Oleh: Mohammad Adlany
Hermeneutik ialah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan penafsiran, interpretasi, dan pemahaman teks. Permasalahan pertama yang berhubungan dengan pemahaman adalah esensi dan hakikat pemahaman itu sendiri: apa pemahaman itu? Pertanyaan kedua berhubungan dengan subjek dan ranah pemahaman: apa yang bisa dipahami? Persoalan ketiga menitikberatkan pada proses terbentuknya suatu pemahaman atau fenomenologi pemahaman: bagaimana pemahaman itu bisa terwujud? Namun, persoalan ketiga ini merupakan perkara yang paling urgen dan penting dalam pembahasan hermeneutik.
Hermeneutik telah melalui proses sejarah yang panjang di dunia Barat, pandangan dan gagasan yang muncul tentangnya bermacam-macam dan terkadang saling bertolak belakang. Di barat, hermeneutik berproses dalam tiga jenjang historis, yaitu: hermeneutik pra klasik, hermeneutik klasik, dan hermeneutik kontemporer.
Pada jenjang pertamanya terhitung sejak hadirnya gerakan reformasi agama hingga abad kesembilanbelas Masehi dan munculnya pemikir Friedrich D. E. Schleiermacher. Masa kedua dari Schleiermacher hingga Martin Heidegger, dan zaman ketiga adalah pasca Heidegger yang dikenal dengan nama hermeneutik filosofis. Hingga pada zaman Schleiermacher, hermeneutik hanya difungsikan sebagai media untuk interpretasi teks-teks Kitab Suci agama.
Ia kemudian meluaskan temanya dan merumuskan kaidah-kaidah untuk menafsirkan teks-teks selain agama seperti kesusastraan dan hukum. Setelahnya, ditangan Wilhelm Dilthey, ranah dan wilayah hermeneutik semakin melebar mengkaji segala teks dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan humaniora (human sciences). Pada akhirnya dengan perantaraan Heidegger, domain hermeneutik menjadi sangat universal yang membahas teks dan non-teks, fenomena-fenomena yang berkaitan dengan prilaku manusia, alam materi, dan metafisika.
Pembahasan-pembahasan hermeneutikal ini, pada awalnya, merupakan bagian dari teologi dan dikategorikan sebagai kaidah-kaidah dan basis-basis teori penafsiran Kitab Suci, yang dengan berlandaskan padanya, para penafsir dan mufassir menafsirkan teks-teks Kitab Suci.
Akan tetapi, pada era-era selanjutnya, kaidah-kaidah dan metode-metode penafsiran Kitab Suci itu kemudian melebar dan meluas meliputi penafsiran kitab-kitab lain. Dan akhirnya, yang dimaksud dengan istilah ini adalah metodologi umum yang sama digunakan di semua bidang ilmu dalam koridor pembahasan linguistik dan teks-teks.
Dengan perubahan ini, metode-metode penafsiran Kitab Suci kemudian didasarkan dengan teori-teori bukan agama, dan Kitab Injil yang merupakan salah satu dari kitab-kitab yang tak terhitung jumlahnya itu ditafsirkan dengan berpijak pada kaidah-kaidah dan aturan-aturan tersebut.
Perubahan ini yang sesungguhnya dipengaruh oleh Rasionalisme, menyebabkan penafsiran yang pada awalnya bersifat keagamaan lantas berubah menjadi suatu penafsiran yang bersifat menyeluruh dan meluas, sehingga menurut Schleiermacher dan Dilthey, hermeneutik itu adalah pengetahuan yang berhubungan dengan pemahaman linguistik secara umum. Dilthey menganggap hermeneutik itu bertugas untuk membentuk dasar-dasar metodologi bagi ilmu humaniora.
Berlawanan dengan kecenderungan tersebut, Martin Heidegger memaknakan kembali hermeneutik itu secara religius dan spiritual. Dan dengan mengubah tujuannya, diperoleh makna-makna yang berbeda dari hermeneutik. Dengan perspektif ini, para penafsir akan menafsirkan realitas berdasarkan karakter-karakter spiritualnya masing-masing dan posisi hermeneutik berubah menafsirkan hakikat eksistensi manusia.
Begitu pula Hans-Georg Gadamer menegaskan hermeneutik itu sebagai penjelas substansi pemahaman manusia dan semata-mata tidak lagi memandang hermeneutik itu sebagai dasar-dasar metodologi bagi ilmu humaniora dan ilmu-ilmu empirik. Hermeneutik, menurutnya, harus diposisikan secara umum sebagai penjelas dan penentu hakikat pemahaman dan penafsiran manusia.
Pada beberapa kurun terakhir ini, pembahasan hermeneutik semakin meluas dan telah menghadirkan beberapa cabang baru pengkajian dalam lautan pemikiran manusia serta menjadi wacana tersendiri yang istimewa.
Era ini, banyak para pemikir besar yang berkecimpung dan menganalisa wacana ini secara mendetail dalam setiap satu pokok permasalahan hermeneutik, dalam setiap tahunnya beragam risalah dan karya-karya baru yang membahas khusus tentang persoalan-persoalan ini dicuatkan ke pasaran ilmiah.
Selain itu, pada dekade ke duapuluh, pembahasan tentang hermeneutik ini telah mendapatkan perhatian dan sambutan tersendiri, hasil-hasil kajian dalam bidang ini telah mempengaruhi dan memberikan imbas yang tak sedikit pada disiplin-disiplin pengetahuan lain dan telah meletakkan para cendekiawan dari berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya berada di bawah pengaruhnya serta memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan kajian-kajian baru.
Munculnya beragam disiplin pemikiran sebagaimana filsafat, teologi, neoteologi, ilmu sosial, filsafat ilmu, dan bidang ilmu lainnya telah menjadi bukti akan semakin berkembangnya hermeneutik dan pengkajian-pengkajian terhadapnya.
Istilah hermeneutik, dalam sejarah penggunaannya, muncul dalam bentuk sebuah cabang dari pengetahuan dan menunjuk pada volume pemikiran tertentu dimana karena keluasan dan keragaman kajiannya berakibat pada adanya pergeseran dari batasan-batasan kedisiplinan subjeknya. Katalog topik-topik yang dianalisa dalam pembahasan hermeneutik ini sangat luas dan bervariasi, hingga pada wilayah-wilayah kajian kritik historis, budaya, sosial, dan pemikiran-pemikiran teoritis lainnya.
Salah satu pembahasan-pembahasan prinsipil dalam hermeneutik adalah menjelaskan posisi penulis, teks, dan penafsir dalam interpretasi teks-teks. Dalam masalah ini, terdapat ide dan gagasan yang beragam. Sebagian menempatkan peran yang sangat penting bagi penulis dan penafsiran teks tersebut dibandingkan dengan tujuan dan kedudukan penulis.
Yang lain memandang teks sebagai yang prinsipil dan tidak berhubungan dengan penulis. Dan gagasan lain beranggapan bahwa pemahaman teks itu sepenuhnya bergantung pada penafsir dan audience. Perspektif yang terakhir ini ialah konsep hermeneutik filosofis yang sangat menekankan bahwa pemahaman makna teks itu berkaitan erat dengan asumsi-asumsi, budaya-budaya, dan pikiran-pikiran yang berpengaruh pada seorang mufassir. Hal ini merupakan salah satu faktor fundamental dari relativisme dalam interpretasi teks dimana bertolak belakang dengan keyakinan hakiki dan kepercayaan tetap keagamaan.
Dialektika ini semakin menguat ketika sebagian dari pemikir agama menerima gagasan hermeneutik filosofis tersebut dan mengaplikasikannya dalam interpretasi teks dan penafsiran wacana-wacana keagamaan. Oleh sebab itu, penelitian terhadap aliran-aliran dan konsep-konsep hermeneutikal bagi para pemikir dan pengkaji agama menjadi suatu hal yang sangat urgen dan prinsipil.
Dalam ranah budaya dan pemikiran Islam, cabang ilmu tertentu belum diwujudkan untuk membahas dan mengkaji secara komprehensif persoalan-persoalan dan perspektif-perspektif hermeneutikal. Masalah-masalah penting hermeneutikal itu masih dibahas secara terpisah dalam cabang-cabang ilmu Islam seperti ilmu tafsir, ushul fikih, teologi, dan gnosis (irfan, tasawuf). Semua pembahasan semantik dalam ushul fikih berkaitan dengan hermeneutik. Kajian dasar-dasar dan kaidah-kaidah tafsir al-Quran dan kalam Ilahi berhubungan erat dengan persoalan hermeneutikal. Begitu pula, analisa teolog dan filosof tentang sifat-sifat Tuhan dan persoalan-persoalan di seputarnya juga tergolong dalam kajian hermeneutik. Pembahasan-pembahasan hermeneutikal yang terdapat dalam ilmu-ilmu keislaman bisa menjadi wacana-wacana komparatif terhadap kajian-kajian hermeneutikal Barat.
Penggambaran universal tentang hermeneutik, sejarahnya, dan persoalan-persoalannya merupakan tujuan utama penulisan makalah ini, akan tetapi pada poin pertama dari makalah ini akan diupayakan untuk menyajikan pembahasan mengenai substansi hermeneutik dan batasan-batasan kajiannya.
Oleh karena itu, sangatlah urgen membahas mengenai latar belakang sejarah penggunaan istilah hermeneutik ini, definisi hermeneutik, demikian juga analisis terhadap posisi dan hubungannya dengan cabang-cabang pengetahuan lainnya, serta pengenalan terhadap arah dan tujuan pokok-pokok pembahasannya.
Hermeneutik kontemporer dan pengaruh-pengaruh yang dimunculkannya dalam ruang lingkup pemikiran-pemikiran agama juga merupakan dimensi lain yang akan dianalisa dan dikaji dalam poin ini. Pembahasan ini, selain akan mengantarkan kita pada penggungkapan esensi hermeneutik, juga akan menguak tabir urgensi khusus dari hermeneutik kontemporer yang nantinya akan diaplikasikan dalam penafsiran, perenungan, dan pengembangan pemikiran agama.
1. Terminologi Hermeneutik
Kata “Hermeneutik” telah dikenal secara umum dan meluas di kalangan bangsa Yunani kuno. Aristoteles telah menggunakan kata ini untuk menamai salah satu bagian dari kitabnya yang bernama Arganon yang membahas tentang “Logika Proposisi”, dan ia menamai bagian tersebut dengan Peri Hermeneias yang berarti “Bagian Tafsir”. Dalam kitabnya ini, Aristoteles menganalisa tentang struktur gramatikal percakapan manusia. Dikatakan bahwa dalam percakapan manusia yang biasanya diungkapkan dalam bentuk proposisi dimana untuk menjelaskan tentang kekhususan sebuah benda maka mesti terjadi penyatuan antara subjek dan predikat. Meskipun demikian, hingga masa renaisans yaitu hingga dekade ke enambelas Masehi, hermeneutik belum dikokohkan sebagai salah satu disiplin ilmu.[1]
Hingga kurun ke tujuhbelas Masehi, kami belum menemukan satupun bukti ontentik tentang lahirnya suatu disiplin baru ilmu yang dinamakan hermeneutik. Dann Hauer dikenal secara umum sebagai orang pertama yang menggunakan kata ini untuk memperkenalkan variasi dari sebuah cabang ilmu. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1654 Masehi, Dann Hauer menggunakan kata ini untuk judul salah satu dari karyanya.[2]
Menurut Dann Hauer, basis dari seluruh ilmu adalah metode penafsiran atau interpretasi, dan setiap cabang dari pengetahuan dan makrifat senantiasa harus meliputi jenis ilmu ini yaitu ilmu tafsir. Rahasia dari munculnya perspektif ini adalah karena mayoritas persangkaan dan anggapan yang muncul pada masa itu adalah bahwa seluruh perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi pada cabang-cabang ilmu dan pengetahuan seperti ilmu hukum, teologi, dan kedokteran senantiasa membutuhkan suatu bantuan penafsiran atas teks-teks yang berkaitan dengan cabang-cabang ilmu tersebut, dan konsekuensi dari hal ini adalah kemestian keberadaan suatu ilmu yang bertanggung jawab terhadap penetapan tolok ukur dan penegasan metode yang berhubungan dengan interpretasi dan penafsiran pengetahuan-pengetahuan tersebut.[3]
Oleh karena itu, ilmu hermeneutik dalam posisinya sebagai salah satu disiplin pengetahuan merupakan sebuah fenomena baru yang berhubungan dengan zaman modern. Kata hermeneutik telah digunakan sejak zaman Plato, akan tetapi sinonimnya dalam bahasa Latin yaitu hermeneutice yang baru memasyarakat pada dekade ke tujuhbelas dan setelahnya, diletakkan sebagai sebuah istilah bagi salah satu cabang dari pengetahuan manusia. Dengan alasan inilah, analisis tentang latar belakang sejarah hermeneutik tersebut baru dimulai dari kurun ke tujuhbelas, sedangkan masa-masa sebelum itu disebut dengan masa pra historis hermeneutik.
Tujuan dan maksud kami dalam makalah ini adalah membahas dan menganalisa tentang pengertian dan defenisi gramatikal hermeneutik, akan tetapi, di samping itu, kami juga akan menyinggung secara ringkas tentang pengertian-pengertian leksikalnya.
Biasanya dalam pembahasan etimologi hermeneutik terdapat hubungan yang erat dan jelas antara kata ini dengan Hermes, salah satu Tuhan yang dimiliki oleh bangsa Yunani yang bertugas sebagai Penyampai Berita. Kata hermeneutic sendiri diambil dari kata kerja Yunani, hermeneuin, yang berarti “menginterpretasikan atau menafsirkan (to interpret)” dan kata bendanya adalah hermeneia yang berarti “tafsir“.
Dilema beragam yang kemudian muncul dari kata itu mengandung pemahaman terhadap sesuatu atau kondisi yang tak jelas. Bangsa Yunani menisbatkan penemuan bahasa dan tulisan kepada Hermes, yakni bahasa dan tulisan ini merupakan dua elemen yang dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami makna dan menafsirkan berbagai realitas. Tugas Hermes adalah “memahami” dan “menafsirkan sesuatu”, dimana dalam persoalan ini, unsur bahasa memegang peran yang sangat asasi dan penting.[4]
Hermes adalah seorang perantara yang bertugas menafsirkan dan menjelaskan berita-berita dan pesan-pesan suci Tuhan yang kandungannya lebih tinggi dari pemahaman manusia sedemikian sehingga bisa dipahami oleh mereka. Sebagian dari para peneliti beranggapan bahwa tiga unsur mendasar yang terdapat di dalam setiap penafsiran itu merupakan bukti yang jelas bagi adanya keterkaitan yang erat antara kata hermeneutik dengan Hermes. Setiap tafsiran dan interpretasi senantiasa memiliki tiga unsur di bawah ini:
- Pesan dan teks yang dibutuhkan untuk lahirnya suatu pemahaman dan interpretasi;
- Penafsir (Hermes) yang menginterpretasikan dan menafsirkan pesan dan teks;
- Penyampaian pesan dan teks kepada lawan bicara.
Ketiga unsur yang pokok di atas merupakan inti-inti pembahasan dan pengkajian hermeneutik, masalah-masalah seperti esensi teks, pengertian pemahaman teks, dan pengaruh dari asumsi-asumsi dan kepercayaan-kepercayaan terhadap lahirnya suatu pemahaman.[5]
Sebagian besar menerima analisis etimologi yang menempatkan Hermes sebagai perantara dan penafsir antara teks dan Tuhan. Analisis ini dipandang lebih tepat dari analisis-analisis lainnya. Akan tetapi, sebagian yang lain meragukan dan menolak perspektif semacam ini. Bagaimanapun juga, tetap terbuka secara luas untuk hadirnya perspektif-perspektif baru dalam masalah ini.[6]
Ketika kita ingin menempatkan hermeneutik sebagai salah satu cabang pengetahuan dan majemuk dari teori-teori dan pemikiran-pemikiran, maka kita harus meletakkan huruf “s” di akhir kata hermeneutic, sehingga menjadi “hermeneutics“, meskipun sebagian teori seperti teori yang dikemukakan oleh James McConkey Robinson yang mengatakan bahwa penyebutan huruf “s” di akhir kata ini adalah tidak diperlukan.[7]
Dengan mengesampingkan penggunaan kata ini sebagai cabang dari pengetahuan yang diiringi dengan huruf “s”, hermeneutic (yang tanpa diikuti dengan huruf “s”) juga digunakan dalam kata benda dan sifat. Dalam pemanfaatan dari kata benda ini kadangkala huruf “s” diletakkan di akhir kata tersebut dan kadangkala pula tidak digunakan.
Dalam penggunaan itu, hermeneutic diposisikan sebagai nama dari berbagai kecenderungan-kecenderungan, cabang-cabang, dan aliran-aliran yang beragam yang terdapat dalam ruang lingkup disiplin pemikiran hermeneutik, atau diletakkan sebagai cabang-cabang, kecenderungan-kecenderungan, dan maktab-maktab beragam yang ada dalam koridor pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan dan pengkajian pembahasan hermeneutik. Sebagai contoh kita bisa lihat pada penggabungan semacam “Hermeneutik kitab Suci”, “Hermeneutik Linguistik”, “Hermeneutik Metodologi “, dan “Hermeneutik Heidegger”.
Penggunaan kata sifatnya muncul dalam bentuk “hermeneutic” dan “hermenutical“, misalnya dikatakan “Hermeneutical Theory“, “Hermeneutic Theology“, “Hermenutic Event“[8], dan “Hermeneutical Situation“.[9]
Perlu diketahui bahwa kecermatan dan ketajaman dalam mencari akar kata leksikal dari kata hermeneutik ini tidak akan membantu pengenalan esensi dan keluasan pembahasan hermeneutik kontemporer.
Keluasan ranah dan pembahasan hermeneutik serta perubahan internal yang ada padanya tidak memiliki korelasi yang logis dengan makna leksikal dan akar katanya sehingga mampu digunakan untuk menemukan dan mencari solusi dalam naungan kajian linguistik ke arah pemahaman yang lebih mendalam terhadap apa yang sekarang dinamakan dengan hermeneutik.
Dari sini, tidak ditemukan adanya manfaat yang terlalu penting dalam mengenal akar kata leksikal dan analisis historis penggunaan kata hermeneutik ini dalam karya-karya para pemikir Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles, dengan alasan inilah kami menghindarkan pembahasan yang lebih panjang dalam pengkajian linguistik terhadap masalah ini.
2. Definisi Hermeneutik
Dalam sepanjang sejarah yang tidak berapa jauh terlewatkan, hermeneutik disajikan dalam definisi yang bervariasi dimana masing-masingnya menunjuk pada satu perspektif khusus yang berkaitan dengan arah, tujuan, subjek, dan aplikasi-aplikasi dari disiplin pengetahuan ini.
Sebelum memberikan keputusan akhir dalam masalah kemungkinan penyajian definisi global hermeneutik yang nampak pada upaya-upaya pemikiran masa lalu tentangnya, ada baiknya apabila kami menyinggung pula sepintas definisi-definisi hermeneutik yang ada. Pemahaman yang benar terhadap masing-masing definisi ini membutuhkan penjelasan singkat tentang proses pembentukannya. Persoalan yang senantiasa hangat ini merupakan ungkapan para pemilik definisi-definisi ini yang berangkat dari tujuan dan aplikasi hermeneutik.
Johannes Martin Chladenius (1710-1759 M) yang menganggap ilmu humaniora berpijak pada “keahlian interpretasi”[10] dan hermeneutik merupakan nama lain dari keahlian ini. Dalam proses memahami ungkapan percakapan dan teks penulisan, kadangkala muncul ketidakjelasan yang akan menghambat proses pencapaian pemahaman sempurna atasnya. Dan di sini hermeneutik, merupakan sebuah keahlian yang bisa digunakan untuk mendapatkan pemahaman komplit dan sempurna serta menyeluruh dalam ungkapan-ungkapan percakapan dan teks-teks penulisan tersebut. Keahlian ini meliputi majemuk dari kaidah-kaidah, yaitu suatu disiplin yang posisinya mirip dengan ilmu logika yang digunakan membantu menyibak ketakjelasan yang ada dalam teks.[11]
Friedrich August Wolf dalam ceramahnya pada sekitar tahun 1785 hingga 1807 Masehi mendefiniskan hermeneutik sebagai berikut, “Hermeneutik adalah ilmu tentang kaidah dan aturan dimana dengan bantuannya akan bisa dipahami makna dari suatu pesan dan teks”. Tujuan dari ilmu ini adalah memahami pemikiran-pemikiran dari percakapan seorang pembicara dan tulisan seorang penulis persis sebagaimana hal-hal yang dipikirkan oleh mereka tersebut. Gagasan dan fungsi hermeneutik ini, menegaskan bahwa pemahaman itu tidak hanya membutuhkan pengetahuan bahasa teks, melainkan juga membutuhkan pengetahuan historis. Dan yang dimaksud dengan pengetahuan histori di sini adalah pengenalan kehidupan penulis dan kondisi-kondisi historis geografi tempat tinggalnya. Karena penafsir yang ideal harus mengetahui apa yang diketahui oleh penulis.[12]
Friedrich Daniel Ernest Schleiermacher (1768-1834) memandang hermeneutik sebagai “keahlian memahami”. Dia memberikan perhatian khusus pada pemahaman yang keliru, dan karena itulah dia mengatakan bahwa interpretasi teks senantiasa mengandung bahaya kesalahpahaman. Dengan demikian, hermeneutik harus diletakkan sebagai sebuah metodologi yang memberikan penjelasan dan pengajaran untuk menghilangkan bahaya kesalahpahaman di atas. Tanpa adanya keahlian seperti ini, maka tidak akan pernah ditemukan solusi untuk menuju ke sebuah pemahaman yang benar.[13]
Perbedaan yang ada pada definisi di atas dibanding dengan definisi pertama adalah, pada definisi pertama Chladenius menganggap kebutuhan kepada hermeneutik itu hanya pada tempat dimana terdapat ketidakjelasan dalam proses pemahaman sebuah teks, sementara Daniel menganggap bahwa penafsir atau mufassir senantiasa membutuhkan kehadiran hermeneutik dalam setiap proses pemahamannya terhadap teks-teks, karena dalam pandangannya, hermeneutik tidaklah ditentukan untuk menyibak ketakjelasan tertentu pada teks melainkan merupakan sebuah pengetahuan yang senantiasa menuntun para penafsir untuk menghindari adanya kesalahpahaman dan kehadiran pemahaman yang buruk.
Dengan ibarat lain, dalam pandangan Chladenius lebih menekankan pada prinsip adanya kemungkinan kebenaran pemahaman dan interpretasi pada setiap teks, kecuali apabila terjadi problem atau ketidakjelasan pada teks, maka hermeneutik yang merupakan sebuah pengetahuan pembantu (auxiliary science) bisa digunakan untuk menyibak ketakjelasan dan kerumitan pada teks tersebut. Sementara dalam pandangan Daniel, ia lebih menegaskan prinsip kemungkinan kesalahan pada setiap pemahaman teks, dengan demikian, urgensi kehadiran hermeneutik adalah pasti demi menghindarkan para mufassir dari keburukan dan kesalahan pemahaman.
Jadi dalam dua pandangan di atas, hermeneutik disepakati sebagai sebuah keahlian yang meliputi kumpulan aturan-aturan, kaidah-kaidah, dan metodologi. Akan tetapi, kandungan yang terdapat dalam aturan-aturan tersebut dan tujuan dasar penyusunan metodologinya, dalam pandangan keduanya, memiliki perbedaan.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) beranggapan bahwa hermeneutik sebagai sebuah pengetahuan yang bertanggung jawab terhadap penyajian metodologi humaniora. Tujuan inti dari segala upaya hermeneutiknya adalah menaikkan validitas dan nilai humaniora serta menyejajarkannya dengan ilmu-ilmu empirik.
Menurut pendapatnya, rahasia kebenaran proposisi-proposisi ilmu empirik terdapat pada kejelasan kaidah dan metodologinya. Karena itulah, supaya humaniora juga setara dengan sains, maka metodologinya harus jelas dan harus memiliki dasar-dasar serta prinsip-prinsip yang sama, jelas, dan pasti dimana merupakan tolok ukur bagi seluruh pembenaran dan proposisi humaniora.[14]
Rudiger Bubner adalah salah satu dari penulis kontemporer berkebangsaan Jerman, dalam makalahnya yang berjudul “The Hermeneutics Reader” yang ditulis pada tahun 1975, mendefinisikan hermeneutik sebagai “Ilmu Pengajaran Pemahaman”.[15]
Definisi ini memiliki kesesuaian dengan hermeneutik Filosofis yang dikemukakan oleh Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, karena menurut mereka tujuan dari hermeneutik filosofis adalah mendeskripsikan substansi pemahaman. Hermeneutik filsafat, berlawanan dengan hermeneutik-hermeneutik yang lampau, tidak saja terbatas pada kategori pemahaman teks dan koridor pemahaman humaniora (human sciences), melainkan menekankan kesesuaian pemahaman manusia dengan objek eksternal dan analisis hakikat pemahaman serta menentukan syarat-syarat eksistensial untuk suatu kehadiran pemahaman dan penafsiran.
Apa yang telah kami sebutkan di atas, hanyalah merupakan sebagian dari definisi-definisi yang ada. Dengan adanya hal ini, cukup untuk menjelaskan poin bahwa pembahasan hermeneutik memiliki keluasan dan pendapat yang sangat bervariasi.
Definisi-definisi ini dengan baik menunjukkan ranah pembahasan hermeneutik yang semakin beragam dan meluas dari batasan pengenalan hermeneutik yang ditetapkan untuk penafsiran teks-teks suci agama dan hukum-hukum hingga pada batasan pengenalan hermeneutik yang diaplikasikan pada analisis-analisis filosofis terhadap hakikat pemahaman dan syarat-syarat eksistensial bagi kehadiran suatu pemahaman.
Dengan perkembangan yang luas ini dengan jelas menunjukkan bahwa tidak satupun dari definisi yang telah disebutkan di atas mampu memperkenalkan seluruh upaya-upaya teoritis yang dinamakan hermeneutik. Ketidakmampuan ini tidak dibatasi oleh definisi-definisi di atas, melainkan secara praktis tidak mungkin untuk menyajikan definisi secara global dan menyeluruh yang mampu mewakili seluruh kecenderungan hermeneutik, karena terdapat perbedaan pandangan mengenai tujuan dan fungsi hermeneutik, kadangkala persepsi yang ada tentang hermeneutik memiliki perbedaan yang sangat ekstrim sehingga mustahil untuk bisa dirujukkan dan disatukan.
Sebagai contoh, Wilhelm Dilthey tidak menganggap hermeneutik itu sebagai suatu pengetahuan yang digunakan untuk pemahaman dan penafsiran teks, melainkan hermeneutik itu identik dengan epistemologi dan metodologi yang secara umum dimanfaatkan untuk humaniora.
Pada sisi lain, hermeneutik filosofis yang dimulai oleh Heidegger, dalam perspektifnya kadangkala terlihat sangat berbeda, menurutnya, hermeneutik itu tidak dianggap sebagai sebuah metode, tujuan hermeneutik bukan pada dimensi metodologi, melainkan dianggap sebagai kontemplasi filosofis terhadap basis-basis ontologi pemahaman dan penentuan syarat-syarat eksistensial bagi kehadiran suatu pemahaman.
Hermeneutik bukanlah epistemologi dan metodolgi, namun merupakan ontologi. Dengan keluasan wilayah pembahasan yang sedemikian ini dan perubahan yang sangat radikal dan mendalam dalam tujuan, fungsi, dan aplikasi hermeneutik, lantas bagaimana bisa diharapkan akan adanya kesatuan dan kemanunggalan definisi yang bersifat komprehensif dan global yang bisa memayungi seluruh upaya pemikiran dan teoritis ini?
Dengan tidak mengharapkan penyajian definisi yang mendetail dan global, terdapat kemungkinan untuk memberikan gambaran luas untuk memperjelas lahan pemikiran dan ruang lingkup pengkajian hermeneutik. Sebagai contoh, Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutik sebagai berikut, “Hermeneutik merupakan teori tentang pemahaman dalam kaitannya dengan penafsiran teks-teks”.[16]
Dengan tujuan yang sama, Richard E. Palmer mendefinisikan hermeneutik sebagai berikut, “Hermeneutik, saat ini merupakan metode kontemplasi filosofis bagi orang Jerman dan belakangan ini merupakan pengkajian tentang esensi pemahaman bagi orang Perancis yang berkembang melalui perantara Daniel dan Dilthey serta Martin Heidegger, dan saat ini disajikan oleh Gadamer dan Paul Ricoeur.[17]
Referensi:
[1] . The Hermeneutics Reader Ed by Kort Muller volmer, Basil Black well, PP 1, 2.
[2] . Nama kitab Dann Hauer adalah sebagai berikut: “Hermeneutica sacra sive methodus exponendarum sacrum litterarum“, yang bermakna “Hermeneutik Suci atau Metode Penafsiran Teks-teks Suci Injil”.
[3] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical hermeneutics, yale university press, 1994, p, 48.
[4] . Palmer, Ricard E, Hermeneutics, North western university press, 1969, PP 12, 13; Routlege Encyclopedia of Philosophy, Edward craig, volume 4, 1998, P 385.
[5] . The Encyclopedia df Religion, mircea Eliade, volume 5, P 179.
[6] . Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, P 22.
[7] . Palmer, Tichard, Hermeneutics, P xii. Argumen Robinson adalah sebagai berikut bahwa keumuman dari kata ini dalam bahasa yang lain kosong dari huruf “s” , di Jerman, ilmu ini disebut dengan “Hermeneutik”, di Perancis “Hermeneutique”, dan di Latin disebut dengan “Hermeneutica” dimana keseluruhannya diucapkan tanpa adanya huruf “s”.
[8] . Dalam hermeneutik filosofis, biasanya pemisahan Immanuel Kant antara fenomena dan hakikat sesuatu disebutkan sebagai realitas hermeneutical. Karena pemisahan dan pembedaan ini memiliki peran penting dalam perubahan filsafat Barat dari Metafisika menjadi Hermeneutik. Grondin, Jean, Sources of Hermeneutics, Stute University of New York press, 1995, P 3.
[9] . Hans-Georg Gadamer dalam analisisnya terhadap esensi pemahaman dan interpretasi teks menganggapnya sebagai konklusi dari penggabungan dan fusi horizontal antara makna penafsir dan makna teks (fusion of horizons). Jadi, penafsir mengamati dan memahami teks dengan pengetahuan-pengetahuan dan asumsi-asumsi yang dimiliki sebelumnya, yaitu ia menafsirkan dengan dimensi hermeneutik khusus yang dimilikinya. Berdasarkan analisis ini, interpretasi teks merupakan hasil diskursus hermeneutik (hermeneutical discourse) antara penafsir dan teks.
[10] . Auslegekunst.
[11] . The Hermeneutics Reader, P 5.
[12] . Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol 4, P 385.
[13] . Sources of Hermeneutics, P 6.
[14] . Introduction to Philosophical Hermeneutics, PP 86, 88, 89.
[15] . The Hermeneutics Reader, P 27.
[16] . Makalah ini telah dicetak di berbagai tempat, antara lain pada awal terjemahan Murad Farhadpuur dari kitab Halqeye Intiqadi, yang disusun oleh David Guznazhawey.
[17] . Contemporary Philosophy, Edited by G. Floisad, Volume 2, Martinus Nijohoff oublisher, 1982, P 457.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar