SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany
 
Dalil Sadrian Tentang Eksistensi Tuhan

Di awal abad ke-11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran pemikiran seperti peripatetik, iluminasi, irfan teoritis, dan teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain, dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad kesebelas empat aliran itu berhasil dipadukan secara sempurna oleh Mulla Sadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang ia sebut sebagai Hikmah Muta’aliyah (Filsafat Transendental, Filsafat Sadrian)[1].

Aliran filsafat baru itu, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tak mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut.


Disamping itu aliran baru ini juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, karena itu tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis filsafat pada sisi lain.

Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara agama dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang sistimatis dan logis atas doktrin-doktrin agama tersebut.

Salah satu perubahan mendasar dan menomental yang dapat kita saksikan dalam deretan argumentasi-argumentasi filsafat tentang penegasan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan terdapat pada burhan shiddiqin (argument of the righteous). Burhan ini, sejak dicetuskan di zaman Al-Farabi dan Ibnu Sina hingga sampai ke tangan Mulla Sadra mengalami dua perubahan penting dan mendasar, dua perubahan itu antara lain: pertama, masuknya unsur teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujud) dari irfan teoritis ke dalam burhan shiddiqin, kedua, berpengaruhnya konsep gradasi wujud (tasykik al-wujud) ke dalam burhan shiddiqin.
Mulla Sadra mengadopsi dua konsep tersebut di atas dan dengan ketercerahannya menggabungkan dua konsep tersebut sehingga melahirkan dan menghasilkan satu bentuk argumentasi filosofis yang baru, logis, kuat dan ringkas dalam menegaskan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan. Dengan begitu, terjadi perubahan yang sangat prinsipil dan penting khususnya berkaitan dengan tolok ukur dan definisi burhan shiddiqin itu sendiri.
Burhan shiddiqin, hingga abab sekarang ini, didefinisikan sebagai burhan yang hanya menggunakan wujud Tuhan itu sendiri, di dalam kontruksi argumentasinya, untuk menegaskan eksistensi-Nya.

Berdasarkan definisi itu, burhan shiddiqin bisa dianalogikan sebagai berikut: Wujud matahari adalah tanda, burhan, dan dalil bagi matahari itu sendiri. Wujud Tuhan ialah dalil bagi wujud Tuhan sendiri.

Karena Tuhan adalah wujud murni (tidak bercampur dengan kuiditas sebagaimana makhluk), maka dalam burhan itu hakikat wujud mesti menjadi titik pengkajian. Maka dari itu, dalam Hikmah Muta’aliyah, pondasi awal burhan shiddiqin adalah teori kehakikian wujud (ashalatul wujud), yakni wujudlah yang merupakan realitas yang paling hakiki, mendasar, dan fundamental bukan kuiditas.

Berdasarkan realitas itu, Mulla Sadra tidak menyebut penjabaran argumen Ibnu Sina dalam menegasan wujud Tuhan sebagai burhan shiddiqin, tetapi hanya sebagai burhan yang mirip dengan burhan shiddiqin[2], walaupun Ibnu Sina sendiri menyebut argumennya sebagai burhan shiddiqin.

Burhan shiddiqin dalam Hikmah Muta’aliyah berpijak pada beberapa asas dan prinsip mendasar, antara lain:

a. Kehakikian wujud (al-ashâlah al-wujud)
Berdasarkan prinsip ini, wujud secara esensial merupakan realitas yang hakiki dan kuiditas hanyalah sebatas realitas yang menceritakan tentang wujud. Dengan katak lain, kuiditas tidak lain adalah batasan wujud dan secara aksiden terpredikasikan kepada wujud[3].
Oleh karena itu, ketika kita berhadapan dengan realitas sesuatu yang ada di alam eksternal, maka secara lahiriah yang diserap oleh panca indera kita adalah kuiditasnya (al-mahiyah) bukan wujudnya, namun wujud sesuatu itulah yang sebenarnya merupakan realitas hakiki yang berada di alam luar yang mendasari keberadaan kuiditas. Kuiditas sesuatu sepenuhnya bergantung kepada wujud. Jika wujud tiada maka kuiditas pun menjadi tiada. Namun tidak sebaliknya.
Mulla Sadra mengadopsi prinsip ini dari irfan teoritis dan menjabarkannya secara filosofis kemudian meletakkannya sebagai pondasi filsafatnya.

b. Gradasi wujud (tasykik al-wujud)
Dalam perspektif Hikmah Muta’aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa mujud-mujud di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud)[4]. Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud. Perspektif itu juga bertentangan dengan konsep Muhaqqiq Dawani tentang kesatuan wujud dan kejamakan maujud.

Konsep gradasi wujud ini serupa dengan gradasi cahaya dalam filsafat iluminasi Suhrawardi. Menurut Mulla Sadra, ada perbedaan antara gradasi wujud dan gradasi cahaya. Dalam gradasi wujud, wujud merupakan realitas tunggal yang dalam ketunggalannya itu memiliki derajat, dari derajat yang tertinggi hingga derajat yang terendah. Ketunggalan wujud ini tidak menafikan kejamakan maujud, begitu pula sebaliknya kejamakan maujud tidak bertentangan dengan ketunggalan wujud.

Sedangkan gradasi cahaya dalam filsafat iluminasi adalah cahaya-cahaya yang memiliki intensitas-intensitas yang berbeda.

Dalam ungkapan lain, gradasi wujud dalam filsafat Mulla Sadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.

c. Prinsip Kausalitas
Dalam pandangan Mulla Sadra, akibat (ma’lul) adalah suatu realitas yang bergantung secara mutlak dan hakiki kepada sebabnya (‘illat). Kebergantungan mutlak yang bersifat eksistensial itu dinamakan al-imkan al-faqr. Kebergantungan mutlak dan hakiki inilah yang melahirkan kebutuhan hakiki suatu akibat kepada sebabnya. Dalam perspektif yang lebih mendalam, akibat adalah kebergantungan dan kebutuhan itu sendiri.
Berdasarkan prinsip kehakikian wujud, tafsiran teori kausalitas ini mudah diterima. Karena jika segala sesuatu didasari oleh wujud bukan kuiditas maka kebutuhan mereka kepada sebab juga bersifat eksistensial dan hakiki. Maka dari itu, menurut Mulla Sadra tolok ukur kebutuhan akibat kepada sebabnya tidak terletak pada watak kebergantungan suatu kuiditas.

Mulla Sadra, dalam kitab al-Syawahid al-Rububiyyah, disamping menjabarkan burhan shiddiqin, ia juga menganalisa dan mengeritik tolok ukur yang diletakkan oleh filosof sebelumnya berhubungan dengan kebutuhan dan kebergantungan akibat kepada sebabnya.

Berdasarkan analisanya, tolok ukur kebutuhan akibat kepada sebabnya bukan huduts[5], karena huduts bermakna pernah tiada dan sekarang berada. Dalam pengertian huduts terkandung tiga unsur, yakni wujud, ketiadaan, dan ketiadaan sesuatu mendahului wujudnya.

Makna ketiadaan sebagai unsur kedua adalah tidak memiliki wujud, karenanya keluar dari lingkaran sebab-akibat (karena sebab-akibat dalam filsafat hanya terkait dengan hal-hal yang berwujud). Walhasil, unsur ini tidak bisa dijadikan sebagai tolok ukur kebutuhan suatu akibat kepada sebabnya.

Dan unsur ketiga, ketiadaan sesuatu mendahului wujudnya, adalah kemestian dari suatu eksistensi dan tidak terpisah dari proses penciptaan. Unsur ini tidak lebih dari sebuah persepsi yang bersumber dari proses perwujudan sesuatu. Kesimpulannya, unsur inipun bukan tolok ukur kebutuhan akibat kepada sebabnya.
Sedangkan unsur pertama, wujud, adalah realitas hakiki dan secara riil hadir di alam. Jika wujud perlu kepada sebabnya maka kebutuhannya pasti hakiki, riil, dan esensial. Dan jika ia tidak butuh kepada sebabnya maka ketidakbutuhannya pun bersifat hakiki.



Referensi:
[1] . Pendiri aliran Hikmah Muta’aliyah, Sadr al-Din Syirazi bin Ibrahim (979 – 1571 H), yang umum dipanggil Mulla Sadra.
[2] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 6, hal. 26.
[3] . Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi, Omuzesy falsafe (pengajaran filsafat), jilid 1, hal. 302.
[4] .  Yang dimaksud adalah Tuhan (Wajibul Wujud) sebagai satu-satunya wujud. Tuhan adalah wujud itu sendiri dan wujud ialah Tuhan itu sendiri. Tuhan sama dengan Wujud (Tuhan = Wujud). Segala sesuatu selain-Nya adalah manifestasi, banyangan, dan tajalli Tuhan (baca: wujud). Selain Tuhan tidak dikatakan sebagai yang berwujud, namun bayangan wujud itu sendiri. Dan manifestasi wujud berbeda dengan wujud.
[5] . Huduts dalam makna leksikalnya berarti baru, lawan dari lama (qadim). Dalam makna gramatikalnya (istilah), sesuatu dikatakan huduts jika sesuatu itu pada awalnya tiada (tak tercipta) dan sekarang menjadi ada, berwujud atau tercipta. Huduts terbagi dua: pertama, huduts zati (lawan qadim zati) yaitu sesuatu itu pernah tiada dan prosesnya menjadi ada tidak dalam ruang lingkup waktu, seperti proses keberadaan maujud/makhluk di alam non materi. Kedua, huduts zamani (lawan qadim zamani) yaitu sesuatu itu pernah tiada dan prosesnya menjadi ada terkait dengan waktu, seperti proses keberadaan makhluk di alam materi ini.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top