Oleh: Mohammad Adlany
Kemungkinan Mengenal Sifat Tuhan
Salah satu persoalan mendasar dalam pembahasan sifat-sifat Tuhan adalah apakah manusia mampu mengenali sifat-sifat Tuhan ataukah sifat-sifat Tuhan ini sebagaimana dzat-Nya mustahil diketahui dan dipahami oleh manusia?
Dalam menjawab pertanyaan di atas, sebagian mengatakan bahwa akal manusia tidak mampu mengenal sifat-sifat Tuhan. Menurut mereka, hal yang mungkin dilakukan hanyalah menerima dan mempercayai keberadaan dan kebenaran sifat-sifat Tuhan secara universal dari al-Quran dan hadis tanpa harus memahami hakikat dan makna dari sifat-sifat tersebut. Bentuk pemikiran seperti ini lazimnya disebut ta’thil, karena meliburkan aktivitas akal dan tidak menggunakan pikirannya dalam mengenal sifat-sifat Tuhan. Dan pengikut kelompok ini dinamakan Mu’aththalah, yakni orang-orang yang tidak menggunakan akalnya untuk memahami hakikat sifat-sifat Tuhan.
Argumentasi paling penting dari aliran ini adalah bahwa kita bisa mengambil makna-makna sifat seperti ilmu, kodrat dan iradah dari keadaan internal diri kita sendiri atau dari karakteristik maujud-maujud materi semacam manusia, akan tetapi kita tidak berhak menisbahkan makna-makna ini kepada Tuhan, karena Tuhan sama sekali tidak memiliki kemiripan dan kesamaan dengan eksistensi-eksistensi lain, Dia adalah Wâjib al-Wujûd dan Keberadaan yang mutlak, sementara seluruh eksistensi selain-Nya merupakan mumkin al wujûd yang memiliki keterbatasan dan tak sempurna.
Oleh karena itu, kita tidak diijinkan untuk memperluas makna-makna sifat ini pada Tuhan, dan juga makna-makna lain tidak berada dalam jangkauan kita dan semua makna itu hanyalah diambil dari eksistensi-eksistensi makhluk, maka tidak ada solusi lain kecuali menerima dan membenarkan secara mutlak makna universal sifat-sifat Ilahi yang ada dalam al-Quran dan hadis.
Sebagaimana yang Anda perhatikan, aliran ini dikarenakan pensucian dan tanzih yang berlebihan atas Tuhan, akal manusia dipandang tak mampu sedikitpun untuk mengenal sifat-sifat Tuhan. Menurut sebagian aliran ta’thil, hal maksimal yang bisa dilakukan oleh akal untuk menyifati Tuhan adalah menegasikan seluruh makna dan sifat yang menunjukkan ketidaksempurnaan dan keterbatasan dzat Tuhan. Berdasarkan hal ini, makna dari proposisi “Tuhan Maha Mengetahui” atau “Tuhan Maha Kuasa” tidak lain adalah bahwa Tuhan tidak bodoh dan tidak lemah. Dengan kata lain, hakikat yang dipaparkan dalam sifat-sifat tsubuti Tuhan tak lain adalah penegasian sebagian makna yang menunjukkan pada ketaksempurnaan dan kelemahan Tuhan. Oleh karena itu, akal kita tidak mampu menetapkan suatu sifat bagi Tuhan yang dengannya menggapai hakikat dan pengenalan terhadap Tuhan. Akal kita hanya mampu menghukumi bahwa dzat Tuhan suci dari segala kekurangan dan keterbatasan.
Perlu dikatakan bahwa aliran ini untuk membuktikan kebenaran madzhabnya, selain mengeluarkan argumen-argumen akal (sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya) mereka juga membawakan beberapa ayat al-Quran sebagai alat legitimasi.
Untuk menolak pendapat madzhab ta’thil ini, kebanyakan teolog muslim meyakini bahwa akal manusia mampu memahami makna-makna sifat tsubuti Tuhan dan mengenal Tuhan dari sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Tentunya mereka juga terpecah menjadi dua kelompok, dimana kelompok pertama tidak melihat adanya perbedaan serius antara sifat-sifat Tuhan dan sifat-sifat makhluk-Nya dan sepakat bahwa sebagian dari sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan juga dipunyai oleh makhluk-Nya seperti manusia, misalnya makna wahid dan tunggal dimiliki oleh keduanya dengan makna yang setara tanpa ada perbedaan. Kelompok ini dikarenakan menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya dalam sifat-sifat, dan tidak membedakan antara keduanya, maka bentuk pemikiran ini disebut tasybih dan terkenal dengan nama Musyabbahah. Sebagian dari ahli Tashbiih bahkan berpendapat ekstrim dan menganggap bahwa Tuhan memiliki jasmani, organ dan anggota badan. Untuk menegaskan kebenaran konsepnya, aliran ini bersandar pada ayat-ayat yang secara lahiriah menunjukkan bahwa Tuhan memiliki tangan, kaki, dan mata.
Akan tetapi kelompok kedua dari aliran tasybih sepakat bahwa seberapapun kita mampu mengenal sifat-sifat Tuhan dan maknanya, hal ini tidak berarti bahwa sifat-sifat Tuhan adalah sama sebagaimana yang terdapat pada eksistensi-eksistensi selain-Nya. Menurut pandangan ini, madzhab ta’thil dan pandangan ekstrim tashbih adalah batal, dan yang benar adalah bahwa sifat-sifat Tuhan bisa ditafsirkan dan diintepretasikan secara rasional tanpa harus terperosok ke dalam penyerupaan (tasybih), dengan kata lain, berdasarkan pendapat ini, pensucian Tuhan dari segala ketaksempurnaan dan keterbatasan makhluk dapat dikompromikan lewat pengenalan rasional melalui sifat-sifat-Nya.
Pada dasarnya penganut maktab ta’thil bermaksud menjaga kesucian Tuhan tapi terjebak dalam penolakan segala bentuk ilmu dan makrifat manusia, sementara maktab tasybih yang tanpa memperhatikan perbedaan antara Tuhan dan makhluk serta tanpa memandang karakteristik wujud Tuhan seperti keniscayaan wujud, ketakterbatasan, tetap memandang bahwa Dia serupa dengan makhluk. Dari sini dikatakan bahwa kedua kelompok adalah salah dan keliru. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah bahwa manusia mampu mengenal Tuhan dari sifat-sifat tsubut-Nya, meskipun manusia tidak bisa mengenal hakikat dzat-Nya, tetapi lewat pengenalan sifat-sifat-Nya (meskipun sangat terbatas) bisa memahami sebagian dari kekhususan dzat Ilahi tersebut.
Kritik atas Maktab Ta’thil dan Tasybih
Sebelum melanjutkan pembahasan, ada baiknya kita sedikit menelaah kesalahan-kesalahan yang ada pada kedua maktab ini. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, masing-masing pengikut kedua maktab ini menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk menegaskan pendapat mereka. Analisa terhadap ayat-ayat yang dimaksud, akan dibahas pada tema “al-Quran dan penyifatan Tuhan”, sedangkan di sini, akan dikaji sepintas mengenai kelemahan mendasar penyandaran atas ayat-ayat al-Quran dari kedua maktab ini.
Apabila kita mampu memaparkan konsep dalam sifat-sifat Tuhan yang memiliki makna-makna rasional yang sesuai dengan pemahaman umum masyarakat dan tidak bertolak belakang dengan kesucian Tuhan, maka maktab ta’thil dengan sendirinya tertolak dan kekeliruannya akan menjadi nyata. Dengan ungkapan yang lebih jelas dikatakan bahwa prinsip mendasar dari pendapat ta’thil adalah karena pada awalnya akal manusia mengambil makna-makna sifat dari makhluk-makhluk, maka penggunaan makna-makna ini untuk dzat Tuhan niscaya tidak sesuai dengan kesucian dan kemuliaan Tuhan serta akan terjebak dalam penyerupaan dan pen-tasybih-an Tuhan.
Oleh karena itu, bila terdapat gagasan yang bisa menafsirkan makna sifat-sifat Tuhan yang tidak bertentangan dengan kesucian-Nya dan tidak berujung pada pen-tasybih-an Tuhan dengan makhluk-Nya, maka secara otomatik maktab ta’thil tertolak. Pada pembahasan mendatang, pendapat semacam ini akan dijabarkan. Ringkasan pendapat ini adalah pertama-tama kita “mensucikan” segala makna sifat makhluk dari seluruh gambaran keterbatasan dan ketaksempurnaan kemudian sifat-sifat tersebut (yang telah disucikan) dinisbahkan pada Tuhan. Penjelasan terperinci konsep ini akan disajikan pada tema “Penjelasan sifat-sifat Ilahi”.
Selain hal tersebut di atas, terdapat banyak argumen dan dalil yang menggugurkan maktab ta’thil ini, di sini akan dipaparkan sebagian darinya:
- Al-Quran dari satu sisi memerintahkan manusia berkontemplasi dan berfikir tentang ayat-ayat-Nya dan pada sisi lain terdapat berbagai ayat al-Quran yang menjelaskan sifat-sifat dan asma-asma Tuhan. Sebagai contoh, Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, yang Maha Suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Hasyr: 22-24). Apakah kita dapat merenungkan ayat ini dan ayat-ayat lainnya yang serupa dengannya? Jika apa yang dikatakan oleh pengikut ta’thil bahwa manusia tidak akan pernah memahami seluruh makna dari sifat-sifat Tuhan ini, maka untuk apa diperintahkan tadabbur dan kontemplasi atasnya? Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa metoda al-Quran yang senantiasa menyebut sifat-sifat Tuhan adalah tidak sesuai dengan maktab ta’thil dan hal ini sebagai bukti kesalahannya.
- Dalam pandangan Islam, tujuan akhir dari alam penciptaan dan agama adalah kesempurnaan manusia dalam penghambaan pada Tuhan, ayat-ayat seperti, “Dan tidak Aku ciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah“, dan ayat, “Sesungguhnya Kami angkat Rasul pada tiap-tiap umat untuk mengajak beribadah kepada Allah” dengan tegas mendukung hal ini. Demikian juga, beribadah kepada suatu dzat yang tidak dikenali sifat-sifatnya merupakan perbuatan sia-sia dan mustahil tercipta hubungan dengannya. Sebagai contoh, bagaimana mungkin meminta pertolongan dan perlindungan kepada Tuhan yang sama sekali tidak dipahami sifat kodrat-Nya?
Kesimpulannya, mustahil terbentuk penghambaan dan ibadah kepada Tuhan yang sama sekali tidak dikenali sifat-sifat kesempurnaan-Nya, padahal tujuan akhir dari penciptaan tidak lain adalah penghambaan manusia dan pencapaian kesempurnaannya melalui jalan penghambaan ini.
Bagaimanapun, maktab ta’thil bukan saja tidak rasional bahkan tidak sesuai dengan teks-teks suci agama. Dan sebagaimana yang telah kami katakan bahwa sebenarnya pengikut maktab ini tidak mampu memadukan antara kesucian Tuhan dengan pemahaman rasional terhadap sifat-sifat-Nya.[1]
Kesalahan maktab tasybih lebih jelas lagi. Pendapat maktab ini bertentangan dengan sifat-sifat salbi dan negasi Tuhan. Keseluruhan argumen yang telah dibangun atas sifat-sifat negasi Tuhan merupakan bukti akan kekeliruan maktab ini. Kami akan memaparkan sebagian dari argumen-argumen tersebut pada pembahasan tentang “Sifat-Sfat Negasi Tuhan”.
Metode Mengenali Sifat Tuhan
Telah kita ketahui bahwa pengenalan dan makrifat manusia terhadap sifat-sifat dzat Tuhan hanya bersifat hushuli (lewat pendekatan kontempalasi atas makna-makna sifat). Sekarang kita lihat metode-metode yang akan mengantarkan manusia kepada makrifat semacam ini dan cara-cara mengenal sifat-sifat Tuhan:
1. Metode akal
Sebagaimana metode akal bermanfaat dalam pembenaran keberadaan Tuhan dan pembuktikan proposisi “Tuhan ada”, akal bisa pula membantu manusia untuk mengenal sifat-sifat Tuhan. Dengan memanfaatkan makna-makna dan kaidah-kaidah tertentu, akal mampu membuktikan sifat-sifat sempurna bagi Tuhan dan menisbahkan sifat-sifat yang pantas untuk dzat-Nya.
Dalam pembahasan argumentasi pembuktian Tuhan telah dikatakan bahwa dengan memanfaatkan sebagian argumentasi rasional kita bisa membuktikan wujud Tuhan sebagai Wâjib al-Wujûd dan Sebab bagi segala akibat. Akan tetapi dalil akal tidak berhenti hanya pada dimensi ini saja, melainkan dengan melakukan kontemplasi pada sifat-sifat dasar Tuhan seperti Wâjib al-Wujûd bisa ditemukan sifat-sifat lain yang merupakan kemestian sifat-sifat-Nya. Sebagai contoh, ketika merenungkan Wâjib al-Wujûd ditemukan bahwa Wâjib al-Wujûd mustahil terkomposisi dari partikular-partikular luar, karena setiap komposisi membutuhkan bagian-bagian, dan sifat butuh kepada yang lain adalah tidak sesuai bagi Wâjib al-Wujûd.
Dengan demikian, akal dengan menentukan sifat-sifat dasar serta kemestiannya akan mampu membuktikan sifat-sifat lainnya bagi Tuhan, seperti menentukan sifat negasi yakni penafian komposisi bagi wujud Tuhan.[2] Pada pembahasan mendatang, metode ini juga digunakan untuk menjelaskan secara mendetail sebagian sifat-sifat Tuhan, sebagaimana digunakan dalam penegasan beberapa aspek tentang ketuhanan.
2. Merenungi alam semesta
Metode lain untuk mengenali sifat-sifat Tuhan adalah dengan mengkaji karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh alam semesta dan merenungi mekanismenya. Dengan perenungan ini, manusia akan memahami sebagian dari sifat-sifat sempurna Tuhan. Sebagai contoh, dengan melakukan kontemplasi dalam mekanisme universal alam dan sistem keteraturan yang ada pada seluruh fenomena alam, akan memahamkan kita tentang sifat-sifat semacam sifat “hikmah”, dan “ilmu” Tuhan. Dalil keteraturan yang diketengahkan pada pembahasan “Argumentasi Pembuktian Tuhan” pun dari satu sisi merupakan salah satu cara untuk membuktikan sifat hikmah Tuhan. Demikian pula, kita mampu membuktikan ketunggalan Pencipta berdasarkan kesatuan sistem alam, dan contoh-contoh lain bisa dilakukan dengan cara seperti di atas.
Bisa dikatakan bahwa metode ini akan membuahkan hasil bila menggunakan kaidah-kaidah akal, metode ini mustahil dipisahkan dari akal. Perbedaan mendasar metode ini terletak bahwa pada proposisi pertama keseluruhan premisnya murni berasal dari akal, sedangkan pada proposisi kedua sebagian premisnya diambil dari penyaksian alam semesta. Dengan ibarat lain, dikatakan bahwa penamaan akal dalam metode proposisi pertama bukan bermakna bahwa pada proposisi kedua sama sekali tak membutuhkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah akal, tapi maksudnya adalah berlawanan dengan proposisi pertama, dalam proposisi kedua ini sebagian premisnya dibentuk dari hal-hal non-akal dan empirisitas.
Proposisi kedua selain digunakan secara meluas dalam al-Quran dan hadis, juga ditekankan oleh para teolog muslim.
3. Merujuk kepada al-Quran dan hadis otentik
Pembahasan sifat Tuhan dengan metode ini merupakan cara ilmu kalam dimana selain menggunakan metode rasional juga menyandarkan pada teks-teks suci agama (metode nakli). Setelah penerimaan wujud Tuhan, pembuktian risalah dan kenabian, penunjukan Nabi dan rasul oleh Tuhan, dan penetapan sebagian sifat-sifat Tuhan oleh al-Quran, maka sifat-sifat Tuhan bisa dikenali dengan merujuk pada teks dan wahyu.
Sebagaimana yang telah kami ketengahkan bahwa al-Quran dan hadis Nabi dan Ahlulbaitnya telah menampakkan begitu banyak hakikat dan makrifat dalam masalah pengenalan Tuhan kepada manusia, sebuah pengenalan dimana akal manusia secara mandiri tidak mampu mengenalinya atau mampu tetapi dengan berbagai kesulitan. Teks-teks Islam dalam pengenalan dan makrifat sifat dan perbuatan Tuhan selama sekian kurun sebagai sumber ilham bagi para filosof dan teolog muslim dan hingga kini masih begitu banyak hal-hal lebih mendalam yang belum dipahami oleh akal manusia.
4. Penyingkapan intuitif dan mukasyafah batin
Metode lain yang bisa digunakan oleh manusia untuk mengenal sifat-sifat Tuhan adalah metode penyakisan kalbu dan mukasyafah batin. Hanya manusia yang telah sampai pada kesempurnaan ruh dan maknawi lah yang mampu menyaksikan dengan mata hati keindahan dan jamaliyah Tuhan dalam manifestasi sifat-sifat sempurna-Nya.
Tentu saja metode ini bila dibandingkan dengan tiga metode sebelumnya memiliki perbedaan jika dilihat dari aspek keluasannya. Karena penyaksian batin dan kalbu atas sifat dan asma Tuhan sangat bergantung pada kesempurnaan spiritual dimana tidak dicapai kecuali oleh mereka yang berada di bawah naungan ketakwaan dan keimanan. Metode terakhir ini hanya berlaku pada manusia-manusia tertentu dan masyarakat umum tidak memiliki kemampuan semcam ini, akan tetapi metode-metode sebelumnya bersifat umum dan menggunakan metode-metode tersebut lebih mudah karena tidak memerlukan mukadimah yang rumit.
Tuhan Memiliki Seluruh Sifat Sempurna
Pada pembahasan terdahulu telah dikatakan, sebelum membuktikan dan menjelaskan sifat-sifat Tuhan secara terperinci, secara umum bisa dihukumi bahwa Tuhan memiliki seluruh sifat-sifat sempurna. Dengan ibarat lain, dengan menggunakan sifat-sifat dasar Tuhan seperti Wâjib al-Wujûd dan Sebab Pertama akal bisa membuktikan bahwa setiap sifat yang menunjukkan kesempurnaan Tuhan niscaya dimiliki oleh-Nya secara tak terbatas. Di bawah ini akan kami paparkan dua argumentasi akal yang bersandar pada kaidah-kaidah filsafat, antara lain:
A. Argumentasi pertama ini bisa diutarakan dalam bentuk sebagai berikut:
- Sifat-sifat seperti hidup, ilmu, kodrat, dan iradah merupakan sebagian dari sifat-sifat sempurna, karena akal secara tegas menghukumi bahwa ilmu (misalnya) apabila dikomparasikan dengan tak berilmu (jahil) merupakan suatu hal yang sempurna.
- Eksistensi qua eksistensi bisa memiliki sifat-sifat semacam itu. Dengan ibarat lain, bahwa kemaujudan tidak bertentangan dengan sifat-sifat tersebut dan apabila sebagian maujud tidak memiliki sifat semacam ini, bukan karena disebabkan oleh kemaujudan itu sendiri, tapi karena sifat itu sendiri merupakan hal tambahan yang melekat pada eksistensinya, misalnya kematerian merupakan sifat tambahan (sifat non-hakiki) pada suatu wujud. Walhasil, penyifatan sebagian eksistensi dengan sifat-sifat sempurna menunjukkan bahwa penyifatan ini merupakan hal yang mungkin.
- Tuhan merupakan wujud murni yang tidak memiliki kuiditas dan keterbatasan wujud. Oleh karena itu, dari sisi wujud qua wujud dan hal yang bersifat tambahan atas wujud, penyifatan Tuhan dengan sifat-sifat sempurna adalah bersifat mungkin.[3]
- Berdasarkan sebuah kaidah filsafat, setiap sifat yang mungkin secara umum untuk Tuhan niscaya terwujud bagi-Nya.[4] Walhasil, karena penyifatan Tuhan dengan seluruh sifat sempurna adalah bersifat mungkin, maka sifat-sifat ini niscaya tertetapkan untuk-Nya. Dengan demikian terbukti bahwa Tuhan mesti memiliki semua sifat sempurna (sifat-sifat yang dianggap akal sebagai bagian dari kesempurnaan eksistensial).
B. Argumentasi kedua bersandar pada kaidah Sebab Pertama Tuhan dan uraian singkat dari argumentasi ini adalah sebagaimana berikut:
- Tuhan adalah Sebab seluruh eksistensi dan keberadaan makhluk, segala makhluk adalah akibat-Nya.
- Berdasarkan salah satu kaidah filsafat dalam bab sebab-akibat (kausalitas), sebab niscaya memiliki seluruh kesempurnaan yang ada pada akibatnya, yaitu setiap tingkatan kesempurnaan yang dimiliki akibat, secara lebih sempurna dan lebih tinggi mesti dimiliki oleh sebabnya.
- Oleh karena itu, Tuhan sebagai Sebab Pertama dan Sebab dari segala sebab keberadaan (‘illatul ‘illah), niscaya memiliki seluruh kesempurnaan eksistensial yang dimiliki oleh akibat-akibat-Nya secara lebih sempurna dan lebih tinggi.
- Karena sifat-sifat kesempurnaan seperti hidup, ilmu, dan kodrat yang terdapat di alam, tingkatan lebih sempurna dari sifat-sifat ini ada mesti terdapat dalam dzat Tuhan. Kesimpulannya, seluruh sifat-sifat Tuhan memiliki tingkatan yang lebih sempurna.
Pengertian Sifat-sifat Ilahi
Salah satu persoalan paling penting yang berkaitan dengan sifat-sifat Ilahi adalah masalah intepretasi makna sifat-sifat tsubut Tuhan. Pertanyaan mendasar yang ada dalam masalah ini adalah apa sebenarnya makna yang tepat untuk kosa kata semacam “ilmu”, “kuasa” dalam proposisi “Tuhan Maha Mengetahui” dan “Tuhan Maha Kuasa”? Dengan kata lain, apa makna detail dari ilmu Tuhan dan kodrat Tuhan? Apakah maksud dari ilmu dan kodrat di sini sebagaimana makna yang biasa digunakan dalam proposisi “Muhammad berilmu” atau “Ali berkuasa” ataukah memiliki makna lain? Jawaban-jawaban pertanyaan ini cukup rumit, karena kalau kita memilih bentuk pertama, berarti kita mengarah pada penyerupaan (tasybih) dan meletakkan Tuhan setara dengan makhluk-Nya, sementara kedudukan-Nya sebagai Tuhan mesti suci dari segala keserupaan dan kesamaan dengan maujud lain.
Apabila kita memilih bentuk kedua berarti kita mengambil tanggung jawab penting untuk menjelaskan makna lain tersebut secara rasional dan sesuai dengan prinsip-prinsip linguistik, filsafat dan epistemologi. Dengan ibarat lain, segala bentuk makna sifat-sifat Tuhan yang kita utarakan, dari satu sisi harus sesuai dengan penggunaan bahasa serta kosa kata yang menunjuk pada sifat-sifat, dan dari sisi yang lain tak ada pertentangan dengan pemahaman umum atas sifat-sifat itu, selain itu sesuai dengan kaidah filsafat dan teologi.
Telah kami singgung bahwa sebagian kelompok karena tidak mampu menafsirkan sesuai dengan sifat-sifat tsubuti Tuhan tanpa harus terjerumus pada penyerupaan dan penyetaraan antara Khalik dengan makhluk, dan menganggap akal tidak mampu mengenali Tuhan sehingga memilih metode ta’thil. Pertanyaannya, benarkah tidak ada metode menafsirkan dan memahami sifat-sifat Tuhan secara rasional? Masalah ini telah lama dibahas oleh para teolog yang kemudian memunculkan beragam pendapat. Di sini hanya akan dijelaskan satu pendapat yang disepakati oleh mayoritas filosof dan teolog.
Ringkasan dari pendapat ini adalah bahwa pada langkah awal kita menemukan sifat-sifat semacam ilmu, kodrat, hidup, dan sifat yang lain pada diri manusia atau pada eksistensi lain, dan selain itu kita memahami bahwa sifat-sifat ini merupakan kesempurnaan eksistensial dan sifat-sifat ini digolongkan sebagai suatu kesempurnaan karena dikomparasikan dengan sifat-sifat lain yang merupakan lawannya seperti bodoh, lemah, dan sebagainya. Pada keadaan ini, kita merenungkan makna-makna dari sifat-sifat kesempurnaan yang kita dapatkan tersebut, lalu kita mesti mengenali seluruh faktor yang menyebabkan keterbatasannya, dan pada tahapan selanjutnya kita memisahkan faktor-faktor tersebut dari pemaknaan sifat-sifat sempurna itu, dengan ibarat lain kita melepaskan segala faktor yang menyebabkan keterbatasannya. Di sini kita akan sampai pada suatu makna dimana pada satu sisi menunjukkan kesempurnaan eksistensial dan dari sisi lain tidak menghadirkan bentuk kekurangan dan keterbatasannya.
Sebagai contoh, melalui penyaksian internal dan kontemplasi atas segala sesuatu kita akan sampai pada makna “ilmu” atau “pengetahuan”.[6] Namun pengetahuan ini diliputi oleh sekian faktor yang menyebabkannya terbatas, ilmu ini pada satu sisi bersifat temporer dengan makna bahwa sebelumnya tidak dicapai, dan pada sisi lain bisa menjadi hilang dan tiada. Selain itu, untuk menggapai sebagian pengetahuan ini kita menggunakan perangkat dan wasilah yang juga memiliki kemungkinan salah.
Faktor-faktor di atas seperti bersifat temporer, kemungkinan meniada, membutuhkan perangkat, kemungkinan salah, dan sebagainya merupakan hal-hal yang menyebabkan keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Dalam kondisi ini, sebagaimana yang telah kami singgung, pada langkah awal kita harus melepaskan pemaknaan ilmu dan pengetahuan ini dari seluruh faktor tersebut kemudian makna ini kita nisbahkan pada ilmu Tuhan.
Dengan demikian, rasionalisasi sifat-sifat sempurna tersebut layak untuk disandarkan kepada dzat Tuhan.
Tuhan Menetapkan Nama dan Sifat-Nya Sendiri
Sekelompok teolog Islam sepakat bahwa asma dan sifat-sifat Ilahi ditetapkan sendiri oleh Tuhan, yakni penamaan dan penyifatan Tuhan harus menggunakan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang tersebutkan dalam al-Quran dan hadis, dan kita tidak berhak menggunakan kata-kata lain dalam penamaan dan penyifatan-Nya. Penamaan dan penyifatan Ilahi mutlak mengikuti ketetapan Tuhan, karena akal tidak mampu melakukan hal ini secara mandiri.
Pada sisi yang berlawanan, terdapat kelompok lain sepakat bahwa asma dan sifat-sifat Tuhan tidak mutlak ditetapkan oleh Tuhan, oleh karena itu tidak masalah menggunakan asma dan sifat-sifat yang tidak disebutkan secara tegas dalam al-Quran dan hadis, dengan syarat bahwa makna asma dan sifat-sifat itu sedikitpun tidak menunjuk pada ketaksempurnaan dan keterbatasan Tuhan.
Dengan memperhatikan pembahasan terdahulu – dalam tema “Penjelasan Makna Sifat-sifat Ilahi”, demikian juga dengan memperhatikan karakteristik sifat-sifat Tuhan, diantaranya sifat-sifat Ilahi lepas dari segala bentuk ketaksempurnaan dan keterbatasan – menjadi jelas bahwa akal memiliki peran dalam penyifatan Tuhan dengan segala karakteristik yang mesti dimiliki oleh sifat-sifat itu.
Dengan demikian, kita tidak memiliki satupun argumentasi akal yang menunjukkan kemestian penetapan asma dan sifat-sifat Ilahi oleh Tuhan sendiri. Pendukung pendapat tauqifi asma dan sifat Ilahi ini tidak menggunakan argumentasi akal untuk membuktikan klaimnya melainkan mereka hanya bersandar pada sebagian ayat-ayat al-Quran seperti, Hanya milik Allah Asmaul Husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. al-A’raf: 180)
Dalam ayat tersebut di atas dikatakan bahwa maksud dari kata “ilhâd” dalam “yulhidûna fi asmâihi” adalah manusia menyebut Tuhan dengan nama-nama selain dari Asmaul Husna yang terdapat pada awal ayat di atas dan karena perbuatan ini sangat tercela maka pendapat tentang penetapan asma Ilahi oleh Tuhan sendiri menjadi terbukti kebenarannya.[7]
Selain itu, dalam berbagai hadis terdapat pelarangan penyifatan Tuhan dengan sesuatu selain yang terdapat dalam al-Quran. Sebagai contoh, Imam Kadhim ra bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar untuk dapat dicapai hakikat sifat-sifat-Nya, maka sifatilah Dia dengan sifat yang telah Dia tentukan untuk diri-Nya sendiri dan hindarilah penyifatan selainnya.”[8]
Dengan adanya beragam riwayat semacam ini, kebanyakan para peneliti dan teolog mengambil kesimpulan bahwa sekalipun kita tidak sepakat dengan pendapat penetapan dan tauqifi sifat dan asma Tuhan ini, minimal kita berhati-hati untuk tidak menggunakan nama-nama yang tidak terdapat dalam al-Quran dan hadis.
Referensi:
[1]. Menurut pendapat sebagian cendekiawan kontemporer dikatakan bahwa kesalahan pengikut ta’thil bersumber dari penggabungan yang keliru antara pemahaman dan ekstensi. Perlu diketahui bahwa manusia tidak dapat memahami ekstensi sifat-sifat Tuhan, tapi manusia bisa memahmi makna sifat-sifat-Nya karena makna dari sifat-sifat Tuhan berada dalam jangkauan pemahaman manusia, sementara pengikut ta’thil meyetarakan antara hukum ekstensi dengan hukum makna. Rujuk: Ma’arif al-Quran, Taqi Misbah Yazdi, jilid 1-3, hal. 90-92.
[2]. Khawajah Nasiruddin Thusi dalam kitab Tajrid al-I’tiqad, menggunakan metode ini untuk membuktikan sebagian dari sifat-sifat tsubut dan negasi Tuhan. Rujuk: Kashf al-Murad, hal. 314-326.
[3]. Harus diperhatikan bahwa maksud dari “kemungkinan” di sini adalah kemungkinan umum bukan kemungkinan khusus, dan sebagaimana dalam pembahasan logika dan filsafat, kemungkinan umum adalah sesuai dengan keniscayaan wujud. Jadi kemungkinan umum sifat-sifat ini untuk Tuhan tidak berlawanan dengan keniscayaan wujud-Nya.
[4]. Berdasarkan sebuah kaidah filsafat, “Segala sesuatu yang mungkin secara umum tertetapkan bagi Tuhan, niscaya akan tertetapkan bagi-Nya”.
[5]. Untuk mendapatkan penjabaran sempurna dari argumentasi ini, rujuk: Lahiji, Sarmoye-e Iman, hal. 49 dan 50.
[6]. Pada pembahasan Ilmu Tuhan kita akan membahas bahwa menurut pendapat para filosof, hakikat pengetahuan tidak lain adalah kehadiran ma’lum (obyek ilmu) pada diri subyek ‘alim .
[7]. Allamah Thaba-thabai menentang kesimpulan semacam ini, rujuk: al-Mizan, jilid 8, hal. 375.
[8]. Syeikh Kulainy ra, al-Kafi, jilid 1, hal, 102. Syeikh Kulainy dalam tema berjudul “An-Nahi ‘an as-Shifah” menyajikan beragam hadis khusus dalam tema ini .
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar