Oleh: Mohammad Adlany
Apakah kita dapat memahami dan mendefinisikan hakikat kehidupan itu? Apakah keberadaan kita sendiri bisa dijelaskan sedemikian rupa sehingga memiliki nilai yang abadi? Apakah kehidupan itu sendiri bernilai? Pertanyaan seperti ini senantiasa menarik perhatian para pemikir. Penyikapan yang optimis dan pesimis yang terjadi di sepanjang sejarah manusia atas kehidupan ini merupakan bukti terhadap urgensinya persoalan di atas yang sebagaimana dikatakan oleh Albert K, “Apa bedanya bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya, secara tegas saya katakan bahwa persoalan ini sama sekali tidak mempunyai nilai dan manfaat. Dan kita melihat begitu banyak manusia yang putus asa atas kehidupan karena memandang bahwa hidup ini tidak memiliki nilai. Atau kita menyaksikan individu-individu lain yang karena keterikatannya secara emosional atau rasional dengan agama dan kepercayaan rela mengorbankan dirinya demi agama suci dan keyakinannya atau menjalani kehidupan ini berdasarkan agama dan keyakinan tersebut. Oleh karena itu, makna dan arti kehidupan merupakan persoalan yang urgen dan hakiki.”[1]
Perspektif para pemikir tentang kehidupan manusia dapat dibagi secara umum dalam tiga kelompok, antara lain:
1. Kelompok yang mendukung “Optimisme” dan memandang kehidupan ini dengan pikiran yang positif. Mereka ini juga menyaksikan bahwa kehidupan manusia di dunia ini memiliki keburukan dan kemalangan, akan tetapi berkeyakinan bahwa kebaikan dan keberuntungan kehidupan di dunia ini jauh lebih besar dari penderitaan dan keburukannya. Dengan ungkapan lain, kemenangan berada pada keberuntungan dan kebaikan dunia ini. Penderitaan, kemalangan, dan keburukan merupakan perkara-perkara yang nisbi, cepat berlalu, dan diinginkan atau tidak niscaya akan sirna.
Secara umum, makna Optimisme digunakan dalam hal-hal di bawah ini:
a. Optimisme, sebagaimana yang terkandung dalam pandangan-pandangan Leibniz. Ia berkeyakinan bahwa alam eksistensi ini merupakan alam wujud yang terbaik yang dapat tercipta, maka dari itu seluruh apa yang terjadi dan segala fenomena yang muncul di alam eksistensi ini juga merupakan realitas-realitas dan perkara-perkara yang terbaik.[2]
b. Optimisme dalam kerangka mekanisme eksistensi bermakna bahwa eksistensi itu sendiri identik dengan kebaikan, dan keburukan sebagai suatu hal yang nisbi atau tiada. Pandangan ini berpijak pada mekanisme eksistensi dan dibangun di atas dalil filosofis yang kuat. Mayoritas filosof Islam menganut pandangan ini.
c. Optimisme dengan makna bahwa zat dan wujud manusia secara esensial adalah baik dan kalau terdapat keburukan dalam diri manusia maka sesungguhnya berasal dari lingkungan sosial, sistem pengajaran, dan metodologi pendidikan.
d. Optimisme dengan arti bahwa manusia beranggapan bahwa segala perkara dan realitas yang terjadi di alam eksistensi ini adalah baik dan bermanfaat. Dengan ungkapan lain, dia berkeyakinan bahwa apabila terjadi banjir atau angin topan dan fenomena alam lainnya maka sebenarnya memiliki hikmah dan mashlahat.
e. Optimisme memiliki pengertian bahwa manusia tetap berkeyakinan terhadap keberadaan keburukan, namun kemenangan senantiasa berakhir pada kebaikan dan mashlahat.
f. Optimisme yang bermakna negatif dimana manusia supaya lepas dari segala tanggung jawab berupaya menjelaskan secara baik seluruh kejadian sosial yang terjadi
2. Kelompok yang menganut “Pesimisme” dan senantiasa melihat kehidupan ini dengan pikiran yang negatif. Kelompok manusia ini hanya memandang aspek penderitaan dan kemalangan kehidupan dan tidak memandang adanya kebaikan dalam kehidupan.
Secara umum, Pesismisme digunakan dalam pengertian-pengertian sebagai berikut:
a. Pesimisme dalan mekanisme alam eksistensi adalah bahwa yang hakiki dan prinsipil dalam alam eksistensi ialah keburukan. Kebaikan merupakan perkara yang bersifat sementara dan akan berlalu, hal-hal yang abadi di alam ini hanyalah keburukan dan penderitaan.
b. Pesimisme yang terkait dengan esensi manusia, yakni wujud manusia secara substansial adalah buruk. Apabila terdapat prilaku dan perbuatan manusia yang baik, maka hal-hal itu hanyalah bersifat permukaan belaka dan dibalik tindakan baik itu tersimpan niat buruk.
c. Pesimisme bermakna manusia memandang keburukan dan penderitaan bersifat hakiki dan substansial sementara kebaikan itu bersifat aksidental dan majasi, dan berkeyakinan juga bahwa penderitaan mengalahkan kenikmatan dan keburukan mengungguli kebaikan. Dan berdasarkan pandangan ini, penderitaan dan keburukan adalah hakiki dan kenikmatan dan kebaikan tidak lain adalah ketiadaan penderitaan dan ketiadaan keburukan.
d. Pesimisme dan berpikir negatif berarti bahwa manusia juga mengakui adanya kebaikan dan kesenangan, akan tetapi kemenangan berpihak pada keburukan dan penderitaan.
e. Pesimisme memiliki pengertian bahwa manusia apabila memandang apa saja yang ada di alam ini maka akan mendapatkan keburukan, penderitaan, dan kekurangan.
3. Kelompok ketiga adalah yang memiliki perspektif dan pandangan sebagai berikut:
a. Alam eksistensi ini bukan merupakan alam yang terbaik dan juga tidak menyeluruh bersifat buruk, tetapi alam ini memiliki kebaikan, keindahan, keburukan, dan penderitaan.
b. Esensi manusia tidak bersifat baik dan juga tidak bersifat buruk, namun pilihan, kebebasan, dan ikhtiar manusia dalam bertindak akan membentuk esensi dan hakikat wujudnya.
c. Apabila manusia berusaha maka niscaya dia dapat menyingkirkan dan menyirnakan keburukan-keburukan serta mencapai kebaikan-kebaikan dan kenikmatan-kenikmatan.
Mayoritas psikolog beranggapan bahwa “Optimisme” dan berpikir positif merupakan perkara yang fitrah dan berkeyakinan bahwa keberadaan faktor-faktor yang tidak sehat dan kehendak-kehendak yang menyimpang mengakibatkan perkembangan fitrah manusia ke arah yang menyimpang pula dan manusia kemudian beralih dari puncak “Optimisme” ke lembah “Pesimisme” dan berpikir negatif.
Hasil penelitian para psikolog menunjukkan bahwa Pesimisme banyak dianut oleh masyarakat perkotaan dan kaum lelaki lebih banyak terjerumus ke lembah Pesimisme dibanding kaum hawa.
Nihilisme
Para pemeluk Nihilisme adalah orang-orang yang meyakini bahwa segala realitas yang ada di alam ini hanya berdimensi keburukan. Mereka beranggapan bahwa fenomena-fenomena yang ada pada manusia tidak lain adalah penderitaan, kemalangan, kemiskinan, dan kehancuran. Begitu pula, segala maujud selain manusia adalah buruk dan tak bermanfaat bagi manusia. Secara umum, yang ada di alam hanyalah suara-suara keburukan dan atmosfir-atmosfir putus asa.
Pemikiran Nihilisme dapat dilihat pada karya-karya seperti Jean Paul Sartre, Franz Kafka, Arbert K, Samuel B, Arthur A. Penulis-penulis ini mengungkap ketidakbermaknaan kehidupan dan Nihilisme dalam bentuk cerita-cerita. Sebagian penulis ini, berupaya membangun argumentasi rasional atas ketidakberartian kehidupan manusia dan Nihilisme.
Nihilisme merupakan kecenderungan baru di zaman moderen. Pada masa yang lalu, yang ada hanyalah Pesimisme dan bukan Nihilisme, namun di abad kontemporer Pesimisme mencapai puncak kejayaannya dan menjadi Nihilisme. Bunuh diri, lari dari tanggung jawab hidup, dan memandang hidup ini sebagai canda-gurau belaka adalah merupakan tanda-tanda bahwa manusia masa kini memandang rendah kehidupan dan terjebak dalam dunia Nihilisme.
Mayoritas manusia yang hidup di Barat tidak mengetahui mengapa dan bagaimana mesti menjalani kehidupan ini, mereka memikirkan segala hal, kecuali hakikat kehidupan dan kedudukan manusia di alam eksistensi. Begitu banyak manusia di dunia Barat memahami dirinya telah tenggelam di lautan tak bertepi bernama kehidupan dan tak memiliki harapan bagi keselamtan diri mereka. Nah, para penulis di atas meriakkan Nihilisme dan tak bermaknanya kehidupan, perkataan mereka adalah cerita tentang penderitaan beribu-ribu manusia yang telah kehilangan diri mereka sendiri dan telah putus asa akan keselamatan mereka di lautan yang tidak bertepi ini.
Di bawah ini akan disebutkan beberapa kondisi yang menyebabkan manusia abad kini cenderung pada Nihilisme dan perlahan-lahan memandang kehidupan ini tidak bermakna lagi, antara lain:
- Pasca revolusi indusrti, dunia Barat sangat mengunggulkan ilmu dan industri sedemikian sehingga diposisikan sebagai “tuhan”, namun ketika terjadi peperangan dan perubahan ekonomi dan sosial yang drastis dimana “tuhan ” mereka tidak mampu menyelesaikan dan mengobati penderitaan-penderitaan manusia, mereka akhirnya putus asa dan kehilangan kepercayaan
- Dua perang dunia dan revolusi berdarah yang terjadi sekitar dua abad sebelumnya bersama dengan penjajahan membuat kehidupan manusia semakin terjepit dan gelap
- Ribuan manusia yang mengalami kemiskinan dan sebagian kecil manusia yang berada dalam kehidupan yang mewah dan berlebihan menjadikan mereka tersebut memandang kehidupan ini dengan pikiran negatif dan terjebak dalam pesimisme.
- Pemikiran Darwin, Freud, Nitche, dan yang lainnya dimana menjungkirbalikkan prinsip-prinsip hakiki manusia dan mengarahkan kehidupan manusia pada jalan buntu, sehingga pada akhirnya mayoritas manusia mengalami keraguan pikiran dan kebingungan bertindak dalam kehidupan.
- Maraknya penganut Materialisme dimana mereka berusaha menjauhkan kehidupan manusia dari Tuhan dan agama suci, hal ini menyebabkan manusia merasa asing di alam eksistensi.
- Nilai-nilai manusia mengalami perubahan, yakni nilai-nilai etika dan
akhlak. Realitas perubahan ini menepihkan hubungan kasih sayang manusia
dimana berujung pada pesimisme kehidupan.
[1] . Filsafat Nihilisme, Albert K, penerjemah: Muhammad Giyatsi, hal 94.
[2] . Dalam pandangan Leibniz, alam materi merupakan ciptaan Tuhan dan bersumber dari iradah-Nya. Oleh karena itu, alam materi ini merupakan alam materi yanmg terbaik. Tuhan mencipta alam materi ini dengan penciptaan yang terbaik, yakni penciptaan ini dikatakan terbaik berdasarkan kondisi-kondisi dan karakteristik alam materi itu sendiri, bukan dibandingkan dengan dua alam lainnya (alam barzah dan alam akal).
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar