Oleh: Mohammad Adlany
Salah
satu persoalan yang penting dan urgen untuk mencapai kesempurnaan akhir
dan meraih tujuan penciptaan adalah pengenalan diri dan jiwa.
Sebagaimana diketahui bahwa manusia memiliki dua dimensi,
dimensi ruhani (yang terkait dengan jiwa) dan dimensi jasmani (yang
terkait dengan badan). Namun aspek yang hakiki pada diri manusia adalah
jiwa. Jiwa yang bersifat nonmateri inilah yang langgeng dan akan
mengalami kehidupan yang abadi. Setalah hancurnya badan kasar ini, yakni
setelah kematian, maka jiwa akan terus melanjutkan kehidupannya di alam
barzakh dan kemudian secara abadi akan menetap di alam akhirat.
Perlu diketahui bahwa manusia senantiasa berdimensi dua,
yakni jiwa dan badan, akan tetapi, badan yang menyertai jiwa akan
berubah sesuai dengan kondisi alam dimana jiwa berada. Misalnya, jiwa
yang hidup di dunia ini akan memiliki jasad yang sesuai dengan karakter
alam materi, begitu pula jika jiwa berpindah ke alam mitsal atau barzakh
maka tubuhnya pun bersifat barzakhi. Hal ini juga berlaku pada alam
akhirat.
Namun, tubuh dan jasad yang menyertai jiwa di alam barzakh dan
akhirat sepenuhnya dibentuk oleh akhlak manusia ketika di dunia. Di sini
jiwa dan tubuh memiliki kesesuaian. Jika jiwanya indah maka tubuhnya
pun akan indah.
Dengan demikian, manusia yang tidak mengenal dirinya dapat
dipastikan akan salah dalam menentukan kesempurnaan insaninya, dan hal
ini akan menyebabkannya menjalani kehidupan di dalam lorong-lorong gelap
kejahilan. Oleh karena itu, pengetahuan terhadap jiwa dan diri sendiri
merupakan prinsip yang paling mendasar untuk kebahagiaan dan
keberuntungan manusia.
Dalam surah al-Maidah Allah swt berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu
akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk,
hanya kepada Allah kamu semuanya kembali, Maka Dia akan menerangkan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.[1]
Ayat di atas menyinggung beberapa poin penting berikut:
- Allah swt berfirman, apabila kamu telah mendapat petunjuk, maka kamu berada di jalan yang benar dan terbimbing;
- Dalam keadaan ini, kesesatan orang-orang di sekitar kalian yang tersesat tidak akan membahayakan kalian;
- Kehidupan manusia ibarat menempuh suatu jarak perjalanan di sepanjang hidup, karena kesesatan dan hidayah ada pada setiap perjalanan, maka bisa dikatakan orang yang mengenal jiwanya di tengah perjalanan, berarti ia telah memperoleh hidayah tanpa harus mengalami kesesatan. Dalam keadaan ini, tersesatnya sebagian dari teman seperjalanan tak akan mampu mengalihkan perhatiannya, karena ia telah menemukan tujuan, mengenal arah perjalanan, mengetahui akhir perjalanannya, dan yakin akan memperoleh hasil dari tujuan hidupnya. Dan ibarat ini tak lain adalah perjalanan jiwa, dimana al-Quran menyinggung hal tersebut dengan firman-Nya, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.[2] Dan yang dimaksud dari menempuh perjalanan di sini adalah tak lain merupakan perjalanan mengenal jiwa manusia, dan perjalanan semacam ini merupakan jalan terdekat untuk sampai pada Tuhan, sebuah perjalanan yang memiliki paling sedikit kesalahan.
Akan tetapi perjalanan horisontal merupakan lintasan lain
yang bisa digunakan untuk sampai pada tujuan dan kesempurnaan manusia,
dimana hal ini merupakan perjalanan ilmu pada alam kosmos dan
mikrokosmos, dan ayat di atas, menyinggung kedua perjalanan tersebut.
Jadi, jelaslah bahwa perjalanan jiwa pada hakikatnya
merupakan gerak manusia pada lintasan wujud dirinya yang terjadi dari
awal dan akan berlanjut hingga akhir hayat, yaitu manusia yang
melangsungkan kehidupannya di dunia natural tidak seharusnya tertawan
oleh karakteristik materi dan seumur hidup mengecimpungkan dirinya dalam
dunia materi, melainkan dia harus melangkah dalam lintasannya sendiri
untuk mengenal dan menemukan bumi dan tempat tinggal yang hakiki bagi
wujud nya.
‘Alaikum anfusikum [3]
Pada ayat di atas dikatakan “Kami akan memperlihatkan
kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan
(‘alaikum anfusikum) pada diri mereka sendiri …”, maksud dari ‘alaikum anfusikum tersebut, antara lain:
- 1. Jangan sekali-sekali melepaskan diri kalian sendiri, kenalilah jiwa kalian, karena kesulitan untuk mengenal mutiara berharga ini setara dengan kesulitan untuk mengenal-Nya, dan adanya keniscayaan antara pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan merupakan bukti dari pentingnya persoalan ini;
- 2. Berhati-hatilah kalian terhadap diri kalian sendiri, supaya kalian mampu menjalankan kewajiban Ilahi yang seharusnya dan tidak melakukan dosa. Melalui Nabi-Nya, Allah swt telah menjelaskan metode untuk menjaga diri dari jiwa, dan Allah juga telah menentukan seluruh persoalan, manfaat, dan kerugian manusia serta kewajiban-kewajiban praktisnya. Selain manusia harus mengamalkan aturan-aturan langit dan program-program Ilahi yang telah ditentukan, dia juga harus menjaga diri dari bahaya-bahaya dan kerugian-kerugian jiwa, dan karena merupakan penjaga yang cerdik dan cermat, seluruh aktivitas jiwa sesaat demi sesaat harus senantiasa berada di bawah pengawasan untuk kemudian mengarahkannya pada program-program Ilahi dengan sepenuh keyakinan;
- 3. Karena jiwa merupakan salah satu dari eksistensi yang ajaib, rumit, dan misterius, bahkan paling rumitnya eksistensi yang ada di alam, maka arahkan jiwa tersebut pada kebesaran, keagungan, dan untuk mengenal Penciptanya.
Imam Ali As bersabda, “Manusia yang tidak mengetahui jiwanya sendiri, dia akan dilepaskan”[4], yaitu baginya tidak ada perbedaan antara hidayah atau kesesatan.
“Seseorang yang tak mengenal dirinya, maka perbuatannya akan mengarah pada kerusakan”.[5]
“Aku heran kepada orang yang sibuk mencari sesuatu yang hilang darinya,
akan tetapi ketika dia kehilangan dirinya, dia tidak mencarinya dan
tidak berusaha untuk menemukan dirinya kembali”.[6]
“Barang siapa tidak mengenal dirinya, dia akan lebih jahil untuk mengenal selainnya”.[7]
“Siapa yang tidak mengenal dirinya, berarti dia telah jauh dari jalan keselamatan dan dia akan sesat dan bodoh”.[8]
“Paling lemahnya orang, adalah mereka yang menghalangi dirinya untuk memperbaiki diri”.[9]
“Barang siapa mengenal dirinya, dia akan lebih mengetahui keadaan selainnya”.[10]
“Barang siapa mengenal seluruh hakikat dirinya, maka dia telah memperoleh paling tingginya makrifat dan pengetahuan”.[11]
“Siapa yang mengenal dirinya, akan berhadapan dengan Keindahan Sumber Keajaiban”.[12]
“Arif adalah orang yang mengenal dirinya, membebaskan
jiwanya dari ikatan waswas setan dan nafsu amarah, menyingkirkan segala
sesuatu yang akan menjauhkannya dari Tuhan dan akan membersihkan segala
sesuatu yang menyebabkan kehancurannya”.[13]
Jadi seseorang yang tidak mengenal jiwa, maka dia tidak
akan berhasil membersihkan dan menyempurnakan jiwanya, karena pengenalan
jiwa berarti mengenal kesempurnaan sekaligus mengetahui segala
rintangan dan hambatan dalam pencapaian kesempurnaan, begitu pula,
dengan ini ia dapat mengenal segala keburukan bagi jiwa.
Tentunya, pengenalan jiwa juga bermakna pengetahuan
terhadap hakikat jiwa, kedudukan, dan hal-hal yang menyebabkan
kebahagiaan dan kemalangannya. Dan mengenal jiwa membuat manusia larut
dalam kenikmatan akal dan spiritual dan tidak lagi mengikuti
kecenderungan hawa nafsu, bisikan setan, dan penghambaan kepada selain
Tuhan.
Imam Ali As bersabda, “Kebodohan yang terbesar adalah kejahilan manusia terhadap persoalan-persoalan jiwanya”.[14]
“Paling baiknya pengetahuan adalah mengenal diri, barang
siapa mengenal dirinya berarti dia mengetahui, dan siapa yang tidak
mengenal dirinya akan berjalan ke arah kesesatan”.[15]
“Bagaimana seseorang yang jahil terhadap dirinya bisa mengenal Tuhannya?”.[16]
“Barang siapa mampu meliputi seluruh ilmu tentang jiwanya, maka dia akan sampai pada pengenalan dan makrifat Tuhan”.[17]
Harus diingatkan bahwa makrifat jiwa dan perjalanan jiwa,
merupakan perjalanan yang sangat sulit, dengan alasan inilah mengenai
riwayat di atas sebagian ulama mengatakan, sebagaimana makrifat Tuhan
adalah sangat sulit, makrifat jiwa pun demikian juga, dan kesulitan
serta kerumitan jalan inilah yang telah menyebabkan hanya sedikit orang
yang mampu berjalan di atasnya.
Akan tetapi, makna lain yang bisa disimpulkan dari riwayat
ini adalah adanya kemestian antara pengenalan jiwa dan pengenalan Tuhan.
Lebih lanjut Imam bersabda, “Pengenalan jiwa merupakan pengenalan yang paling bermanfaat”.[18]
Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya,
tanda-tanda Ilahi, bisa disaksikan pada dua perjalanan, baik perjalanan
kosmos maupun mikrokosmos, akan tetapi perjalanan yang paling baik dan
bermanfaat adalah perjalanan mikrokosmos atau perjalanan jiwa.
Ketika menyaksikan penciptaan alam tanpa batas yang begitu
mengagumkan, manusia tidak saja mampu untuk tidak melupakan dirinya,
bahkan dia juga bisa semakin memahami keajaiban dan kemisteriusan dunia
yang ada di dalam dirinya. Hal inilah yang lebih baik bagi manusia,
yaitu mengenal jiwa dan kapabilitasnya, bukan mengenal dunia luar dengan
sebaik-baiknya akan tetapi jahil terhadap apa yang ada di dalam
dirinya.
“Puncak dari seluruh makrifat adalah makrifat jiwa”[19], yaitu pada hakikatnya apabila seseorang mampu mengenal dirinya, maka dia telah sampai pada puncak dari berbagai makrifat.
“Seseorang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana dia bisa mengenal selainnya?”[20]
“Dalam pengetahuan, cukuplah bagi manusia untuk mengenal
dirinya, dan dalam kejahilan cukup baginya untuk tidak mengenali dan
jahil terhadap dirinya.”[21]
“Barang siapa mengenal dirinya, berarti dia telah bersifat spiritualis.”[22] Dalam keadaan ini, ia tidak lagi sebagaimana manusia pada umumnya.
Kadangkala manusia tersungkur sangat jauh ke bawah hingga
jiwanya menduduki predikat, jiwa materi. Ketika jiwa terpenjara di dalam
kungkungan tabiat dan kecenderungan tubuh, dan makan, tidur, syahwat,
dan amarah telah mendominasi dirinya, maka secara bertahap, jiwa yang
tadinya non-materi akan berubah menjadi materi, dan sebaliknya, ketika
seseorang memperhatikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwanya dengan
cara yang benar, dan dia berusaha untuk menggapai derajat malakutinya,
di sini tubuh akan menemukan keadaan yang bersifat spiritual, yaitu
seakan tubuh telah meruhani dan secara sempurna berada di bawah
kekuasaan jiwa.
Dengan alasan inilah sehingga kadangkala sebagian individu
terlihat mampu menunjukkan perbuatan-perbuatan yang ajaib, seperti
kematian ikhtiari, lapar dalam waktu lama, dan lain sebagainya. Meskipun
bisa jadi ilmu saat ini, seperti ilmu kedokteran tidak bisa menerima
hal-hal semacam itu, akan tetapi harus diketahui bahwa subyek yang
dibahas dalam ilmu kedokteran adalah tubuh manusia bukan jiwa manusia.
Jadi sekali lagi, orang yang menemukan makrifat jiwa akan
bisa berubah menjadi realitas yang bersifat spiritualitas, dimana pada
hakikatnya mekanisme materi tidak lagi mendominasinya.
Setelah tingkatan tersebut, terdapat tingkatan yang lebih tinggi dari hal itu yang disebut dengan derajat tajarrud dimana manusia akan menjadi manifestasi dari asma, sifat, dan nama agung Tuhan, sebagaimana Imam as bersabda, “Nahnu asma-ullahu al husna (Kami adalah asma-asma Tuhan)”.
Tentang tajarrud ada tiga makna:
- Pembebasan jiwa dari alam materi;
- Pembebasan jiwa dari keterikatan atas manusia lain;
- Pembebasan dari segala sesuatu selain-Nya dengan ikhlas kepada-Nya.
“Barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan melawan
kecenderungan buruk jiwanya, dan siapa yang tidak mengenal jiwanya, dia
akan memujinya dan merasa puas dengannya”.[23]
Dari sini bisa diketahui dengan jelas, apa yang akan
terjadi pada manusia apabila dia jahil terhadap dirinya, dan bagaimana
dia bisa menjual komoditi yang paling agung dan paling berharga dalam
alam penciptaan ini dengan harga yang paling murah?
Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah, bersabda, “Merupakan
perdagangan yang merugikan jika kalian meletakkan harga pada diri kalian
lalu menjualnya.”[24]
Suatu hari Pemimpin Revolusi Iran, Ayatullah Ali Khamenei
dan Imam Khomeini ra berkata, “Seandainya kunci dunia ini diberikan
kepada manusia, hal ini masih merupakan perkara yang sangat kecil
baginya”. Menukilkan sebuah misal untuk hal ini akan lebih menjelaskan
pernyataan tersebut.
Misalnya pada sebuah perpustakaan telah ditemukan sebuah
kitab sangat langka dengan nilainya yang tiada banding dan penulisnya
yang handal menduduki peringkat dunia yang hidup pada masa lalu. Bisa
jadi seorang peneliti yang memiliki spesialisasi dalam bidang tersebut
sampai rela menjual rumahnya untuk membeli kitab tersebut, lalu setelah
kitab berada di tangannya, dia akan menjaga dan menyimpannya seakan-akan
merupakan benda yang teramat sangat berharga. Akan tetapi orang yang
sama sekali tidak mengetahui tentang nilainya, bisa jadi dia malah akan
merobek kitab tersebut selembar demi selembar lalu menggunakannya untuk
membungkus cabe dan garam yang ada di warungnya.
Jadi pengetahuan terhadap diri, merupakan pendahuluan untuk
memperbaiki diri dan untuk menghiasi mutiara jiwanya, lalu
menggunakannya untuk bergerak hingga ke puncak makrifat, sedangkan
kejahilan dan ketidaktahuan terhadap diri akan menjadi penyebab
kemusnahan dan tersia-sianya jiwa.
Keburukan Lupa Diri
Sebagaimana yang telah kami bahas sebelumnya, mengenal diri
merupakan persoalan yang sangat penting, dan manusia harus mengetahui
tentang siapa ‘aku’, karena jika dia tidak memperoleh pengenalan semacam
ini, maka pasti terjadi kesalahan dalam menentukan apa-apa yang hakiki
dan apa-apa yang non-hakiki, dia akan menyangka sesuatu yang hakiki
sebagai non-hakiki, lalu meletakkan yang hakiki di tempat non-hakiki dan
sebaliknya, yaitu dia melupakan dirinya yang hakiki, dan menganggap
non-jiwa sebagai hakikat dirinya.
Dengan demikian, dia telah melakukan perbuatan berdasarkan
keyakinan yang tidak benar ini, dan hal ini sama artinya dengan membuat
kehancuran bagi dirinya sendiri.
Suatu ketika, terdapat orang yang memiliki modal besar.
Dengan uang tersebut dia mempunyai rencana akan membangun sebuah gedung
yang kokoh, megah, dan sangat indah di atas tanah yang sangat luas.
Beberapa waktu lamanya dia membanting tulang dan berjerih payah
mengeluarkan tenaga dan pikiran untuk membangun gedung impiannya
tersebut, hingga setelah beberapa waktu lamanya akhirnya selesai jualah
apa yang dia inginkan. Karena sekian waktu tenaganya telah terkuras
untuk membangun gedung itu, maka bersamaan dengan selesainya pembangunan
gedung dan habisnya modal, kondisi dan stamina tubuhnya pun menurun.
Dalam hal ini, dalam satu waktu sekaligus dia telah kehilangan dua hal,
yaitu modal dan stamina tubuh. Dalam kelemahannya, dia menyaksikan
gedung megah yang berdiri di hadapannya dengan perasaan puas dan bangga,
akan tetapi tiba-tiba dia tersadar bahwa dia telah membangun gedung
tersebut di atas tanah milik tetangga, sedangkan di atas tanahnya
sendiri kosong dari bangunan. Apa yang terjadi? Seluruh yang dia
lakukan, modal yang dia gunakan, waktu yang dia habiskan, semuanya telah
hilang dengan sia-sia.
Kadangkala sebagian manusia bekerja dan berusaha siang-
malam selama bertahun-tahun, akan tetapi tidak pernah merasakan
ketenangan meskipun sedetik. Ketika ditanyakan tentang semua alasan
usahanya ini, menjadi jelas bahwa seluruh jerih payahnya tersebut adalah
untuk mendapatkan beberapa helai permadani, mobil, sebuah rumah, dan
uang.
Jelaslah bahwa di sini mereka menganggap ‘yang non-hakiki’
itu sebagai realitas ‘yang hakiki’. Seharusnya mereka berkhidmat kepada
jiwa ‘yang hakiki’, bukan berkhidmat secara total kepada tubuh ‘yang
non-hakiki’ ini.
Ketika tiba saat perpisahan antara jiwa dan tubuh, mereka
baru sadar bahwa usaha dan jerih payah yang mereka lakukan selama ini
hanyalah untuk memenuhi kepentingan tubuhnya, sedangkan diri dan jiwanya
yang hakiki tidak mengalami kemajuan sedikitpun dan tetap berada pada
usia kanak-kanak, hal seperti ini merupakan stagnasi ruh yang sangat
mengerikan.
Dikarenakan seseorang tidak mengenal diri dan jiwanya
secara hakiki, seluruh jerih payah dan pengkhidmatannya hanya dia
berikan untuk menggapai keinginan-keinginan tubuh materi yang bakal
punah.
Efek Mengenal Diri
Ketika jiwa manusia telah sampai pada tingkatan non-materi
murni dan kebergantungannya pada apa yang ditampakkan oleh dunia telah
berkurang, secara bertahap dia akan keluar dari penjara tubuh dan tidak
lagi melihat adanya benturan-benturan yang menghalangi tubuhnya.
Dalam keadaan seperti ini – sebagaimana yang telah kami
singgung sebelumnya – tubuh akan berada dibawah kewenangan jiwa dan
seakan tubuh pun telah berubah menjadi jiwa, kemudian
keajaiban-keajaiban dan kemuliaan-kemuliaan yang mengherankan akan
muncul darinya, sedemikian hingga dia mampu memisahkan ruh dari jiwa
dengan kemauannya sendiri, kematian seperti ini biasa disebut kematian
ikhtiari yang sering terjadi pada diri para wali Tuhan.
Salah satunya adalah kejadian menarik yang dinukilkan dari Ogho Sayyed Muhammad Darceh-i.[25]
Telah ditanyakan kepada beliau mengenai kebenaran riwayat, “Imam Ridha
as memerintahkan untuk melukis gambar singa pada sebuah tirai, lalu
singa tersebut hidup dan setelah memangsa orang tak beradab yang berada
di dekatnya, dia kembali lagi ke tempatnya semula”. Ogho Sayyed dalam
jawabannya mengatakan, “Perbuatan itu bisa pula muncul dari aku yang
hanya sebagai budak beliau. Ketahuilah bahwa kodrat semacam ini
berkaitan dengan jiwa yang telah menyempurna dan telah terbebas dari
penghalang-penghalang materi dan telah memiliki kedudukan di tempat yang
tinggi”.
Hal yang serupa diceritakan juga oleh Mahyauddin, dia
berkata, “Dahulu aku mempunyai seorang guru bernama Abu Madain yang
memiliki jabatan tinggi dalam kemiliteran, dan dia bisa melakukan
berbagai pekerjaan, akan tetapi dia sama sekali tidak pernah
memperhatikan kepentingan dirinya, kehidupan pribadinya senantiasa
berada dalam keadaan yang susah dan kurang, keadaan beliau telah
sedemikian susahnya hingga sebagian para pembesar mengatakan, kenapa
kamu tidak berusaha untuk memperbaiki keadaanmu? Akan tetapi lelaki
agung tersebut berkata, bahwa seluruh persoalan hidupnya telah dia
serahkan kepada Allah”.
Alamah Thabathabai, pada setiap malam Kamis dan malam Jumat
senantiasa mengadakan pertemuan dengan para sahabat dan murid-muridnya
secara bergilir dari rumah satu ke rumah lainnya, suatu kali seluruh
peserta majelis sepakat untuk mengadakan pertemuan di rumah salah satu
pelajar, akan tetapi rumah pelajar tersebut begitu jauh dan gelap,
sedangkan saat itu usia Alamah Thabathabai sendiri telah lanjut,
sehingga untuk berjalan di tempat yang gelap akan sangat menyusahkkan
beliau. Melihat hal demikian, para murid memberikan saran kepada beliau,
lebih baik pertemuan kali ini diadakan saja di rumah beliau, akan
tetapi dalam jawabannya, beliau berkata, “Ketika berjalan di siang hari,
mataharilah yang menjaga kita sehingga kita tidak terjatuh, dan
sekarang dalam kegelapan, karena matahari dan cahaya tidak menjaga kita
lagi, apakah kita akan terjatuh ke tanah?”
Hal-hal di atas merupakan contoh dari kemuliaan dan
kemampuan jiwa dalam menguasai tubuh, adanya pengaruh dominan untuk
melakukan perintah-perintah Ilahi, telah memunculkan hal-hal yang
mengagumkan dalam wujud hamba-hamba yang taqwa ini. Pelatihan, ketaatan,
dan penghambaan kepada Tuhan, secara bertahap akan mengantarkan jiwa
untuk sampai ke arah dan tingkatan tersebut, dimana kemudian jiwa
menemukan kodrat yang seharusnya, dan menguasai tubuh secara baik, dan
kedekatannya kepada Tuhan, akan menyebabkan kemuliaan-kemuliaan Tuhan
menurun kepadanya.
Karena karakter manusia adalah mencari keuntungan, maka dia
akan berusaha untuk menggapai apa yang dikenalnya sebagai persoalan
yang sesuai untuk dirinya. Tentunya kecenderungan untuk mencari
keuntungan ini memiliki akar kecintaan yang esensial (cinta diri
sendiri), karena seluruh kecenderungan yang dimiliki oleh manusia
berasal dari akar kecintaan esensial ini, dikarenakan dia mencintai
dirinya sendiri maka dia akan berusaha untuk mendapatkan apa yang
diinginkan oleh jiwanya, tapi apabila dia keliru menentukan, maka dia
akan salah memposisikan apa yang hakiki bagi dirinya, yaitu apabila
manusia tidak mengenal jiwa, kemampuan, potensi, dan kesempurnaan
dirinya, maka dia akan keliru meletakkan persoalan-persoalan non-hakiki
dan keinginan-keinginan tak penting pada posisi kebutuhan-kebutuhan
esensial dan kesempurnaan hakikinya. Dalam keadaan yang demikian maka
seluruh kekuatan dan usahanya dalam hidup, hanya dia untuk mencapai
kesempurnaan tak hakiki dan keinginan-keinginan kaburnya, dengan
demikian ‘aku’ yang hakiki, justru akan terkapar di bawah kaki ‘tubuh’
materi.
Akan tetapi, pengenalan yang benar terhadap jiwa, akan
mampu mengubah arah perjalanan hidup manusia kepada kesempurnaan hakiki,
karena dengan mengetahui dirinya dan mengetahui nilai jiwanya sendiri,
berarti manusia telah mengenal kesempurnaan hakikinya, dan kecintaan
pada diri sendiri tidak akan mengizinkannya melangkah di atas selain
jalan yang menuju ke arah kesempurnaannya.
Dalam perjalanan inilah ‘tubuh’ akan mengorbankan diri hingga mencapai kesempurnaan hakiki
bagi jiwa, dan dia akan memperoleh seluruh kesempurnaan yang akan
melesakkannya hingga lebih tinggi dari tingkatan para malaikat, dan akan
menghalanginya dari terperosok ke jurang yang lebih rendah dari
tingkatan hewan. Hal ini terjadi karena kecintaan diri yang benar akan
menuntut pengaruh yang benar pula, sedangkan kecintaan diri yang palsu
akan memerosokkan manusia pada keinginan-keinginan yang palsu pula.
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah bahwa manusia yang
telah menemukan dirinya ini sama sekali tidak akan menjual aset umurnya
untuk komoditi yang tak kekal dan sesaat, karena dia menganggap bahwa
diri adalah abadi, sementara kehidupan yang abadi tidak membutuhkan aset
yang sesaat, melainkan harus sesuai dengan masa mendatang.
Satu lagi, manusia yang telah mengenal hakikat dirinya akan
menemukan bahwa seluruh umurnya dalam setiap detik kehidupannya harus
mencapai hal yang kekal dan permanen, persis sebagaimana seorang
kapitalis yang membeli barang-barang berharga dengan berapapun aset yang
dia miliki, untuk mendapatkan aset yang permanen, dan hal ini
kontradiksi dengan orang yang waktunya hilang sesaat demi sesaat dan
tidak ada sesuatupun yang dihasilkannya, dia telah kehilangan asetnya
dan diapun tidak mampu memperoleh yang abadi dan permanen. Dia tidak
mendapatkan sedikitpun keuntungan dari waktu yang telah terbuang.
Pada dasarnya kesulitan-kesulitan dan benturan-benturan
yang dimiliki oleh manusia-manusia saat ini adalah karena mereka tidak
mampu membedakan antara diri hakiki dan diri tak hakiki, dan mereka
telah memisahkan antara aku yang sebenarnya dari tubuhnya, lalu menarik
masing-masingnya ke arah yang berbeda dari lintasan perjalanan yang
seharusnya.
Perolehan lain dari makrifat jiwa adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Allah swt dalam al-Quran, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri”,[26] dimana
melupakan Tuhan akan meniscayakan pada lupa diri, yang konsekuensinya
berarti pengenalan diri akan meniscayakan pada pengenalan Tuhan.
Pada salah satu ayat-Nya yang lain, “Allah berfirman,
“Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”.[27]
Pertanyaan yang muncul adalah, apa maksud dari “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”.
Sedangkan Tuhan tidak akan pernah lupa, karena kejahilan,
ketidaktahuan, dan lupa merupakan suatu persoalan yang mustahil
bagi-Nya. Jika demikian, apa yang ingin dikatakan oleh ayat ini? Masa
depan seperti apa yang hendak diungkapkannya? Dari wahyu tersebut bisa
disimpulkan bahwa orang yang mendengarkan dan mengamalkan apa yang
diperintahkan oleh Tuhan, dia akan memperoleh keinginan-keinginan
hakikinya dan dia akan menuangkannya ke kedalaman jiwanya untuk memenuhi
kehausan spiritualnya. Dari sini, seluruh
kecenderungan-kecenderungannya telah berubah dari potensi menjadi
aktual, yang akhirnya akan sampai pada bentuk malakuti yang suci dari
keterikatan alam materi.
Akan tetapi, ketiadaan perhatian pada perintah, hukum, dan
ayat-ayat Ilahi pada hakikatnya merupakan ketiadaan perhatian pada
keinginan hakiki manusia, dengan perbuatannya ini berarti dia telah
meletakkan jiwa dalam kotoran gelap alam materi, dan seluruh
kecenderungan-kecenderungannya telah dia hancurkan pada tingkatan
potensi, dan dia akan terhalangi dari pengaruh-pengaruh malakuti amal
dan perbuatan-perbuatannya yang Ilahi, dan hal ini akan tampak jelas
pada hari kiamat kelak. Dari sinilah kemudian Allah swt berfirman, “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”,
yaitu dilupakannya manusia pada hari kiamat, bertolak dari amal dan
perbuatannya di dunia dan apa yang telah dipersiapkan oleh Tuhan untuk
mengembangkan kecenderungan-kecenderungan, baginya hal ini merupakan
sesuatu yang tidak bisa dia peroleh.
Poin penting berikut harus diperhatikan bahwa balasan pada
hari kiamat yang bertolak dan merupakan hasil dari amal dan perbuatan
setiap manusia di dunia merupakan majemuk perbuatan yang telah bergabung
dalam diri seseorang yang kemudian akan membentuk wujud ukhrawinya, dan
ini berlawanan dengan balasan dan pahala yang ditentukan di dunia.
Di dunia, untuk perbuatan yang berbeda akan mendapatkan
balasan yang telah ditentukan dalam bentuk yang berbeda pula. Misalnya,
untuk pelanggaran mengemudi, akan dikenai hukuman denda, dan untuk
peminum minuman keras akan dikenai hukuman siksaan dan …, akan tetapi di
akhirat, setiap manusia akan dibangkitkan dengan hakikat perbuatannya.
Dalam salah satu ayat-Nya, berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu)
itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah
kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”[28], yaitu
orang yang memukul anak yatim dengan kezaliman dan telah menyebabkan
air matanya jatuh bercucuran, sebelum dia melanjutkan perbuatan dan
ancamannya, beliung telah memangkas jenggotnya dan hakikat perbuatannya –
yang kini telah tersimpan di dalam jiwanya – akan tampak baginya di
hari kiamat kelak.
Sekarang, ketika kiamat dan masa tertampaknya perbuatan
manusia dan hari penampakan masih tersembunyi dan tidak kita ketahui,
orang-orang yang melupakan ayat-ayat Ilahi pun, pada hari kiamat akan
berhadapan dengan hakikat perbuatannya yaitu dia akan dilupakan, “Dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”, dan dia tidak akan layak mendapatkan perhatian sedikitpun.
Pada hari ketika rahmat Tuhan tercurah pada seluruh alam,
dia akan terhalangi dari rahmat-Nya. Orang yang tidak mengenal dirinya,
dia akan menyangka telah hidup beruntung dan berbahagia ketika memiliki
kendaraan, makanan, dan minuman yang paling baik, kekayaan dunia yang
berlimpah, hidup di istana besar nan mewah dan mendapatkan seluruh
penghormatan. Akan tetapi ini semua tak lebih dari sekedar sebuah
khayalan, dia tidak mengetahui bahwa dia telah hidup di alam yang bukan
alam insaniyah. Orang yang membatasi seluruh perhatiannya pada
keinginan-keinginan hewani, dan lalai terhadap jiwanya, dan tidak
bernafas di dalam udara insaniyah, dia akan mati dengan keadaan
sebagaimana dia hidup di dunia ini.
Mengenal Indera Batin Manusia
Sebagaimana manusia dalam lahiriahnya memiliki potensi yang
beragam, seperti mata, telinga, hati, indera perasa, pencium dan
lain-lain, batin juga memiliki potensi-potensi semacam ini yaitu
memiliki indera penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya.
Sebagaimana tubuh materi memiliki mata dan telinga, jiwa
juga memiliki penglihatan dan pendengaran, dan sebagaimana halnya
jantung materi berdetak di dalam dada jasmani manusia lalu
menyempurnakan kehidupannya, jiwa juga memiliki jantung yang memiliki
kehidupan, dimana kebanyakan dari ibadah akan menyebabkan hidupnya hati
ini, dan kebalikannya kebanyakan dari dosa akan mematikan dan
memusnahkannya, dan begitu banyak hadits yang menyiratkan tentang aksi
dan reaksi jantung batin ini. Sebagai contoh, pada sebuah hadits
dikatakan bahwa zikir “Ya hayyu ya qayyum, ya man la ilaha illa anta”
akan menghidupkan hati. Demikian juga terdapat dalam hadits bahwa hidup
berdampingan dengan penyembah dunia akan mematikan hati. Orang yang
tidak mengetahui secara benar tentang potensi yang dimiliki oleh
eksistensi ini, akan berhadapan dengan potensi-potensi yang mentah dan
tak matang, dan sebagaimana kanak-kanak yang tidak pernah memperhatikan
adanya bahaya dan manfaat, setiap langkah yang dia lakukan dalam
kehidupan senantiasa akan semakin mendekatkannya kepada bahaya dan
semakin menjauhkannya dari manfaat.
Seperti orang yang dilahirkan dan hidup sendirian di tengah
hutan, dan tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang
potensi-potensi yang dimilikinya, keadaan ini jelas akan menyebabkan
stagnasi perkembangan pada potensi-potensi yang dimilikinya, baik
potensi yang tersembunyi ataupun yang tampak. Bahkan hingga sampai pada
tingkatan dia tidak mengetahui apa yang bisa diperbuat oleh lidah yang
ada di mulutnya. Tidak ada sedikitpun gambaran dalam benaknya bahwa
dengan lidah, dia akan mampu menyampaikan maksudnya kepada selainnya.
Dia juga tidak mengetahui bahwa dengan matanya dia akan mampu melihat
hal-hal yang indah dan mempesona, dengan telinganya dia akan mampu
mendengar suara-suara yang merdu.
Oleh karena itu, pada sepanjang hidupnya, dia akan bisu,
buta, tuli dan tidak mampu memanfaatkan perangkat-perangkat yang
diletakkan dalam kewenangannya. Apa yang terdapat dalam kedalaman batin
manusia pun demikian juga. Ketika manusia tidak mengenal penglihatan,
pendengaran, dan hati nurani, maka dia tidak akan memberikan perhatian
padanya, dengan demikian potensi-potensi ini tidak akan bisa berkhidmat
secara maksimal kepadanya, hasilnya, batinnya akan menjadi buta, bisu,
dan tuli.
Apabila mata dan telinga yang dimiliki oleh jiwa manusia
tidak pernah melihat dan mendengar hakikat sedikitpun, dan hatinya tidak
pernah berada dalam ketenangan dan tidak pernah menemukan sandaran pada
hakikat tinggi makrifat, maka mata dan telinga manusia ini akan tetap
buta dan tuli di dunia ini, sebagaimana orang hutan yang tetap dalam
keadan bisu dan tuli karena dia tidak pernah bercakap dengan selainnya
dan tidak pernah pula mendengar suara dari selainnya. Orang inipun di
akhirat kelak akan dibangkitkan dalam keadaan bisu dan tuli, dan
al-Quran dengan seluruh perhatiannya mengajak manusia untuk menguatkan
mata dan telinga batin ini.
Pada salah satu ayat-Nya, Allah swt berfirman, “Sesungguhnya
telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang siapa melihat
(kebenaran itu), maka (manfaatnya) bagi dirinya sendiri; dan barang
siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya kembali
kepadanya”. [29]
Dan pada ayat lain berfirman, “Maka apakah mereka tidak
berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu
mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi
yang buta, ialah hati yang di dalam dada”,[30]yaitu
mata hati dan jiwanya telah buta sehingga ruh tidak mempunyai kekuatan
untuk melihat hakikat. Hakikat makrifat tidak senantiasa bisa disaksikan
dengan mata lahiriah, untuk memahaminya mata batin harus dalam keadaan
terbuka untuk menerima dan memahami.
Pada ayat yang lain, Allah swt berfirman, “Dan barang
siapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”[31]
Apabila kita telisik ayat di atas, apa sebenarnya maksud dari ibarat
ini? Apakah maksudnya adalah bahwa setiap orang yang tidak mendapatkan
karunia untuk melihat dunia dengan matanya, di akhirat pun tidak akan
melihat apa-apa?
Jika demikian, maka seharusnya Abu Bashir yang buta, murid
terbaik Imam Shadiq as, juga akan dibangkitkan di akhirat dalam keadaan
buta? Tentu saja tidak, makna ayat tidaklah mengisyaratkan bahwa setiap
orang yang di dunia ini tidak bisa menyaksikan benda-benda materi di
sekitarnya dengan matanya, di akhiratpun akan menghadapi hal yang
serupa.
Yang benar adalah bahwa setiap orang yang mata hati dan
jiwanya tidak terbuka dan pemahaman serta pandangannya tidak melebihi
tingkatan lahiriah bendawi, maka dia sama sekali tidak akan mampu
membaca huruf-huruf dan rahasia eksistensi dan tidak memiliki pandangan
yang mengandung ibrah terhadap dunia.
Ringkasnya, apabila seseorang tidak menemukan hubungan
dengan batin alam, berarti dia buta, dan buta semacam ini akan mewujud
di akhirat kelak, karena kiamat adalah “Hari ketika seluruh rahasia-rahasia tersingkap “.
Oleh karena itu, manusia harus hidup sedemikian rupa
sehingga seluruh amal, perbuatan, dan tujuannya adalah untuk membuka
mata dan telinga batin dan menemukan pandangan hakiki. Manusia harus
mengarungi kehidupannya di bawah naungan wilayah Ilahi dan bimbingan
Ahlulbait as sehingga akan terdapat perbedaan antara hari kelahiran dan
kematiannya, yaitu apabila seseorang terlahir ke dunia dalam keadaan
mata dan telinga yang tertutup, maka dia akan meninggalkan dunia dengan
mata dan telinga yang terbuka sehingga akan dibangkitkan di alam akhirat
dalam keadaan melihat.
Tentunya usaha dan upaya dalam wilayah ini membutuhkan
kerja yang ekstra, dan Allah swt akan mempermudah keberhasilannya
hamba-Nya yang berusaha untuk melakukah hal ini. Dari sini, Allah swt
dalam al-Quran berfirman, “Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya “.[32]
Dalam hubungannya dengan bahasan kita, terdapat sebuah
cerita yang dinukilkan dari Ayatullah Behjat, yang akan kami ceritakan
untuk Anda secara ringkas. Di Masyhad, terdapat seorang lelaki buta yang
hafal seluruh al-Quran. Keahlian orang ini adalah ketika seseorang
meletakkan al-Quran di tangannya dan misalnya meminta kepadanya untuk
menemukan ayat “Maka Apakah Kami akan berhenti menurunkan Al Quran kepadamu, karena kamu adalah kaum yang melampaui batas?”[33],
maka dia akan segera mengambil Quran itu dan menunjukkan ayat
sebagaimana yang dimaksud. Kadangkala sebagian orang yang ada disana
dengan bergurau mengatakan bahwa engkau tidak menemukan ayat yang
diinginkannya dan dia menjawab, berarti kalianlah yang buta.
Apakah ayat, “Dan barang siapa yang buta (hatinya) di
dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan
lebih tersesat dari jalan (yang benar)”[34]
berkaitan dengan orang semacam ini, ataukah berkaitan dengan seseorang
yang memiliki dua mata indah yang menghiasi wajahnya, akan tetapi dia
hanya menggunakannya untuk melihat kehidupan lahiriah dan mata hatinya
tidak berhubungan dengan batin dan hakikat alam?
Pada surah Thahaa, Allah swt berfirman, “Dan barang
siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat
dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau
menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulunya aku adalah
seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, telah datang
kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu melupakannya, maka begitu (pula) pada
hari ini kamupun dilupakan”[35].
Orang yang pada hari kiamat dibangkitkan dalam keadaan buta akan mengatakan, “… padahal dahulunya aku adalah seorang yang melihat”,
jelas, orang ini menyangka bahwa dirinya melihat dan dia mengkhayal
bahwa yang dimaksud dengan penglihatan hanyalah bahwa manusia mampu
menyaksikan benda-benda materi dalam batasan tertentu, sedangkan
sebenarnya tidaklah demikian. Orang semacam ini sama sekali tidak
mengetahui makna hakiki dari melihat dan bashirah, dia tidak
memahami bahwa pada hakikatnya di dunia ini terdapat dua kebutaan,
pertama tidak memiliki penglihatan fisikal, dan kedua tidak memiliki
penglihatan jiwa.
Allah swt pada ayat yang lain dari al-Quran berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dila’nat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”[36].
Memperhatikan subyek ini, meniscayakan kepada kita untuk
tidak melihat al-Quran hanya dari makna leksikalnya, melainkan al-Quran
merupakan penjelas dari hakikat alam, al-Quran merupakan wujud kalimat
dari eksistensi hakiki dan merupakan penerjemah realitas eksternal.
Ketika al-Quran berfirman, “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup”[37], pada hakikatnya ayat ini menghikayatkan bagaimana eksistensi eksternal itu. Dan ketika berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang dila’nat Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka”, inipun merupakan pembuka sebuah rangkaian aksi dan reaksi yang terjadi pada mekanisme orang-orang tertentu.
Dalam surah al-Mukmin, berfirman, “Dan tidaklah sama
orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidak (sama pula)
orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang
yang durhaka”[38].
Pada awal ayat berfirman bahwa ‘buta’ dan ‘melihat’ tidaklah sama,
kemudian melanjutkan, orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh, berbeda dengan orang-orang yang durhaka.
Pada dasarnya, ayat ini meletakkan kebutaan secara
berhadapan dengan iman dan amal shaleh, sedangkan para pendosa dan
pelaku perbuatan-perbuatan yang tercela dianggap sebagai orang-orang
yang tidak memiliki ‘mata’. Maksudnya adalah bahwa iman dan amal shaleh
adalah penerang yang akan menajamkan penglihatan sedangkan dosa dan
maksiat akan menggelapkan dan membutakan penglihatan.
Pada surah al-Baqarah, Allah berfirman, “Mereka itu tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itulah) mereka tidak mengerti”[39], sedangkan pada surah an-Naml, berfirman, “Dan
kamu sekali-kali tidak dapat memimpin (memalingkan) orang-orang buta
dari kesesatan mereka. Kamu tidak dapat menjadikan (seorangpun)
mendengar, kecuali orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, lalu
mereka berserah diri”[40], kemudian pada surah Fushilat, berfirman, ” … dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka terdapat sumbatan, dan kedua mata mereka buta … “[41]
Ayat-ayat di atas, seluruhnya menyiratkan poin berikut
bahwa manusia selain memiliki potensi lahiriah dan inderawi, mereka juga
memiliki potensi batin dan spiritual. Letak poin tersebut di sini bahwa
kemanusiaan manusia dan kebahagiaannya bergantung hingga sejauh mana
dia menemukan pengenalan terhadap potensi-potensi internal jiwanya dan
sejauh mana dia mampu memenuhi kebutuhan hakiki batinnya.
Dia harus meletakkan potensi-potensi ini dalam wilayah
perhatiannya lalu mempersiapkan segala sesuatu yang bermanfaat dan
menjadi nutrisi bagi batin, dan tidak menghalangi tumbuhnya potensi
internal, membimbingnya ke arah yang benar untuk mencapai kesempurnaan
hakikinya, sedangkan merendahkan mereka akan menyebabkan kerusakan dan
turunnya derajat kemanusiaan, yang hal ini akan berlanjut pada kebutaan
dan ketulian yang sama sekali tidak bisa diterima dan tidak pernah
diinginkan oleh setiap manusia, dan keadaan seperti ini hanya akan
mengantarkan pada kesedihan mendalam dan penyesalan yang tak berguna.
Allah berfirman, “Setiap kali mereka hendak keluar
darinya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka:
“Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya”[42].
Referensi:
[1] . Qs. Al-Maidah: 105.
[2] . Qs. Fushilat: 53.
[3] . Bagi kalian adalah jiwa-jiwa kalian sendiri.
[4] . Ghurar wa Durar, cetakan Yayasan A’lami Beirut, jilid 2, hal. 159.
[5] . Ibid.
[6] . Ibid, hal. 36.
[7] . Ibid, 8624.
[8] . Ibid, 2936.
[9] . Ibid, hal. 198.
[10] . Ghurar wa Durar Omadi.
[11] . Ibid.
[12] . Ibid.
[13] . Ibid.
[14] . Imam Ali as, Ghurar wa Durar, hal 36.
[15] . Ibid.
[16] . Ibid.
[17] . Ibid.
[18] . Ghurar wa Durar.
[19] . Ibid.
[20] . Ibid.
[21] . Ibid.
[22] . Ibid.
[23] . Ghurar wa Durar Omadi.
[24] . Nahjul Balaghah, khutbah 22.
[25]
. Ayatullah Sayyed Muhammad Darceh-i adalah saudara laki-laki dan murid
Almarhum Sayyed Muhammad Baqir Darceh-i, ustadz dan guru Ayatullah
Burujerdi ra di Isfahan.
[26] . Qs. Al-Hasyr: 19.
[27] . Qs. Thahaa: 126.
[28] . Qs. Yunus: 23.
[29] . Qs. Al-An’am:104.
[30] . Qs. Hajj: 46.
[31] . Qs. Al-Israa: 72
[32] . Qs. Thalaaq: 2.
[33] . Qs. Az-Zukhruf:5.
[34] . Qs. Al-Israa: 72.
[35] . Qs. Thahaa: 124-126.
[36] . Qs. Muhammad: 23.
[37] . Qs. Anbiyaa: 30.
[38] . Qs. Al-Mukmin: 58.
[39] . Qs. Al-Baqarah: 171.
[40] . Qs. an-Naml 81.
[41] . Qs. Fushilat: 44.
[42] . Qs. As-Sajdah: 20.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar