Akhir-akhir ini marak sekali tulisan bersileweran tentang penolakan terhadap seruan 'Kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah'. Penolakan2 ini ibarat perang pemikiran saja karena dijelaskan oleh banyak orang dengan berbagai analogi. Semua itu didasarkan kepada satu tujuan, yaitu pembelaan terhadap mazhab. Disini saya ingin mengungkapkan apa yang saya pikirkan tentang hal ini sesuai dengan apa yang telah saya dapatkan dari muqarrar (diktat) S2 al Azhar yang sedang saya jalani. Semoga tambahan ini bisa bermanfaat.
Dalam pembahasan kelemahan metode tafsir tahlili (metode tafsir dengan
runtut susunan ayat per ayat), dalam kitab al Qur'an wal Qital, Syekh al
Azhar Mahmud Muhammad Syaltut menyayangkan posisi al Qur'an yang telah
bergeser darimana mestinya. Al Qur'an yang seharusnya usul dari segala
usul telah berubah menjadi cabang (furu'). Menurut beliau hal ini
terjadi karena penafsiran Qur'an dipaksa agar sesuai dengan mazhab dan
aliran sang mufassir.
Misalnya banyak terjadi sebuah ayat ditafsirkan dengan penyesuaian
kepada kaidah usuliyah (pokok) yang telah disarikan dari masalah2
furu'iyah (cabang) fiqh. Kaidah tadi dijadikan usul atau dasar yang mana
pemahaman al Qur'an dan hadis harus disesuaikan dengannya. Hal ini
tidak berhenti pada masalah hukum saja, bahkan sampai kepada masalah2
aqidah dan pendapat dari kelompok2 yang ada di dalam Islam. Misalnya
kita temukan ada yang mengatakan bahwa ayat ini tidak sesuai dengan
mazhab ahli sunnah, maka harus ditakwilkan begini begitu. Atau ada yang
mengatakan bahwa ayat itu tidak sesuai dengan mazhab hanafiyah, maka
takwilnya begini begitu. Bahkan ada yang mengatakan ayat ini dan itu
tidak sesuai dengan karakteristik Islam, maka ayat2 yang berbicara
tentang perang dihapuskan.
Keadaan seperti ini memposisikan al Qur'an yang sebelumnya asal menjadi
cabang, yang sebelumnya diikuti menjadi pengikut, yang sebelumnya
timbangan menjadi yang ditimbang. Menurut saya itu merupakan sebuah
kezaliman terhadap hidayah yang diturunkan Allah kepada umat manusia.
Kemudian Syekh Mahmud Syaltut mengutip ayat an Nisa': 59 yang berbunyi:
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله و اليوم الآخر
"Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada
Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian"
Syekh Syaltut menegaskan bahwa kembali kepada Allah Swt adalah kembali
kepada al Qur'an dan kembali kepada Rasul Saw adalah kembali kepada
Sunnah beliau, akan tetapi mereka2 ini melakukan sebaliknya, mereka
kembalikan pemahaman al Qur'an dan Sunnah RasulNya agar sesuai dengan
pendapat mereka dan apa2 yang diyakini oleh pentaqlid mazhab.
Berkenaan dengan hal ini al Imam al Fakhr al Razi ketika menafsirkan dalam tafsirnya surat al Taubah: 31
اتخذوا أحبارهم و رهبانهم أربابا من دون الله
"Mereka menjadikan orang2 alim (Yahudi), dan rahib2nya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah"
Beliau mencamtumkan perkataan gurunya yang berkata: "Aku telah
menyaksikan sebuah jamaah ahli taqlid fiqh ketika telah aku bacakan
kepada mereka banyak ayat dari Kitab Allah dalam beberapa masalah, dan
kebetulan mazhab mereka berbeda dengan ayat2 itu, maka mereka tidak
menerima ayat2 tersebut, mereka malah terus saja memandang aneh
kepadaku. Mereka berkata bagaimana mungkin beramal dengan zahir dari
ayat ini sedangkan riwayat yang kita temukan dari pendahulu kita berbeda
dengannya?!"
Kecenderungan yang seperti inilah yang akhirnya menciptakan masalah
dalam hubungan al Qur'an dengan fiqh dan aqidah, menyebabkan kekacauan
pemikiran ketika berhubungan dengan al Qur'an dan maknanya. Kekacauan
ini akan berujung dengan menjauhnya umat dari al-Qur'an dan mendengar
penjelasan dari para mufassir al Qur'an.
Hal yang hampir senada saya temukan dalam kitab Kaifa nata'amal ma'al
Qur'an, karangan Syekh Muhammad al Ghazali. Buku ini secara keseluruhan
menyeru untuk kembali kepada al Qur'an dan mengajak kita untuk
memperbaiki bagaimana hubungan kita dengan al Qur'an.
Keadaan umat saat ini tepat sekali digambarkan oleh ayat yang berisi aduan Rasul Saw kepada Allah Swt, dalam surat al Furqan: 30
يا رب إن قومي اتخذوا هذا القرآن مهجورا
"Ya Rabb-ku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al Qur'an ini diabaikan"
Dalam buku ini Syekh Muhammad Ghazali berbicara panjang lebar tentang
zalim dan buruknya perlakuan umat ini terhadap al Qur'an. Padahal al
Qur'an adalah pedoman dan manhaj hidup setiap muslim.
Perhatian umat terhadap al Qur'an seakan telah berpaling hanya kepada
pembacaan saja, seperti penyempurnaan tempat keluar huruf, penyempurnaan
gunnah dan mad dan lain-lain yang berkaitan dengan lafaz al Qur'an atau
penghafalan saja. Sedangkan dari sisi mu'malah mereka dengan al Qur'an
sangat jauh dari yang seharusnya. Manusia secara umum dimana saja ketika
mendengar kata 'membaca', maka yang dipahami adalah ada bacaan yang
dilihat di depan mata dan dipahami maksudnya. Secara arti kata 'membaca'
tidak bisa dipisahkan maknanya antara melafazkan huruf dengan pemahaman
yang dibaca. Mungkin di dunia ini hanya umat Islamlah yang belajar
untuk membaca ketika dimana2 orang di muka bumi ini membaca untuk
belajar dan memahami.
Sedangkan umat Islam saat ini entah bagaimana memisahkan antara membaca
dengan tadabbur maknanya. Hari ini orang muslim membaca al Qur'an hanya
sebatas mencari berkah -seperti kata mereka- mengulang2 lafaz tanpa
merasakan makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan yang cukup miris
saya lihat al Qur'an dijadikan prestise bagi penghafalnya ketika menang
lomba2 dan bagi sekolahnya sebagai iklan pelaris. Atau al Qur'an
dinyanyikan dengan indah sebagai pembuka acara. Atau seperti kata Syekh
ada yang mencari2 mesjid dengan bayaran mahal agar dia menjadi imam
shalat tarawih dengan modal hafalan Qur'annya. Dan banyak lagi selain
itu.
Padahal kalau kita lihat ayat2 al Qur'an akan kita temukan bahwa sikap
seperti ini tertolak secara agama. Banyak sekali ayat2 yang menyuruh
kita untuk memikirkan, memahami dan mentadabburi makna di dalam al
Qur'an. Kenapa? Ya karena al Qur'an itu petunjuk bagi umat manusia bukan
sebatas tempat cari berkah. Allah berfirman dalam surat Shat: 29
كتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا ءاياته وليتذكر اولوا الألباب
"Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati
ayat2nya dan agar orang2 berakal sehat mendapat pelajaran"
Al Qur'an dimudahkan oleh Allah pemahamannya untuk setiap tingkatan
manusia. Karena memang al Qur'an untuk sekalian umat. Setiap orang
sebenarnya mampu mengambil pelajaran dari al Qur'an jika dia membacanya.
Ketika banyak ulama yang mengajak untuk kembali memperbaiki sikap kita
terhadap al Qur'an dan Sunnah sebagai dua petunjuk manusia agar tidak
tersesat, maka sangat aneh bila sekarang ada yang menyatakan perang
terhadap seruan 'Kembali kepada al Qur'an dan Sunnah'.
Hal yang pertama sekali melintas dipikiran saya adalah, bahwa mereka
yang menyatakan perang ini, mungkin mengira al Qur'an itu semua berisi
persoalan hukum yang berat yang membutuhkan ijtihad tingkat tinggi dan
hanya bisa dipahami oleh mujtahid. Padahal kalau kita melihat kitab
'Mahawir Khamsah' karangan Syekh Ghazali kita akan paham bahwa persoalan
hukum itu sangat kecil persentasenya dari ayat2 al Qur'an yang ada.
Dalam buku itu dijelaskan ada 5 topik utama yang mana ayat2 al Qur'an
berkisar tentangnya. Pertama, ayat2 yang menunjukkan keesaan Allah
sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Kedua, ayat2 yang
menunjukkan kekuasaan Allah dengan menyebutkan luar biasanya penciptaan
alam, sehingga tidak mungkin ada pencipta selain Allah. Ketiga, ayat2
yang menceritakan kisah2 umat terdahulu sebagai pelajaran untuk umat,
porsi ketiga ini porsi terbesar dari jumlah ayat yang lain. Keempat,
ayat2 yang menjelaskan hari kebangkitan dan pembalasan di akhirat kelak.
Kelima, ayat2 yang menunjukkan pendidikan (tarbiyah) akhlak dan hukum.
Kita bisa lihat jumlah ayat2 yang berbicara hukum syar'i itu sangat
sedikit jumlahnya. Di kitab ini Syekh Ghazali menyebutkan bahwa para
ulama menyusunnya dalam kitab2 tafsir ayat ahkam sekitar 300 - 500 ayat
saja. Tapi seolah-olah orang sekarang menganggap al Qur'an itu kitab
hukum, mereka sampingkan maksud dan tujuan lain yang sangat banyak dari
al Qur'an. Anehnya bukan berhukum dengan al Qur'an yang mereka
maksudkan, tapi mengambil ayat2 al Qur'an yang sesuai dengan mazhabnya,
apabila tidak sesuai maka ayat al Qur'an lah yang ditakwil dan
disesuaikan.
Satuhal yang cukup lucu dan tidak jarang saya dengar dari ungkapan
pelajar2 fakultas syariah bahwa pelajar dari fakultas ushuluddin, tafsir
dan hadis, tak ubahnya hanya seperti apoteker. Mereka menyediakan
obatnya dan kamilah dokternya. Ungkapan seperti ini mulai banyak di
dunia maya dikeluarkan oleh pengampu masalah2 fiqhiyah. Menurut mereka
al Qur'an dan Sunnah itu hanyalah dalil2 hukum yang mereka ibaratkan
dengan obat dan mereka dokternya. Padahal Al Qur'an itu obat dan jalan
keluar untuk segala penyakit, bukan permasalahan hukum saja. Kalau lah
mereka sedikit mentadabburi al Qur'an mereka akan paham bahwa al Qur'an
dan Sunnah itu merupakan petunjuk, ideologi, cara pandang, prinsip
hidup, pembentuk kepribadian dan peradaban.
Intinya, kalau mereka bermaksud untuk membela mazhab mereka harusnya
bukan seruan kembali ke al Qur'an dan Sunnah itu yang diperangi. Tapi
sikap merasa hanya pendapat dialah yang sesuai al Qur'an dan Sunnah itu
yang mesti dijelaskan. Karena setiap ijtihad dan pendapat ulama pastilah
didasarkan kepada al Qur'an dan Sunnah. Tidak satu pun ulama yang
membuat2 sendiri suatu hukum dalam agama. Penafsiran yang berbeda-beda
terhadap teks syar'i tidak mesti disimpulkan hanya satu yang sesuai
sedangkan yang lainnya tertolak. Sedangkan seruan untuk kembali ke Al
Qur'an dan Sunnah itu malah seharusnya digalakkan di zaman ini, melihat
umat yang semakin jauh dari tuntunan agamanya.
Wallahua'lam.
(yahya-ibrahim/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar