Oleh: Mohammad Adlany
Keluasan Alam
Filsafat
Islam telah membuktikan tiga jenis alam, yakni alam akal, alam mitsal
(barzakh), dan alam materi. Alam akal adalah alam yang tertinggi dan
alam materi sebagai alam yang terendah. Alam mitsal berada di antara
kedua alam itu.
Alam itu sendiri, karena merupakan manifestasi Wujud Yang
Tak Terbatas (Tuhan), meliputi jangkauan dan dimensi yang tak terbatas
pula. Untuk memahami realitas alam-alam itu maka sebaiknya berangkat
dari alam yang terendah, alam materi. Karena manusia lebih dekat dengan
alam materi, maka untuk mengkajinya bukanlah hal yang sulit. Alam materi
yang merupakan tingkatan terendah dari alam eksistensi yang jika
manusia melakukan observasi dan tafakkur pada setiap sisi dari alam
materi ini akan memperoleh manfaat spiritual dan inteletual yang begitu
banyak.
Dengan mengkaji alam materi dan alam natural ini, manusia
pada era ini telah mampu mengembangkan ilmu dan teknologi serta
menemukan inovasi-inovasi baru yang sangat menakjubkan, mereka berhasil
mengeluarkan berbagai bahan tambang dari kedalaman bumi, berhasil
menciptakan berbagai peralatan canggih, menjelajahi dunia antariksa, dan
sebagainya. Apabila observasi manusia di alam materi telah menemukan
berbagai kemajuan yang signifikan, maka perkembangan apa yang bakal
terjadi jika manusia berkonsentrasi mengkaji fenomena-fenomena di alam
yang lebih tinggi?
Eksistensi sebagai Hakikat Tunggal
Maujud-maujud yang ada di alam ini tidak terpisah satu
dengan lainnya. Eksistensi qua eksistensi (eksistensi dipandang dari
aspek eksistensi itu sendiri, dengan tidak melihat keragaman
kuiditasnya) merupakan hakikat tunggal yang bergradasi, dimana setiap
tingkatannya memiliki pengetahuan yang setara dengan tingkatan itu.
Secara lebih cermat dikatakan bahwa eksistensi itu sendiri setara dengan
pengetahuan[1].
Dengan argumen ini bisa dikatakan bahwa pengetahuan
memiliki tingkatan-tingkatan sebagaimana eksistensi. Ilmu pada setiap
tingkatan tidaklah sama.
Apa yang diketahui oleh benda-benda tak bergerak seperti
batu (atau benda padat) berbeda dengan apa yang diketahui oleh tumbuhan.
Pengetahuan yang pada tumbuhan berbeda dengan pengetahuan yang dimiliki
oleh hewan, dan pengetahuan hewan tidaklah sama dengan lingkup
pengetahuan manusia.
Jadi wujud memiliki tingkatan, dan tingkatan yang terendah
berada dalam keadaan yang lebih lemah sedangkan tingkatan yang tertinggi
akan berada dalam kondisi yang lebih kuat.
Karena alam materi sebagai wujud yang paling rendah, maka
segala sesuatu yang terkait dengan kematerian pun tergolong sebagai yang
terendah. Begitu pula sebaliknya pada alam akal.
Wujud pada gerak menurun diawali oleh Sumber Eksistensi, alam ahadiyah[2], alam wahidiyah[3], alam asma[4], alam mitsal,
alam materi, dan pada gerak menaik dimulai dari alam materi, alam
barzakh, dan perjalanan eksistensial kepada Sumber Eksistensi. Hal ini
sebagaimana difirmankan, “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa
musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun
(Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali”[5], dan ayat lain, seperti, “Dan kepada kamilah masing-masing golongan itu akan kembali”[6], “Dan kepada Allah-lah kembalinya (semua makhluk)”[7].
Oleh karena itu, eksistensi adalah hakikat tunggal yang
memiliki tingkatan, dimana tidak satupun dari tingkatan tersebut
terputus dari tingkatan yang lain, melainkan setiap tingkatan merupakan
bagian dari tingkatan di atasnya. Alam materi dan jasmani merupakan
bagian tak terpisah dari alam mitsal, begitu pula alam mitsal diliputi
oleh alam akal, dan alam asma Ilahi mencakup alam akal.
Dari alam materi hingga Sumber Wujud, terdapat berbagai
tingkatan dimana masing-masing tingkatan bila dibandingkan dengan
tingkatan di atasnya bersifat lemah, eksistensi terlemah adalah alam
materi yang tingkatan wujudnya lebih rendah dari alam barzah. Demikian
juga, alam barzah lebih lemah jika dikomparasikan dengan alam akal, dan
alam wahidiyah lebih lamah bila diperhadapkan dengan alam ahadiyah.
Tentunya, semua tingkatan ini bersifat universal, sedangkan tingkatan
mendetail dari alam eksistensi berada di luar jangkauan akal manusia,
karena hal inilah dalam al-Quran Allah swt menisbahkan begitu banyak
persoalan kepada asma-Nya sendiri. Demikian juga dalam doa Kumail
dikatakan, “Allahumma inni biasmaika-llati mala-at arkanaa kulli
syaii” (Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan asma-Mu yang memenuhi
tonggak segala sesuatu).
Alam Menurut Ilmu Modern
Ilmu saat ini telah berkembang dan menemukan bahwa setiap
benda terdiri dari atom-atom, dan setiap atom terbentuk dari elektron,
proton, dan netron. Demikian juga dikatakan bahwa substansi bisa berubah
menjadi energi dan sebaliknya energi bisa berubah menjadi substansi.
Ilmu saat ini bisa memisahkan substansi dari molekul dan molekul dari
atom, dan atom dari partikel-partikelnya. Para ilmuwan era ini sepakat
bahwa apabila netron yang terdapat pada inti atom dipisahkan maka akan
terjadi ledakan dimana hasil ledakan tersebut setara dengan ledakan
bahan peledak, jadi pada hakikatnya atom identik dengan energi yang
terkumpul[8].
Demikian juga dikatakan bahwa setiap proton dan netron
memiliki orbit tertentu. Ini semua merupakan hasil capaian ilmu
kontemporer, tetapi ilmu modern tidak mampu menjabarkan hakikat dasar
kemunculan fenomena tersebut.
Ilmu yang ada saat ini tidak mengatakan kepada kita tentang
letak energi pada tingkatan tertentu dari eksistensi dan sumber
kemunculan energi.
Akan tetapi, filsafat mengatakan kepada kita bahwa energi
berkaitan dengan alam materi yang merupakan tingkatan terendah dari alam
eksistensi. Pada dasarnya energi merupakan pancaran dari mekanisme alam
malakut.[9] Realitas alam malakut bersumber dari alam jabarut[10]
hingga sampai pada alam Ilahi. Dengan demikian, tingkatan bawah dan
atas dari alam eksistensi saling berhubungan satu dengan lainnya,
semakin tinggi tingkatannya akan semakin bersifat non-materi dan semakin
ke bawah akan semakin memateri.
Tingkatan Eksistensi
Tingkatan wujud bisa digambarkan dengan dua lengkungan atau
busur yang bila dipadukan menjadi suatu lingkaran, dua lengkungan itu
disebut lengkungan menurun dan lengkungan menaik. Lengkungan menurun
dimulai dari Tuhan dan berakhir pada alam materi. Dalam lengkungan ini,
semakin kita mendekati tingkatan bawah, maka eksistensi akan semakin
melemah hingga sampai pada alam materi yang merupakan realitas terjauh
dari Sumber Wujud (baca: Tuhan).
Al-Quran memperkenalkan realitas terendah sebagai asfalus-safilin
(paling rendahnya tingkatan). Sedangkan lengkungan menaik, merupakan
kebalikan dari lengkungan menurun, perjalanan dalam lengkungan ini
dimulai dari alam materi dan melintasi alam-alam dan tingkatan lainnya
hingga sampai pada Sumber Wujud. Lengkungan menaik pada dasarnya identik
dengan gerak ikhtiari manusia menuju Tuhan dan ke arah kesempurnaan
dirinya, yaitu semakin tinggi wujudnya akan semakin bersifat spiritual
dan lebih bersifat Ilahi.
Alam dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam alam itu tidak terbatas. Manusia
setelah “mati” akan berpindah ke alam lain dan akan menjalani
kehidupannya berdasarkan kondisi alam itu. Kehidupan setelah mati tidak
terbatas. Setelah mati, manusia akan berada sementara, sebagaimana di
dunia ini, di alam lain bernama alam barzakh, dan setelah itu akan hidup
di alam akhirat secara abadi.
1. Perbedaan Dunia dan Akhirat
Mekanisme dan struktur kehidupan alam akhirat sama sekali
tidak memiliki kemiripan dengan mekanisme dan struktur kehidupan
duniawi. Ketika pembicaraan berkisar tentang makan, istirahat, dan tidur
yang ada di akhirat, kita akan menyangka bahwa yang dimaksud di sini
adalah memasukkan sesuap demi sesuap makanan ke dalam mulut, tidur,
duduk, melarang dan memerintah, padahal sebenarnya tidaklah demikian.
Pondasi kehidupan di akhirat berlangsung dalam bentuk lain
yang sama sekali tidak pernah tergambarkan dalam benak kita di dunia
ini. Di akhirat kelak, seluruh perbuatan dilakukan dengan kehendak. Dan
apa yang dikatakan oleh al-Quran dan hadits mengenai akhirat, sangat
menakjubkan, dimana realitas dan kenyataannya hanya bisa diperoleh
setelah memasuki alam akhirat. Kita tahu bahwa melihat, mendengar, dan
seluruh indera kita tidak hanya ada di alam ini, karena di alam sana
tidak ada cahaya fisikal, udara, air, bintang-bintang, dan matahari,
maka aktifitas indera manusia disesuaikan dengan karakter alam akhirat.
Seluruh yang akan terjadi di akhirat bisa ditemukan dalam al-Quran.[11]
2. Perbandingan Dunia dan Akhirat
Hubungan antara alam barzakh dan alam dunia sebagaimana
hubungan antara dunia dan rahim ibu, yaitu segala perbedaan dan hubungan
– dari sisi perangkat dan keluasannya – yang terdapat antara rahim ibu
dan alam dunia, terdapat pula pada hubungan antara alam dunia dan alam
barzakh. Kedua dunia ini begitu berbeda sehingga tidak bisa saling
diperbandingkan.
Janin yang berada di dalam rahim ibu akan mendapatkan
nutrisi dari darah ibu melalui plasenta. Sekarang apabila kita misalkan
anak ini adalah sebuah janin yang memiliki kecerdasan dan intelegensi,
maka kita akan melihat bahwa penyaksian mata, telinga, mulut, sistem
pencernaan, tangan, kaki, dan … akan membuatnya menjadi keheranan dan
dia akan menganggap bahwa seluruh hal-hal di atas hanyalah sia-sia, hal
ini dikarenakan dia hanya menganggap bahwa dunia dan tempat kehidupannya
tak lain hanya ada di dalam dunia sempit rahim ibunya.
Dia menyangka bahwa kehidupan, makan, tidur, dan … hanyalah
perbuatan sesaat. Setiap kali dikatakan kepadanya bahwa suatu hari
kelak dia akan memasuki dunia lain yang sangat luas dan beragam, dia
tidak akan memahaminya. Ketika kepadanya dikatakan bahwa kelak ketika
berada di dunia, engkau pasti akan makan roti, air, daging, dan …, dia
akan berkata, tidak, bagiku telah cukup dengan makanan dari plasenta
ini.
Ketika dikatakan kepadanya bahwa di dunia nanti engkau akan
menikmati dan menyaksikan pemandangan yang sangat indah, seperti bumi,
langit, pepohonan, gunung-gunung, sungai, dia berkata, tidak, menurutku
langit adalah apa yang terhampar di atasku. Ringkasnya, dunia yang
begini luas dan penuh dengan keajaiban sama sekali tidak bisa ia pahami
dan tidak bisa dia gambarkan.
Apabila kita misalkan terdapat dua janin kembar (dengan
mengumpamakan keduanya memiliki kecerdasan), lalu kita memisahkan salah
satu dari keduanya, maka saudara kembarnya akan sangat khawatir dan
menganggap bahwa saudaranya telah hilang dan lenyap, akan tetapi dia
tidak tahu bahwa ternyata saudaranya yang hilang tersebut tengah
melanjutkan kehidupannya di dunia yang sangat indah dan yang berada di
luar gambarannya.
Alam materi dan dunia, yang ketika kita komparasikan dengan
alam barzakh dan alam akhirat memiliki keterbatasan. Dengan alasan
inilah sehingga dikatakan bahwa kehidupan hakiki manusia bukan terletak
di dunia ini akan tetapi baru akan dimulai setelah meninggalkan dunia
materi ini.
Mekanisme yang ada di akhirat pun berbeda dengan mekanisme
yang ada di dunia, dan kita akan sangat heran ketika dikatakan bahwa
seluruh perbuatan di akhirat dilakukan hanya dengan iradah dan kehendak,
sebagaimana keheranan janin ketika ditunjukkan bahwa pada masa
mendatang ia akan makan dengan menggunakan mulut dan gigi tidak dengan
plasensta ibu.
3. Hubungan Dunia dan Akhirat
Dalam pandangan Islam, dunia dan akhirat saling berkaitan.
Agama berperan untuk menghubungkan keduanya. Perbuatan di dunia
merupakan media untuk membangun kehidupan di akhirat dan kebahagiaan
akhirat bergantung pada keimanan dan amal shaleh.
Kehidupan di dunia apabila dikomparasikan dengan kehidupan
pasca dunia, mirip sebagaimana gambaran kita ketika melintasi koridor
untuk memasuki bangunan. Sebagaimana koridor yang bukan merupakan bagian
pokok dari bangunan dan hanya merupakan jalan untuk sampai ke dalam
bangunan, kehidupan dunia juga merupakan jalan lintas untuk menuju ke
sebuah rumah kediaman yang – dalam spesifikasi al-Quran – memiliki
kehidupan hakiki, yaitu akhirat.
Pada hakikatnya, rumah hakiki dan lingkungan hidup kita berada di akhirat, bukan di dunia, dalam ayat-Nya Allah swt berfirman, “Dan
Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah sebenar-benarnya kehidupan, jika saja mereka
mengetahui.”[12]
4. Dua Perspektif
Para materialis memiliki visi dan ideologi yang menganggap
bahwa kehidupan hanya terbatas pada beberapa hari saja dan tidak
menganggap manusia sebagai eksistensi yang abadi. Berdasarkan pandangan
ini, perhatian mereka terhadap aturan-aturan kehidupan manusia hanya
tertuju pada kebutuhan-kebutuhan materi saja dan dimensi-dimensi wujud
lain lepas dari obyek perhatian mereka.
Berdasarkan pemikiran ini, banyak yang meyakini bahwa
sebenarnya apa yang diperkenalkan kepada manusia tentang kemakmuran,
kebahagiaan, dan kebudayaan hanyalah apa yang ada di dunia ini, sebuah
kehidupan yang akan selesai begitu saja dengan datangnya kematian.
Sementara dalam pandangan dunia Ilahi, kehidupan yang
singkat ini tak bisa dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Hanya maktab
Ilahi yang memberi perhatian pada kebahagiaan dan kebaikan manusia di
dunia dan di akhirat. Tiadanya perhatian pada kehidupan abadi merupakan
penghinaan terhadap manusia, dan tak seorangpun yang berakal membolehkan
hal ini.
Penafian mereka atas akhirat tidak didasarkan argumentasi
dan hanya mengatakan bahwa kami tidak mengetahui dan tidak mempunyai
informasi. Alasan ini merupakan kehancuran yang sangat besar bagi
manusia, yang tidak akan pernah tergantikan setelah tersibaknya tirai
dunia. Dan tak satupun dari orang yang berpikiran logis mau melakukan
hal yang membahayakan masa depannya, meskipun dia tidak memiliki
keyakinan.
Manusia sebagai Ciptaan Khusus
Di antara makhluk-makhluk ciptaan-Nya hanya manusia yang
memiliki begitu banyak keistimewaan, hal ini telah memberikan keunggulan
dan kelebihan di antara seluruh eksistensi. Tentang kekhususan
penciptaan manusia ini Allah swt berfirman, “Dan Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam
tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal
darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang
itu Kami bungkus dengan daging,kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”[13]
Ayat di atas menegaskan tentang kedudukan dan kemuliaan
khusus yang dimiliki oleh manusia. Juga menunjukkan bahwa manusia
merupakan ciptaan istimewa, wujud yang unggul, memiliki potensi dan
bakat khusus. Manusia adalah sebuah eksistensi yang di dalam dirinya
terdapat alam-alam eksistensi. Dia memiliki kesempurnaan alam unsur,
kesempurnaan alam tumbuhan, kesempurnaan hewan, dan malaikat.
Bahkan yang paling menakjubkan adalah manusia juga
merupakan manifestasi dari asma Ilahi. Jadi, manusia merupakan sebuah
eksistensi dimana alam malakuti hingga alam materi berkumpul dalam
dirinya dan merupakan contoh dari asfalus-safilin (serendah-rendahnya) hingga a’la-‘aliyyin (setinggi-tingginya), sementara eksistensi-eksistensi lain masing-masing hanya terletak pada garis dan batasan tertentu.[14]
Malaikat tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang alam
materi. Hewan tidak mengetahui apa-apa tentang alam akal dan malaikat.
Unsur-unsur tidak memiliki informasi tentang alam tumbuhan dan demikian
juga sebaliknya. Akan tetapi manusia memiliki kesempurnaan seluruh
tingkatan alam, mulai dari alam materi, tumbuhan, hewan, hingga alam
malaikat. Dan inilah yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”[15]
Tiap-tiap eksistensi hanya memerankan sepenggal dari
eksistensi, akan tetapi manusia merupakan cermin dari seluruh bentuk
eksistensi. Dialah yang mampu bersujud di hadapan Allah sebagai
Penciptanya serta menyembah-Nya dengan ikhtiar dan akalnya. Dengan
alasan keistimewaan-keistimewaan inilah sehingga Allah meletakkan
seluruh makhluk untuk berkhidmat kepada manusia, “Dia-lah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.”[16]
Bahkan Tuhan meletakkan malaikat untuk berkhidmat kepada manusia dan
memerintahkan mereka untuk sujud di hadapan manusia, dan inilah makna
kemuliaan Ilahi.
Manusia Bersifat Abadi
Manusia merupakan eksistensi yang senantiasa hidup dan
abadi. Kematian yang terjadi pada manusia hanya berkaitan dengan badan
dan tubuhnya, bukan pada jiwa dan ruhnya. Setelah melakukan perpindahan
menuju alam barzakh dan alam akhirat, ia akan tetap melanjutkan
kehidupan di alam-alam ini. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam,
manusia merupakan eksistensi yang abadi. Kekhususan dan keistimewaan
yang dimiliki oleh manusia menyebabkan Tuhan meletakkan begitu banyak
malaikat-malaikat dan mekanisme sempurna penciptaan dalam kehidupan
manusia, sebagaimana dalam surah al-Baqarah, Dia berfirman, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ….”[17]
Argumen Kaum Materialis dan Kritikannya
Mengapa para materialis hanya menganggap alam sebagai
realitas inderawi dan mengapa mereka menekankan filsafat seperti ini?
Semua ini bersumber dari alasan politik yang mereka utarakan pada
pemimpin-pemimpin gereja. Sebenarnya dalam peristiwa ini tak satupun
argumentasi dan dalil yang mampu dijabarkan. Mereka mengatakan bahwa
perangkat pemahaman hanyalah inderawi dan hanya segala sesuatu yang bisa
diraba, dilihat, dicium, dirasa dan didengar yang bisa kita pahami,
sedangkan yang berada di luar jangkauan indera dan tak bisa diteliti di
dalam laboratorium-laboratorium merupakan non-eksistensi dan tiada. Pada
intinya kita tidak menerima keberadaan sesuatu yang tidak bisa
diindera.
Problem kaum materialis adalah pertama, terletak pada
pengenalan mereka terhadap manusia. Mereka mendasarkan pengenalan
manusia pada hal-hal lahiriah, sementara makrifat dan pengenalan manusia
tidak terbatas hanya pada indera lahiriah saja. Sebenarnya, dari
sela-sela pembicaraan mereka dengan jelas ditemukan adanya “akal” dan
“kecerdasan” yang bagi manusia memiliki kedudukan lebih tinggi dari
indera, meskipun proposisi-proposisi semacam “Apa yang tidak bisa
diindera, berarti tiada”, “Pengalaman akal sebenarnya tidak ada”, “Yang
bisa diterima hanyalah pengalaman empirik”, bukan merupakan persoalan
dan proposisi inderawi dan empirik.
Dalam pembahasan tentang jiwa manusia yang non-materi, kami
akan mengetengahkan beberapa argumen atas dimensi non-materi manusia.
Salah satunya, pemahaman universal manusia yang hanya bisa diperoleh
dari dimensi non-materi. Keyakinan terhadap prinsipalitas materi ini
lebih cenderung mengarah kepada persoalan politik daripada persoalan
rasional dan ilmiah, karena pada dasarnya persoalan ini muncul untuk
menundukkan peran para pemuka gereja dan untuk mengambil mahkota dari
tahta kekuasaan mereka.
Sangat jelas bagi kita bahwa interfensi dan
campur tangan persoalan politik berada jauh di luar lingkup pembahasan
rasional, dan interfensi semacam ini sama sekali tidak bermanfaat untuk
memecahkan problem manapun (baik ilmiah maupun politik), karena dalam
lingkaran ilmiah hal tersebut tidak berdasar sama sekali.
Argumentasi mereka yang lain berpijak pada prinsip bahwa
“perubahan meliputi seluruh alam”. Prinsip ini merupakan hukum universal
dan pasti, dan pikiran kita (sebagai suatu alam) pun tidak akan
terkecualikan dari hukum ini.
Jadi, alam pikiran sendiri mengalami perubahan sebagaimana
pemahaman manusia yang non-permanen. Dari hal ini bisa dikatakan bahwa,
ketetapan sama sekali tidak memiliki makna, dan yang ada hanyalah gerak
dan perubahan. Jadi, hal yang konstan yaitu realitas non materi tidak
akan pernah terwujud di alam eksternal.
Argumentasi ini memiliki berbagai problem, karena:
- Apabila prinsipalitas terletak pada materi dan tak satupun di alam ini kecuali materi, maka proses menyempurna yang terdapat di alam tidak bermakna sama sekali, karena perubahan satu materi ke materi lain sama sekali tidak dinamakan sebagai proses menyempurna;
- Seluruh kitab dan makalah ilmiah yang berpijak pada argumentasi-argumentasi yang bersifat rasional dan universal, dan sifat universal dan rasional ini sama sekali bukan merupakan sifat materi, melainkan bersumber dari realitas non-materi;
- Alam materi tak abadi, setiap saat sebuah fenomena akan berubah menjadi hakikat dan fenomena lain, sebagaimana yang juga terjadi pada realitas waktu. Dan selama tak ada hakikat permanen yang non-materi di alam eksistensi maka alam materi yang tak abadi ini mustahil terwujud.
Referensi:
[1] . Dalam doa Arafah Sayyid asy-Syuhada Al-Imam Al-Husain as bersabda: “Ma jahalaka sya’i–
Tak sesuatupun kecuali dia mengenal-Mu”. Kita melihat bagaimana Imam
Husain as memahami adanya pengetahuan pada seluruh tingkatan eksistensi,
bisa jadi hal inilah yang mengilhami Sadra al-Muta’alihin Syirazi
memandang bahwa eksistensi setara dengan ilmu, sebagaimana dituangkannya
dalam jilid kelima kitab al-Asfar.
[2] . Adalah zat murni Ilahi yang memiliki seluruh kesempurnaan secara ijmali dan tak terjabarkan secara rinci.
[3]. Adalah zat Tuhan dengan segala kesempurnaan yang bersifat tafshili atau terjabarkan secara mendetail.
[4]
. Merupakan tingkatan dari asma dan sifat-sifat Ilahi yang
masing-masing memberikan pengaruhnya di alam ini. Sebagaimana kita
mengetahui bahwa asma Pemberi Kesembuhan bukanlah asma Pencabut Nyawa,
Pengampun tidak sama dengan Pemberi Adzab, dan Pemberi Rezki bukanlah
Pencipta, dan seluruh asma Ilahi memberikan pengaruhnya sesuai dengan
hakikat dirinya masing-masing.
[5] . Qs. Al-Baqarah: 156.
[6] . Qs. Al-Anbiya: 93.
[7] . Qs. An-Nur: 42.
[8] . Rujuk kitab: Oyo Basyar oyandeh-i ham dorad?,
tulisan Bertnand Russel, terjemahan M, Manshur, Tehran: Murwarid, 1360
Hsy, cetakan ketiga, pada hal. 26 dan 27 dikatakan, apabila
partikel-partikel inti atom bisa dipisahkan akan tercipta radioaktif,
hingga hal. 27 dikatakan, energi akhir setara dengan substansi yang
berubah, yaitu perkalian dalam kwadrat kecepatan cahaya.
[9]
. Disebut juga dengan alam barzakh, yaitu alam yang hanya memiliki
bentuk dan tidak sifat-sifat materi dan berat. Di alam ini mustahil
terjadi gerak, masa, tempat, dan perubahan. Sebagaimana alam mimpi yang
memiliki berbagai bentuk dan berpengaruh, tapi tidak sebagaimana yang
terjadi pada alam materi.
[10]
. Alam jabarut atau alam akal adalah malaikat-malaikat tertinggi yang
mengatur seluruh mekanisme penciptaan mulai dari awal dan akhir
eksistensi. Tingkatan selanjutnya adalah alam asma Ilahi (a’yan tsabitah) yang merupakan kumpulan asma Tuhan dan kemestian-kemestian asma. Tingkatan terakhir adalah alam nashut atau alam jasmani.
[11]
. Apabila matahari digulung, bintang-bintang berjatuhan, gunung-gunung
dihancurkan, unta-unta yang hamil ditinggalkan (tidak diperdulikan),
binatang-binatang liar dikumpulkan, dan apabila lautan dijadikan meluap.
(Qs. At-Takwir: 1-6)
[12] . Qs. al-Ankabut: 64.
[13] . Qs. Al-Mukminuun: 12-14.
[14] Berkaitan dengan masalah ini, terdapat penjelasan dalam jilid keenam, hal. 167, kitab Asfar.
[15] . Qs. At-Tiin: 4.
[16] . Qs. Al-Baqarah: 29.
[17] . Qs. Al-Baqarah: 29.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar