SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany

Pembuktian Mukjizat
Apakah keberadaan mukjizat bisa ditetapkan dengan bukti-bukti dan dalil-dalil? Semua orang beriman yakin dan percaya akan kejadian dan keberadaan mukjizat. Tetapi dari sudut pandang seorang filosof agama, lahir sebuah pertanyaan, bagaimana suatu peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam dapat ditegaskan dan diargumentasikan dengan menggunakan bukti-bukti dan dalil-dalil? Apakah karena kontradiksinya kejadian itu dengan hukum alam sehingga tidak mungkin ditetapkan dengan perantaraan bukti otentik dan argumen rasional? Jika diasumsikan bahwa kejadian mukjizat dapat ditetapkan dengan dalil dan bukti, apakah terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik berkaitan dengan kejadian itu?

David Hume, filosof Empirisme asal Skotlandia adalah orang pertama yang menjabarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. David Hume mengurai secara terperinci masalah-masalah tersebut dalam makalahnya yang sangat terkenal bertema “Darbore-ye mukjizat (Tentang Mukjizat)”. Pada bagian pertama dalam makalah tersebut David berusaha menunjukkan bahwa kejadian mukjizat dikarenakan bertolak belakang dengan hukum alam maka menjadi sangat kecil kemungkinannya dapat ditetapkan dengan bantuan bukti sejarah yang walaupun bukti itu sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi mungkin bila dijelaskan dengan dalil-dalil rasional tentang keadaan dan proses yang paling sempurna dari kejadiannya. Bagian kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjisat dapat dibuktikan, walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik -dimana digunakan oleh semua orang beragama untuk menyampaikan kejadian mukjizat- tetapi tak satupun yang dapat  dijadikan sandaran dan karena itulah kita tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat.

Kita akan membedah perspektif dan sudut pandang Hume tersebut di atas. Sebenarnya bagian pertama dari makalahnya merupakan pokok dan inti pembahasan dimana di situ ia tekankan bahwa kejadian mukjizat tak dapat dibuktikan. Anggapan inilah yang akan ia pertahankan dengan argumen dan menjadi bahan perbincangan dan perdebatan. Berdasarkan penafsiran yang umum tentang makalahnya, Hume pada bagian pertama makalahnya beranggapan bahwa kejadian mukjizat mustahil dapat dibuktikan walaupun perwujudan mukjizat itu sendiri memiliki probabilitas secara rasional. Tapi terdapat dua penafsiran lain berkaitan dengan bagian pertama dari makalah itu: R.F. Holland beranggapan bahwa Hume bukan hanya kejadian mukjzat itu mustahil dibuktikan bahkan kemungkinan perwujudan mukjizat itu sendiri juga tidak dapat ditetapkan dan inilah yang menjadi inti alasan kemustahilan pembuktian dan penegasannya[1].

Perspektif lain, yang merupakan pandangan terbaru atas makalah Hume dan berlawanan dengan pandangan Holland, yang menyatakan bahwa David Hume di bagian pertama makalahnya tidak membantah adanya kemungkinan pembuktian mukjizat, karena kalau ia menolak adanya probabilitas itu maka hal ini tidak sesuai dengan pandangan Hume sendiri di bagian kedua dari makalahnya, sebagaimana Hume berkata, “Jika terdapat banyak sumber berita yang dapat dipercaya memberikan informasi tentang terjadinya kegelapan selama delapan hari di seluruh dunia pada bulan Juni 1600 M maka saya pasti akan menerimanya.”

Hume Menolak Probabilitas Pembuktian Mukjizat
Argumen David Hume dalam menolak adanya kemungkinan pembuktian mukjizat berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:
  1. Eksperimen ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam berargumen tentang masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk penyelesaian segala perbedaan.
  2. Orang yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil dan argumen, oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan (kejadian) dengan realitas keseharian kita, maka untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang terjadi mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin kuat pula. Kebutuhan akan dalil dan bukti yang kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan dengan subyek masalah yang ajaib, asing, aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum alam, karena dalam hal ini, kita berhadapan dengan dua realitas yang saling bertolak belakang, maka kita terpaksa membandingkan dua realitas tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut yang mengandung tingkat persentase pertentangan yang rendah.
  3. Keyakinan kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan empirisitas. Alasan kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama sekali tidak berangkat dari hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan realitas peristiwa yang diketahui saling mendahului satu sama lain.
  4. Pertentangan mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman kehidupan manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan pembuktiannya.

Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, “Jika ada bukti dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan dalil tersebut sebagai dalil versus dalil atau bukti lawan bukti, karena dari satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan otentik sehingga ketika obyek berita dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan dalil yang sempurna. Tetapi dari dimensi lain bahwa obyek informasi adalah mukjizat dan pada saat yang sama mukjizat bertentangan secara langsung dengan realitas kehidupan di alam materi (hukum alam), karena kita tidak bisa menghindari hadirnya perbedaan di antara dua dalil dan bukti maka kita harus mengedepankan bukti yang lebih kuat dengan bersandar pada dasar yang kedua ( dari empat dasar di atas).

Tapi apakah kita bisa mendapatkan satu dalil yang sempurna dan kuat di alam ini yang tak bertentangan dengan mukjizat, kalau pun kita memperoleh bukti apakah ia dapat menetapkan dan membuktikan  mukjizat? Hume memberikan jawaban yang negatif atas pertanyaan tersebut. Dalam pandangannya, bukti dan dalil empiris sangat kecil kemungkinan kesalahannya sedangkan bukti dan pembawa berita tentang mukjizat sangat besar kemungkinan adanya kesalahan dan kebohongan kecuali pembawa berita dapat menghadirkan mukjizat itu sendiri dan bukan sekedar sebuah kabar dan informasi tentang kejadian mukjizat.[2]

Maksud Hume tentang “dalil” adalah suatu argumen yang bersumber dari pengalaman dan penyelidikan empiris yang terus menerus dan menyodorkan kepada kita derajat keyakinan yang paling tinggi tentang suatu perkara dimana tak menyisakan lagi segala bentuk keraguan dan skeptisisme, sebagai contoh keyakinan kita kepada proposisi “matahari akan terbit besok pagi’. Sementara pemahaman ia tentang sebuah “kemungkinan (probabilitas)” adalah suatu argumen yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman terdahulu yang meliputi peristiwa-peristiwa khusus; realitas sejarah yang telah menguji mana peristiwa yang secara hakiki telah terjadi dan mana kejadian yang mustahil terjadi.

Oleh karena itu, peristiwa yang telah terjadi pada zaman dahulu kita coba bandingkan dengan kondisi kekinian berkaitan dengan faktor kemungkinan berulangnya kejadian dan peristiwa tersebut. Berdasarkan perbedaan antara “dalil” dan “kemungkinan” tersebut, Hume berkata, ” bukti-bukti yang ada tentang mukjizat belum dapat dikatakan sebagai “dalil”, karena berlawanan dengan pengalaman empiris manusia dari dahulu hingga sekarang ini.”[3]

Sanggahan Anthony Flew Terhadap Hume
Anthony Flew, seorang filosof Amerika dan guru filsafat, yang berpandangan sama dengan Hume bahwa mukjizat tersebut tak bisa dibuktikan dengan bantuan bukti sejarah dan ia juga menerima mayoritas argumentasi Hume. Tapi ia mengeritik penjabaran Hume dan berkata, “Analisa Hume atas kausalitas dan pemahamannya atas hukum-hukum alam hanyalah sebatas dua fenomena yang dipertentangkan dalam pikiran, sementara itu Hume untuk dapat membedakan secara teliti antara mukjizat dengan perkara yang asing dan aneh serta menggambarkan secara jelas pertentangan di antara dalil-dalil yang ada (pokok keempat dari dasar argumentasi David Hume di atas) membutuhkan pemahaman yang benar, komprehensif dan universal atas hukum-hukum alam.

Berdasarkan teori Hume, kausalitas (sebab-akibat) di antara dua realitas wujud (A) dan (B) hanyalah bermakna bahwa wujud (A) yang kita lihat serta merta diikuti oleh wujud (B), dan karena terjadi pengulangan realitas yang terus menerus maka pikiran dan jiwa kita sudah terbiasa menggambarkan kedua wujud tersebut untuk hadir secara bersamaan dimana perwujudan yang satu melahirkan perwujudan yang lain. Hal inilah yang kemudian mendasari lahirnya hukum alam yang tiada lain bersumber dari pengamatan yang panjang dan kontinuitas atas segala rangkaian dan mata rantai peristiwa yang kemudian membentuk kebiasaan dalam pikiran kita tentang adanya hubungan-hubungan di antara realitas-realitas wujud atau kejadian tersebut, dan kita senantiasa berharap bahwa di masa yang akan datang rantai hubungan-hubungan dari peristiwa dan kejadian tersebut tetap ada dan terpelihara sebagaimana yang telah kita saksikan.

Mukjizat dalam hal ini, jika dipandang dari hukum alam tersebut semata-mata merupakan peristiwa ajaib yang berlawanan dengan kebiasaan alam dan tidak adanya pertentangan antara dalil-dalil – sebagaimana anggapan Hume – karena hukum alam tak mencegah munculnya suatu peristiwa yang dapat dikecualikan (baca: mukjizat). Oleh karena itu, dengan berdasarkan pada hukum alam adalah sangat tak logis menolak adanya bukti kuat, petunjuk yang jelas, informasi dan peninggalan sejarah yang otentik.

Tafsiran Baru Anthony Flew atas Dalil Hume dengan Berpijak pada Proposisi Nomologikal
Anthony Flew, dalam penjabaran terbarunya atas dalil Hume, berusaha untuk membangun kerangka logis yang bersumber dari pokok keempat (dasar keempat dari argumen David Hume) tentang pertentangan dalil-dalil yang berkaitan dengan bukti-bukti nyata atas kejadian mukjizat. Dengan maksud inilah ia menekankan bahwa proposisi-proposisi ilmiah adalah nomologikal, yakni dalam batasan ilmu dan pengetahuan kita proposisi seperti itu bersifat niscaya dan universal serta dikategorikan sebagai hukum-hukum alam. Dengan menerima laporan ilmiah dan hukum alam maka dapat ditentukan dimensi logis dari kemustahilan setiap kejadian berdasarkan kesesuaiannya dengan hukum alam, hal ini berarti bahwa dengan berpijak pada hukum universal alam kita dapat menyatakan bahwa peristiwa tertentu mustahil terjadi. Dan dengan adanya bukti sejarah yang otentik atas kejadian-kejadian sejarah tertentu (baca: mukjizat) maka pasti terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan dan bukti sejarah yang otentik.

Hadirnya pertentangan tersebut secara sepintas dapat dibenarkan bahwa mukjizat itu mungkin terjadi, maka dari itu ada kemungkinan bahwa proposisi yang kita sebut sebagai nomologikal sebenarnya adalah bukan nomologikal oleh karena itu kita mesti kembali menguji dan melakukan pengetesan atasnya dan jika tetap tergolong sebagai sesuatu yang ilmiah maka pertentangan dalil-dalil tersebut akan semakin kuat dan konsekuensi dari kondisi ini adalah pengesahan dan pembenaran salah satu dari dua realitas tersebut. Apakah kita menolak proposisi nomologikal dan menerima petunjuk dan keterangan tentang realitas mukjizat ataukah dengan berpijak pada proposisi nomologikal kita mesti menolak peristiwa-peristiwa mukjizat walaupun ada bukti-bukti sejarah yang otentik mendukung terjadinya peristiwa itu? Anthony Flew dalam uraian terbarunya atas burhan Hume berupaya menerima pilihan yang kedua tersebut.[4]

Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa Anthony Flew sampai pada konklusi tersebut dengan (nomologikal) memahami kaidah-kaidah ilmiah. Maka dari itu, yang pertama mesti dilakukan adalah mencari titik perbedaan antara proposisi nomologikal yang berpijak pada pemahaman Hume atas Hukum alam dan pengertian proposisi nomologikal menurut Anthony Flew, dan yang kedua adalah menemukan tolok ukur penerimaan terhadap nomologikal dan penolakan terhadap bukti dan keterangan sejarah yang otentik.

Menurut Anthony Flew proposisi tersebut mempunyai tiga sinonim, antara lain: lawlike proposition, nomological proposition, nomic proposition, para ilmuwan meletakkan dua prinsip mendasar untuk jenis dan bentuk proposisi tersebut, sebagai berikut:
  1. Bersifat umum dan universal. Proposisi nomologikal berdasarkan kaidah-kaidah logika adalah universal dan tak terikat oleh waktu, oleh karena itu dikategorikan sebagai bentuk proposisi universal.
  2. Menerima unsur benar dan salah. Jika diasumsikan bahwa kaidah-kaidah ilmiah dapat benar dan juga bisa salah dan laporan-laporan pengamatan bisa mengesahkannya atau membatalkannya. Oleh karena itu, proposisi nomologikal memiliki peran sentral sebagai penyampai informasi dan sekaligus sebagai pisau analisa.

Dua prinsip mendasar tersebut kurang lebih telah disepakati, tetapi subyek yang menjadi perdebatan adalah apakah proposisi universal yang mempunyai dua karakter tersebut dapat dikatakan sebagai nomologikal ataukah harus kita bedakan antara proposisi nomologikal dan proposisi universal rasional (al-kulli al-aqli)[5]  dan kalau terdapat perbedaan lantas dimana letak perbedaan antara keduanya? Berkaitan dengan tema dan subyek tersebut terdapat dua pandangan, pertama, pandangan keniscayaan (necessity view) dan kedua, perspektif keteraturan (regularity view).

Berdasarkan pandangan keniscayaan terdapat perbedaan secara logika antara proposisi universal rasional  dan nomologikal, perbedaan di antara keduanya adalah proposisi nomologikal murni dan sangat kuat berpijak pada keuiniversalan dan keumuman yang dapat dijelaskan dalam bentuk modal proposition (al-qadhiyah al-muwajjah)[6] dimana salah satu predikatnya bersifat niscaya terhadap subyek proposisi, oleh karena itu jenis proposisi tersebut dapat diprediksikan dan meliputi contoh-contoh luar (al-mashadiq) yang bersifat pasti dan mungkin. Perbedaan dua proposisi tersebut dapat diungkapkan dalam contoh sebagai berikut:
  1. Titik didih semua unsur emas adalah 1063°C.
  2. Semua batu yang terdapat di kebun saya adalah batu endapan.

Proposisi nomologikal seperti contoh pertama dan proposisi yang bersyarat dapat dituliskan sebagai berikut, segala sesuatu sebagai x dan keseluruhan waktu adalah t, jika x adalah salah satu contoh dari emas dan dipanaskan pada derajat 1063°C maka pasti emas tersebut akan mendidih. Maka dari itu, proposisi ini, walaupun contohnya bukan emas tetapi jika diletakkan dalam derajat tersebut maka tetap berlaku hukum tersebut (akan mendidih atau meleleh).

Para pendukung pandangan keniscayaan berbeda pendapat berkaitan dengan bentuk dan jenis keniscayaan yang terdapat  di dalam proposisi nomologikal, sebagian beranggapan bahwa bentuk keniscayaan tersebut adalah keniscayaan logikal dan sebagian berpandangan bahwa keniscayaan itu lebih rendah dari keniscayaan logikal, anggapan kedua ini banyak dianut oleh para pendukung pandangan keniscayaan dewasa ini termasuk Anthony Flew sendiri.

Sementara berdasarkan pandangan keteraturan, proposisi nomologikal tidak mesti didasarkan pada keniscayaan, dari dimensi ini kita bisa mengolongkan Hume menganut pandangan keteraturan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan aliran Hume kaidah-kaidah ilmiah tidak terlalu berbeda dengan proposisi universal rasional  dimana hal itu sama dengan proposisi aktual (actual proposition/al qadhiyah al-khârijiyah)[7] yang mengabarkan adanya kebersamaan (at-taqârun) dan kebersusulan peristiwa-peristiwa di alam materi.
Anthony Flew yang menganut gagasan keniscayaan berkata, “Sebuah proposisi, seperti setiap X mesti A, adalah nomologikal dan proposisi seperti ini mengharuskan proposisi bersyarat yang berlawanan dengan kenyataan, seperti jika X mesti B (walaupun pada kenyataannya tak ada keharusan) maka X itu adalah A. Proposisi nomologikal menjelaskan hubungan X dan A di alam nyata, disamping itu ia menyatakan bahwa antara X dan A terdapat hubungan yang konstan sedemikian sehingga meliputi juga asumsi yang bertolak belakang dengan kenyataan alam.

Menurut Anthony Flew, bentuk hubungan yang terdapat pada proposisi nomologikal tidak dapat dijadikan sandaran dan pijakan, karena tak berada dalam cakupan universal rasional  untuk dapat secara lansung diuji dan dieksperimenkan. Akan tetapi bukti-bukti yang menegaskan tentang kejadian mukjizat bersifat partikular, individual dan relatif serta dijelaskan dalam bentuk kalimat lampau yang sederhana, seperti dikatakan, X ini dulu bukan A, karena proposisi nomologikal bisa diuji secara langsung pada setiap waktu maka senantiasa dapat diyakini kebenarannya, oleh karena itu bisa dijadikan tolok ukur atas penolakan proposisi yang lain. Maka dari itu, kaidah-kaidah rasionalitas mengharuskan kita menolak setiap bukti-bukti yang partikular tentang kejadian di zaman dahulu yang tidak sesuai dengan proposisi nomologikal, jejak-jejak peristiwa sejarah dan peninggalan masa lalu yang berada dalam jangkauan kita mesti ditafsirkan dalam kerangka pengetahuan kekinian kita yang bersumber dari manusia dan alam dan juga ilmu kontemporer kita tersebut sekaligus merupakan tolok ukur kritikan dan analisa atas segala bukti, keterangan, informasi dan petunjuk sejarah.

Kritikan atas Dalil Hume dan Anthony Flew   
Konklusi argumentasi Anthony Flew dan Hume adalah menolak segala bentuk bukti dan dalil tentang peristiwa dan kejadian yang bertentangan dengan hukum alam atau nomologikal. Berdasarkan pandangan Michael Patrison, kalau beberapa dokter terkenal dunia mengabarkan bahwa mereka beberapa kali melihat kaki yang luka parah sembuh seketika dan kembali seperti biasa, informasi seperti ini tidak dapat dipercaya karena keterangan mereka bertolak belakang dengan hukum alam dan nomologikal.

Richard Swinburne, guru filsafat universitas Oxford beragama Kristen, adalah orang yang secara terperinci melakukan analisa dan mengeritik argumen Hume dan Flew. Ia, berbeda dengan Hume dan Flew, beranggapan bahwa pembuktian mukjizat adalah mungkin dengan dukungan bukti dan keterangan sejarah yang otentik.

Swinburne menyatakan untuk meneliti suatu peristiwa yang terjadi pada zaman yang lampau terdapat empat jenis petunjuk dan dalil yang dapat dijadikan sandaran dan pijakan, antara lain:
  1. Dari jalur ingatan, memori dan hafalan;
  2. Bukti dari saksi mata, pelaku sejarah dan periwayatan sejarah;
  3. Penelitian pada peninggalan fisikal, sejenis penelitian yang biasa digunakan dalam bidang kriminologi;
  4. Kaidah-kaidah ilmiah yang dapat dijadikan tolok ukur tentang kemustahilan dan ketdakmungkinan kejadian suatu peristiwa atau pijakan dan sandaran dalam meneliti segala bukti, periwayatan, keterangan saksi, informasi sejarah dan peninggalan fisikal.

Tapi, Hume dan Flew hanya menerima dalil kedua dan keempat di atas dan dalil keempat dijadikan sebagai tolok ukur dalam keabsahan dalil kedua. Sementara kita dapat memperoleh informasi tentang kejadian mukjizat dengan dukungan dalil pertama dan ketiga. Seperti melihat dengan mata kepala sendiri seseorang berjalan di atas air atau dengan meneliti peninggalan-peninggalan fisik suatu peristiwa disimpulkan bahwa kejadian itu bertentangan dengan hukum alam. Kita asumsikan kejadian mukjizat dengan (S) dan suatu kondisi (M) dimana memunculkan keadaan yang lain (A). Jika kita memiliki bukti dan peninggalan fisik dua keadaan (M) dan (A) tersebut maka kita bisa menentukan terjadinya peristiwa (S).[8]

Namun Swinburne mengaku mengalami kesulitan praktis dalam metodologi observasi atas peninggalan-peninggalan fisikal suatu mukjizat historikal, ia berkata, “Metode ini lebih bermanfaat untuk pembuktian suatu mukjizat yang baru terjadi daripada mukjizat yang sudah lama berlalunya, karena sebagian besar bukti, jejak dan peninggalan fisikal mukjizat itu hilang dengan berlalunya waktu. Walaupun terdapat beberapa peninggalan yang tidak hilang yang dapat dijadikan bahan analisa sejarah, sebagai contoh dengan meneliti karakter huruf dan metode penulisan sebuah peninggalan teks sejarah kita dapat menentukan di abad keberapa seorang penulis teks sejarah tersebut hidup, cara seperti ini masih terus digunakan dan ilmu senantiasa menemukan bukti dan peninggalan terbaru yang dapat mengungkap realitas kejadian-kejadian yang  menakjubkan pada masa yang lalu.”[9]

Menurut pandangan Swinburne terdapat empat dalil dan bukti untuk meneliti mukjizat, tetapi berkenaan dengan mukjizat terdapat kontradiksi antara dalil keempat dan dalil ketiga, lantas bagaimana menghilangkan kontradiksi tersebut? Untuk menyelesaikan masalah ini Swinburne mengusulkan beberapa jalan keluar, diantaranya:
  1. Macam-macam bukti dan dalil yang ada dipisahkan berdasarkan tingkat keabsahannya, seperti orang yang masih mengingat suatu kejadian yang dilihatnya secara langsung harus lebih dikedepankan daripada bukti-bukti nyata yang lain, karena bukti-bukti yang lain memiliki kemungkinan benar dan juga kemungkinan salah. 
  2. Macam-macam bukti dan dalil yang memiliki perbedaan validitas kemudian disusun berdasarkan peringkat dan kualitas keabsahan. Kalau terjadi kontradiksi di antara bukti-bukti tersebut kita dapat mengetahui peringkat dan kualitas bukti yang saling kontradiksi, misalnya si A dan si B memiliki laporan yang berbeda dalam kasus tertentu (X), maka langkah praktis kita adalah meneliti laporan mereka atas perkara yang lain (Y), kalau laporan si A lebih sesuai dengan realitas kejadian perkara (Y) daripada laporan si B maka hal ini dapat menjadi bukti dan dalil valid bagi kita untuk menerima laporan si A berkaitan dengan kasus tertentu (X).
  3. Diupayakan semua dalil dan bukti yang diterima memiliki kualitas kemungkinan yang maksimal. Oleh karena, kalau ada satu orang yang memberikan kabar tertentu tetapi terdapat lima orang yang menginformasikan berbeda dari yang satu orang, maka penyaksian dari lima orang tersebut yang mesti diterima. Begitu pula, kalau ada kesimpulan yang berasal dari satu fenomena sejarah tetapi ada juga kesimpulan yang berbeda yang bersumber dari lima fenomena sejarah yang lain, maka yang harus diterima adalah kesimpulan yang bersumber dari lima fenomena tersebut.
  4. Tak mengubah dalil dan bukti yang saling menguatkan dan tidak saling kontradiksi kecuali untuk menyesuaikan dalil-dalil dengan subyek pembahasan dan pembuktian lain yang lebih nyata. Oleh karena itu, adalah sangat tidak logis menolak lima bukti nyata dan saksi sejarah atas satu perkara, kecuali kita dapat membuktikan bahwa lima bukti dan saksi tersebut adalah palsu dan direkayasa.

Swinburne beranggapan bahwa dengan berpijak pada pokok-pokok tersebut di atas kita dapat menyelesaikan kontradiksi antara dalil ketiga dan dalil keempat. Menurut teori Swinburne: pertama, berbeda dengan pandangan Flew, teks-teks sejarah dan kaidah-kaidah ilmiah keduanya dapat dibuktikan berdasarkan metodologi ilmiah tetapi dalam hal ini teks sejarah yang berhubungan dengan mukjizat tidak didukung oleh kaidah-kaidah ilmiah, kedua dengan memanfaatkan pokok keempat di atas, para peneliti sejarah dapat menggunakan ketiga dalil pertama (yang berkaitan dengan kejadian mukjizat) untuk mendukung dalil keempat ( proposisi nomologikal).

Realitas tersebut di atas sama dengan hukum alam (dari sisi hubungan keuniversalan hukumnya dengan data-data ilmiah yang bersifat statistik) yang berhubungan secara universal antara mukjizat dan bukti-bukti otentik (sebagai kabar berita). Apabila hubungan antara keduanya tergolong dalam pokok pertama (dari keempat pokok di atas) maka kabarnya pasti dan yakin, dan jika kaitan antara keduanya dikategorikan kedalam pokok kedua maka kejadiannya memiliki probabilitas yang tinggi.

Oleh Karena itu, dalil dan bukti otentik sama seperti hukum alam yang didasarkan dengan metode penelitian dan jika terdapat kontradiksi di antara dalil-dalil maka harus dirujukkan kepada pokok-pokok yang telah disebutkan, seperti suatu bukti (M) yang berhubungan dengan dua kejadian mukjizat (A). Dan bukti-bukti yang lain dapat disimbolkan dengan M1, M2, M3… dan diasumsikan bahwa bukti-bukti tersebut dapat dijadikan pegangan dan pijakan karena sebelumnya sudah diteliti dan dibandingkan dengan realitas alam nyata. Dan bukti lain yang berlawanan dengan bukti-bukti tersebut disimbolkan dengan (H) dan banyaknya bukti yang berlawanan sebagai H1, H2, H3.Oleh karena itu, setiap bukti M1, M2, M3 telah diperhadapkan dengan bukti H1, H2, H3 dan telah dibuktikan validitasnya berkaitan dengan peristiwa mukjizat (A) dan bukti-bukti ini, dari sisi kuantitas dan kesesuaiannya, berdasarkan pokok ketiga dan keempat didahulukan daripada bukti yang bersumber dari hukum alam.

Richard Swinburne berkata, “Walaupun kita tidak dapat secara teliti menentukan bukti-bukti yang mempunyai validitas yang tinggi tetapi dengan berpijak pada pembahasan sebelumnya kita bisa dengan logis menunjukkan bahwa bukti-bukti yang diinginkan lebih kuat dan tidak berlawanan dengan hukum alam. Tetapi mengaplikasikan metode ini terhadap bukti-bukti tentang mukjizat yang terjadi pada zaman yang lampau merupakan hal yang sangat sulit dikarenakan kita mempunyai bukti dan informasi yang sangat terbatas dan langkah, oleh karena itu sangat dibutuhkan usaha dan ketelitian yang tinggi untuk menguji hubungan bukti-bukti tersebut dengan realitas hukum alam.[10]

Argumen Hume dan Flew juga dapat dikritik dalam tiga sudut yang pada argumen tersebut terdapat tiga asumsi masalah yang ketiganya masih diperdebatkan. Pertama, menurut pandangan Flew dan Hume hukum alam menolak segala proposisi yang berlawanan dengannya. Kedua, Kaidah-kaidah ilmiah pasti kontradiksi dengan segala proposisi yang menceritakan tentang peristiwa mukjizat. Dan ketiga, faktor-faktor non-alam (non-materi), seperti kehendak dan iradah Tuhan, tidak dikategorikan sebagai faktor-faktor dalam pengkajian peristiwa-peristiwa sejarah dan hukum-hukum alam itu (kaidah ilmiah) merupakan satu-satunya sandaran dan tolok ukur dalam menganalisa peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah.
  1. Apakah kaidah-kaidah ilmiah menutup kemungkinan kebenaran segala proposisi yang bertentangan dengannya? Persoalan ini dapat berhubungan dengan salah satu dari tiga bentuk kemungkinan: Pertama, induksi[11] yang terbatas tidak selalu tetap dan mayoritas (universal) walaupun dengan dukungan kaidah-kaidah rasionalitas seperti hukum kausalitas, dan hukum alam tersebut kemudian kita generalisasikan untuk menghukumi semua perkara yang dianggap “serupa” dengannya (“serupa” dengan hal-hal partikular dimana merupakan sumber hukum “universal” alam), dan juga hukum alam atau kaidah ilmiah tersebut dijadikan tolok ukur untuk menolak satu peristiwa atau lebih yang bertentangan dengannya. Tetapi sekarang ini, berdasarkan kaidah-kaidah yang telah disebutkan, kita tak bisa menghukumi secara universal kesimpulan induksi yang terbatas itu terhadap semua perkara yang terjadi, hal ini juga bertolak belakang dengan pandangan David Hume sendiri.[12] Kedua, bukti-bukti partikular dan pengamatan langsung menaikkan derajat validitas kaidah ilmiah, jika pengamatan atau eksperimen tersebut semakin intens maka semakin besar pula sisi kemungkinan tertolaknya informasi peristiwa-peristiwa tertentu (baca: mukjizat). Realitas ini, walaupun secara sepintas bisa diterima dimana tingkat validitas hukum alam berbanding lurus dengan kuantitas penemuan dan percobaan ilmiah (yang bersifat induksi partkular), tetapi sesuai dengan pandangan Max Black, segala upaya dilakukan untuk tujuan merumuskan hukum universal yang berangkat dari metode induksi tetapi tidak berhasil karena berhadapan dengan banyak masalah-masalah praktisyang rumit. Merumuskan proposisi universal yang meliputi segala realitas alam dimana didasarkan pada bukti-bukti partikular dan percobaan induksi yang sangat terbatas mustahil meningkatkan validitas hukum alam karena bagaimanapun bukti-bukti partikular tersebut terhitung nol jika diperhadapkan dengan wujud partikular-partikular alam yang tak terbatas jumlahnya.[13] Ketiga, adanya kemungkinan kebenaran sesuatu yang didasarkan pada hukum-hukum dan teori-teori ilmiah bergantung pada salah satu hipotesa-hipotesa yang sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah. Berdasarkan ini, arah dan tujuan ilmu, sebagai contoh menentukan kemungkinan besok terbit matahari dan bukan menentukan kemungkinan bahwa matahari pasti senantiasa terbit, berdasarkan hal ini sangat kecil adanya kemungkinan kebenaran proposisi yang berlawanan dengan hukum-hukum dan teori-teori ilmiah. Tetapi jalan penyelesaian ini tetap bertemu dengan problem penyelesaian sebelumnya, sebab ada kemungkinan benarnya peristiwa-peristiwa ajaib (mukjizat) yang tetap berpijak pada hukum-hukum dan teori-teori universal, para pemuja metodologi induksi gagal dalam usaha untuk menghilangkan keberadaan probabilitas dan kemungkinan kebenaran peristiwa-peristiwa tersebut hingga ke titik nol.[14]
  2. Apakah hukum ilmiah bertentangan dengan proposisi-proposisi yang berkaitan dengan peristiwa mukjizat? Terdapatnya kontradiksi antara kaidah-kaidah ilmiah dan proposisi mukjizat yang dijelaskan oleh Hume dan Flew berpijak pada penerimaan asumsi bahwa terdapat perbedaan experimen dan pengalaman yang kemudian berujung pada pertentangan tersebut, karena kaidah-kaidah ilmiah dan proposisi mukjizat bersumber dari dua pengalaman. Kebenaran kaidah ilmiah dan keberadaan hukum alam berhubungan dengan  proposisi mukjizat diterima sebagai postulat dan proposisi ini hanya dikabarkan sebagai hal yang bertolak belakang dengannya dimana diasumsikan terjadi karena pengaruh faktor supranatural. Dan teori ilmiah juga tidak mampu menegaskan bahwa hukum alam tak bisa diubah oleh faktor metafisika dan supranatural, oleh karena itu tak ada kontradiksi antara dua proposisi – (hukum alam dan mukjizat) yang masing-masing bersumber dari dua realitas pengalaman yang berbeda – hingga dikatakan terdapat pertentangan argumen.
  3. Apakah hukum alam merupakan satu-satunya tolok ukur dalam menganalisa dan mengoreksi peristiwa-peristiwa sejarah? Flew dan Hume menolak faktor-faktor non-natural dalam penyelidikan atas peristiwa-peristiwa sejarah, menurut sebagian para pemikir dan peneliti barat metodologi argumentasi ini kurang tepat dan bersifat hipotesa belaka. Apa dalil-dalil mereka yang menyatakan bahwa kaidah dan hukum alam merupakan satu-satunya tolok ukur, sumber penelitian yang pasti dan konklusi terakhir dalam mengkaji kebenaran akan peristiwa-peristiwa sejarah, dan mengapa mereka menolak menjadikan faktor-fakor supranatural sebagai bagian dari faktor-faktor yang berpengaruh? Sebagai contoh, begitu banyak ahli iman yang karena keyakinan mereka atas perkara-perkara gaib dan  hal-hal yang bersifat supranatural memiliki gambaran atas suatu realitas wujud yang mengatur alam semesta ini dimana hal inilah yang kemudian mendasari sisi kepercayaan mereka atas peristiwa mukjizat, kabar tentang kejadian mukjizat justru menguatkan keyakinan orang mukmin bahwa kehendak dan iradah Tuhan terus berpengaruh dalam tatanan alam natural ini.

Michael Patrison yakin bahwa sanggahan tersebut tidak dialamatkan untuk Flew, karena Flew senantiasa mengungkapkan bahwa apakah seseorang dapat membuktikan peristiwa mukjizat dengan hanya memperhatikan dalil dan bukti sejarah tanpa melibatkan unsur-unsur keimanan[15]. Tapi menurut sebuah pandangan bahwa seseorang dapat melibatkan sisi rasionalitas dan faktor-faktor supranatural dalam mengkaji realitas sejarah dan alam dengan dukungan dalil-dalil filsafat tanpa harus menggunakan petunjuk-petunjuk kebenaran yang diperoleh lewat pembuktian mukjizat. Bentuk pemikiran dan keyakinan seperti ini membuka celah adanya kemungkinan terjadinya peristiwa mukjizat.

Implikasi Mukjizat
        Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang implikasi mukjizat berkaitan dengan dua dimensi, antara lain:
  1. Implikasi mukjizat atas penegasan eksistensi Tuhan;
  2. Implikasi mukjizat atas pembuktian kenabian seseorang.

Dimensi kedua ini juga mempunyai dua substansi masalah:
  1. Apakah mukjizat berimplikasi secara langsung dan logis kepada sang pembawa pesan mukjizat?
  2. Apakah keberadaan mukjizat sekaligus membuktikan kebenaran risalah dan ajaran sang pembawa mukjizat?

Implikasi mukjizat yang tersebut di atas masih menjadi subyek pembahasan dan perdebatan, dibawah ini yang pertama kita bahas adalah perdebatan dan kritikan yang bersifat umum dan setelah itu secara terpisah kita akan mengupas dan menganalisa berbagai kritikan yang bersifat khusus atas implikasi-implikasi itu.

Tiga persoalan mendasar pada implikasi mukjizat
Asumsi pertama yang penting pada implikasi mukjizat adalah mukjizat merupakan perbuatan langsung Tuhan atau sesuatu yang diijinkan oleh Dia. Asumsi ini bisa diterima kalau peristiwa mukjizat tersebut tak dapat dijelaskan dan diuraikan dengan cara yang lain. Jika tidak demikian maka implikasi mukjizat yang disebutkan di atas tidaklah tepat. Teolog Muslim seperti Fahru Razi dan Imam Al Gazali melemparkan kritikan atas asumsi pertama tersebut, Fahru Razi dalam penjelasannya tentang kejadian mukjizat mengungkapkan tiga kemungkinan lain berkaitan dengan campur tangan Tuhan.

Ia berkata bahwa kemungkinan kualitas spiritual pembawa mukjizat tersebut berbeda dengan kualitas spiritual manusia lain sehingga menyebabkan orang lain tidak mampu melakukan hal yang sama, kemungkinan kedua adalah pembawa mukjizat menguasai salah satu unsur materi yang merupakan sumber dan penyebab keajaiban tersebut serta membatunya dalam mewujudkan sesuatu yang aneh, dan kemungkinan ketiga adalah para jin, syaitan, arwah-arwah dan malaikat membantu seorang Nabi melahirkan perbuatan ajaib, aneh dan menakjubkan[16].

Sementara Al Gazali juga beranggapan adanya suatu kemungkinan bahwa dalam perubahan tongkat Nabi Musa as menjadi ular-ular besar mungkin terdapat tipu muslihat[17]. Di zaman sekarang ini, kritikan tersebut diungkapkan dalam bentuk yang lain dan terdapat tiga sanggahan utama berhubungan dengan implikasi mukjizat disebutkan sebagai berikut:
1. Mukjizat dan probabilitas penjabarannya secara ilmiah. Masalah ini secara hakiki kembali kepada persoalan bahwa bagaimana kita dapat yakin perkara mukjizat tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.
Menurut Richard Purtiil, salah satu persoalan pokok yang  berkaitan dengan tingkat kevaliditasan bukti mukjizat adalah kemungkinan penjabaran mukjizat dengan bantuan kaidah-kaidah ilmiah. Tapi ia menyangkal adanya probabilitas tersebut dengan beberapa alasan:
Pertama, kemungkinan terjadinya mukjizat di masa mendatang adalah sangat kecil, maka dari itu kita tak berpegang padanya.
Kedua, berdasarkan kemungkinan bahwa di masa depan ditemukan sebab natural mukjizat lantas bagaimana seorang bisa menjelaskan suatu ilmu pengetahuan (tentang mukjizat) yang tidak ia pahami, misalnya mengembalikan penglihatan seorang anak yang buta sejak lahir dan seorang yang menghidupkan kembali mayat-mayat? Kalau kita katakan bahwa peristiwa itu (menghidupkan kembali mayat) memiliki faktor-faktor yang tak dikenali maka kita harus menjawab persoalan yang lain yaitu apakah hukum-hukum dan faktor-faktor yang tak dikenali itu secara kebetulan bersamaan dengan kehendak Nabi Isa as (mengobati orang sakit, mengembalikan penglihatan, menghidupkan kembali mayat)?[18] Argumen pertama Purtiil sangat lemah karena adanya kemungkinan tersebut membuat kita tak bisa menghubungkan mukjizat tersebut kepada Tuhan, sementara penguraian dan penjelasannya atas dalil kedua cukup bisa diterima.

2. Mukjizat dan faktor-faktor supranatural. Kerumitan yang kedua sebagaimana yang diungkapkan oleh Purtiil adalah nilai kevaliditasan mukjizat yang bersifat mungkin, karena mungkin saja faktor-faktor non-alam selain Tuhan atau lebih rendah dari Tuhan yang berpengaruh dalam perwujudan mukjizat tersebut atau karena pengaruh kekuatan yoga seseorang yang kemudian melahirkan hal-hal aneh. Richard Purtiil mengusulkan tiga poin dalam penyelesaian berbagai kerumitan dalam persoalan-persoalan tersebut, antara lain:
  • Para pengingkar mukjizat diajak untuk melakukan hal yang sama dan kalau mereka mampu mewujudkan perkara-perkara yang ajaib (mukjizat) maka akan terjadi kontradiksi di antara mukjizat.
  • Memandang kepada hakikat mukjizat, karena sebuah mukjizat seperti menghidupkan orang mati dan menciptakan makanan hanya berhubungan secara langsung dengan perbuatan dan prilaku Tuhan.
  • Apakah Tuhan Yang Maha Bijaksana (Hakim) mengijinkan adanya mukjizat lain yang terwujud dari faktor selain-Nya yang dengannya manusia menjadi tersesat? Keberadaan mukjizat lain menyebabkan munculnya ajaran sesat yang bertolak belakang dengan ajaran yang dibawa para Nabi dimana mukjizat Tuhan bersama dengannya.[19]
        Dalam poin kedua, Purtiil tidak menjelaskan bahwa dengan memandang hakikat mukjizat – seperti menghidupkan orang mati – kita bisa menyimpulkan bahwa yang mewujudkan mukjizat tersebut adalah Tuhan dan bukan faktor selain-Nya. Pada poin pertama dan ketiga sama dengan yang dilakukan oleh para teolog Muslim dalam mengungkap hubungan mukjizat dengan sisi pengakuan kenabian.

3. Mukjizat-mukjizat yang saling kontradiksi. Richard Purtiil berkata, “Jika kita ingin mendukung – agama-agama yang saling bertentangan tersebut dimana masing-masing mempunyai mukjizat dan semuanya mengaku berasal dari Tuhan dan mengajak kepada-Nya – sebagaimana kalau kita bersaksi atas dua kelompok yang saling berlawanan, maka dalam hal ini, kita terpaksa memilih salah satu dari tiga teori dan pandangan di bawah ini:
  • Mukjizat tak berhubungan dengan salah satu ajaran dan agama.
  • Saling kontradiksi di antara mukjizat hanya bersifat lahiriah.
  • Salah satu dari mukjizat yang saling kontradiksi tersebut adalah bukan mukjizat yang hakiki.

Richard Purtiil cenderung memilih gagasan ketiga, menurut ia mukjizat Nabi Isa as terkhusus untuk beliau dan satupun “mukjizat” yang dapat menyamainya. Lagi pula begitu banyak kontradiksi yang ada di antara mukjizat-mukjizat dari berbagai ajaran agama hanya bersifat permukaan dan lahiriah belaka[20].

Juga dalam pandangan teolog Muslim mukjizat-mukjizat dari agama pra Islam tidak bertolak belakang dengan mukjizat agama Islam dan perkara-perkara ajaib (bukan mukjizat) yang diwujudkan oleh masing-masing para pertapa bersumber dari perbedaan kekuatan jiwa dan kesempurnaan spiritual para petapa itu sendiri tetapi hal ini bukan menunjuk pada kebenaran ajaran mereka, karena kalau perbuatan mereka yang ajaib dan aneh itu bersama dengan pengakuan kenabian serta menantang semua orang untuk melakukan hal yang sama maka bisa dikategorikan sebagai bukti kebenaran pembawa mukjizat (para Nabi dan Rasul).
     

Referensi:
[1] . Holland, R.F, The Miraculous, hal. 56.
[2] . Hume, David, Darbore-ye Mukjizat, hal. 412.
[3] . ibid, hal. 403.
[4] . Flew, Anthony, Scientific Versus Historical Evidence in Miracles, hal. 97.
[5] . Universal rasional, seperti proposisi manusia universal yakni penggambaran manusia dengan syarat keuniversalan. Dalam contoh tersebut, manusia adalah subyek yang memiliki individu (seperti Muhammad, Ali) di alam nyata dan kata universal adalah predikat, jadi gabungan subyek dan predikat tersebut dikatakan universal rasional.
[6] . Proposisi yang memiliki landasan hubungan keniscayaan, kemungkinan, konstan dan kemustahilan anatara predikat dan subyek. 
[7] . Proposisi yang menghukumi individu-individu luar atau hukum yang berhubungan dengan sesuatu yang berada di luar pikiran kita, misalnya semua prajurit Israel terbunuh.
[8] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 133.
[9] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 134.
[10] . Swinburne, Richard, Historical Evidence in Miracles, hal. 151.
[11] . Penetapan hukum atau kaidah yang berangkat dari hal-hal yang partikular.
[12] . Untuk mengetahui secara rinci penjelasan masalah ini silahkan merujuk pada: Muhammad Amin Ahmadi, Tanaqudh Nemo yo Ghaib Nemum (Negaresy-e Nu be Mukjizat), hal. 205.
[13] . Black, Max, Istiqra (‘Ilm Syenosy Falsafi), penerjemah: Abdul Karim Surusy, hal. 215.
[14] . Charles, Allen, Cisty ‘Ilm, penerjemah: Said Zibo Kalam, hal 29.-30.
[15] . Patrison, Michael, ‘Aql wa I’tiqâd Diny, penerjemah: Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sultani, hal. 75.
[16] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Muhashshal al-Ma’ruf be Naqd al-Muhashshal, hal. 94.
[17] . Al Gazali, Abu Hamid, al-qisthâs al-mustaqim, hal. 80.
[18] . Purtiil, Richard L, “Miracles: What if Thay Happen?” in Miracles, hal. 203.
[19] . Purtiil, Richard L, “Miracles: What if Thay Happen?” in Miracles, hal. 203.
[20] . Purtiil, Richard L, “Miracles What Thay if Happen?” in Miracles, hal. 203.

*****
 
Mukjizat dan peristiwa-peristiwa aneh dan ajaib yang terjadi karena pengaruh doa seorang hamba, pertolongan-pertolongan gaib yang terkadang muncul dalam kehidupan pribadi seseorang, seperti penyembuhan penyakit, kejadian-kejadian di luar kendali dan tak terduga yang berujung pada penyelesaian problematika sosial atau lintasan suatu ide dan pikiran cemerlang yang secara otomatis memecahkan persoalan-persoalan rumit ilmiah, semua perkara tersebut oleh sebagian teolog Kristen barat dijadikan pendahuluan dan dasar untuk menegaskan eksistensi Tuhan.

Argumentasi yang menggunakan pendahuluan seperti itu disebut argumen mukjizat. Sebelum kami menjabarkan argumen itu secara terperinci, di bawah ini akan dijelaskan tentang definisi mukjizat, probabilitas mukjizat, dan kemustahilan menjelaskannya dengan sebab-sebab materi.


Pengertian Mukjizat
Mukjizat dipahamai secara umum sebagai suatu kejadian dan peristiwa yang luar biasa, di luar kekuatan manusia, di luar tatanan dan sistem alam semesta, berlawanan dengan prinsip kausalitas dan bersifat metafisikal dan supranatural.[1] Tapi dalam pandangan agama Islam dan Kristen, mukjizat didefinisikan sebagai suatu peristiwa teratur yang bersifat supranatural, yang disebabkan oleh faktor Ilahi, terwujud di alam dan mengandung pesan-pesan suci agama, serta peristiwa tersebut seakan-akan bertolak belakang dengan prinsip kausalitas (sebab-akibat). Dengan ungkapan lain, mukjizat adalah sejenis campur tangan Tuhan secara langsung di alam semesta yang berada di luar tatanan dan sistem alam dimana bertujuan untuk menampakkan suatu hakikat dan kebenaran. Berkaitan dengan hal ini, akan muncul pertanyaan bahwa apa faktor-faktor yang mesti dimiliki sehingga suatu kejadian dapat dikatakan sebagai perbuatan langsung Tuhan, sesuatu yang membawa pesan-pesan suci agama dan bersifat supranatural? Sebenarnya definisi-definisi di atas secara implisit mengandung faktor-faktor tersebut. Tapi untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan kami jelaskan secara terperinci dari ungkapan-ungkapan utama yang terkandung dan menjadi substansi perdebatan dalam definisi-definisi tersebut:
     
1. Bertentangan dengan tatanan dan sistem alam
Thomas Aquinas menyebut mukjizat itu sebagai suatu kejadian teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh faktor-faktor Ilahi. Ia beranggapan bahwa di alam semesta ini terdapat dua bentuk keteraturan yang berjenjang dan bertingkat, antara lain: Pertama, keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak dan keinginan Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda tersebut. Thomas Aquinas lebih lanjut berkata bahwa Tuhan meletakkan keteraturan yang bersifat kausalitas tersebut pada semua benda di alam; jika tidak ada faktor-faktor eksternal yang berpengaruh pada benda-benda tersebut maka benda-benda tersebut berjalan di atas keteraturan esensial dan alaminya masing-masing. Tetapi keteraturan esensial tersebut bukan menjadi penghalang akan campur tangan Tuhan, karena keteraturan alami tersebut juga mengikuti kehendak dan irâdah Tuhan dan Dia pulalah yang meletakkan suatu potensi dalam hakikat benda-benda tersebut sehingga dengan perantaraan potensi tersebut segala kehendak Tuhan dapat terimplementasi walaupun kehendak-Nya “bertentangan” dengan keteraturan alami benda-benda. Pandangan Thomas tersebut bukan berarti bahwa kejadian (baca: mukjizat) itu telah keluar dari keteraturan, karena ia juga berpendapat adanya sebuah keteraturan di atas keteraturan alami yang ia sebut sebagai keteraturan mutlak Tuhan (baca: keteraturan kedua) dimana berasal dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu, walaupun realitas mukjizat “bertentangan” dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak bertolak belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak Tuhan.[2]

2. Perubahan hukum alam
Gagasan ini lahir di abad ke 17 M dimana perilaku benda-benda tidak didasarkan pada kecenderungan dan watak alami mereka tapi berpijak pada aturan-aturan alam. David Hume, dengan berpijak pada teori tersebut, berkata, “Mukjizat adalah sesuatu yang merubah dan merombak aturan-aturan alam … dan dapat didefinisikan sebagai berikut: Sesuatu yang bertolak belakang dengan hukum-hukum alam dengan kehendak khusus atau pengaruh dari faktor yang tersembunyi”.[3] Pada kondisi ini terdapat beberapa soal yang mesti diterangkan: Pertama, apa pengertian hukum alam? Kedua, apa yang kita maksud dengan perubahan dan pembalikan hukum alam? Dan ketiga, dimana letak perbedaan penafsiran antara David Hume dan Thomas Aquinas?

Yang dimaksud dengan hukum alam adalah penjelasan-penjelasan universal yang memuat kondisi dan syarat tertentu yang berkaitan dengan kejadian yang mesti, pasti berlaku dan sesuatu yang mustahil tidak terjadi. Hukum dan aturan universal tersebut dijabarkan dalam bentuk seperti X mesti menjadi Y atau X yang mencipta Y. Bentuk penjabaran aturan tersebut dimulai dari abad 18 hingga awal abad 20 dan segala sesuatu dihukumi berdasarkan aturan tersebut. Realitas yang terjadi di dunia mengikuti secara pasti hukum-hukum alam yang mereka sebut dengan “kemestian hukum-hukum fisika”. Tetapi dengan hadirnya teori Kuantum pada abad 20 M, sebagian ahli berkeyakinan bahwa hukum-hukum yang mendasari kejadian alam atau sebagian dari hukum-hukum tersebut bersifat tak pasti, maka dari itu kondisi dan syarat dalam hukum alam yang dikatakan pasti tersebut lantas berubah menjadi sesuatu yang bersifat mungkin, jadi kandungan hukum alam memuat berbagai aturan yang mungkin terjadi dan mungkin tak terjadi.[4]

Pengertian tentang “perubahan dan pembalikan hukum alam” dijelaskan dengan baik oleh Richard Swinburne. Pertama-tama ia memperkenalkan delapan hukum universal yang berlaku di alam dan di pikiran manusia. Hukum tersebut memiliki sisi “yang tak pasti” artinya hukum itu sendiri menjelaskan sesuatu yang tak pasti terjadi di alam. Dia berkata tentang makna “perubahan hukum alam” dalam konteks mukjizat bahwa secara hakiki peristiwa itu mustahil terjadi karena alasan dari salah satu hukum-hukum tersebut. Misalnya, mustahil bagi manusia memiliki pengetahuan yang tak empiris berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang belum terjadi dan jika manusia secara pasti mengetahui akan terjadinya suatu peristiwa, maka dia harus menyimpulkan hal itu berdasarkan ilmu tentang hukum-hukum universal dan ilmu tentang peristiwa khusus yang terjadi pada masa lalu dan yang akan datang atau dia terpaksa menerima suatu hasil analisa peristiwa, rekaman peristiwa dan informasi tentang perbuatan yang dikerjakan orang lain.


Sementara perbedaan pandangan antara David Hume dan Aquinas karena perbedaan perspektif dalam masalah substansi alam dimana Aquinas berpandangan tentang forma-forma spesis (as-shuwar an-nau’i) segala sesuatu dan David Hume mengikuti pandangan Newton tentang hakikat alam dimana dia menggunakan konsep-konsep teoritis tentang materi dan kekuatan dalam menganalisa fenomena-fenomena alam yang terjadi. Di samping itu, perbedaan mereka juga karena Thomas Aquinas menggagas tentang keteraturan mutlak Ilahi dan sebab-sebab pertama serta menganggap keteraturan alam materi ini merupakan perpanjangan dari keteraturan mutlak Ilahi tersebut. Sebenarnya, segala fenomena dan peristiwa yang terjadi di alam materi ini merupakan pengaruh darinya dan terkadang disebut juga sebagai sebab-sebab kedua yang bersesuaian dengan kehendak dan irâdah Tuhan. Maka dari itu, setiap kali Tuhan berkehendak maka seketika tercipta lagi sebab-sebab lain (baca: sebab-sebab kedua) dan mengganti sebab-sebab yang telah lalu ataukah Tuhan yang langsung menghadirkan fenomena-fenomena di alam ini tanpa menggunakan perantara sebab-sebab kedua tersebut. Tapi karena David Hume, mengikuti paham rasionalitas empiris, sangat sulit dia menerima pandangan Aquinas tentang keteraturan mutlak Tuhan, oleh karena itu mukjizat dianggap sebagai suatu fenomena yang merubah dan merombak hukum alam serta tidak dipengaruhi oleh faktor yang tersembunyi.

Pasca David Hume, hampir semua filosof dan teolog barat menerima gagasan dan pandangannya mengenai definisi mukjizat, di antara pengikut setia teori Hume adalah Richard Swinburne seorang guru filsafat universitas Oxford Inggris yang sangat menekankan pengertian mukjizat sebagai sesuatu yang berlawanan dan bertolak belakang dengan hukum alam. Ia berkata tentang perkara mukjizat, “Suatu peristiwa yang merubah hukum alam, kalau kejadian tersebut semakin ajaib, aneh, istimewa dan luar biasa maka semakin terhitung sebagai perbuatan langsung Tuhan.”[5]

Swinburne juga menambahkan konsep lain tentang definisi mukjizat di samping pengertian di atas sebagai berikut: pertama adalah faktor yang menyebabkan perubahan dan penghapusan hukum-hukum alam adalah juga perbuatan Tuhan, dan kedua ialah memiliki kandungan dan warna keagamaan. Dalam pandangannya, dengan menggabungkan tiga unsur pengertian di atas maka diperoleh definisi mukjizat yang bersifat menyeluruh yang dapat diterima oleh masyarakat theisme (Islam, Kristen dan Yahudi).[6]
 
3. Peristiwa ajaib dan bermakna
Sebagian orang tidak menerima bahwa perbuatan mukjizat Tuhan itu harus dipandang sebagai suatu kejadian yang tak dapat dijelaskan secara rasional, tak empiris dan tak sesuai dengan hukum-hukum alam. Peristiwa tersebut bahkan dapat dijabarkan dan dianalisa sesuai dengan sebab-sebab dan faktor-faktor alami walaupun untuk sebagian orang kejadian tersebut tetap menjadi hal yang mukjizat. Orang yang berpandangan seperti itu adalah R.F. Holand seorang filosof asal Amerika. Dia berkata, “Terkadang muncul sebuah peristiwa yang berpijak pada sebab-sebab alami dimana sangat jarang terjadi dan secara umum bertentangan dan berlawanan dengan peristiwa-peristiwa yang sering terjadi, peristiwa yang aneh tersebut sangat erat hubungannya dengan hakikat kehidupan sebagian manusia,  kebutuhannya, harapan dan cita-citanya, dan karena peristiwa tersebut sangat berperan penting dalam dimensi kebahagian dan kesengsaraannya maka timbullah perasaan yang menakjubkan, mengesankan, penuh arti dan berusaha ditafsirkan berdasarkan kerangka agama sebagai pemberian Tuhan dan mukjizat dari-Nya.”[7]

Definisi mukjizat di atas murni berangkat dari pemahaman umum masyarakat religius tentang masalah mukjizat dimana hanya dipahami sebagai peristiwa ajaib, aneh, luar biasa, abnormal dan asing, oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori mukjizat yang hadir dalam kitab-kitab suci agama. Maka dari itu, definisi mukjizat tetap dipahami sebagai peristiwa yang tak seirama dengan hukum alam dan mengandung pesan suci agama, penting dan bermakna.

4. Definisi mukjizat dalam perspektif teolog Muslim
Mukjizat dalam pandangan teolog muslim pada umumnya diyakini dan diposisikan sebagai alat atau perantara dalam menetapkan kenabian bagi pembawa mukjizat itu sendiri. Para teolog dalam pembahasan kenabian berusaha menempatkan mukjizat sebagai alat legitimasi atas pengakuan seseorang tentang kebenaran kenabiannya (baca: utusan Tuhan) khususnya untuk orang-orang awam[8]. Maka dari itu, teolog ‘Ashaduddin Iji menyimpulkan bahwa masalah mukjizat tersebut hanya bertujuan untuk membuktikan dan menetapkan kebenaran kenabian dan di samping itu mukjizat tersebut harus bersyarat di antaranya: aneh, asing, ajaib, abnormal dan bersifat menantang. Jika mukjizat tak memiliki syarat tersebut maka tak dapat diterima sebagai
Di antara para teolog Islam terdapat perbedaan kecil dalam penetapan syarat-syarat mukjizat, mereka mendefinisikan mukjizat sebagai berikut, “Suatu perkara yang keluar dari kebiasaan umum atau peristiwa ajaib, luar biasa (ganjil, aneh) dan istimewa (seperti tongkat menjadi ular dan ketidakmampuan orang Arab membuat kitab seperti al-Quran) yang dibawa oleh orang yang mengaku nabi, perkara tersebut harus bersifat menantang atau mengajak orang untuk berbuat hal yang sama. Sebagai contoh, jika orang yang mengaku nabi berkata: saya menyembukan orang buta dengan mukjizat tapi pada saat yang sama dia kehilangan kemampuan pendengarannya, peristiwa tersebut tidak bisa disebut sebagai mukjizat”.[10]

Secara umum dapat digambarkan bahwa syarat-syarat mukjizat adalah: 1. Perkara yang keluar dari kebiasaan umum, ajaib, aneh, dan istimewa, 2. Perkara itu muncul bersamaan dengan pengakuan kenabian seseorang, 3. Peristiwa mukjizat karena berhubungan dengan pengakuan seorang akan kenabian, maka dari itu, mukjizat mesti mengandung sisi penantangan dalam rangka mengajak semua orang untuk berbuat hal yang sama.

5. Perbandingan pengertian “peristiwa ajaib” dan makna “bertolak belakang dengan hukum alam”
Apakah pengertian “peristiwa aneh, ajaib dan istimewa (khâriq al-‘adat) setara dengan makna “berlawanan dengan kebiasaan alami” ataukah secara hakiki disebut sebagai peristiwa yang tak dapat dipahami sesuai dengan hukum-hukum alam? Dalam pandangan teolog Islam pengertian ” peristiwa ajaib” dalam definisi mukjizat bersandar pada peristiwa seperti tongkat menjadi ular besar, tak terbakar api dan … dimana secara lahiriah hukum sebab-akibat natural tak berlaku atau terputus, dengan demikian peristiwa tersebut menjadi peristiwa yang sangat jarang terjadi, luar biasa, unik, aneh, ganjil, istimewa dan menakjubkan.

Para teolog Asy’ari – aliran teologi Islam yang menolak hukum kausalitas – berpandangan bahwa sebab-sebab natural tersebut tiada lain adalah “kebiasaan Tuhan” dalam berbuat secara tak langsung di alam ini, karena dalam pandangan mereka terwujudnya keharmonisan dan keteraturan di antara partikularitas alam tidak berpijak pada hubungan kausalitas (sebab-akibat) dan kesesuaian yang nampak di alam tiada lain adalah kebersusulan dan keberlanjutan peristiwa-peristiwa yang secara langsung dicipta oleh Tuhan.[11] Oleh karena itu, “peristiwa ajaib” dalam pandangan mereka hanya bermakna bahwa Tuhan terkadang secara lahiriah berkehendak dan berbuat sesuatu yang kelihatan “berlawanan” dan “bertentangan” dengan pola “kebiasaan umum” yang terjadi di alam materi ini. Sebenarnya, “kebiasaan umum” yang dipahami aliran Asy’ari sesuai dengan pandangan para filosof tentang kausalitas.

Para filososf Islam berkeyakinan bahwa sistem vertikal gradasional dari rangkaian sebab-akibat (baca: teori kausalitas) yang mendasari tatanan alam dan keseluruhan keharmonisan alam berpijak pada hubungan kausalitas antara bagian-bagiannya. Maka dari itu, pengertian “peristiwa ajaib dan luar biasa” dalam definisi mukjizat berdasarkan pandangan para filosof adalah peristiwa yang terjadi di alam hanya merupakan efek perubahan pada sisi luar dan permukaan dari hubungan sebab-akibat (hubungan sebab-akibat partikular) dan bukan pada wilayah hukum universal sebab-akibat (kausalitas), jadi sebenarnya mukjizat itu terjadi di alam tak mungkin lepas dari pengaruh hukum-hukum kausalitas universal.[12]

Mukjizat, Karamah, I’anat dan Ihânat
Mukjizat adalah suatu peristiwa ajaib yang disertai dengan penantangan dalam rangka menetapkan posisi kenabian, sisi penantangan inilah yang menjadikannya berbeda secara substansial dengan peristiwa-peristiwa lain yang juga ajaib. Jika suatu peristiwa ajaib terjadi karena pengaruh sebuah kehendak dari jiwa suci seorang wali Tuhan maka kejadian ini dinamakan karamah, tapi kalau sesuatu terjadi karena efek terkabulnya doa seorang hamba sholeh maka disebut i’ânat. Timbulnya suatu peristiwa aneh dan ajaib karena faktor-faktor, sebab-sebab dan perantara-perantara yang bisa diperoleh dari proses belajar, hal demikian ini disebut sihir, jika sihir ini digunakan untuk melegitimasi kepalsuan kenabiannya maka ia dinamakan ihânat, seperti peristiwa Musailamah yang mengaku seorang nabi setelah nabi Islam dimana “keajaiban” yang ditampilkannya adalah  menjatuhkan air ludahnya ke dalam sumur sehingga air sumur menjadi bertambah, tapi air sumur yang bertambah itu kemudian menjadi kering, keringnya air sumur tersebut merupakan sesuatu yang berlawanan dengan hakikat penantangannya (air sumur yang tadinya bertambah tak semestinya mengering). Realitas tersebut tidak sesuai dengan hakikat penantangannya, maka dari itu, peristiwa ajaib yang ditampilkannya tak dapat dikategorikan kedalam bentuk mukjizat dan berujung pada penyingkapan kebohongan akan kenabiannya.

Kekhususan mukjizat adalah karena memanfaatkan kekuatan mutlak Tuhan atau dengan ungkapan lain, mukjizat adalah sejenis peristiwa ajaib yang memunculkan secara nyata kekuasaan Tuhan dan nabi yang sebagai perantara lahirnya peristiwa tersebut membawa pesan suci dari Sang Pencipta. Selain peristiwa tersebut yang memang sangat ajaib, hakikat risalah nabi itu sendiri juga tergolong hal yang aneh dan istimewa serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu dan para nabi juga menganggap bahwa peristiwa yang terjadi itu bersifat aneh, ajaib dan luar biasa. Di balik kejadian aneh tersebut nampak nyata kekuasaan dan kekuatan mutlak Tuhan sehingga dengan ini tertegaskan hubungan khusus seseorang dengan Tuhannya dan juga sebagai bukti riil tentang kenabiannya.

Mukjizat karena merupakan peristiwa yang secara langsung mengandung tanda kekuasaan dan kekuatan mutlak Tuhan maka tak dapat tertandingi dan teratasi oleh siapapun, dan inilah rahasia dimensi penantangan yang menyertai setiap mukjizat seluruh nabi.

Probabilitas Mukjizat
Mungkinkah mukjizat itu terwujud? Apakah Tuhan terkadang menampakkan mukjizat dalam tatanan alam semesta? Probabilitas mukjizat dihadapkan dengan dua masalah: Pertama, anggapan bahwa mukjizat itu adalah perubahan hukum alam.
Dalam masalah ini ada dua bentuk pertanyaan yang dapat diungkapkan:
1. Apakah mukjizat, dengan pengertian perubahan hukum alam, secara makna tidak saling berkontradiksi? 2. Apakah mungkin secara ilmiah terjadi perubahan hukum alam oleh faktor-faktor supra natural? Apakah ilmu dapat memahami mukjizat yang pernah terjadi? Dan kedua, bagaimana menyelaraskan antara mukjizat dan hukum kausalitas ?

Di bawah ini, kami akan uraikan dan jelaskan secara terperinci jawaban-jawaban dari masalah-masalah tersebut.

1. Keserasian pengertian mukjizat
Apakah pengertian mukjizat itu sendiri saling berkontradiksi? Sebagian teolog beranggapan bahwa jika kita memandang mukjizat itu sebagai perubahan hukum alam maka akan berhadapan dengan dialektika silogisme atau kondisi yang dilematis berkaitan dengan hukum dan pengecualiannya. Ketika kita berkata bahwa mukjizat adalah suatu kejadian yang tak sesuai dengan alur pergerakan dan keteraturan alam serta mengubah dan merombak hukum, maka secara implisit kita membenarkan bahwa mukjizat tetap mengikuti kaidah keteraturan alam dan karena berdasarkan kaidah ini mukjizat menjadi hal yang dikecualikan, karena pengecualian dalam hal ini memiliki tempat dan juga bersandar pada hukum keteraturan alam. Di sini kita bertemu dengan persoalan bahwa dari satu sisi harus ada hukum yang pasti dan tak berubah dimana secara teratur menampakkan cara kerja alam dan pada sisi yang lain hadirnya pengecualian dalam hukum berarti bahwa tak ada satu hukum seperti ini, karena secara praktis terjadi pembalikan hukum dan kaidah maka secara riil tak dapat dikatakan sebagai hukum alam.

Alastair Makinnon dengan bersandar pada kedudukan logika dan epistimologi dari penemuan-penemuan ilmiah beranggapan bahwa dalam mukjizat akan ditemukan kondisi-kondisi dilematis dan dialektika silogisme. Alastair berkata, “Kaidah-kaidah ilmiah yang bersumber dari hukum-hukum alam merupakan kesimpulan dari keseluruhan realitas-realitas yang terjadi di alam; dengan ungkapan lain, penjelasan ringkas tentang keberwujudan segala sesuatu di alam nyata dan informasi tentang kejadian-kejadian aktual. Oleh karena itu – dari satu sisi – hukum alam, berdasarkan definisi Makinnon meliputi segala sesuatu yang terwujud di alam, harus senantiasa diubah dan diseimbangkan sedemikian rupa sehingga mencakup semua peristiwa yang terjadi. Dari sisi lain mukjizat, dengan berpijak pada definisi, tak masuk dalam cakupan peristiwa khusus dalam hukum tersebut. Ini menunjukkan bahwa definisi mukjizat – yang berarti perubahan hukum alam dimana dipahamai sebagai pengecualian dalam suatu kaidah dimana kaidah ini sendiri tak menerima pengecualian – itu sendiri mengandung kontradiksi.[13]

Argumentasi di atas, sebagaimana perkataan Michael Patrison dan sebagian filosof agama, berpijak pada asumsi bahwa setiap peristiwa memiliki sebab natural. Oleh karena itu, asumsi keberadaan mukjizat tak sesuai dengan keseluruhan hukum yang ada. Karena hukum alam meliputi segala realitas yang terjadi berdasarkan syarat dan kondisi alam. Akan tetapi hipotesa yang berkaitan dengan mukjizat sebagai perubahan dan perombakan hukum alam adalah adanya suatu faktor yang berpengaruh -faktor-faktor non alam yang berada di luar sistem alam dimana faktor itu dipandang sebagai bentuk pengecualian- mewujudkan mukjizat atau menciptakan peristiwa ajaib. Dengan demikian, masalah mukjizat bukan menunjukkan adanya pembalikan dan perubahan dalam hukum alam sehingga dikatakan mesti hadir perubahan padanya supaya mencakup dan meliputi bentuk peristiwa ajaib semacam itu. Karena hukum alam hanyalah penjelasan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan syarat-syarat dan kondisi-kondisi alam, maka pandangan yang diungkapkan Michael Patrison di atas mesti- semua peristiwa memiliki sebab-sebab natural- dijabarkan dan ditafsirkan hanya dalam koridor dan kerangka hukum-hukum alam. [14]

2. Kontradiksi Mukjizat dan Ilmu
Ilmu tak mampu menetapkan bahwa mukjizat mustahil terjadi. Pernyataan ini diyakini oleh mayoritas para filosof kontemporer dan ilmuwan mutakhir dari berbagai disiplin ilmu. Berkaitan dengan pandangan ini, kita mencukupkan mengutip dua pandangan dan perspektif filosof- filosof kontemporer di bawah ini, sebagai berikut:
a. R.F. Holland berkata, “Berdasarkan pandangan filsafat tak ada dalil-dalil yang pasti tentang kemustahilan terjadinya peristiwa-peristiwa yang merubah hukum alam. Sesuatu yang mustahil terwujud secara ilmiah bukan berarti juga mustahil terjadi secara filosofis”. Gabungan dari dua perspektif ini, dimana kita yakini suatu kejadian secara ilmiah mustahil terjadi – dengan bersandar pada satu anggapan bahwa penemuan-penemuan ilmiah sebagai penjelasan tentang hukum alam dimana peristiwa X mustahil terjadi berdasarkan syarat dan kondisi khusus alam – dan dengan realitas ini kita dapat menerima gagasan dan perspektif Holland, tapi dengan berpijak pada dalil-dalil dan bukti-bukti atau dengan bersandar pada tiga pandangan dan perspektif sebagai berikut:
  1. Tak mustahil ada perubahan hukum alam dalam bidang filsafat;
  2. Ada kemungkinan secara ilmiah kita tak mengetahui adanya suatu sebab natural yang berpengaruh dalam peristiwa mukjizat. Sebagai contoh, secara ilmiah, mayat tak mungkin hidup kembali, tapi adanya kenyataan yang tak sesuai dengan ini menyebabkan merosotnya keyakinan atas penemuan dan eksperimen ilmiah;
  3. Penemuan-penemuan ilmiah tak dapat diletakkan sebagai parameter yang pasti untuk menolak setiap bukti otentik dan pengalaman tentang terjadinya peristiwa mukjizat, karena ketika kita menerima parameter ilmiah tersebut dan dijadikan standar penolakan segala bentuk penyaksian langsung dan dalil yang mendukung realitas mukjizat maka sesungguhnya kita merusak pondasi keyakinan kita sendiri pada penemuan-penemuan ilmiah. Jika dalam perkara yang partikular dan bukti-bukti yang riil kita tak menganggap itu sebagai ilmu lantas bagaimana kita bisa meyakini kaidah-kaidah ilmiah yang berpijak pada penemuan, eksperimen dan observasi ilmiah? Oleh karena itu, kita dapat melakukan berbagai eksperimen terhadap mukjizat sebagai peristiwa yang dipandang merubah hukum alam yang secara ilmiah adalah mustahil atau kita dapat meyakininya dengan membandingkan dengan sudut pandang metafisika.[15]
b. Charles David Broad berkata bahwa seseorang yang tak meyakini metode induksi (al-istiqra) dalam ilmu logika dan hadirnya ilmu-ilmu empiris yang berpijak pada metode induksi harus memahami bahwa dia mesti menerima bahwa pengertian dari kebenaran ilmiah pondasi-pondasi agama adalah sampai sekarang ini belum ditemukan sesuatu yang bertentangan dengannya. Metode induksi dalam ilmu logika tak mengantarkan pada ilmu dan keyakinan sempurna, maka dari itu tak mustahil jika ada laporan-laporan yang memuat tentang perubahan hukum alam. Lebih dari itu, bukan hanya perwujudan mukjizat adalah mustahil tapi secara riil mukjizat telah terwujud dan terjadi di alam eksternal. Pada zaman sekarang ini, fenomena seperti telepati, kemampuan membaca pikiran orang dan berbagai bentuk ramalan telah diterima oleh semua orang sebagai peristiwa yang benar dan nyata walaupun bersifat aneh.[16]

3. Kesesuaian Mukjizat dengan Kaidah Filsafat
Mukjizat merupakan kejadian yang disebabkan oleh pengaruh langsung faktor supra natural dan faktor yang berperan aktif dalam mewujudkan suatu peristiwa alam ini dipandang tak sesuai dengan kaidah keselarasan (al-senkhiyah) antara sebab (al-‘illah) dan akibat (al-ma’lul), karena berdasarkan kaidah ini adalah mustahil tercipta suatu akibat atau fenomena dari sembarang sebab, tetapi harus ada keidentikan dan kesesuaian di antara keduanya dan jika tidak demikian maka setiap sebab akan berakibat sembarang (tak pasti).

Kritik atas pernyataan ini, secara luas dibahas dalam teologi Islam dan kemungkinan ini merupakan inti penolakan aliran teologi Asy’ari khususnya Al-Gazali tentang kaidah kausalitas dengan tujuan mempertahankan mukjizat para nabi dan rasul. Kritikan ini sangat beralasan ketika dialamatkan kepada orang yang, dengan teori kausalitas dan hubungan keniscayaan antara sebab dan akibat serta keselarasan antara keduanya, ingin menjelaskan hakikat mukjizat. Maka dari itu, orang yang tak menerima pandangan itu dari dimensi filsafat maka dari sudut pandang ilmu dan empirisme mereka tak mungkin dapat membuktikan kemustahilan keberadaan mukjizat secara logika dan rasional. Karena alasan ini, David Hume dan para pemikir baru setelahnya tak menjabarkan alasan logis dan rasional tentang persoalan probabilitas kewujudan mukjizat, tetapi lebih menekankan pada pembahasan dimensi rasionalitas dan parameter kemungkinan terjadinya mukjizat yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab suci agama. Para filosof Islam secara umum beranggapan ada kesesuaian mukjizat dengan kaidah keselarasan sebab-akibat dan di bawah ini secara terperinci menjawab keseluruhan kritikan di atas:
Pertama, mesti dibedakan antara dua jenis hubungan sebab-akibat, salah satu hubungan sebab-akibat dari jenis sebab pemberi wujud (al-‘illah al-ijâd) dimana sebab memberikan wujud kepada akibat. Dan kedua, hubungan lain sebab-akibat dari jenis sebab persiapan (al-‘illah al-mu’iddah) dimana sebab menghadirkan gerak di dalam wujud akibat sedemikian sehingga terjadi perubahan dan pergerakan. Keselarasan yang mesti antara sebab dan akibat untuk jenis yang pertama adalah sebab tersebut niscaya memiliki kesempurnaan wujud yang ada pada akibat, jika tidak maka mustahil sebab dapat memberikan kesempurnaan wujud kepada akibat (sesuatu yang tak punya mustahil dapat memberi). Maka jelaslah dari sudut ini bahwa kritikan tersebut bukan dialamatkan pada mukjizat. Keselarasan yang niscaya antara sebab dan akibat untuk jenis yang kedua adalah mesti ada kesesuaian antara keduanya, kalau tidak demikian, maka suatu akibat tertentu dapat terpancar dan tercipta dari sembarang sebab, misalnya es (sebab) dapat menghasilkan panas (akibat) atau api mengakibatkan dingin.
Kedua, menetapkan secara pasti bentuk keselarasan antara sebab dan akibat khusus, yaitu bagaimana mengetahui dan menemukan faktor dan tolak ukur sehingga setiap fenomena dan akibat memiliki keselarasan dan juga ketakselarasan, jadi faktor-faktor keselarasan mustahil diperoleh dan diketahui lewat metode ilmiah dan empiris. Metode ilmiah dan empiris hanya akan bermanfaat jika seluruh mekanisme alam materi secara partikular telah dieksperimenkan, tetapi kalaupun hal itu dilakukan secara sempurna, kita juga tak semberono menolak suatu kemungkinan adanya faktor supranatural yang berada “di luar” dari sistem alam ini, bagi kita belum jelas dan belum ditemukan adanya satu mekanisme penataan internal yang mengatur segala sistem pergerakan universal alam dimana dengan mengetahui hakikat dari sistem tersebut kita dapat memahami pengaruh ajaib dan aneh dari satu fenomena dan peristiwa mukjizat tanpa mesti mengubah pondasi hubungan keselarasan sebab-akibat.

Menurut pandangan filosof Ibnu Sina, sebab-sebab dari peristiwa dan kejadian yang aneh dan ajaib, termasuk masalah mukjizat, adalah terbatas dalam tiga perkara:
  1. Kekhususan, keadaan dan kondisi jiwa dimana hadir untuk sebagian individu-individu manusia;
  2. Kekhususan natural dan alami unsur-unsur materi, seperti kekhususan menarik besi dengan perantaraan unsur magnetis;
  3. Benda-benda langit memiliki hubungan khusus dengan karakter, keadaan dan bentuk sebagian benda-benda bumi.

Menurutnya sihir, karamah dan mukjizat dikategorikan dalam perkara pertama, yakni semua berasal dan tercipta dari jiwa manusia[17]. Allamah Thabathabai (Qs) menekankan pandangan ini dalam menjelaskan masalah mukjizat bahwa setiap peristiwa yang terjadi di alam juga mempunyai sebab-sebab langsung di alam. Tetapi perbedaan mukjizat dengan kejadian-kejadian yang lain adalah jumlah dari sebab-sebab alam akan menjadi aktif ketika digunakan, berdasarkan izin Tuhan, dan diperintah oleh manusia sempurna yang mempunyai hubungan “sangat dekat” dengan Tuhan dan hubungan khusus dengan sebab-sebab lansung di alam.

Oleh karena itu, dalam perwujudan mukjizat tak terjadi perubahan pada tatanan kausalitas, keselarasan sebab-akibat dan hukum alam, bahkan perwujudan tersebut karena ada pembatasan suatu hukum dengan hukum yang lain.

Sebagai contoh, seorang dokter dalam mengobati penyakit manusia akan merujuk kepada hukum-hukum kimiawi yang berpengaruh pada sistem badan manusia, tetapi jika ditemukan suatu hukum-hukum jiwa dan ruh manusia yang sangat ampuh dalam pengobatan penyakit manusia maka ini bukan berarti bahwa hukum-hukum kimiawi tersebut tak memiliki efek lagi, tetapi diartikan bahwa dalam penyembuhan penyakit seperti ini ada faktor lain, yang bukan faktor kimiawi, yang juga ikut berpengaruh aktif.[18]

Untuk memahami secara benar permasalahan ini dimana para filosof Islam menguraikan mukjizat itu berdasarkan kaidah-kaidah filsafat. Fazlur Rahman, penulis dan peneliti Pakistan, menafsirkan mukjizat itu berdasarkan teori Newton tentang keteraturan maujud di alam. Ia berkata, “pandangan filosof Islam tentang keteraturan maujud di alam dan kemestian sebab-akibat mempunyai perbedaan mendasar dengan pandangan dunia Newton tentang mekanisme alam dan keniscayaan sebab-akibat mekanik dan menurut gagasan filosof Islam yang dipelopori oleh Ibnu Sina, alam adalah suatu organik hidup yang memiliki cinta universal, menyatukan semua bagian-bagiannya, benda-benda materi berdasarkan potensi yang dimilikinya terus berproses kearah pencapaian kesempurnaan dan maujud yang telah sempurna yang karena memiliki hubungan dekat dengan maujud yang paling sempurna mendapatkan kekhususan untuk mempengaruhi benda-benda itu sesuai dengan kehendaknya, keteraturan alam diarahkan dengan cinta, kehendak dan tujuan.[19]
 
4. Mustahil Menjelaskan Mukjizat Melalui Sebab-Sebab Natural       
Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa mukjizat itu tak dapat dijelaskan dengan hukum alam? Dari zaman David Hume hingga zaman sekarang ini mayoritas filosof dan pemikir barat menyetujui perubahan hukum alam sebagai definisi mukjizat, dengan ungkapan lain bahwa kelompok ini beranggapan bahwa mukjizat merupakan satu peristiwa yang mustahil diuraikan dengan hukum alam. Filosof Muslim mencari sebab-sebab khusus yang menghubungkan alam ini dengan faktor-faktor supranatural untuk menjabarkan secara hakiki persoalan mukjizat. Dan mereka meyakini bahwa jiwa suci para nabi karena kedekatannya dengan Sumber Sebab menjadi faktor utama dan hakiki dalam perwujudan peristiwa ajaib yang disebut mukjizat.

Teolog Muslim mendefinisikan mukjizat sebagai peristiwa yang ajaib dimana pengaruh langsung Tuhan menyebabkan terjadi perubahan dalam proses alami. Maka dari itu, dengan berpijak pada definisi ini dapat disimpulkan bahwa mukjizat adalah peristiwa yang tak dapat dipahami dengan pendekatan hukum alam. Dengan kesimpulan ini, muncul sebuah pertanyaan bahwa apakah persoalan mukjizat untuk selamanya tak dapat diungkap dengan sebab-sebab natural? Apa ada sebuah metode yang dapat menjelaskan bahwa peristiwa (B) (sebagai contoh, seseorang yang hidup kembali setelah meninggal selama tiga hari) dianggap merubah hukum alam? Dalam masalah ini terdapat beberapa teori dan pandangan:

1. Anthony Flew dan John Hosperes keduanya berpandangan bahwa kita tidak mempunyai metode dan parameter untuk mengenal dan memilah mana peristiwa alam dan kejadian non alam, begitu pula kita tak mampu memastikan bahwa mukjizat merupakan peristiwa yang tak bisa dijelaskan dengan hukum alam. Sebagai contoh, para ilmuwan yang menghadapi suatu peristiwa yang tak sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, dalam masalah ini mereka tak dapat menolak adanya kemungkinan bahwa di masa yang akan datang penelitian ilmiah tentang keberadaan peristiwa tersebut dapat diselesaikan dengan kaidah-kaidah ilmiah. Selain itu, konsekuensi metode ilmu, dimana para ilmuwan berpijak padanya dan juga pijakan validitas sebuah penelitian ilmiah, adalah senantiasa melakukan observasi guna mencari alasan ilmiah sebuah peristiwa dan tidak dikatakan bahwa peristiwa tertentu mustahil mendapatkan pembenaran ilmiah dan bahkan asumsi ilmu adalah segala peristiwa yang terjadi sesuai dengan kaidah dan hukum alam, oleh karena itu dilakukan segala upaya untuk menyingkap segala rahasia kejadian-kejadian alam.[20]

2. Richard Swinburne berpandangan bahwa terdapat tolok ukur dan metode untuk memilah perkara supranatural dari perkara-perkara alam materi. Dia memulai pembahasan dengan sebuah pertanyaan: apakah dapat dijelaskan secara rasional bahwa mukjizat mengubah hukum? Tolok ukur yang ditentukan oleh Richard dalam mengetahui apakah sebuah peristiwa telah mengubah hukum alam atau tidak adalah kalau peristiwa (baca: mukjizat), yang terjadi karena syarat dan kondisi tertentu, tak dapat berulang maka kejadian itu bukan hukum alam, jika peristiwa tersebut tak dapat berulang tapi pada saat yang sama peristiwa tersebut dikatakan sebagai hukum alam maka dalam hal ini mukjizat tersebut digolongkan sebagai peristiwa yang mengubah hukum alam.

Richard sendiri memaparkan pertanyaan tentang bagaimana cara mengetahui peristiwa tersebut tak dapat berulang hingga dikatakan mengubah hukum alam? Dia menjawab, “Alasan atas keberulangan sebuah peristiwa adalah peristiwa (mukjizat) yang telah terjadi dan akan diulang kejadiannya harus berada dalam kemudahan proses implementasi serta dapat diamati dan dijelaskan proses kejadiannya sehingga peristiwa sebelumnya terungkap dan peristiwa yang terakhir dapat dikatakan secara hakiki sama dengan peristiwa sebelumnya. Tapi jika peristiwa terakhir kejadiannya jauh lebih sulit dari peristiwa sebelumnya dan bahkan tak dapat diuji proses kejadiannya maka peristiwa ini disebut sebagai mengubah hukum alam dan peristiwa yang dapat teruji adalah hukum alam”.[21]

Apa yang dikatakan di atas berpijak pada asumsi ini bahwa hukum-hukum alam bersifat universal. Maka dari itu, Richard dalam mengkaji keseluruhan dimensi permasalahan mukjizat mengajukan suatu asumsi bahwa kalau hukum-hukum alam bersifat partikular maka tak satupun peristiwa bisa dikatakan mengubah hukum alam, karena dengan hukum universal kita dapat menentukan secara mutlak peristiwa mana yang tergolong bertentangan dan mengubah hukum-hukum alam, ini berbeda dengan hukum-hukum partikular.
Dengan penjabaran tersebut, Richard  menolak  kemungkinan bahwa di masa akan datang terjadi perubahan dan tidak lagi sesuai dengan apa yang telah ditetapkan secara ilmiah pada masa kini, dan kalau ada perubahan maka sesungguhnya manusia belum sampai memahami secara hakiki hukum universal yang dengannya dia dapat menguraikan suatu peristiwa secara rasional dan ilmiah atau manusia telah meraih hukum universal tapi hubungan hukum tersebut dengan peristiwa yang terjadi sangat rumit sehingga ditinggalkan oleh ilmuwan pada zaman itu dan menjadi tidak jelas.

Michael Patrison beranggapan, dari sudut pandang agama,  bahwa pemikiran Richard tak terlalu penting, walaupun para filosof dan ilmuwan cenderung ingin mengetahui proses perubahan hukum alam dan berupaya menyingkap rahasia-rahasia hukum alam, tapi mayoritas orang-orang beragama tidak tertarik dengan masalah itu. Yang terpenting bagi mereka adalah kalau Tuhan tidak mencipta peristiwa tersebut (baca: mukjizat) apakah pada zaman itu tetap terjadi peristiwa semacam itu?

Menurut Michael Patrison, peristiwa ajaib dan luar biasa tersebut tak dapat dijelaskan secara rasional dan ilmiah, pandangan ini sesuai dengan gagasan para teolog Muslim yang menganggap bahwa peristiwa ajaib (mukjizat) mustahil dijelaskan secara rasional dan dibuktikan secara ilmiah, karena kalau hal itu terjadi, maka mukjizat bukan lagi sebagai dalil dan bukti yang kuat tentang kenabian karena dimensi penantangan yang menyertai mukjizat tersebut telah sirna.

Adanya penantangan yang menyertai mukjizat sebenarnya merupakan bukti paling kuat akan kedekatan hubungan para nabi dan rasul dengan Yang Maha Kuasa. Mukjizat adalah lambang, alamat dan simbol kenabian. Dan ketidakmampuan hukum-hukum alam dalam menjelaskan proses perwujudan mukjizat dan menyingkap rahasia-rahasia kejadiannya merupakan hikmah, kehendak dan kebijaksanaan Tuhan untuk membuktikan para nabi dan rasul hakiki guna membimbing dan mengarahkan umat manusia hingga sampai ke tujuan penciptaanya yaitu kebahagian dan kesempurnaan hakiki di alam akhirat.


Referensi:
[1] . Encyclopedia Britanica, vol. 15, hal. 585.
[2] . S.T. Thomas Aquinas, Dar Tadbir wa Hukumat-e Ilahi, penerjemah: Manucehr Buzurgmehr, jilid 1, hal. 79-80.
[3] . David Hume, Darbore-ye Mu’jizat, penerjemah: Muhammad Amin Ahmadi, hal. 410.
[4] . Swinburne, Richard, Miracles, penerjemah: Muhammad Amin Ahmadi, hal. 1-9..
[5] . Swinburne, Richard, The possibility of Miracles, penerjemah: Muhammad Amin Ahmadi, hal 276.
[6] . Swinburne, Richard, Miracles, hal. 1-9.
[7] . Holand, R.F, The Miraculous, penerjemah: Manucehr Buzurgmehr, hal. 53.
[8] . Ibnu Sina, Husain Bin Abdullah, Al-Ilahiyyat min al-Syifa, hal. 442.
[9] . Jarjani, Sayyid Syarifuddin Ali Bin Muhammad, Syarh al-Mawaqif, hal. 222.
[10] . Thusi, Khajah Nashiruddin, Talkhis al-Muhashshal, hal. 489.
[11] . Al-Gazali, Abu Hamid Muhammad, Tahafat al-Falasifah, hal. 169.
[12] . Ibnu Sina, Al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid. 3, hal. 395.
[13]. Makinnon, Alastair, Miracle and Paradox, in Miracles, ed. Richard Swinburne, penerjemah: Muhammad Amin Ahmadi hal. 52.
[14] . Makie, J.L, The Miracle of Theism, penerjemah: Manucehr Buzurgmehr, hal. 20.
[15] . Holland, R.F, The Miraculous, hal. 62.
[16] . Broad, C.D, Religion, Philosophy dan Psychical Research, penerjemah: Muhammad Abdi, hal. 233.
[17]. Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal 417.
[18] . Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, jilid 1, hal. 72. Dan Murtadha Muthahari, Majmu-e Azar, jilid 4, hal. 461. 
[19] . Rahman, F, Prophecy in Islam, hal. 52. Penerjemah: Pasandideh Karimi
[20] . Flew, Anthony, “Miracles: in Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, hal. 348.
[21] . Swinburne, Richard, Reason and Religious Belief, hal. 165. Penerjemah: Muhammad Amin Ahmadi

*****

Implikasi Mukjizat Terhadap Kenabian
Persoalan pertama yang muncul berkaitan dengan implikasi mukjizat terhadap kenabian adalah apa yang sebenarnya ingin kita buktikan dengan mukjizat, apakah dengan mukjizat kita berargumentasi tentang pelaku mukjizat (baca: Nabi), ataukah kita berdalil tentang kebenaran ajaran Nabi, ataukah yang kita inginkan adalah kedua-duanya? Dalam hal ini, tidak ada fokus dan kejelasan pandangan dari para pemikir dan teolog Barat.

David Hume menyatakan bahwa orang-orang beriman berargumentasi dengan mukjizat berhubungan dengan risalah sang penyelamat (Isa Al-Masih As)[1]. Thomas Aquinas dan Jhon Lock keduanya beranggapan bahwa mukjizat berimplikasi terhadap kebenaran ajaran dan risalah keimanan dan lebih khusus lagi berhubungan dengan dimensi kebenaran ajaran yang diperdebatkan oleh agama-agama, dengan bersandar pada anggapan itu mereka berkata bahwa ajaran Kristen tentang ketuhanan Masehi ditetapkan dengan perantaraan mukjizatnya.

Perspektif tersebut dapat menjadikan mukjizat sebagai argumen atas kebenaran ajaran dan risalah salah satu aliran khusus, dan pandangan tersebut kurang lebih masih terus dianut oleh teolog tradisional Barat. Sebagai contoh, Richard Swinburne menyatakan bahwa dengan perantaraan mukjizat istimewa (terkhusus) Nabi Isa As dua ajaran Kristen bisa dibuktikan, diantaranya: pertama, penegasan reinkarnasi Tuhan dalam diri Isa Al-Masih As dan kedua, penolakan tentang kenabian terakhir untuk Nabi Muhammad saaw. Ini berarti bahwa mukjizat beliau dipahami sebagai dalil terhadap kebenaran ajarannya[2]. Richard Purtiil dan William Poly (1743-1805 M) bersandar pada mukjizat Isa Al-Masih As untuk membuktikan kebenaran ajaran Kristen atas agama-agama yang lain.

Dalam masalah tersebut, Richard Swinburne dalam beberapa risalahnya menegaskan bahwa implikasi mukjizat adalah menetapkan kenabian sang pembawa mukjizat. Ia berkata, “Ajaran dan pengajaran para Nabi sangat penting dan bermanfaat untuk kehidupan manusia, tetapi jalan untuk menegaskan kebenaran ajaran mereka tiada lain adalah bertemu langsung dengannya dan mendengar perkataan-Nya (wahyu), sementara sekarang ini mustahil memiliki keduanya (wahyu dan Nabi). Bukti dan dalil untuk membuktikan sang pembawa wahyu – menurut Thomas Aquinas telah ditetapkan oleh majelis Vatikan – sangatlah beragam, inti semua dalil tersebut terfokus pada pembuktian dan penerimaan mukjizat.[3]

Berdasarkan pandangan teolog Kristen tersebut kita tidak dapat menyatakan bahwa mukjizat hanya berimplikasi terhadap penegasan kenabian saja, bahkan juga berhubungan dengan kebenaran ajaran dan risalah sang pelaku mukjizat. Tetapi para teolog Muslim secara mendasar hanya membatasi implikasi mukjizat kepada kebenaran kenabian dan bukan pembuktian kebenaran risalahnya. Karena menurut mereka tidak ada hubungan antara satu perbuatan ajaib (mukjizat) dan kebenaran ajaran seseorang yang melakukan perbuatan yang luar biasa tersebut, dan jika kita ingin mengetahui  kebenaran inti ajarannya langkah pertama yang mesti  kita lakukan adalah membuktikan kenabian orang tersebut dan setelah itu menegaskan nilai-nilai seperti kejujuran, ketulusan dan keterjagaannya dari dosa dan kesalahan (al-‘Ishmah).

Penjabaran Implikasi Mukjizat Terhadap Kenabian
Bagaimana implikasi mukjizat terhadap kenabian? Apakah terdapat hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabian? Apakah implikasi mukjizat semata-mata sebuah penyingkapan yang bersifat personal dan relatif yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman dan kondisi-kondisi khusus seseorang atas perkara mukjizat yang kemudian berujung kepada kepercayaan dan keyakinannya atas suatu ajaran agama? Apakah mukjizat (yang berhubungan dengan ajaran agama) itu sendiri merupakan dalil dan bukti yang kuat dibandingkan dengan burhan (argumen) rasional?
Persoalan-persoalan yang tersebut di atas kurang lebih merupakan masalah mendasar dalam kaitannya dengan implikasi mukjizat. Seseorang yang beranggapan bahwa terdapat hubungan logikal antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabiaan tidak mesti menolak implikasi-implikasi yang lain. Titik sentral yang menjadi subyek perdebatan adalah hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan wahyu. Oleh karena itu, untuk menghindari panjangnya pembahasan, pengkajian ini akan lebih difokuskan pada hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan wahyu (baca: kebenaran pernyataan kenabian). Di bawah ini kita akan mengutip beberapa pandangan para teolog Barat dan teolog Muslim yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut.

Hubungan Rasional antara Mukjizat dan Wahyu menurut Teolog Barat
Dalam perspektif teologi tradisional Kristen, menurut penjelasan Thomas Aquinas dan doktrin gereja Katolik serta keputusan pertama majelis Vatikan, mukjizat merupakan dalil dan bukti kuat atas kebenaran wahyu. Pandangan tersebut masih terus dianut oleh beberapa pemikir dan teolog Kristen seperti, William Poly, Richard Purtiil dan Richard Swinburne.[4]

Dalam hal tersebut, Richard Swinburne berusaha melakukan pemetaan atas masalah tersebut secara serius, ia berupaya menegaskan adanya hubungan logikal dan rasional antara mukjizat dengan kebenaran pernyataan kenabian (wahyu). Penegasan dan penetapan ia secara ringkas dapat disebutkan di bawah ini:
1. Kita telah membuktikan dan meyakini eksistensi Tuhan dengan salah satu dalil dan argumen semisal keteraturan alam;
2. Dengan kaidah-kaidah filsafat kita bisa membuktikan ilmu dan kekuatan (kekuasaan) mutlak Tuhan dan begitupula kita dapat memahami kaidah-kaidah universal tentang akhlak;
3. Manusia tidak mengetahui hakikat dan substansi perkara-perkara dalam kehidupannya, sementara perkara-perkara tersebut tidak dapat diketahui dengan ilmu pengetahuan dan filsafat, perkara-perkara tersebut antara lain: hakikat alam, kedudukan manusia di alam, cara hiudp manusia di alam, cara meraih hidayah dan rahmat Tuhan, cara beribadah kepada Tuhan, hakikat kehidupan setelah mati (alam akhirat) dan bagaimana bisa menggapai kebahagiaan abadi di alam akhirat …;
4. Berdasarkan kebijaksanaan (hikmah), kekuasaan, ilmu dan kasih sayang Tuhan manusia niscaya diberi petunjuk dan hidayah untuk kemaslahatannya, dan petunjuk Tuhan dalam hal ini adalah wahyu yang disampaikan lewat para Nabi dan Rasul-Nya;
5. Tak ada jalan untuk membuktikan dan menegaskan kebenaran perkataan para Nabi dan Rasul kecuali meyakini dan mempercayai bahwa segala perkataan dan ucapan mereka adalah wahyu. Tetapi bagaimana mempercayai bahwa perkataan mereka adalah wahyu?

Menurut Richard Swinburne kita dapat mengkategorikan ucapan dan perkataan mereka sebagai wahyu jika memenuhi berbagai persyaratan (dimana mukjizat sebagai salah satu syaratnya) di bawah ini:
  1. Substansi ajaran para Nabi tidak boleh bertolak belakang dengan kenyataan yang kehidupan dan hukum-hukum ajarannya mesti sesuai dengan kaidah-kaidah akhlak;
  2. Sebagian ajaran-ajarannya secara mendasar dapat dikaji dan dianalisa berdasarkan tolok ukur akal manusia, jadi nilai validitasnya ditentukan oleh akal;
  3. Dalam ajarannya mesti terdapat suatu ramalan yang tidak dapat dilakukan oleh manusia dan juga tergolong sebagai suatu perkara yang bertolak belakang dengan hukum alam;
  4. Kehidupan para Nabi dan Rasul dalam beberapa hal dapat dikategorikan sebagai perkara yang bertolak belakang dengan hukum-hukum alam sehingga dapat melahirkan keyakinan atas kebenaran ajaran yang disampaikannya.          

Sebenarnya tujuan Richard Swinburne adalah – jika memenuhi syarat-syarat tersebut – menunjukkan bahwa mukjizat merupakan perwujudan dan perbuatan Tuhan, mungkin karena inilah ditetapkan bahwa mukjizatnya sang Nabi adalah perbuatan khusus Tuhan dan sekaligus merupakan pengakuan dan peresmian sebagai utusan-Nya. Oleh karena itu, menurut Swinburne jika terdapat seluruh syarat-syarat di atas pada diri seseorang maka dapat dijadikan bukti dan dalil akan kenabiaannya. Implikasi mukjizat tersebut ia jelaskan dalam contoh sebagai berikut: misalnya seorang yang mengaku sebagai pembawa pesan dari seorang raja yang berkuasa di negara yang sangat jauh tempatnya, kita bisa membenarkan pernyataannya kalau kandungan pesannya berhubungan dengan sebuah ramalan tentang suatu kejadian dimana informasi tentang ramalan itu hanya bisa diperoleh dari seseorang yang dekat dengan raja tersebut.

Menurut Swinburne, dimensi pertentangan mukjizat dengan hukum alam dengan perantaraan utusan Tuhan adalah merupakan alamat dan tanda khusus yang hanya diperuntukkan bagi semua utusan-Nya, dan kalau pengertiannya tidak seperti itu – yakni mukjizat bukan tanda dan alamat kebenaran pelaku mukjizat – maka mesti dimaknakan bahwa Tuhan Yang Maha Mengetahui tentang kebaikan mutlak tidak memberi petunjuk dan hidayah (dalam bentuk wahyu) kepada manusia untuk kesempurnaan dan kebaikannya.[5]

Argumentasi Richard Swinburne bergantung pada pembuktian tentang mukjizat tidak dapat diuraikan secara ilmiah dan mukjizat adalah perbuatan Tuhan. Maka dari itu, menjadi sasaran pertanyaan tentang bagaimana kita bisa meyakini bahwa peristiwa mukjizat tersebut mustahil dijabarkan secara ilmiah dan merupakan perbuatan langsung Tuhan? Bagaimana menentukan tolok ukur yang pasti untuk membuktikan perbedaan antara fenomena natural dengan fenomena supranatural?

Sisi lain dari burhan Swinburne adalah menempatkan mukjizat yang merupakan perbuatan Tuhan sebagai alat legitimasi untuk menegaskan sang pembawa mukjizat. Tetapi karena belum ada kejelasan hubungan kemestian antara mukjizat (dari sisi kekusaan dan kekuatan) dengan kebenaran pernyataan kenabiaan (dari sisi ilmu) – implikasi mukjizat dapat diletakkan sebagai legitimasi kenabiaan seseorang kalau diyakini bahwa perkara tersebut tidak akan jatuh ke tangan seorang pembohong yang mengaku Nabi – maka dari itu, burhan tersebut tidak bisa dijadikan sandaran akan implikasi mukjizat.

Hubungan Rasional antara Mukjizat dan Wahyu Menurut Pandangan Teolog Muslim   
Secara umum asumsi penerimaan atas implikasi mukjizat terhadap kenabian bergantung pada beberapa perkara dan pendahuluan yang disebutkan di bawah ini:
1. Menurut pandangan teolog mukjizat adalah perbuatan Tuhan sedangkan menurut perspektif filosof mukjizat merupakan akibat dari jiwa-jiwa suci para Nabi dan Rasul yang karena memiliki hubungan suci dan khusus dengan Sumber Segala Realitas kemudian mendapatkan kekuatan seperti itu;
2. Segala perbuatan Tuhan tidak lepas dari tujuan dan hikmah. Para teolog Muslim meyakini – selain teolog Asy’ariyah – bahwa segala perbuatan Tuhan niscaya dan mesti mengandung maksud dan tujuan;
3. Tujuan mukjizat – sebagaimana dipahami sebagai perbuatan Tuhan – adalah penegasan, penetapan dan pembenaran pernyataan kenabian;
4. Pemberian mukjizat kepada seorang pembohong yang mengaku sebagai Nabi dapat mengakibatkan kesesatan dan kebodohan;
5. Penyesatan dan pembodohan hamba-hamba Tuhan bertolak belakang dengan hikmah dan hidayah-Nya maka dari itu mustahil dilakukan oleh Tuhan. 

Pendahuluan kedua dan kelima ditolak oleh kaum Asy’ariyyah dan sebagian kritikan Fakhru Razi berkaitan dengan penolakan dua mukadimah di atas[6]. Para filosof, aliran teologi Syiah Imamiah dan Mu’tazilah menerima dua mukadimah tersebut dan berupaya mengkonstruksi argumentasi yang rasional dan logikal atasnya. Yang juga tidak kala pentingnya adalah membuktikan pendahuluan pertama dan ketiga , karena kalau kedua pendahuluan itu tidak ditetapkan dan dijabarkan maka tak akan terwujud kesesatan dan kebodohan di tengah umat manusia dari tangan para pembohong yang juga sesat dan bodoh yang menyatakan dirinya Nabi.

Mukadimah pertama, menurut Fakhru Razi, berkaitan dengan adanya suatu kemungkinan bahwa mukjizat dapat bersumber dari kekuatan jiwa sang pelaku mukjizat, efek dari benda-benda angkasa, pengaruh jin dan malaikat (oleh karena itu, dimensi kenabian mereka hanya dapat ditetapkan lewat teks-teks suci agama dan tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan aneh yang diwujudkan adalah bentuk legitimasi khusus Tuhan atas kenabiaannya) dan bukan merupakan perbuatan Tuhan atau sebagai bentuk pengesahan dan legitimasi khusus dari-Nya.

Pendahuluan ketiga, yang juga menurut Fakhru Razi, tentang kemungkinan tujuan perwujudan mukjizat adalah menguji akal-akal para hamba-Nya dan menolak maksud mukjizat sebagai pembenaran pernyataan kenabian seseorang karena mukjizat itu sendiri tidak mempunyai keselarasan dengan pernyataan kenabian. Lebih lanjut ia beranggapan bahwa nilai argumentasi tentang kenabian lewat jalan mukjizat sama seperti seorang yang tidak makan selama dua puluh hari dan tetap hidup, perbuatan aneh orang tersebut lantas dijadikan dalil dan bukti bahwa ia niscaya mengetahui ilmu matematika atau ilmu lainnya.

Jawaban dari kritikan di atas adalah pertama, mukjizat merupakan bukti dan dalil hubungan sang pelaku mukjizat dengan alam gaib dan bukan petunjuk tentang kebenaran ajarannya, kedua mukjizat sebagai keterangan bahwa risalahnya dari sisi Tuhan dan Tuhan mewujudkan mukjizat lewat tangan ia sebagai pertanda legitimasi-Nya. Fakhru Razi menjawab persoalan tersebut dengan berkata, “Berdasarkan pandangan anda bahwa setiap orang yang mempunyai mukjizat adalah Nabi dan Rasul, sementara premis mayor yang bersifat universal itu tidak anda argumentasikan. Dengan pemisalan yang anda katakan tersebut bahwa mukjizat sebagai lencana dan tanda khusus raja dimana kalau seseorang memilikinya maka dapat dipastikan bahwa ia adalah utusan raja”[7].

Fakhru Razi dan Ibnu Rusyd keduanya menyanggah argumentasi tersebut, Ibnu Rusyd dalam hal ini berkata, “Pernyataan ini tidak dapat diterima, kecuali telah jelas bahwa setiap tanda dan alamat yang berada di tangannya adalah lencana raja dan hal ini menjadi mungkin dengan dua jalan, pertama raja telah berkata kepada masyarakat bahwa kalau kalian melihat orang yang membawa tanda dan alamat khusus saya maka ia adalah utusan saya, kedua mengenal kebiasaan-kebiasaan raja yaitu lencana khusus raja tidak mungkin berada di tangan seseorang kecuali ia adalah utusannya. Tetapi mengenal tanda dan alamat Tuhan mustahil dengan syariat, karena syariat itu sendiri belum ditetapkan dan juga akal secara pasti tidak dapat menghukumi bahwa nabi dan rasul mempunyai lencana khusus kecuali sebelumnya ia beberapa kali menyaksikan orang-orang yang mengaku nabi dan rasul menampakkan bukti dan petunjuk khusus tersebut.[8]

Apakah dengan keberadaan kritikan-kritikan tersebut di atas yang berhubungan dengan pendahuluan pertama, ketiga dan keempat kita masih dapat menyatakan bahwa mukjizat bisa terwujud dari tangan seorang pembohong yang sesat dan bodoh? Persoalan ini dapat diselesaikan dengan beberapa bentuk jawaban, antara lain:
1. Terdapat hubungan rasional antara kemampuan mukjizat dan pencapaian langsung makrifat-makrifat Tuhan (wahyu) tanpa terdapat kesalahan (keliru dan lupa) dimana hubungan rasional itu adalah pencapaian derajat kenabian merupakan suatu perkara yang ajaib dan kemampuan mukjizat juga sama dengan pencapaian derajat kenabian yang merupakan hal yang istimewa dimana keduanya mustahil diraih tanpa ijin, kehendak dan iradah Tuhan. Pencapaian derajat kenabian dan kemampuan mukjizat mengharuskan adanya kesucian ruh dan jiwa, karena kesucian jiwa di dalam ilmu hudhuri menyebabkan hadirnya makrifat-makrifat gaib yang benar dan munculnya kemampuan penguasaan dan pengaturan terhadap segala realitas makhluk hidup di alam. Maka dari itu, mukjizat merupakan suatu tanda dan alamat akan  kebenaran pernyataan kenabian[9].
         
Argumentasi tersebut memerlukan penjelasan yang cukup dalam dua perkara:
Pertama, kemampuan menghadirkan mukjizat, seperti mengubah tongkat menjadi ular secara nyata merupakan perbuatan yang ajaib, mengikuti suatu sebab yang tidak diketahui dan tidak diperoleh dari proses belajar dan juga tidak dapat diajarkan kepada seseorang, oleh karena itu dibandingkan dengan perbuatan ajaib yang lain (selain mukjizat, seperti sihir dan lain-lain) perbuatan aneh tersebut sangat berhubungan erat dengan kesucian ruh dan jiwa sang pelaku mukjizat (dimana kesucian tersebut juga merupakan syarat wajib atas kenabian). Manusia yang telah mencapai derajat yang tinggi dalam kesucian jiwa secara langsung mendapatkan makrifat-makrifat gaib dan bersamaan dengan itu ia memperoleh (dengan ijin dan kehendak Tuhan) kekuatan dan kekuasaan dalam mengatur segala alam. Tetapi bagaimana dapat diyakini bahwa perbuatan ajaib tersebut bersumber dari suatu sebab yang tidak diketahui dan juga tidak berasal dari proses belajar mengajar sehingga tidak terpancar dari selain manusia yang mencapai derajat kesucian jiwa tersebut? Jawaban dari persoalan tersebut adalah tolok ukur penetapannya berada di pundak para ahli yang bergelut dalam bidang ilmu yang mirip dengan mukjizat dan ruang lingkup penentuannya adalah estimasi dan perkiraan (al-hads)[10] yang kuat dimana mempunyai kelayakan dalam perumusan proposisi suatu burhan dan argumen, tetapi jenis proposisi tersebut adalah premis intuitif (al-hadsiyâh)[11] dan bukan proposisi axioma (al-awwaliyâh, axioms, primary premises)[12][13], premis intuitif di sini menurut para ahli logika dan filosof, sedangkan menurut Ibnu Sina proposisi tersebut digolongkan ke dalam premis empiris (al-mujarrabâh, empirical premises)[14][15].

Nilai validitas mujarrabat dan kesetaraannya dengan mutawatirat dan hadsiyat dalam epistimologi ahli logika dan filosof Muslim bersandar pada penyelesaian induksi (istiqra) dimana dalam cara tersebut di ketahui dengan penyaksian berulang kebersamaan dua fenomena yang berpijak pada hubungan keniscayaan dan universal dua realitas, dengan ungkapan lain terungkap dari kebersamaan berulang dua fenomena dimana hakikat benda A mempunyai kekhususan benda B.

Kedua, kemampuan mukjizat yang diasumsikan bersumber dari kesucian jiwa dan faktor tak dikenal, dan kita menetapkan juga hubungan antara peristiwa khusus yang disebut mukjizat dengan kesucian jiwa yang mewujudkan mukjizat tersebut tetapi kita tidak yakin dapat membuktikan kenabian pelaku mukjizat tersebut tanpa berpijak pada nilai keburukan kebohongan dan kesesatan, pertama, sebab terdapat kemungkinan bahwa kesucian jiwa yang dapat melahirkan kemampuan penguasaan terhadap alam merupakan syarat primer dan bukan syarat sekunder karena ada kemungkinan kedua perbuatan istimewa (kemampuan mukjizat dan penerimaan wahyu) tersebut tidak berada pada satu tingkatan dan derajat, dimensi kenabian sebagai faktor kelayakan perwujudan dua realitas perbuatan tersebut. Kita tidak dapat katakan bahwa pernyataan kenabian seseorang adalah bohong dan dusta karena sifat bohong dan dusta – berdasarkan hukum akhlak –  tidak sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian jiwa, tetapi juga tidak dapat menafikan adanya kemungkinan kesalahan seorang Nabi itu dimana kita menginginkan kenabiannya itu ditegaskan lewat jalan mukjizat atau minimal ditetapkan dengan penafsiran atas pengalaman-pengalaman mistiknya. Kedua, kalau kedua kemampuan tersebut (kemampuan mukjizat dan penerimaan wahyu) berada pada tingkatan yang sama lantas bagaimana kita dapat memahami bahwa dalam perwujudan keduanya juga terdapat hubungan yang saling niscaya dan mesti tanpa berpijak kepada keburukan kebohongan (tak sesuai dengan kesucian jiwa), kebodohan dan kesesatan?  Oleh karena itu, argumentasi tersebut memerlukan pijakan dan sandaran kepada keburukan kebohongan, kebodohan dan kesesatan.

2. Tuhan mustahil memberikan kemampuan dan kekuatan dalam penguasaan sebagian alam kepada pembohong-pembohong, karena akan menyebabkan kebodohan dan kesesatan yang semuanya itu bertolak belakang dengan hikmah dan keadilan Tuhan. Untuk menguatkan landasan argumentasi tersebut, disamping berpijak pada mukjizat dan hikmah juga bersandar pada suatu penantangan dan pernyataan kenabian, yakni seorang yang mengaku Nabi mesti membuktikan pengakuannya dengan mukjizat dan menantang kepada semua manusia untuk melakukan hal yang sama.

Argumen tersebut bersandar pada satu kaidah akal tentang keburukan kebodohan. Menurut Muhammad Baqir Sadr argumen tersebut sarat dengan kritikan. Ia berkata, “Implikasi mukjizat terhadap kenabian tak dapat berpijak pada hukum rasional tentang keburukan kebohongan dan kebodohan, karena dalam hal ini – walaupun kaidah akal tersebut diterima oleh semua kalangan – mukjizat tidak dapat menjadi dalil atas kenabian pelaku mukjizat, lagi pula premis mayor yang bersifat universal (kebodohan adalah suatu keburukan) tidak ditentukan individu-individunya di alam nyata, oleh karena itu individu-individunya mesti terwujud di alam luar dengan tidak memperhatikan penyandarannya kepada premis mayor tersebut. Tetapi dalam argumen itu tidak diungkapkan bahwa mukjizat menyebabkan kebodohan – dengan tidak bersandar pada kaidah tersebut – karena di dalamnya tela diasumsikan bahwa mukjizat – tanpa menambahkan premis mayor tersebut – tidak berimplikasi terhadap kenabian pelaku mukjizat. Maka dari itu, kebergantungan implikasi mukjizat terhadap kenabian kepada premis mayor universal (keburukan kebodohan dan kebohongan) menyebabkan terjadinya daur[16], karena pada satu sisi, keaktualan premis mayor rasional (keburukan kebodohan) bergantung pada implikasi mukjizat terhadap kenabian dan pada sisi yang lain implikasi mukjizat bersandar pada premis mayor rasional (keburukan kebodohan).

Syahid Muhammad Baqir Sadr (qs) berupaya dalam merumuskan suatu penjabaran tanpa sarat kritikan terhadap argumentasi tersebut. Ia berkata, “Walaupun mukjizat secara hakiki – tanpa berpijak pada premis mayor universal tentang keburukan kebodohan – tidak dapat berimplikasi terhadap kenabian, tetapi bersandar pada pemahaman mayoritas masyarakat terdapat adanya implikasi terhadap kenabian dan kenyataan ini adalah bukti keberadaan individu keburukan kebodohan tersebut dan kebodohan itu adalah buruk dan berlawanan dengan hikmah Ilahi, dengan demikian kita dapat menyatakan bahwa mukjizat mempunyai argumentasi rasional terhadap kenabian.[17]

      
Implikasi Mukjizat Terhadap Eksistensi Tuhan
Para teolog Barat merumuskan suatu argumentasi tentang keberadaan Tuhan dengan perantaraan mukjizat dan mereka berkata bahwa banyak mukjizat terjadi di zaman-zaman yang berbeda dan terjadinya mukjizat-mukjizat tersebut tidak dapat dijelaskan dan dipahami tanpa campur tangan dan pengaruh Tuhan dalam sistem tatanan alami peristiwa-peristiwa alam. Oleh karena itu, kejadian dan peristiwa mukjizat dapat menegaskan dan membuktikan eksistensi Tuhan.

Kritikan yang paling mendasar terhadap burhan tersebut di atas adalah bagaimana kita dapat mengetahui bahwa kejadian dan peristiwa semacam itu yang dinamakan mukjizat tidak dapat dijabarkan secara ilmiah dan berdasarkan hukum alam? Pembuktian keberadaan Tuhan dengan pendekatan mukjizat konsekuensinya adalah sebelumnya harus dipastikan bahwa mukjizat-mukjizat tersebut tidak dapat diuraikan secara ilmiah dan hukum alam, karena dalam hal ini tidak dapat berargumentasi dengan bersandar pada hikmah Tuhan.
Richard Swinburne berusaha menjabarkan secara sempurna burhan tersebut, ia berkata, “Mukjizat suatu peristiwa yang bertolak belakang dengan hukum alam dan karena pertentangannya dengan hukum alam itulah sehingga dapat dibuktikan eksistensi Tuhan”[18]. Tetapi bagaimana metode  meyakinkan seorang yang tidak mengakui keberadaan Tuhan (ateis) bahwa mukjizat tersebut adalah perbuatan Tuhan sehingga Tuhan niscaya berwujud, Swinburne mengungkapkan dua kekhususan pada mukjizat: Pertama, hadirnya pertentangan dengan hukum alam dalam kasus mukjizat memiliki banyak keserupaan dengan perbuatan manusia (sebagai pelaku yang cerdas) sedemikian sehingga hal itu dapat dijelaskan berdasarkan suatu tujuan yang diinginkan dari perbuatan tersebut. Kedua, perbuatan dan peristiwa itu sendiri sedemikian sempurna dan ajaibnya sehingga tidak dapat dipahami tanpa mengasumsikan pelaku yang berilmu dan sifat-sifat sempurna dimana Tuhan dapat dikenal dengan perantaraan sifat-sifat sempurna tersebut.[19]

Kalau kita ingin menganalisa argumentasi tersebut di atas dari sudut pandang teolog Muslim maka tanpa pembatalan daur dan tasalsul[20] kita tidak dapat menegaskan eksistensi Tuhan itu dengan berpijak pada sifat-sifat sempurna pelaku, penyandaran argumen pada sifat-sifat sempurna pelaku hanya bisa menetapkan keberadaan pelaku tersebut di alam supnatural.

Argumen mukjizat di atas tidak memiliki kelayakan kalau tidak disandarkan kepada sebagian burhan-burhan rasional seperti argumen imkan dan wujub, dan argumen mukjizat tersebut sarat dengan kritikan, di antaranya:
  1. Seseorang yang tidak menguji dan menganalisa peristiwa-peristiwa ajaib itu dan pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan kejadian-kejadian tersebut tidak disampaikan dan diriwayatkan dalam bentuk yang jelas dan mudah diyakini maka orang dapat meragukan peristiwa-peristiwa ajaib itu sendiri;
  2. Kalaupun peristiwa-peristiwa ajaib tersebut dapat diterima, tapi penyandaran dan penisbahannya kepada Tuhan serta pembuktian eksistensi Tuhan dapat memunculkan keraguan, karena penisbahan perkara tersebut kepada Tuhan hanya bisa diterima dengan syarat-syarat: pertama, menerima teori kausalitas (sebab-akibat) dan peristiwa-peristiwa ajaib tersebut (mukjizat) diposisikan sebagai akibat dari satu sebab (baca: Tuhan), kedua, harus ada pemetaan yang jelas dari keseluruhan sebab-sebab natural dan non-natural yang dapat mewujudkan kejadian-kejadian tersebut dan ketiga, segala sebab-sebab yang tergambarkan tersebut harus ditiadakan selain sebab Ilahi.[21]


Referensi:
[1] . Hume, David, Darborey-e Mukjizat (Tanaqudh Nemo Yo Ghaib Nemun), hal. 403. 
[2] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation, hal. 299.
[3] . Ibid.
[4] . Legenhausen, Muhammad, The Contemporary Revival of the Philosophy of Religion in the United States, Al-Tawhid Quarterly Journal of Islamic Tought and Culture, vol. XII, no. 1, hal. 131-132.
[5] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation, hal. 302-306.
[6] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Mukhashshal, hal. 94.
[7] . Thusi, Khawjah Nashiruddin, Talkhis al-Mukhashshal, hal 94.
[8] . Ibrahim Dinany, Gulam Muhsin, Mantiq wa Ma’rifat dar Nazar-e Gazali, hal. 94.
[9] . Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, jilid 1, hal. 82-85.
[10] . Kecepatan pikiran dalam menarik suatu kesimpulan yang benar.
[11] . Proposisi ini merupakan salah satu dari keenam proposisi yang diyakini, jenis proposisi ini bersumber dari estimasi yang diyakini dan diketahui oleh manusia, seperti cahaya bulan berasal dari matahari.
[12] . Suatu proposisi universal yang secara otomatik menjadi jelas dan gamblang dan tidak memerlukan pembuktian lagi (badihi atau swa-bukti), seperti kemustahilan berkumpulnya hal-hal yang kontradiksi.
[13] . Jawadi Amuli, Abdullah, Pairamun Wahy wa Rahbary, hal. 84.
[14] . Proposisi yang dihasilkan dari pengalaman-pengalaman dan proposisi ini memberikan keyakinan, maka dari itu layak menjadi argumen dan dalil.
[15] . Abu Ali SIna, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, hal. 218.
[16] . Daur adalah A bergantung kepada B, dan B juga bergantung pada A. Dalam filsafat daur seperti ini adalah batal.
[17] . Hasyemi, Sayyid Mahmud, Buhuts fi ‘Ilm al-Ushul, jilid 4, hal, 135-136.
[18] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation in Philosophy of Religion An Anthology, hal. 303.
[19] . Swinburne, Richard, Miracles and Revelation in Philosophy of Religion an Anthology, hal. 306.
[20] . Kedua istilah ini telah kami jelaskan secara luas dalam makalah kami yang berjudul argumen imkan dan wujub.
[21] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tabyin-e Barohin-e Khudo, hal. 247-248.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top