Oleh: Mohammad Adlany
Keyakinan kepada Tuhan merupakan pondasi utama dan asas terpenting bagi seluruh agama. Asas inilah yang melandasi segala pikiran dan perilaku manusia yang beragama. Ada hubungan yang sangat erat antara kesempurnaan perbuatan insan dan kepercayaan kepada Tuhan. Semakin tinggi kepercayaannya kepada Tuhan maka semakin intens pula hubungannya kepada-Nya, dan ini berkonsekuensi pada semakin sempurna pengamalannya atas ajaran-ajaran agama.
Pengetahuan yang mendalam akan eksistensi Tuhan akan meniscayakan pengetahuan sempurna akan sifat-sifat-Nya. Salah satu sifat Tuhan adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Bijaksana. Manusia yang yakin akan wujud Tuhan niscaya mengetahui bahwa yang paling mengetahui akan hakikat dirinya, sifat-sifatnya, dan kebutuhan substansialnya adalah Sang Penciptanya.
Kepercayaan kepada Tuhan merupakan inti dan substansi agama, maka sangatlah urgen membangun keyakinan kita itu di atas pondasi dan argumen yang sangat kokoh dan kuat. Karena semua manusia memiliki dua fakultas pencerapan, akal dan hati, maka argumen pun harus didasarkan pada dua indera itu, yakni argumentasi akal (filsafat) dan pemahaman intuitif (irfan). Dua argumen inilah yang merupakan pijakan kokoh bagi bangunan keyakinan kepada Tuhan.
Kesadaran rasional dan intuitif merupakan kesadaran tertinggi bagi manusia[1] yang sekaligus merupakan tujuan penciptaan manusia. Manusia yang paling berakal adalah manusia yang paling yakin akan keberadaan Tuhan dan menganut agama sebagai satu-satunya jalan menuju kepada-Nya.
Kokohnya bangunan keyakinan itu akan sangat berpengaruh kepada aspirasi kita kepada agama yang merupakan pedoman hakiki bagi manusia untuk meraih kesempurnaan dan penghambaan kepada-Nya.
Artikel ini akan mencoba mengkaji sejauh mana penegalaman keagamaan bisa menjadi pondasi dan argumen yang kuat untuk menegaskan eksistensi Tuhan.
Kejelasan Wujud Tuhan
Sebagian filosof dan semua urafa menyatakan bahwa wujud Tuhan adalah sesuatu yang jelas, aksioma, gamblang, dan badihi[2], serta bahkan lebih terang dari segala sesuatu yang lain. Karena itu, keberadaan Tuhan sama sekali tidak memerlukan dalil dan argumen. Dia adalah dalil atas segala sesuatu dan Dia mendahului segala sesuatu. Dia ada sebelum ada segala sesuatu. Dialah yang mengadakan segala sesutu. Segala sesuatu bergantung mutlak kepada-Nya. Ketiadaan selain-Nya tidak meniscayakan ketiadaan-Nya. Tetapi ketiadaan-Nya adalah meniscayakan ketiadaan segala sesuatu. Dialah yang menjelaskan segala sesuatu. Bukan segala sesuatu yang menerangkan Dia. Segala sesuatu dikenal karena-Nya. Bukan karena selain-Nya Dia diketahui.
Namun, sebagian filosof dan seluruh teolog (ahli kalam) menyatakan bahwa wujud Tuhan membutuhkan argumen. Mereka kemudian membagi argumen menjadi dua bagian:
- Burhan Inni (a priori argument);[3]
- Burhan Limmi (a posteriori argument).[4]
Sebagian lagi membagi metode pembuktian Tuhan kedalam tiga bagian:
- Metode Fitrah atau kalbu;[5]
- Metode Empiris;[6]
- Metode Filosofis.[7]
Para ilmuwan dewasa ini menawarkan beragam cara untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Misalnya argumen mukjizat (supra-natural argument), argumen akhlak (moral argument), dan argumen pengalaman keagamaan (religious experience argument).
Pada kesempatan ini, kami akan mengkaji argumen pengalaman keagamaan sebagai tawaran baru dalam metode pembuktian wujud Tuhan.
Konsep tentang pengalaman keagamaan ini lahir di akhir abad 18 dan digagas oleh seorang filosof Jerman bernama Schlieirmacher (1768-1834). Lahirnya gagasan ini dilatari oleh dua hal:
- Humanisme;
- Rasionalisme.
Rasionalisme ekstrim ditolak oleh banyak ilmuwan pasca Descartes, terutama David Hume yang menolak argumen-argumen filosofis tentang pembuktian wujud Tuhan. Kant juga beranggapan bahwa agama tidak sesuai dengan rasionalitas. Menurutnya, segala prinsip-prinsip agama tidak bisa ditetapkan dan didekati lewat akal teoritis. Kant lebih menekankan agama didekati lewat pendekatan moral dan mengusulkan penetapan wujud Tuhan lewat metode praktis akhlak (baca; akal praktis), bukan dengan asumsi rasionalitas. Lebih jauh dia menyatakan bahwa hakikat agama adalah akhlak itu sendiri.
Keringnya rasionalitas ekstrim, menyebabkan lahirnya filsafat Romantisme yang mengedepankan perasaan, emosi dan cinta. Pada kondisi ini Schlieirmacher dari satu sisi mendukung rasionalisme ekstrim, dan dari sisi lain mengecam pendekatan akhlak dalam pembuktian realitas Tuhan. Dia berkata bahwa agama mendapatkan tempatnya lewat ketulusan, emosi dan cinta. Hakikat agama adalah perasaan tulus, ikhlas, emosi dan cinta yang tak terbatas, serta kebergantungan mutlak lewat intensitas pengamalan-pengamalan keagamaan. Jadi, agama dalam definisi ini menjadi sangat personal dan relative. Agama tidak ikut campur dalam masalah-masalah sosial, budaya dan politik. Agama menjadi sangat marginal.
Definisi Pengalaman Keagamaan
Pengalaman keagamaan didefinisiskan sebagai penyaksian Tuhan atau perkara-perkara gaib lainnya. Jika penyaksian itu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat inderawi, maka hal tersebut disebut dengan pengalaman inderawi. Tetapi jika penyaksian tersebut berhubungan dengan Tuhan atau hal-hal yang berasal dari-Nya, maka disebut pengalaman keagamaan[8]. Dalam pengalaman keagamaan, Tuhan memanifestasikan diri-Nya sendiri dalam wujud para pesuluk (orang yang meniti jalan ruhani). Terkadang pengalaman keagamaan juga meliputi terkabulnya doa dan penyembuhan penyakit. Tetapi dalam kerangka pembahasan filosofis, pengalaman keagamaan dibatasi oleh pengalaman-pengalaman yang mengandung pengetahuan tentang Tuhan.
Rudolf Otto dan Schleiermacher beranggapan bahwa pengalaman keagamaan adalah inti dan substansi agama, pemikiran agama dan akhlak lebih bersifat aksiden. Dalam pandangan Otto, jika agama dipahami dan diyakini berdasarkan pengenalan rasionalitas atas wujud dan sifat-sifat Tuhan, maka akan terdapat kesalahan dalam pemahaman agama.[9]
Pengalaman keagamaan adalah substansi agama dengan makna bahwa hakikat agama adalah perasaan khas yang lahir ketika berhadapan dengan hakikat tak terbatas. Hal-hal lain, seperti pemikiran agama, amal perbuatan dan akhlak tidak termasuk dalam hakikat dan inti agama. Oleh karena itu, jika keadaan perasaan tersebut hadir pada diri seseorang, maka dia disebut memiliki agama. Tetapi jika sebaliknya, maka dia tidak dikategorikan sebagai orang yang beragama. Apabila perasaan tersebut semakin sempurna, maka agama pun semakin sempurna. Agama dan perasaan berbanding lurus.
Pengalaman keagamaan adalah inti dan substansi agama dengan tafsiran bahwa ia merupakan tujuan dan maksud hakiki agama. Ibn ‘Arabi menerima pengalaman keagamaan sebagai substansi agama dalam pengertian tersebut. Menurut dia, syariat adalah jalan yang mengantarkan pesuluk mencapai penyaksian (syuhudi) dan penyatuan dengan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Tingkatan inilah yang dimaksud tujuan dan kesempurnaan agama. Jadi, kesempurnaan agama seseorang bergantung pada kemanunggalannya dengan nama dan sifat Tuhan. Semakin banyak dia menyerap nama dan sifat Tuhan, semakin sempurna agamanya.
Bentuk-bentuk Pengalaman Keagamaan
1. Pengalaman interpretatif
Yang dimaksud dengan pengalaman interpretative (interpretative experiences) adalah warna pengalaman agama ini bukan disebabkan oleh kekhususan-kekhususan pengalaman itu sendiri, tetapi ditentukan oleh penafsirannya atas agama.
Jadi, pelaku yang meraih pengalaman keagamaan, memandang pengalamannya sendiri berdasarkan suatu penafsirannya atas agama. Seperti seorang muslim yang memandang kematian anaknya sebagai balasan atas dosanya sendiri, atau seorang penganut Kristen menafsirkan kematian anaknya sebagai ikut serta dalam penderitaan Isa As. Jadi, mereka bersabar dalam musibah tersebut dan menghasilkan ekspresi kejiwaan dalam bentuk kesedihan, kenikmatan atau kebahagiaan.
Poin penting dalam masalah ini adalah dengan bantuan penafsiran, maka semua hal yang terjadi dalam kehidupan dapat diwarnai dengan warna keagamaan, lantas diamalkan dan dihayati. Sisi epistemologi dalam pengalaman ini bukanlah hal yang dipentingkan.[10]
2. Pengalaman inderawi
Pengalaman inderawi (sensory experience) adalah pengalaman yang bersifat penginderaan yang dipengaruhi oleh lima panca indera. Penglihatan-penglihatan yang bersifat keagamaan, perasaan menderita ketika melakukan pengamalan keagamaan, melihat malaikat, mendengar wahyu dan percakapan Musa as dengan Tuhan, kesemuanya itu dikategorikan dalam pengalaman inderawi.[11]
3. Pengalaman wahyu
Pengalaman ini meliputi wahyu, ilham dan bashirah yang seketika. Pengalaman wahyu (revelatory experience) yang bersifat seketika, tanpa penungguan sebelumnya, hadir dalam diri pesuluk. Dan warna keagamaan pengalaman ini berkaitan dengan isi dan makna dari wahyu tersebut. Menurut Davis, pengalaman ini memiliki lima kriteria:
- Bersifat tiba-tiba dan waktunya yang singkat;
- Meraih pengetahuan baru tanpa tafakkur dan argument;
- Berpengaruhnya faktor eksternal;
- Keyakinan akan kebenaran yang diperoleh;
- Tidak dapat dijelaskan dan digambarkan.[12]
4. Pengalaman pembaharuan
Pengalaman ini merupakan bentuk pengalaman keagamaan yang paling umum. Pengalaman pembaharuan (regenerative experiences) ini adalah pengalaman yang menjadikan keimanan pelaku semakin bertambah sempurna. Pengalaman ini merubah secara drastis keadaan jiwa dan akhlak pelaku. Seseorang akan merasa bahwa Tuhan sedang mengarahkan dirinya kepada hakikat kebenaran.[13]
5. Pengalaman mistik
Pengalaman mistik (mystical experience) merupakan salah satu bentuk pengalaman keagamaan yang paling penting. Rudolf Otto dalam karyanya[14], membagi pengalaman mistik menjadi dua bagian:
a. Pengalaman yang berhubungan dengan sisi internal jiwa
Pada dimensi ini pesuluk memperhatikan ke dalam diri dan tenggelam dalam lautan kejiwaannya, serta berupaya menyelam ke dasar jiwa untuk meraih kekuatan suci. Seorang pesuluk, berupaya jauh dari pengaruh indera lahiriah dan lebih memperhatikan sisi-sisi batin. Hal ini dicapai dengan pemusatan konsentrasi pada satu perkara. Ketika dia berhasil meraih kesempurnaan konsentrasi, tahap selanjutnya adalah menghilangkan semua rasa dan menghapus semua gambaran inderawi dan gambaran pikiran hingga mencapai “kekosongan” dan “ketiadaan” yang sempurna. Menurut para arif, pesuluk yang sampai pada tingkatan ini, akan meraih pengetahuan sejati dan suci. Dapat dikatakan bahwa arif dalam pengalaman ini, lepas dari perasaan ego dan menyatu dengan ego suci.
b. Pengalaman yang berkaitan dengan penyaksian kesatuan wujud
Sisi ini memiliki tiga tingkatan:
Pertama, arif mengetahui adanya kesatuan alam. Fenomena-fenomena alam menjadi satu kesatuan dengan diri arif.
Kedua, bukan hanya alam tapi juga ada kekuatan supra natural yang mempengaruhinya. Arif melihat kesatuan lewat kejamakan alam.
Ketiga, alam menjadi “tiada” dalam pandangan arif, dia memandang kesatuan tanpa kejamakan alam. Yang ada hanyalah kesatuan itu sendiri.[15]
Titik Temu Pengalaman Keagamaan
Dengan memperhatikan bentuk-bentuk pengalaman keagamaan di atas akan muncul pertanyaan bahwa apakah bentuk-bentuk tersebut memiliki titik kesamaan?
Masalah ini menjadi sangat penting ketika pengalaman keagamaan itu diartikan sebagai: Pertama: Hakikat dan prinsip yang paten dalam agama yang mendasari semua perkara yang bersifat keyakinan, amal perbuatan dan akhlak Kedua: Cara meraih pengetahuan dan mengenal hakikat.
Pengalaman-pengalaman keagamaan tersebut akan bermamfaat jika menghasilkan pangetahuan yang sama, walaupun dengan derajatnya yang berbeda. Apabila hal ini tidak terjadi, maka setiap pengetahuan yang dihasilkan dari satu bentuk pengalaman keagamaan -bisa jadi- akan bertentangan satu dengan yang lainnya, dan berujung pada ketidakabsahannya sebagai parameter dalam kebenaran pengetahuan.
Wiliam James[16] menawarkan empat titik kesamaan dalam pengalaman-pengalaman keagamaan :
- Tidak bisa disifatkan, dijelaskan dan digambarkan;
- Memberikan pengetahuan;
- Cepat berlangsung;
- Bersifat reaktif.[17]
Kriteria Pengalaman Keagamaan
Pesuluk dalam pengalaman keagamaan, berhubungan langsung (hudhuri) atau dengan perantara (hushuli) dengan hakikat dan wujud tak terbatas. Tuhan memanifestasikan diri-Nya dalam wujud pesuluk hingga dia meraih pengetahuan sejati.
1. Pengalaman keagamaan para nabi, jika dalam bentuk ilmu hudhuri, sama dengan pengalaman mistik; Pesuluk membutuhkan manifestasi Tuhan dalam membangun hubungan hudhurinya dengan Tuhan dan juga dalam menafsirkan pengalaman hudhuri-nya. Oleh karena itu, hakikat-hakikat agama yang lahir dalam bentuk ilmu hushuli, juga disebut wahyu yang datangnya dari Tuhan yang terpancar lewat wujud pesuluk.
2. Kriteria-kriteria pribadi dan faktor-faktor alami serta kondisi kejiwaan pesuluk, bukanlah faktor yang berpengaruh atas hadirnya hubungan hushuli atau hudhuri dengan Tuhan. Sebagaimana pengalaman keagamaan para nabi yang terjaga dari ilham syaitan dan hawa nafsu.
3. Pesuluk, dalam pengalaman keagamaan, mengalami penyingkapan dan penyaksian eksistensi Tuhan serta ber”cengkerama” dengan-Nya. Pengetahuan ontologinya sesuai dengan realitas dan tujuan akhir manusia.
4. Pengalaman keagamaan – seperti wahyu dan ilham – berbeda dengan pengalaman mistik, mengandung pengalaman suci dan transenden. Tetapi pengalaman mistik dipengaruhi oleh pemahaman dan pemikiran teoritis. Misalnya pemikiran Mu’tazilah berpengaruh pada pengalaman mistik Mu’tazilah, demikian juga pemikiran teologis Asy’ari.
5. Pengalaman keagamaan dan mistik, sama seperti pengalaman inderawi dan empiris, yang membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Karenanya, membutuhkan epistemologi ontologis.
6. Pengalaman keagamaan dan mistik bersifat khusus, pasti dan berkelanjutan, jika dibandingkan dengan pengalaman inderawi dan empiris.
7. Pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman keagamaan bersifat luas yang meliputi alam, manusia dan Tuhan.[18]
Pengalaman Keagamaan dan Eksistensi Tuhan
Bentuk-bentuk argumen pengalaman keagamaan dalam menetapkan eksistensi Tuhan sebagai berikut:
- Kita berasal dari satu hakikat wujud, kita memiliki pengalaman-pengalaman yang sangat dalam, penuh makna dan sangat berharga. Pengalaman-pengalaman ini tidak bisa ditetapkan dan dihadirkan dengan asumsi-asumsi natural; Karenanya pasti berasal dari satu eksistensi metafisik yaitu Tuhan, Dialah yang memberikan ilham atas pengalaman-pengalaman tersebut;
- Begitu banyak orang dari tempat dan zaman yang berbeda, mengakui dan mengungkapkan pengalaman-pengalaman ketuhanannya. Sangat tidak masuk akal jjika kita menyatakan bahwa mereka itu lalai dan tertipu;
- Pengalaman keagamaan secara esensial, bukanlah monoteistik, trinitas atau panteistik. Semua perbedaan-perbedaan yang ada ini hasil dari penafsiran atas pengalaman keagamaan. Pengalaman keagamaan memiliki sisi yang berharga, karena bertentangan dengan materialisme dan naturalism;
- Argumen yang nyata atas wujud Tuhan, diperoleh dari perasaan seseorang akan kehadiran Tuhan dan pengetahuan tentang kehendak-Nya serta perasaan yang sangat tenang dalam menerima perkara-perkara ilahi.[19]
Menurut sebagian besar para teolog, argumen pengalaman keagamaan, bukanlah argumen yang berdiri sendiri dalam menetapkan wujud Tuhan. Argumen ini hanya digunakan sebagi pelengkap atas argumen-argumen lain tentang pembuktian wujud Tuhan. Sebagian kecil teolog seperti C.D Broad, William Alston, berupaya mendukung dan mempertahankan argumen ini. Ada juga yang mengingkari argumen terserbut dalam menetapkan wujud Tuhan.
Argumen Pengalaman Keagamaan
Beberapa pendahuluan mengenai argumen ini, dapat dipaparkan sebagi berikut:
- Para arif sepakat tentang adanya esensi spiritual realistis yaitu Tuhan;
- Adanya kesepakatan para arif dan pesuluk, yang mereka sendiri mengakui dan memproklamirkan pengalaman tersebut, menandakan bahwa pengalaman-pengalaman mereka itu adalah sesuatu yang sah, nyata dan logis;
- Tak satupun dalil dan argumentasi yang menetapkan, bahwa pengalaman-pengalaman tersebut adalah bersifat khayal dan tidak realistis. Karenanya, keyakinan akan wujud Tuhan yang diperoleh dari pengalaman keagamaan dan mistik merupakan hal yang sangat logis.[20]
Kritik atas Argumen Pengalaman Keagamaan
Kelemahan dalam pembahasan rasionalitas dan prinsip-prinsip pemikiran filsafat, menyebabkan sebagian teolog kristen salah dalam membangun prinsip-prinsip rasional dalam proses pembuktian wujud Tuhan.
Salah satu argumen yang kehilangan keabsahan filosofisnya adalah argumen pengalaman keagamaan yang bersandar pada pengalaman-pengalaman, pencapaian dan penyaksian realitas yang bersumber dari nilai dan kesucian yang dalam.
Pengetahuan syuhudi atas hakikat eksistensi, walaupun merupakan hal yang mungkin dicapai dalam pandangan akal, tetapi ada beberapa poin penting yang harus diperhatikan:
- Syuhud[21] memiliki tingkatan dan derajat yang berbeda. Pada tingkatan tertentu, yaitu penyaksian hal-hal yang particular, terkadang menghadirkan keraguan dan ketidakyakinan;
- Syuhudnya para arif bagi orang-orang yang tidak mencapai tingkatan tersebut tidaklah menghasilkan keyakinan. Dan syuhud tersebut juga tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak dan membatalkan kesyuhudan orang lain.[22]
Jadi, seseorang yang tidak dapat meraih pengetahuan syuhudi, bisa menjadikan pengetahuan syuhudi orang lain sebagai sumber pengetahuan dan keyakinan, manakala keberadaan pengetahuan syuhudi tersebut dapat diargumentasikan. Dan argumentasi ini -secara langsung- menetapkan hakikat dan eksistensi yang disyuhud tersebut, seperti argumen yang secara langsung menetapkan eksistensi Tuhan.
Kelemahan lain yang mendasar dari argumen ini adalah adanya ketidakpastian bahwa yang ditetapkan itu adalah wujud Tuhan. Karena bisa saja wujud yang dirasakan kehadirannya itu merupakan wujud-wujud gaib selain Tuhan, seperti malaikat, jin dan syaitan. Jadi argumen ini tidak mampu secara langsung menetapkan keniscayaan dan keesaan wujud Tuhan.
Referensi:
[1] . Kualitas wujud manusia sangat ditentukan oleh kualitas rasio dan akalnya. Semakin tinggi kesadaran rasionalnya, maka wujudnya akan semakin luas dan sempurna. Pengetahuan dan makrifat adalah penyempurna hakiki wujud manusia. Pengetahuan yang paling tinggi adalah pengetahuan tentang ketuhanan. Metode meraih makrifat adalah dengan pendekatan rasional, akal, dan hati. Tanpa menggunakan akal dan hati manusia tidak memperoleh makrifat yang sempurna. Dan tanpa makrifat yang sempurna manusia tidak akan sempurna.
[2] . Tidak membutuhkan argumen.
[3] . Pembuktian rasional dari akibat ke sebab.
[4] . Pembuktian rasional dari sebab ke akibat.
[5] . Dalam diri setiap orang ada perasaan dan kecenderungan yang secara otomatis menarik ia kepada Tuhan.
[6] . Pembuktian Tuhan dengan mengenal keteraturan dan keseimbangan dalam tatanan alam semesta. Lewat pendekatan ini dikatakan bahwa keteraturan ini pastilah memiliki pengatur yang maha mengetahui dan bijak.
[7] . Dengan menggunakan argumen filosofis dan hukum-hukum akal dalam menetapkan wujud Tuhan.
[8] . Ilahiyat Falsafi, hal.269, Mohammad Rezayi.
[9] .Jastarhaye Dar Kalâm Jadid, hal. 175, Ali syirwani.
[10] . Mabani nazari tajrebeye dini, hal.118, Ali syirwani.
[11] . ibid.
[12] . The evidential force of religious experience, hal 39-44, Davis.
[13] . Mabâni Nazari Tajrebey-e Dini, hal. 121, Ali Syirwani.
[14] . The Idea of the Holy, hal 10, Otto.
[15] . Mabâni Nazari Tajrebey-e Dini, hal.122, Ali syirwani.
[16] . The Varieties of Religious Experience, bab 16. James wiliam.
[17] . Pengaruh pengamalan berbagai adab dan tingkatan-tingkatan amal akan menghasilkan keadaan yang khas bagi jiwa dan menghantarkan jiwa pada kesadaran transenden bahwa dia diliputi oleh kehendak dan kekuatan luar yang tak terbatas.
[18] . Kalâm-e Jâdid, hal. 300, Abdul husain khusrupanoh.
[19] . Ilahiyat Falsafi, hal. 270, Muhammad Riza-i.
[20] . The Argument From Religious Experience, In: Philosophy of Religion, hal 15-108, C.D. Broad.
[21] . Penyaksian langsung hakikat-hakikat metafisik.
[22] .. Tabyin Barâhin Itsbat-e Khudâ, hal. 259, Ayatullah Jawadi Amuli
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar