Oleh: Mohammad Adlany
Untuk menganalisa pandangan al-Quran tentang kehidupan, maka pada langkah awal, penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana al-Quran memberikan pandangannya tentang dunia. Sehubungan dengan ini, ada dua pendapat penting yang perlu diperhatikan, sebagai berikut:
Salah satunya adalah teori-teori yang dilontarkan oleh
kebanyakan pemeluk agama Hindu dan mayoritas pengikut tasawuf, mereka
beranggapan bahwa dunia tidaklah memiliki nilai dan arti apapun serta
bukan merupakan suatu hal yang penting dan fundamental untuk
diperhatian, dengan keyakinan dan kepercayaan yang dimilikinya ini
mereka mengajarkan kepada murid-murid dan para pengikutnya untuk
menyepi, bertapa, mengasingkan diri, dan menghindarkan diri dari
keramaian masyarakat. Menurut
kelompok ini, dunia secara esensial merupakan sebuah fenomena dan
realitas yang buruk dan tercela dimana apabila manusia memberikan nilai
dan perhatian kepadanya, maka hal ini akan menjerumuskan mereka ke arah
kerusakan, penderitaan, kesengsaraan, dan penyesalan.
Solusi serta jalan yang bisa dilakukan untuk mencapai
keselamatan, puncak kesempurnaan, serta kebahagiaan hanyalah dengan cara
mengesampingkan diri dan alienasi dari dunia dan
kepentingan-kepentingannya serta tidak memberikan perhatian sedikitpun
terhadap persoalan-persoalan keduniaan. Andai saja para pengikut
teori-teori ini hanya mencukupkan diri hingga batasan ini, mungkin kita
masih bisa merasionalisasikan pandangan-pandangan mereka, akan tetapi,
sayangnya kelompok ini telah melangkahkan kakinya dan mengambil sikap
praktis yang terlalu jauh hingga sampai pada batasan dimana untuk
melepaskan diri mereka dari keterikatan dan ketergantungan dunia ini,
mereka rela melakukan riyadah-riyadah dan olah batin yang susah dan
berat, sebuah riyadah yang tidak bisa dan sulit diterima oleh akal sehat
dan logika yang manapun, akan tetapi, mereka kokoh dan
bersungguh-sungguh untuk mempertahankan pandangan dan sikapnya tersebut.
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pertapa India serta
riyadah-riyadah yang kebanyakan dilakukan oleh para ahli sufi dan
tarekat yang memunculkan dan menampakkan diri mereka sebagai darwis-darwis
serta pengemis-pengemis di negara-negara Islam, merupakan manifestasi
dan penampakan yang nyata dari metode dan tafakkur yang mereka hasilkan
tersebut.
Tentu saja, al-Quranul Karim dengan keras menentang
pendapat-pendapat seperti ini, dalam begitu banyak ayatnya al-Quran
mengisyaratkan bahwa dunia dan segala isinya ini diciptakan dan
diwujudkan oleh Tuhan Sang Pencipta untuk dimanfaatkan oleh manusia pada
dimensi-dimensi yang mengantarkannya pada tujuan penciptaan dan puncak
kesempurnaannya, yakni perjumpaan dan kedekatan dengan Tuhan. Dengan
demikian, manusia pun harus mampu memanfaatkan dunia ini secara benar
sesuai dengan petunjuk-petunjuk suci agama.
Di antara ayat-ayat-Nya, Allah Swt berfirman,
“Dia-lah
yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap,
dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan dengan
hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Oleh karena
itu, janganlah kamu menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui.”[1]
“Dia-lah
yang menjadikan bumi itu mudah bagimu. Maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya
kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”[2]
“Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”[3]
Teori lain yang dilontarkan sehubungan dengan
masalah-masalah duniawi adalah teori yang dikemukakan oleh kaum
materialis, berdasarkan teori ini kehidupan materi merupakan
segala-galanya dan bersifat prinsipil serta mereka juga berpendapat
bahwa tidak ada kehidupan lain selain kehidupan yang ada di dunia ini,
oleh karena itulah, sehingga manusia harus memanfaatkan dan menghabiskan
waktunya di dunia ini dengan sebaik-baiknya dan sebesar-besarnya untuk
memperoleh manfaat dan keuntungan serta mengeksploitasi dunia ini
semaksimal mungkin.
Para pengikut teori ini beranggapan bahwa tujuan tertinggi
dari kehidupan manusia adalah memperoleh kesenangan, kenikmatan, dan
kelezatan dunia sebanyak-banyaknya dan semaksimal mungkin, dan mereka
berkeyakinan bahwa semakin banyak seseorang mampu memperoleh dan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat di alam ini maka dia akan
menjadi manusia yang semakin sempurna. Bagi sebagian pengikut teori
ini, bagaimana cara dan metode memperoleh segala keuntungan-keuntungan
dan kelezatan-kelezatan duniawi tidaklah terlalu penting, karena yang
terpenting bagi mereka adalah bagaimana memuaskan keinginan-keinginan
dan hasrat-hasrat internalnya. Dengan demikian, mereka menghalalkan
segala cara dan metode untuk menggapai dan meraih apa yang mereka
kehendaki di alam dan dunia ini.
Tidak diragukan lagi bahwa metode berpikir seperti ini sama
sekali tidak logis, tidak benar, dan tidak bisa dijelaskan dengan akal,
karena kehidupan semacam ini hanya terjadi pada kehidupan binatang.
Apabila keinginan dan kehendak manusia adalah mengarungi kehidupannya
seperti ini, lalu dimanakah letak perbedaan antara binatang dengan
manusia? Al-Quran memberikan perumpamaan yang sangat menarik untuk
kelompok manusia seperti ini. Allah Swt Berfirman,
“Sesungguhnya
Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke
dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang
yang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan persis
sebagaimana binatang-binatang makan, nerakalah tempat tinggal mereka.” [4]
Problematika yang akan muncul dari cara pandang terhadap
dunia dan alam yang semacam ini adalah tidak saja mereka salah dalam
mengevaluasi diri mereka sendiri, melainkan mereka juga salah dalam
mencermati dan menganalisa dunia ini, karena apabila seseorang
memberikan perhatian terhadap potensi dan kelebihan-kelebihan yang ada
dalam dirinya serta mencermati dunia dengan cara yang benar dan
proporsional yaitu mampu menyimpulkan bahwa dunia dan kehidupan duniawi
bisa mempunyai dimensi-dimensi yang positif dan juga dimensi-dimensi
yang negatif, maka dia akan mendapatkan bahwa selain manusia memiliki
kemampuan untuk melangkahkan kakinya dengan mempergunakan
perangkat-perangkat yang ada untuk diarahkan ke dimensi-dimensi positif
tak terbatas yang dimiliki dunia, pada saat yang sama, mereka sekaligus
juga bisa jatuh terjerembab ke arah ketakterbatasan yang dimiliki oleh
dimensi-dimensi negatif dunia ini.
Dengan dasar ini, mereka sama sekali tidak akan meletakkan
potensi-potensi yang ada dalam wujudnya untuk kelezatan-kelezatan yang
sesaat. Kaum materialis yang mempunyai pandangan terhadap dunia semacam
itu tidak akan benar dalam menafsirkan dan mengintepretasikan kehidupan
duniawi dan mereka tidak mampu memahami dan menyimpulkan bahwa kehidupan
manusia itu memiliki nilai yang lebih tinggi dan jauh lebih berarti
dari hal-hal tersebut.
Untuk menafikan dan menolak perspektif materialisme
tersebut, al-Quranul Karim menyandarkannya pada ketidakabadian dan
kepunahan kehidupan dunia. Al-Quran menggambarkan ketidakabadian
kehidupan dunia ini dengan salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman,
“(Hai
Muhammad), berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia
adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu
tumbuh-tumbuhan di muka bumi menjadi subur karenanya, kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan
adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”[5]
Ayat di atas mengumpamakan kehidupan dunia sebagai tetesan
air hujan yang diturunkan oleh Allah Swt dari langit, tetesan-tetesan
air yang mencurahkan sari kehidupan ini mampu menyembulkkan bebijian
yang semula tersembunyi di dalam tanah lalu mengubahnya menjadi
pepohonan yang berdaun rimbun dan menghijau. Tentunya keadaan seperti
ini akan segera berubah ketika angin keras berhembus ke pepohonan
tersebut dan dalam waktu sesaat telah mengubahnya menjadi batang-batang
kayu yang kering dan tak berdaun. Batang-batang yang semula kokoh,
rimbun, serta memiliki kehidupan dan mampu bertahan dalam menghadapi
tiupan angin keras ini, kini bahkan sebuah hembusan angin yang sangat
lembut sekalipun telah mampu menggoyangkan pohon tersebut ke segala
arah.
Setiap tahun dalam sepanjang hidupnya, manusia senantiasa
menyaksikan keadaan seperti ini. Keempat musim yang datang dan pergi
silih berganti memperlihatkan adegan kehidupan dan kematian ini dengan
sangat baik dan mempesona. Pada musim semi, kita menyaksikan salah satu
fenomena yang sangat indah dan menakjubkan yang ditampakkan oleh
pepohonan sebagai manifestasi dari karya kehidupan, dan kebalikannya,
pada musim gugur kita akan menyaksikan fenomena kematian mengerikan yang
dihadapi oleh pepohonan tersebut yang dalam waktu tak seberapa lama
telah berubah dalam bentuknya yang kering kerontang tanpa daun sama
sekali.
Dengan memproyeksikan fenomena “kehidupan” dan “kematian”
yang terdapat pada kedua musim semi dan gugur tersebut, seakan-akan ayat
di atas hendak mengatakan bahwa kehidupan duniawi yang dialami dan
dijalani oleh manusia pun persis sebagaimana kehidupan yang dialami
pepohonan tersebut, yakni sama sekali tidak memiliki keabadian, dengan
arti bahwa pada suatu saat manusia berada dalam masa kanak-kanaknya,
pada hari lain mereka pasti akan memasuki masa remaja yang penuh canda
dan tawa, akan tetapi masa remaja yang menyenangkan ini tidak akan
berlangsung abadi karena dengan berlalunya waktu, mereka akan berubah
menjadi manusia-manusia lansia yang pada hakekatnya merupakan sebuah
masa yang akan mengantarkan manusia ke arah akhir kehidupan dan akhirnya
sebagaimana pepohonan, yang bahkan dengan hembusan angin yang tidak
terlalu kencang sekalipun akan mampu mencerabut kehidupan yang mereka
miliki selama ini dari akarnya.
Sekarang, setelah kita menganalisa prosesi-prosesi yang
terjadi di atas dengan cermat, maka kita akan mengetahui dengan jelas
bahwa al-Quranul Karim sama sekali tidak memberikan pembenaran dan
legitimasinya bahkan terhadap satupun dari kedua pendapat tentang dunia
sebagaimana yang tersebut di atas. Lalu pertanyaannya, apakah pendapat
al-Quran tentang masalah ini?
Al-Quran al-Karim memberikan pandangan yang khusus tentang
dunia yaitu dengan tidak menafikan dunia secara mutlak dan tidak pula
memberikan pembenaran secara mutlak kepadanya, melainkan pada kondisi
tertentu, al-Quran menafikan dunia dan pada kondisi lainnya memberikan
pembenaran padanya. Dari sinilah, kemudian pandangan yang dimiliki oleh
al-Quran ini tidak bisa dikomparasikan dengan pandangan yang manapun.
Karena manusia telah diciptakan di dunia ini dan secara
alami memiliki kecintaan terhadap lingkungannya serta pada sisi lain
al-Quran pun memberikan perhatiannya terhadap kelembutan dan kecintaan
yang secara fitrah dimiliki oleh manusia, maka al-Quran tidak menafikan
adanya kebergantungan alamiah manusia kepada dunia ini, akan tetapi,
apabila manusia menggantungkan dirinya secara mutlak kepada dunia dan
menjual hakikat kediriannya untuk perkara-perkara duniawi dan
mengokohkan interaksinya terhadap dunia sebagaimana ikatan mata rantai
yang membelenggu dan memenjara dirinya, maka bentuk pandangan dan
penyikapan terhadap dunia yang semacam ini tidak mungkin bisa diterima
karena bertolak belakang dengan fitrah dan hakikat penciptaan manusia.
Dalam pandangan al-Quran, dunia merupakan sebuah alat,
media, dan fasilitas dimana apabila kita memandangnya sebagai sebuah
tujuan hakiki lalu meletakkannya sebagai tempat kebergantungan secara
mutlak, maka yakinlah bahwa pada hakikatnya kita telah kehilangan
hakikat dan kepribadian diri kita.
Dengan ungkapan lain, dalam logika Quran, kehidupan duniawi
ini mempunyai dua penampakan dan realitas (seperti dua sisi mata uang),
penampakan yang pertama merupakan penampakan yang kosong dan negatif,
dan yang lainnya adalah sebuah penampakan hakiki dan positif:
1. Penampakan Majasi Kehidupan Duniawi
Yang dimaksud dengan penampakan majasi dari kehidupan ini
ialah bahwa manusia menganggap kehidupan sebagai sebuah tempat bermain
dan menganggap dunia ini tidak lebih sebagai sebuah tempat yang tidak
bernilai apa-apa selain untuk makan, tidur, dan menikmati segala
kelezatan yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, apabila manusia
meletakkan kehidupannya hanya dalam batasan alami dan fisikal itu
sendiri, maka berarti dia hanya memberikan perhatian dan penekanannya
pada dimensi kosong dari sebuah kehidupan duniawi.
Di dalam al-Quran terdapat begitu banyak ayat yang
mengisyaratkan tentang dimensi negatif dari kehidupan dunia ini,
sebagaimana firman Allah Swt,
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”[6]
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” [7]
“Kehidupan
dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka
sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.”[8]
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akhirat
(nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya.
Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”[9]
Ayat-ayat di atas menampakkan dengan jelas kepada kita
tentang berbagai dimensi negatif yang dimiliki oleh kehidupan duniawi,
di antaranya:
a. Tempat Bermain: Al-Quran
menganggap bahwa kehidupan duniawi tak lebih dari sekedar tempat untuk
bermain dan bersenang. Dengan memperhatikan kata “bermain” ini, maka
kita dengan jelas akan mampu meraba apa pandangan dan perspektif yang
dimiliki oleh al-Quran terhadap kehidupan yang ada di dunia ini.
Kita mengetahui bahwa kata “bermain” senantiasa
dipergunakan untuk sebuah aktivitas dan kegiatan yang tidak memberikan
manfaat dan hasil yang logis dan hakiki, sebagaimana kebanyakan
aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak, karena mereka masih belum
memiliki perkembangan akal dan pikiran yang mamadai dan sempurna, maka
mereka akan bergabung dan berkumpul untuk kemudian mengisi dan
menghabiskan waktu-waktunya untuk bermain dan bersenang-senang.
Demikian juga orang-orang yang hanya memperhatikan dimensi
kosong dari kehidupan dunia ini, pada hakikatnya mereka telah mengisi
dan memenuhi kehidupan mereka hanya dengan bermain dan bersenang-senang,
tak lebih dan tak kurang. Yaitu dalam sepanjang usianya mereka
senantiasa berusaha mencurahkan seluruh energi dan kekuatan yang
dimilikinya hanya untuk melakukan hal-hal dan aktivitas-aktivitas yang
tidak memiliki dimensi logis, hakiki, dan rasional sedikitpun, maka dari
sinilah kita bisa memberikan pembenaran dan justifikasi bahwa aktivitas
bermain ternyata tidak hanya menjadi milik anak-anak saja, karena bisa
jadi orang-orang dewasa pun, tanpa mereka sadari telah menghabiskan pula
waktu-waktu dan kesempatan-kesempatan berharganya hanya untuk melakukan
permainan-permainan yang tak bermakna sama sekali, dan sesungguhnyalah
mereka ini (orang dewasa) tak lain dan tak lebih hanyalah anak-anak yang
telah berumur 40, 50, 60 …. tahun, yakni dari segi umur mereka
dikategorikan sebagai orang dewasa, namun dari dimensi kejiwaan mereka
belum dewasa dan sama saja dengan anak-anak.
b. Tempat untuk bersenang-senang: Kesenangan
merupakan dimensi lain dari kehidupan duniawi, dalam istilah lain,
kesenangan merupakan aktivitas yang menyibukkan manusia dan
melalaikannya dari melakukan berbagai aktivitas lainnya yang lebih
penting dan hakiki. Perbedaan yang ada antara bermain dan
bersenang-senang adalah bahwa yang dihasilkan dari aktivitas dan
kegiatan bermain adalah terbuang dan tersia-sianya waktu dan kesempatan,
sedangkan yang dihasilkan oleh kegiatan bersenang-senang selain
menyia-nyiakan waktu yang berharga ini, juga akan menghalangi dan
melalaikan seseorang dari melakukan aktivitas lainnya yang lebih penting
dan bermakna.
c. Perhiasan: Dimensi
lain dari kehidupan duniawi yang disebutkan dalam al-Quran adalah
sebagai perhiasan atau seperangkat perhiasan. Untuk menarik perhatian
para manusia secara lebih baik dan efektif terhadap kehidupan duniawi,
dunia ini memerlukan perhiasan untuk menghiasi dan memperindah
wajah-wajah dan penampakan-penampakan yang dimilikinya. Pada hakikatnya,
mayoritas mereka yang memberikan perhatiannya secara khusus kepada
dimensi negatif dunia ini senantiasa akan berusaha untuk mencari
keindahan dan perhiasan tersebut untuk menghiasi dan memperindah
lahiriahnya. Mereka senantiasa akan berusaha untuk membangun rumah
dengan bangunan yang megah dan bertingkat-tingkat kemudian mengisinya
dengan segala bentuk kemewahan supaya mampu dengan semaksimal mungkin
memanfaatkan usianya yang terbatas dan menceburkan dirinya dalam
memperindah penampakan-penampakan lahiriahnya untuk menutupi segala
kekurangan yang ada dalam dirinya.
Bisa jadi seseorang akan bertanya, apabila al-Quran
senantiasa memberikan pandangan yang negatif serta menganggap perhiasan
duniawi sebagai suatu hal yang tidak bermakna sama sekali, lantas kenapa
Allah Swt bersusah payah untuk menciptakan dan mewujudkannya?
Al-Quranul Karim dalam masalah ini memberikan jawaban dengan firman-Nya,
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.”[10]
Berdasarkan ayat di atas, perhiasan merupakan sebuah alat
dan fasilitas dimana dengannya Allah swt ingin menguji apa bentuk
pilihan yang diambil oleh manusia sehingga menjadi jelas manakah di
antara manusia-manusia tersebut yang mampu mempergunakan perhiasan
tersebut sebagai alat dan media untuk mengembangkan kehidupan hakikinya
dan manakah dari mereka yang menjadikannya sebagai sasaran dan tujuan
kemudian mempergunakannya untuk mematikan kehidupan hakikinya (yakni
kehidupan akhirat). Dengan ibarat lain, manakah dari mereka yang
meletakkan perhiasan sebagai manifestasi positif kehidupan dan manakah
yang mempergunakannya pada dimensi negatif kehidupan.
d. Tempat berbangga-bangga: Dimensi
lain yang dimiliki oleh kehidupan duniawi adalah menjadikannya sebagai
media kebanggaan antara satu dengan lainnya. Mereka yang hanya
memberikan perhatiannya kepada dimensi kosong dari kehidupan dunia ini
akan senantiasa berada dalam pencarian untuk mendapatkan kebanggaan
serta kemasyhuran, yang dengannya, mereka bisa saling berbangga-bangga
dengan yang lainnya. Bagi mereka, karunia Ilahi berupa kehidupan di
dunia ini yang sebenarnya bisa dijadikan sebagai alat dan sarana untuk
melakukan perjalanan spiritual (seir dan suluk) ke arah-Nya, malah telah
mereka jadikan sebagai perantara untuk berkhidmat dan memuaskan nafsu
ammarahnya serta menjadikannya sebagai alat untuk mengembangkan
keinginan-keinginan alamiahnya, mereka ini, yang seharusnya memanfaatkan
kondisi yang dimilikinya dalam kehidupan duniawi itu untuk membantu
menggapai puncak kesempurnaan dirinya dan selainnya, malah menghancurkan
daya dan kekuatan serta potensi yang dimilikinya dengan mencurahkan
seluruh kecintaannya terhadap kondisi-kondisi yang dimilikinya dan
mengangap hal tersebut sebagai tujuan dari hidupnya. Sayangnya dengan
perbuatannya ini mereka tidak saja telah menghancurkan diri mereka
sendiri melainkan dengan sikap egois yang mereka miliki ini orang
lainpun sudah pasti akan terkena pengaruh dan imbasnya. Orang-orang
semacam ini, selain mampu menghancurkan dirinya sendiri juga dapat
menyeret orang-orang di sekitarnya untuk menikmati kehancuran
sebagaimana yang terjadi pada dirinya sendiri.
e. Tempat untuk Memperbanyak Harta dan Keturunan: Dimensi
lain dari kehidupan duniawi adalah tempat untuk semakin memperbanyak
harta dan keturunan. Manusia yang hanya memperhatikan dimensi negatif
dari kehidupan dunia ini, maka tujuannya tidak lebih hanyalah untuk
melakukan penambahan kuantitas lahiriah saja, karena apabila tujuan yang
lebih tinggi dan suci telah dilupakan dan dimensi positif dari
kehidupan duniawi-pun telah dikesampingkan, maka mereka ini tidak
mempunyai tujuan lain selain melakukan sesuatu untuk menambah dan
memperbanyak harta atau keturunan.
Ayat di atas bisa diintepretasikan pula dengan warna yang
berbeda, dengan arti bahwa berdasarkan ayat di atas maka kehidupan dunia
bisa dibagi menjadi beberapa tahap:
a. Masa bermain, yang
pada hakikatnya merupakan masa kanak-kanak, dimana kita ketahui bahwa
anak-anak tidak pernah memikirkan sesuatu yang lain selain bermain.
b. Masa bersenang-senang,
yang bisa dinisbatkan pada masa remaja, dimana pada masa ini para
remaja menyenangi petualangan, bepergian, belajar, serta mencoba
mengenal alam.
c. Masa berhias, yang
biasanya berada pada masa muda, dimana pada masa ini kebanyakan para
pemuda-pemudi mengarungi dan manjalani kehidupan mereka dengan
memberikan perhatian yang lebih terhadap keindahan dan kecantikan mereka
secara lahiriah.
d. Masa berbangga diri,
dengan adanya instink untuk mencari gengsi dan harga diri maka orang
yang menggantungkan dirinya kepada dunia akan sombong dan bangga dengan
segala apa yang dimilikinya.
e. Masa memperbanyak harta,
seseorang yang meletakkan kehidupan dunia sebagai tujuan dan sasaran
yang paling tinggi dari kehidupannya, maka dalam salah satu tahapan dan
tangga dari kehidupannya adalah mereka akan mempergunakandan
memanfaatkan waktu-waktunya untuk mengumpulkan harta dan kekayaan
sebanyak dan semaksimal mungkin.
f. Masa memperbanyak keturunan,
pada salah satu dari tahapan kehidupannya, manusia memiliki
kecenderungan untuk memperbanyak keturunannya, pada masa ini manusia
akan mengecimpungkan dirinya dalam usaha untuk memperbanyak keturunan.
Pada hakikatnya, dengan menjelaskan adanya tahapan-tahapan
kehidupan tersebut, aya-ayat tersebut ingin mengisyaratkan topik berikut
dan menjelaskan suatu hakikat bahwa hasil dari seluruh keterikatan dan
kebergantungan manusia kepada kehidupan duniawi tidak lain adalah
memperindah diri mereka secara lahiriah, memperbanyak harta, dan
menambah keturunan dimana pada akhirnya masing-masing hal tersebut
merupakan sesuatu yang fana, punah, dan akan hancur serta tidak memiliki
keabadian, hal ini karena waktu, masa bermain, masa foya-foya yang ada
pada masa kanak-kanak, dan masa muda pasti akan berlalu, kemudian
setelah itu, masa mempercantik diri dan membanggakan diri pun akan
mengalami kesirnaan dan kepunahan yang pasti, maka tidak diragukan lagi
bahwa harta dan keturunan pun akan mengalami perubahan-perubahan dan
tidak akan luput dari segala kehancuran.
“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami
berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukurَ.”[11]
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan.”[12]
Ayat-ayat tersebut di atas telah mengisyaratkan tentang
hakikat mendasar berikut ini bahwa apabila seseorang hanya memberikan
perhatiannya pada dimensi kosong kehidupan duniawi ini dan tidak
memiliki tujuan lain untuk dirinya selain hidup untuk makan, tidur,
mengarungi kehidupannya untuk memuaskan hawa nafsunya dan senantiasa
dalam usahanya untuk mencari kelezatan dan memanfaatkan perhiasan
lahiriah kehidupan, maka tanpa diragukan lagi karena mereka telah
menghabiskan seluruh energinya untuk mendapatkan hal-hal tersebut, sudah
pasti mereka akan mendapatkan hasilnya sesuai dengan apa-apa yang
mereka inginkan.
Akan tetapi, al-Quran dalam masalah bahwa apakah pada
dasarnya orang-orang semacam ini telah melakukan perbuatan-perbuatan
yang tidak seharusnya ataukah tidak? Dan pada masa mendatang imbalan
apakah yang akan mereka dapatkan dari perbuatan-perbuatan mereka ini,
al-Quran memberikan jawaban sebagai berikut,
“Itulah orang-orang
yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa
yang telah mereka kerjakan.”[13]
“Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat, akan Kami tambah
keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di
dunia, Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak
ada baginya suatu bagian pun di akhirat.”[14]
Kesimpulannya, apabila kehidupan duniawi dijadikan tujuan
dan sasaran satu-satunya dan manusia sama sekali tidak memiliki tujuan
kehidupan yang lebih tinggi, hakiki, dan suci, maka kehidupan dunia ini
akan menjadi suatu kehidupan yang sia-sia, kosong, dan tidak bermakna
sama sekali.
Berbagai ayat dalam al-Quran menjelaskan tentang,dimensi kosong dan aspek kesia-siaan dari kehidupan dunia ini sebagai berikut,
“Sesungguhnya
orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, merasa puas
dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan
orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami.”[15]
Dengan mencermati ayat di atas, kita bisa menyimpulkan
bahwa dimensi negatif dari kehidupan duniawi memiliki
karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
- Ketiadaan perhatian kepada hari kebangkitan (akhirat);
- Keterikatan hati kepada dunia dan penyandaran diri secara mutlak kepadanya;
- Lalai terhadap ayat-ayat Tuhan.
Sebagaimana tersebut di atas, al-Quran berabad-abad sebelum
ditemukannya Nihilisme, telah mengisyaratkan terhadap adanya dimensi
negatif dari kehidupan dunia dengan menggunakan dalil-dalil dan
argumentasi-argumentasi yang kuat, di antaranya dengan motivasi
ketidakabadian kehidupan dunia. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa
al-Quran dengan pandangannya yang khas terhadap dunia ini, selain
mengetengahkan tentang dimensi negatif kehidupan dunia juga berusaha
memberikan pemahaman kepada manusia supaya mereka merekonstruksi dan
merenovasi kembali kehidupannya dengan kehidupan yang lebih tinggi,
lebih suci, lebih hakiki, dan lebih bermakna. Karena apabila manusia
beranggapan bahwa kehidupan duniawi merupakan alat dan sarana untuk
menggapai kehidupan hakiki di alam akhirat kelak, maka sesungguhnya
mereka telah mendapatkan manfaat dan faedah dari kehidupan yang ada di
dunia ini secara maksimal.
Dengan menyajikan pandangan dunia (word view)
inilah al-Quran kemudian sangat mengecam perbuatan-perbuatan yang
menyebabkan terputusnya kehidupan seseorang atau bunuh diri, al-Quran
menganggap perbuatan-perbuatan semacam ini merupakan suatu hal yang
sangat buruk dan tercela. Sebagaimana dalam ayat-Nya, Dia berfirman,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”[16]
“dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam jurang kebinasaan“[17]
Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang jelas antara
pandangan al-Quran dengan pandangan para Nihilisme terhadap masalah
keduniaan, karena menurut pandangan para penganut Nihilisme, ketika
manusia memiliki kehidupan dan mendapatkan kesempatan untuk
berkehidupan, berarti pada saat itu pula mereka pun memiliki kesempatan
dan hak untuk menghilangkan dan memusnahkan kehidupannya tersebut, yaitu
mengarahkan dirinya sendiri pada kematian, sementara itu menurut
pandangan al-Quran manusia sama sekali tidak mempunyai hak untuk
menghancurkan dan menghilangkan kehidupannya, meskipun kehidupan dunia
itu senantiasa diliputi dan diwarnai dengan kemalangan, kefakiran, dan
ketakberuntungan-ketakberuntungan lainnya, manusia tetap saja harus
bersemangat, tak putus asa, dan melangkahkan kakinya ke arah sebuah
kehidupan mendatang yang lebih ideal dan sempurna.
2. Penampakan Hakiki Kehidupan Duniawi
Dan yang dimaksud dengan penampakan hakiki kehidupan
duniawi adalah manusia mengarahkan pikirannya kepada tujuan riil dan
hakiki dari kehidupan yang dimilikinya, dan memandang kehidupan duniawi
ini dari sudut yang lebih tinggi dari sekedar mencari kelezatan,
kenikmatan, dan kebebasan di dalamnya. Manusia-manusia dari golongan ini
akan meletakkan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan hidup dan berusaha
sehingga setiap saatnya mereka pergunakan untuk berjalan dan melangkah
ke arah-Nya, hanya Dia-lah satu-satunya yang layak disembah, hanya di
jalan-Nya dan untuk-Nya mereka beraktivitas, hanya untuk-Nya dan hanya
ke arah-Nya mereka bergerak, mereka mengintepretasikan dan menafsirkan
kehidupan dunia ini dalam interaksi dengan Tuhan Sang Pencipta, dan dia
memiliki pandangan-pandangan yang sangat bernilai dimana hakikat dari
semuanya adalah Tuhan.
Manusia yang berpikir terhadap penampakan hakiki seperti
ini, tidak lagi memadang kehidupannya hanya sebagai sebuah interaksi dan
hubungan antara dunia dengan tabiat dirinya. Mereka tentu saja juga
meyakini akan keberadaan kehidupan dunia ini, akan tetapi, mereka
menggunakannya sebagai alat dan sarana untuk menuju sebuah kesempurnaan
dan kebahagiaan yang hakiki, bukannya mengorbankan kehidupan akhiratnya
untuk membangun kehidupan duniawi. Mereka mengetahui kedua interaksi ini
dengan baik dan mereka menganggap bahwa kehidupan akhirat sebagai
kelanjutan dari kehidupan dunia.
Pada banyak ayat disebutkan bahwa kehidupan akhirat sebagai
kehidupan yang hakiki dan dalam perbandingannya dengan hal ini,
kehidupan duniawi merupakan sesuatu yang tidak bermakna dan tidak
berharga sama sekali. Hal ini sebagaimana Allah Swt berfirman dalam
al-Quran, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan main-main dan
senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi
orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu berpikir?”[18]
“Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, “Siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah
matinya?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala puji
bagi Allah.” Tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).”[19]
“Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan
(sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.”[20]
Ayat-ayat al-Quran di atas meletakkan manusia itu sebagai
subjek pembicaraan dan memperingatkan bahwa jangan sampai mereka
meletakkan kehidupan dunia ini sebagai tujuan dan sasarannya yang lebih
tinggi, karena apabila manusia menganggap kehidupan dunia sebagai
sasaran dan fokus utamanya, maka kehidupannya tidak akan pernah keluar
dari keterbatasan alami yang dimilikinya. Akan tetapi, apabila manusia
meletakkan kehidupan akhirat yang memiliki mekanisme dan keteraturan
khas yang sangat berbeda dengan kehidupan dunia sebagai tujuan hidupnya
yang lebih tinggi, maka yakinlah bahwa dia tidak akan pernah terjatuh
dan terjerembab ke arah ketakberuntungan dan tidak akan pernah terseret
ke arah aliran Nihilisme tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila
kamu diseru, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah”, kamu
merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu merasa puas
dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal
kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat
hanyalah sedikit?”[21]
Pada ayat-ayat di bawah ini pun, kehidupan ukhrawi
dikatakan sebagai kehidupan yang hakiki, dan kehidupan dunia apabila
dikomparasikan dengan kehidupan ukhrawi merupakan sebuah kehidupan yang
sama sekali tak bermakna dan tak bernilai, Allah Swt,
“Kamu
menghendaki harta benda duniawi (dengan menangkap tawanan yang banyak
dan menerima harta tebusan untuk setiap kepala tawanan itu), sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.”[22]
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka (di Mekah),
“(Sementara ini), tahanlah tanganmu (dari berjihad), dirikanlah salat,
dan tunaikanlah zakat!” (Tetapi mereka marah atas perintah ini). Setelah
jihad diwajibkan kepada mereka (di Madinah), tiba-tiba sebagian dari
mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya
kepada Allah, bahkan ketakutan mereka lebih sangat dari itu. Mereka
berkata, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan jihad kepada kami?
Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berjihad ini) kepada kami
beberapa waktu lagi?” Katakanlah, “Kesenangan di dunia ini hanya
sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan
kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.“[23]
“Itulah
orang-orang yang telah (rela) membeli kehidupan dunia dengan
(kehidupan) akhirat. Maka siksa mereka tidak akan diringankan dan mereka
tidak akan mendapat pertolongan.”[24]
“Allah
meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
Mereka (orang-orang kafir) bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal
kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah
kesenangan (yang sedikit).”[25]
“(Yaitu) Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan
celakalah orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih.”[26]
“(Yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada
kehidupan akhirat, menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, dan
menginginkan agar jalan Allah itu bengkok. Mereka itu berada dalam
kesesatan yang jauh.”[27]
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi.. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”[28]
“Dan kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.”[29]
Berdasarkan ayat-ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa
kehidupan akhirat merupakan batin dan hakikat dari kehidupan dunia
serta memiliki kedudukan yang lebih tinggi, lebih sempurna, dan lebih
baik. Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang hakiki, karena di alam
akhirat ini manusia akan berhadapan dengan realitas-realitas dan
hakikat-hakikat, bukannya persoalan-persoalan yang nisbi dan relatif.
Kehidupan akhirat merupakan sebuah kehidupan yang di dalamnya tidak
terdapat efek-efek keburukan, kerusakan, kesusahan, sakit, ataupun
gangguan-gangguan, yang hal ini bertolak belakang secara total dengan
kehidupan dunia, dimana di dalamnya senantiasa dipenuhi dengan
persoalan-persoalan tersebut.
Tentunya untuk sampai pada kehidupan akhirat dan hakiki
tersebut, manusia harus melakukan usaha dan upayanya dengan
sebaik-baiknya dalam kehidupan yang dimilikinya saat ini, karena
kehidupan di alam tersebut merupakan hasil dari kehidupan di alam ini,
dengan kata lain kehidupan dunia merupakan pendahuluan dan mukadimah
dari kehidupan ukhrawi. Sebagaimana Rasulullah saww bersabda: “Kehidupan dunia merupakan lahan bagi kehidupan akhirat.”
Oleh karena itu, karena al-Quran menganggap kehidupan
ukhrawi sebagai hasil dan buah dari kehidupan dunia, maka al-Quran tidak
bisa mengesampingkan kehidupan dunia begitu saja. Dan apa yang dimaksud
oleh al-Quran bahwa kehidupan duniawi merupakan sebuah kehidupan yang
tak bermakna dan tak bernilai adalah bahwa dimensi negatif yang dimiliki
oleh kehidupan dunia yang dipandang tanpa adanya interaksi dengan
kehidupan ukhrawi. Yaitu manusia malah menghabiskan waktu berharganya
yang seharusnya bisa dipergunakan untuk menggapai kehidupan ukhrawi
secara lebih baik dengan mengisi kehidupan dunianya hanya untuk
mengikuti keinginan-keinginan negatif dan kecenderungan-kecenderungan
hawa nafsunya, tanpa memikirkan kehidupan ukhrawinya.
Dari sinilah kita bisa mengatakan bahwa manusia yang
dijadikan teladan dalam al-Quran bukan saja manusia yang tidak
bertentangan dengan kehidupan duniawi, bahkan mereka selain berusaha
dengan segala kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan-kesejahteraan
di dalam kehidupan dunianya dengan landasan gerak yang Qurani, mereka
juga mempersiapkan diri mereka untuk kehidupan ukhrawinya. Sebagaimana
yang difirmankan oleh Allah Swt,
“Dan di antara mereka ada yang
berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.”[30]
“Dan
tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat;
sesungguhnya kami kembali (bertobat) kepada-Mu.” Allah berfirman,
“Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku
meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk
orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami.”[31]
Tentu saja untuk bisa menggapai kehidupan abadi dengan baik
niscaya memerlukan terpenuhinya persyaratan-persyaratan tertentu,
dimana al-Quran telah mengisyaratkan hal tersebut di dalam banyak
ayat-ayat-Nya, di antaranya adalah ayat berikut, “Dan barang siapa
yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan
sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.”[32]
Berdasarkan ayat di atas, untuk mendapatkan kehidupan ukhrawi memerlukan terpenuhinya tiga persyaratan berikut:
- Manusia mesti memiliki kehendak dan iradah terhadap kehidupan abadi di akhirat, yaitu manusia sungguh-sungguh menghendaki kehidupan ukhrawi tersebut, bukannya hanya memberikan perhatiannya pada kehidupan duniawi;
- Manusia mesti melakukan usaha dan upayanya, yaitu tidak menghentikan amal-amal perbuatannya untuk mendapatkan kehidupan abadi tersebut;
- Usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia harus diiringi dengan keimanan, yaitu motivasi perbuatan dan usahanya hanyalah karena Allah Swt.
Referensi:
[1] . Qs. Al-Baqarah: 22.
[2] . Qs. Al-Mulk: 15.
[3] . Qs. Qhashash: 77.
[4] . Qs. Muhamad: 12.
[5] . Qs. Al-Kahf:45.
[6] . Qs. Ali Imran: 185.
[7] . Qs. Muhammad: 36.
[8] . Qs. Al-An’am: 130.
[9] . Qs. Al- Hadid: 20.
[10] . Qs. Al-Kahfi: 7.
[11] . Qs.Ali Imran: 145.
[12] . Qs. Hud: 15.
[13]. Qs. Hud: 16.
[14] . Qs. Syura: 20.
[15] . Qs. Yunus: 7.
[16] . Qs. An-Nisa: 29.
[17] . Qs. Al-Baqarah: 195.
[18] . Qs. Al-An’am: 32.
[19] . Qs. Ankabut: 64.
[20] . Qs. Mukmin: 39.
[21] . Qs. At-Taubah: 38.
[22] . Qs. Al-Anfal: 67.
[23] . Qs. An-Nisa: 77.
[24]. Qs. Al-Baqarah: 86.
[25] . Qs. Ar-Raad: 26.
[26] . Qs. Ibrahim: 2.
[27] . Qs. Ibrahim: 3..
[28] . Qs. Al-A’la: 16-17.
[29] . Qs. Al-Isra': 21.
[30] . Qs. AL-Baqarah: 201.
[31] . Qs. Al-A’raf: 156.
[32] . Qs. Al-Isra': 19.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar