Oleh: Mohammad Adlany
Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa
dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita
kenal adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita
sifatkan dengan sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita
meletakkan makhluk serupa dan setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu.
Maka dari itu, kita harus memilih jalan agar kita tak terjebak dalam
penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan juga menghindar dari
penyerupaan makhluk dengan Tuhan.
Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia
tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki
keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional
ketakterbatasan sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia
secara mutlak tak mampu mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya.
Sebagaian aliran teologis beranggapan bahwa akal manusia tak bisa
menetapkan sifat-sifat Tuhan secara mendetail dan menegaskan
batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini, kenyataannya tak menolak
beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan yang perlu dan
urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan batasan
antara kemampuan pengenalan akal manusia dan “urgensi kebutuhan
pengetahuan manusia terhadap Tuhan”.
Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal
manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, namun
manusia sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun
sedikit dimana pengetahuan “yang sedikit” itu bukan hanya tak “dilarang”
atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi
manusia dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan “yang sedikit”
tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia
kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan
dalam mengingat dan berzikir kepada-Nya.
Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang
menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak
menunjukkan kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan
tak serupa dengan makhluk-makhluk dan begitu juga sebaliknya semua
makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua dimensi. Tapi penafian
keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan.
Bentuk pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di
atas dapat dikatakan dalam suatu ungkapan, “Apa saja yang ada pada
makhluk berbeda dengan apa yang ada pada Khalik”. Perbedan tersebut
bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan, makhluk bukanlah lawan dari
Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan, citra, tajalli dan
manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan tersebut
adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak
bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna
“keberadaan, eksistensi” dan “kesatuan” yang terterapkan dan
teraplikasikan pada Tuhan dan makhluk?
Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya meniadakan
Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai
pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada
pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan.
Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan,
juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin
dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan
Tuhan. Ketika dalam hikmah muta’aliyah ditegaskan bahwa wujud itulah
yang hakiki bukan kuiditas, dan zat Tuhan adalah wujud itu sendiri
(wujud murni) yang tak memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik
wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada
zat Tuhan.
Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan
secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu
menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari
ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni
wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan
tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat
yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan
maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan
secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi
Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua
bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan
diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang
realitas wujud Tuhan.
Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu
bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari
sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari
sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain,
kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah
kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan
alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan
mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha
Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala
sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua
realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala
sesuatu tapi tak berjarak.
Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang
paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua
penginderaan kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil
menjangkau suatu realitas wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak
kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu membuat heran
dan kagum akal manusia. Manusia yang merupakan wujud yang terbatas dan
berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih dan meliputi sesuatu yang
wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak berujung. Oleh karena itu,
menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang maha sempurna dan di
atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan indera dan akal
manusia.
Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan
adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan
mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan “keluasan wujudnya”
masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan
meneladani sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan
pengetahuan sempurna atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan
manusia tentang Tuhan diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang
berangkat dari analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi
yang ada.
Mulla Sadra menegaskan sifat-sifat Tuhan dalam jalur
rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang
menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan,
dan diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan
segala bentuk pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla
Sadra, pada saat yang sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakiki
tentang zat Tuhan juga menegaskan bahwa pengenalan Tuhan diperoleh lewat
pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.
Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan,
Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan
Tuhan dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan
nama-nama tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar zat Tuhan. Dalam
perspektif Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan
adalah dengan ma’rifat syuhudi atau pengetahuan intuitif yang
kadarnya sesuai dengan potensi dan keluasan wujud masing-masing
individu, ma’rifat jenis ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat
Tuhan.
Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy’ariah yang
memandang sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar zat Tuhan dan pada
saat yang sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tidak tercipta,
dan dia juga tidak sepaham dengan kelompok Mu’tazilah yang menafikan
sifat-sifat Tuhan dan menisbahkan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat
majasi.
Mulla Sadra mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi
bukan sifat yang berada di luar zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan
satu kesatuan yang tak terpisahkan, perbedaan sifat dan zat-Nya hanya
pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq),
berbeda dalam persepsi dan satu dalam extensi. Menurutnya, akal ketika
memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan wujud Tuhan
seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan
kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena
wujud Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu
kesatuan mutlak, segala kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak
satupun bentuk kesempurnaan yang dapat dinafikan dari wujud-Nya.
Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail
membahas tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu
sifat untuk Tuhan. Dia berkata, “Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan
secara esensi Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala
bentuk kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu Dia adalah kebaikan
dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini merupakan kesatuan antara
subyek, obyek, dan ilmu.
Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya
tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya
adalah ilmu huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya.
Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles yang memungkiri ilmu
Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan
mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia mengatur
segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak
satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam
diatur dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem.
Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular
tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya
tentangnya tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi
oleh waktu dan zaman, jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya
dan berpengaruh pada-Nya, sementara hal in merupakan sesuatu yang
mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah seiring perubahan yang terjadi pada
wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir secara aksiden dalam zat-Nya
hingga Dia mesti “menunggu”.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar