam ranah-ranah hermeneutik. Terkadang dalam epistemologi dikaji tentang syarat-syarat dan penghalang-penghalang ilmu dan makrifat. Kajian-kajian seperti ini bisa dikategorikan sebagai pembahasan-pembahasan hermeneutikal.
2. Hermeneutik dan Ilmu Logika (Mantik)
Keduanya memiliki kesamaan karena masing-masing membahas metode pemikiran dan pemahaman. Namun, peran ilmu logika adalah merumuskan kerangka-kerangka yang dijadikan landasan dan metode bagi seluruh pengetahuan dan pemikiran manusia, termasuk juga metode-metode umum dalam hermeneutik, karena dalam tingkat argumentasi dan demonstrasi tidak mungkin lepas dari penggunaan salah satu dari metode logikal, apakah para penafsir hermeneutik berpijak mutlak pada penulis teks, teks sentris, atau mufassir sentris.
Dengan ungkapan lain, dalam ilmu hermeneutik akan dikatakan bahwa apa syarat-syarat dan kaidah-kaidah pemahaman dan interpretasi atas suatu teks, karya-karya kesusastraan, atau bahkan fenomena-fenomena natural. Sebagai contoh, apakah pandangan dunia penulis dan pemilik teks, atau syarat-syarat alami dan sosial sebagai faktor-faktor yang berpengaruh dalam kemunculan karya-karya manusia dan fenomena-fenomena natural, atau kondisi-kondisi ruhani, pikiran dan budaya mufassir, yang memiliki peran positif atau negatif dalam penafsiran dan pemahaman manusia?
Akan tetapi, bagaimana konsepsi-konsepsi dan pengetahuan-pengetahuan manusia tersebut disusun secara sistimatik dan bagaimana memperoleh suatu konklusi yang diinginkan dari premis-premis yang ada, hanya dipaparkan dan diulas oleh ilmu logika dan tidak dijelaskan dan diuraikan oleh ilmu hermeneutik.
3. Hermeneutik dan Linguistik
Linguistik adalah salah satu disiplin ilmu manusia yang tertua. Hal ini karena bahasa itu merupakan rukun-rukun penting dan urgen dalam kehadiran konsepsi dan transaksi pemikiran serta komunikasi sosial. Berdasarkan realitas ini, bahasa senantiasa menjadi tema dan ranah pembahasan teoritis para pemikir. Pilologi, aturan-aturan bahasa, makna-makna, dan estetika bahasa merupakan kajian-kajian klasik bahasa.
Dalam era modern, terdapat kecenderungan-kecenderungan baru di wilayah penelitian bahasa yang berpuncak pada kehadiran filsafat analisis bahasa yang memandang segala pengkajian filosofis itu mesti berangkat dari observasi linguistik dan fungsinya.
Pada sisi lain, hermeneutik juga berurusan dengan teks-teks, sementara bahasa merupakan pembentuk teks. Dengan demikian, hermeneutik juga memandang penting masalah-masalah linguistik. Gagasan ini, juga terlontar dalam hermeneutik klasik dan hermeneutik modern, yang terkhusus sangat ditekankan pada hermeneutik Gadamer.
Menurut Gadamer, bahasa itu bukan hanya sebagai media penyaluran pemahaman, melainkan pembentuk suatu pemahaman. Dengan ibarat lain, hakikat dan substansi pemahaman itu adalah bahasa. Berdasarkan gagasan ini, ilmu hermeneutik mempunyai hubungan erat dengan linguistik beserta cabang-cabang dan metode-metodenya yang beragam.
Namun masing-masing ilmu tersebut merupakan disiplin-disiplin ilmu tertentu yang mempunyai tema, ranah, metode, dan tujuan-tujuan khusus. Pada hakikatnya, bisa dikatakan bahwa ilmu hermeneutik itu mengambil manfaat dari pembahasan linguistik. Begitu pula linguistik, khususnya pengkajian yang merumuskan fungsi, kaidah, dan kerangka bahasa, sangatlah terkait dengan ilmu hermeneutik, khususnya penerapan hukum dan kaidah bahasa.
Kenyataan ini sebagaimana hubungan hermeneutik dengan ilmu logika, yakni hermeneutik tidak mungkin melepaskan dan memisahkan dirinya dari penggunaan metode-metode umum logika dan berpikir.
Referensi:
[1] . Bruns, Gerald L, Hermeneutics Ancient and Modern, P 1.
[2] . Richard E. Palmer, Contemporary Philosophy, P 461.
[3] . Menurut Hans-Georg Gadamer, hakikat-hakikat yang ada dalam fenomena-fenomena sejarah seperti teks, peninggalan seni, tradisi, dan sejarah itu tidak bisa dicapai lewat bantuan suatu metode.
[4] . Richard E. Palmer, Contemporary Philosophy, PP 461, 464.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar