Oleh: Mohammad Adlany
Manusia tidak bisa melanjutkan kehidupannya tanpa tujuan dan ideologi. Di sepanjang sejarah manusia menganut ideologi-ideologi dan dengan perantaraannya manusia menafsirkan sisi kehidupannya. Ideologi-ideologi penting yang dianut manusia sepanjang sejarah yaitu ilmu, kekayaan, kekuasaan, ketenaran, cinta, keindahan, dan hedonis.
Di bawah ini kita akan meneliti dan mengkaji ideologi-ideologi di atas agar bisa menetapkan bahwa ideologi-ideologi tersebut tidak bisa menjawab pertanyaan hakiki manusia tentang tujuan hidup manusia dan juga tidak mampu menempatkan manusia pada kedudukan yang sebenarnya dalam samudra kehidupan di alam yang tak berhingga ini.
1. Ilmu dan Pengetahuan
Sebagian manusia meletakkan ilmu sebagai tujuan hidupnya, dan ketika mereka mengkaji suatu permasalahan ilmu atau filsafat mereka larut pada pengkajian itu semata dan tidak menimbang bahwa apakah penemuan ilmu dapat digunakan sebagai faktor meningkatkan kesempurnaan dan kualitas hidup manusia. Menurut Mereka observasi semata dibidang keilmuan dan tidak peduli tentang manfaat ilmu itu bagi kehidupan manusia adalah tujuan sempurna hidup. Dan mereka menyangka bahwa jika dari pagi hingga malam larut dalam penelitian hingga menambah kualitas dan kuantitas ilmu, maka hal ini cukup mengantarkan pada puncak kesempurnaan tanpa mesti memikirkan sejauh mana aplikasinya bagi kemaslahatan hidup manusia di alam ini.
Seorang filosof seperti Bertrand Russel berusaha menetapkan bahwa ilmu dan pengetahuan mengobati semua penyakit kemanusiaan dan mengantarkan manusia ke puncak kesempurnaan, ilmu sebagai tujuan hakiki kehidupan manusia dan puncak kebahagiaannya.
Apabila di samping mencari dan menyempurnakan ilmu manusia juga prihatin pada kemajuan masyarakat dan mencari pemecahan bagi kesempurnaannya, maka ia tidak dikategorikan sebagai orang yang meletakkan ilmu sebagai tujuan mutlak kehidupan. Tapi kalau usaha manusia hanya ingin menambahkan pengetahuannya atau tujuannya agar karya ilmiahnya tetap abadi tanpa pernah memikirkan solusi bagi penderitaan yang dialami manusia, orang seperti ini terperangkap dalam penyakit “ketenaran” dan menjadikan ilmu sebagai alat meraih kemasyhuran bukan sebagai tujuan hidupnya.
Berkaitan dengan ideologi yang benar dan hakiki, dikatakan bahwa ilmu dan pengetahuan bukanlah tujuan tapi merupakan jalan, petunjuk prilaku, dan alat untuk memilah dan memilih yang terbaik dan tersempurna dari realitas kehidupan. Walaupun manusia mempunyai ilmu yang dengan perantaraannya ia dapat menyelesaikan segala problematika alam dan manusia, tetapi apabila ia tidak menyempurnakan dirinya sendiri dengan ilmu yang dimilikinya, maka ia tidak lain adalah seperti eksiklopedia berjalan.
2. Harta dan Kekayaan
Mayoritas manusia menjadikan kekayaan sebagai ideologinya dan berusaha dengan segenap kemampuan untuk menggapainya, dan sebagian di antaranya bukan hanya mengambil hak-hak manusia lain bahkan ia rela mengorbankan jiwa sendiri untuk mencapai tujuannya.
Kebergantungan yang kuat kepada harta dan kekayaan material akan menyebabkan menguatnya kecenderungan negatif dari jiwa yang nantinya akan menjadi penghalang bagi manusia untuk mendapatkan ideologi yang hakiki. Apabila kekayaan material hanya sekedar wasilah dan bukan tujuan hidup kita, maka hal ini tidaklah menjadi masalah. Tapi kalau hal itu adalah tujuan hakiki, maka ia akan sangat bahaya.
Sangat disayangkan sebagian besar manusia tidak mengetahui bahwa kekayaan material bisa menjadi aspek positif yakni sebagai alat untuk mencapai tujuan hakiki manusia dan juga dapat menjadi aspek negatif yaitu diposisikan sebagai ideologi, dan keinginan mereka bukan hanya sebagai ideologi individu bahkan sebagai ideologi masyarakat.
Salah satu dalil yang menegaskan bahwa kekayaan material tak dapat ditempatkan sebagai ideologi manusia adalah bahwa keinginan yang berlebihan kepada kekayaan material membuat manusia lalai terhadap kecenderungan positif dan keinginan hakiki jiwa manusia. Kecintaan kepada harta benda menjadikan struktur jiwa dan pikiran manusia tidak lagi sehat sedemikian sehingga yang terdapat hanyalah bagaimana menambah dan memperbanyak harta dan kekayaan saja.
Apabila kekayaan material dapat dipandang sebagai suatu ideologi maka tidak kemestian bagi orang-orang kaya untuk menginginkan hal-hal lain dalam kehidupannya selain materi, karena kalau orang-orang kaya merasa bahwa terdapat dimensi-dimensi lain dari kehidupan ini selain dari dimensi material dan kenikmatan jasmaniah, maka niscaya ia tidak tinggal diam dan berusaha mencapai dimensi-dimensi tersebut sebagai contoh disamping ia mempunyai kekayaan material melimpah ia juga berusaha meraih ilmu, ketenaran, dan kekuasaan.
3. Kekuasaan dan Ketenaran
Sebagian meletakkan kekuasaan dan ketenaran bagi keabadiannya sebagai ideologi, namun terletak perbedaan antara seorang yang memiliki tujuan khas dan dalam perjalanan menggapai tujuan khusus itu ia mendapatkan kekuasaan dan ketenaran dan seorang yang tujuan utamanya adalah meraih puncak kekuasaan dan ketenaran.
Seorang pelajar yang tujuan mulianya adalah menuntut ilmu, ketika telah menjadi seorang ilmuwan biasanya ia juga memperoleh suatu kedudukan dan menjadi terkenal. Di sini pelajar tersebut tidak menjadikan ilmu sebagai alat untuk mencapai puncak tujuannya yaitu kedudukan dan ketenaran, namun tujuannya tak lain misalnya melakukan penelitian untuk mendapatkan ilmu dan penemuan baru, bukan kekuasaan. Adalah sangat mungkin seorang individu secara lahirian meletakkan ilmu sebagai tujuannya hingga ia memperoleh satu ijazah dan kemudian mencapai suatu kedudukan dan menjadi tenar. Di sini, individu ini nampak menempatkan ilmu itu sebagai tujuan, sementara secara hakiki inti tujuannya adalah mendapatkan kedudukan, kekuasaan, dan ketenaran.
Memang benar bahwa ilmu pada kedua individu di atas ditempatkan sebagai tujuan, tapi pada individu pertama digunakan untuk berkhidmat pada kemanusiaan dan mengikuti tuntutan fitrah sucinya, sementara pada individu kedua hanya untuk memuaskan tujuan rendah dari jiwanya yaitu cinta pada kekuasaan dan ketenaran. Adalah sangat urgen untuk individu kedua ini memahami dan mengetahui bahwa:
- Cinta kekuasaan dan ketenaran adalah sangat tidak layak bagi kedudukan mulia manusia dan juga tidak sesuai dengan hakikat wujudnya;
- Seorang yang telah menjadi terkenal dan berkuasa adalah sangat mungkin, karena terjadi perubahan nilai dan tolok ukur sosial dalam masyarakat, akan terdepak dari kursi kekuasaan dan menjadi terhina;
- Cinta kekuasaan dan ketenaran merupakan perkara yang sangat nisbi, karena pada setiap tempat dan zaman terdapat orang yang memiliki kekuasaan dan ketenaran yang lebih tinggi dan lebih luas dari kekuasaan dan ketenaran yang dimilikinya.
Kekuasaan dan ketenaran tersebut dari aspek bahwa tidak bisa ditempatkan sebagai ideologi, karena akan menyirnakan sifat rendah hati dan tawadhu serta terjebak dalam kecenderungan materi dan lautan egoisme yang kesemua ini merupakan penghalang proses kesempurnaan manusia. Apabila manusia tidak melepaskan dirinya dari kecenderungan dan cinta kekuasaan ini, maka mustahil ia melangkahkan kakiknya meniti jalan kesempurnaan.
4. Cinta Diri dan Egoisme
Sebagian manusia menjadikan kecintaan pada diri (cinta diri) sebagai tujuan dan ia berusaha segenap kemampuan dan berupaya dengan gigihnya dalam meraih tujuan ini. Mereka mengerahkan segenap kekuatan jiwa dan pikirannya untuk memuaskan apa-apa yang menjadi tuntutan dan kecenderungan kecintaan dirinya.
Keadaan tersebut biasanya ditemukan pada masa remaja, dan keadaan ini dapat melemah dan berlalu dengan cepat seiring dengan penambahan umur sehingga tidak terlalu penting dan berbahaya bagi jiwa. Namun keadaan ini bisa tetap berlanjut hingga pada tingkatan mempengaruhi keseimbangan jiwa manusia dan menjadi suatu penyakit jiwa. Penyakit jiwa ini akan semakin parah dengan ketiadaan sistem pendidikan yang mumpuni dan keadaan sosial yang sangat liberal serta prilaku masyarakat yang non-etis.
Cinta pada diri sendiri berdasarkan realitas di atas tidak bisa menjadi sebuah ideologi, karena menghilangkan keseimbangan jiwa manusia dan menyebabkan manusia tidak bisa berpikir secara benar serta memandang realitas hidup dengan khayalan kosong.
5. Welfarisme
Begitu banyak manusia menjadikan tujuan hidup satu-satunya untuk menggapai kesejahteraan hidup (welfare). Mereka ini berupaya dengan segenap kemampuan untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera dan melupakan bahwa kesejahteraan merupakan alat dan wasilah kehidupan, bukan tujuan hakiki kehidupan manusia.
Namun sangat disayangkan bahwa sebagian aliran pemikiran dan ideologi manusia bahkan menegaskan dan menekankan pencapaian suatu kehidupan sejahtera yang kosong dari kesedihan, kemalangan, dan kemiskinan sebagai suatu tujuan hidup manusia.
Mereka ini lupa dan tidak memperhatikan bahwa apabila semua manusia suatu waktu sampai pada puncak kesejahteraan, tidak ada lagi kefakiran, kemalangan, dan seluruh manusia menjalani hidup di surga dunia ini, maka fitrah manusia masih akan menyoalkan tentang dari mana kita datang? Kenapa kita lahir ke alam ini? Dan kemana kita akan pergi?
Apabila mencapai puncak kesejahteraan dapat dianggap sebagai tujuan hakiki kehidupan dan ideologi manusia, maka manusia-manusia yang telah menggapai puncak kesejahteraan tidak mesti lagi memilih suatu ideologi lain sebagai pandangan hidupnya, sementara realitas yang terjadi tidaklah demikian dan begitu banyak manusia sejahtera menuntut ilmu dan pengetahuan atau mengejar kekuasaan, kedudukan, dan ketenaran.
Lebih dari yang disebutkan di atas, apabila kesejahteraan hidup – yang secara hakiki adalah alat dan perantara – diletakkan sebagai tujuan hakiki kehidupan manusia, maka ketika manusia ini tidak berhasil meraih tujuannya tersebut niscaya ia akan merasakan kemalangan yang sangat dalam, sangat mungkin berujung pada putus asa dan bunuh diri, dan kemudian memandang kehidupan dengan pandangan yng sangat negatif.
6. Hedonisme
Manusia lain menempatkan kesenangan hidup atau hedonis sebagai ideologinya dan berusaha mendapatkan semaksimal mungkin segala kesenangan dalam kehidupannya.
Bentuk pandangan hidup seperti ini tidak lepas dari pengaruh konsep filsafat Epicurian. Sesungguhnya mereka ini bukan hanya tidak meletakkan tujuan mendasar dan hakiki untuk kehidupan mereka, bahkan kehidupan itu sendiri dianggap dan dipandang sebagai permainan dan canda belaka.
Manusia seperti ini dapat dipandang tidak memiliki keseimbangan jiwa dan pikiran, dan tujuan mereka tidak lain adalah berusaha mendapatkan seluruh kesenangan dan memuaskan keinginan-keinginan alami dan kecenderungan-kecenderungan tubuh.
Hedonisme tidak dapat ditempatkan sebagai ideologi, karena manusia akan terpenjara oleh kecenderungan tubuh yang rendah dan jiwa manusia tidak ijinkan untuk melakukan perjalanan menyempurna dan melesak hingga tingkatan ter-tinggi kesempurnaan manusia dan Ilahi. Dan begitu pula, hedonisme ini niscaya meletihkan tubuh manusia dan berujung pada nihilisme.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar