Oleh: Mohammad Adlany
Perbuatan Manusia
Manusia dalam setiap amal dan perbuatan ikhtiarinya
membutuhkan pendahuluan-pendahuluan yang jika salah satu dari
mukadimah-mukadimah ini tiada, maka prilaku tersebut tidak akan
terlaksana.
Mukadimah-mukadimah itu antara lain:
- Tingkatan pertama adalah tingkatan dzat, dimana seseorang dalam tingkatan ini mencakup seluruh tingkatan yang ada. Tingkatan tersebut seluruhnya tercakup dalam dzat manusia. Seperti seorang ilmuwan yang memiliki keahlian dalam berbagai cabang ilmu, ketika tengah sibuk bercakap dengan anaknya dengan nada kekanak-kanakan, dia akan berbicara sesuai dengan tingkat pemahaman anaknya dengan bahasa kekanak-kanaknya tersebut. Dalam tingkatan ini, tidak ada satupun dari kesempurnaan ilmunya yang tertampakkan, yaitu meskipun dia mengetahui tentang filsafat, fisika, dan perbintangan dia tidak akan memperhatikan hal-hal tersebut.
- Setelah itu, perhatian dzat kepada kesempurnaan. Dalam tingkatan ini, manusia memiliki perhatian umum kepada kesempurnaan. Sebagai contoh, ilmuwan ini memperhatikan dirinya sebagai seorang yang berilmu, akan tetapi dia tidak memperhatikan keilmuannya secara mendetail.
- Tingkatan ketiga, perhatian yang mendetail kepada kesempurnaan. Sebagai contoh, ilmuwan ini memperhatikan dirinya yang sebagai seorang insinyur, filosof, atau ahli hukum.
- Dalam tingkatan keempat, perhatiannya kepada kesempurnaan tertentu. Contoh, perhatian khusus ilmuwan ini kepada ilmu matematikanya dan tingkatan pengetahuannya terhadap ilmu matematika.
- Tingkatan kelima, ilmuwan ini memusatkan konsentrasinya dalam masalah-masalah khusus, misalnya selain dia memperhatikan ilmu matematikanya dia juga memperhatikan pembahasan aljabar secara khusus.
- Tingkatan keenam, adalah tingkatan dimana misalnya selain dia memperhatikan ilmu aljabar, dia juga memberikan perhatiannya tentang masalah persamaan atau equivalen.
- Tingkatan ketujuh, adalah memberikan perhatian kepada masalah khusus dari persamaan, seperti memperhatikan bahwa equivalen dari 2×10 = 5×4.
- Tingkatan kedelapan yaitu pengungkapan tentang manfaat dan kerugian suatu masalah. Dalam tingkatan ini, seseorang akan berpikir tentang apakah masalah ini perlu diungkapkan, ataukah tidak ada kebaikan untuk mengatakannya dan sementara harus berdiam diri.
- Pada tingkatan kesembilan, memilih untuk mengungkapkan, yaitu seseorang memastikan bahwa mengungkapkan masalah akan lebih baik.
10.Tingkatan kesepuluh, keinginan untuk menyampaikan atau mengungkapkan.
11.Tingkatan kesebelas, kehendak kuat untuk mengungkapkan.
12.Tingkatan keduabelas, memberikan perintah kepada seluruh
indera, yaitu memberikan perintah kepada tangan untuk menulis atau
memberi perintah kepada lidah untuk berkata.
13.Tingkatan ketigabelas, terwujudnya perbuatan nyata, misalnya menggerakkan tangan untuk menulis di atas kertas.
Poin yang penting untuk diperhatikan di sini adalah tidak
ada satupun dari perbuatan manusia yang akan terwujud tanpa melewati
tingkatan-tingkatan tersebut, meskipun misalnya mereka mampu melewati
tahapan itu dengan proses yang sangat cepat.
Mungkin Anda tidak percaya, seorang pelari yang mampu
berlari dengan sangat cepat dan dalam setiap detiknya mampu berlari
dalam beberapa langkah, dalam setiap langkahnya dia telah melewati
ketigabelas tingkatan di atas, dan apabila pada salah satu langkahnya
dia tidak melakukan salah satu dari pendahuluan-pendahuluan tersebut,
maka pelari tersebut akan segera menghentikan langkahnya. Apabila kita
misalkan dia mengalami keraguan dalam sesaat dan tidak mengetahui
langkah selanjutnya mempunyai manfaat ataukah tidak, pasti dia tidak
akan mengambil langkah selanjutnya.
Dalam seluruh perbuatan ikhtiari, setelah memilih dan
melakukan, di dalam jiwa manusia akan mengalami aksi dan reaksi semacam
ini. Pada amal dan perbuatan yang terpuji, sejak mulai berfikir hingga
saat mengamalkan, di dalam jiwa manusia akan muncul gerakan menanjak
dari mekanisme alam materi ke arah alam malakuti insani, manusia pada
tingkatan amal ini hingga batas keikhlasannya, akan semakin mendekati
alam malakut dan inilah makna ayat yang berfirman, “Barang siapa
yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya,
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh”[1],
sebagaimana yang terjadi dalam perbuatan dan amalan yang tercela, yaitu
sejak berfikir hingga saat dia menyentuhkan tangannya untuk melakukan
perbuatan yang tercela, di dalam dirinya terdapat badai buruk yang akan
menggoncangkan pikirannya ke kanan dan ke kiri hingga dia melakukan
perbuatan-perbuatan tercela.
Apabila di dalam diri manusia terdapat suatu keyakinan dan
pandangan yang keliru dan sesat, maka akan jatuh ke jurang yang terendah
dan akan terwarnai dengan perbuatan-perbuatan yang aib dan tercela, dia
akan tetap tinggal pada derajat terendah ini hingga dia meluruskan
keyakinannya. Namun ketika hanya melakukan yang perbuatan buruk dan
tercela yang tidak disebabkan oleh suatu kepercayaan sesat, maka dalam
batasan prilaku tercela itu, akan menjauhkannya dari darajat insani.
Apa jiwa bersifat nonmateri?
Apakah dengan hanya menganalisa aksi dan reaksi yang
terjadi di dalam tubuh manusia secara cermat akan mampu mengetahui
faktor-faktor penyebab munculnya seluruh aktivitas, prilaku,
kecenderungan-kecenderungan, instink, dan keadaan lain yang dimiliki
oleh manusia?
Apakah dengan analisa seperti itu akan dapat memahami
kenapa manusia bisa marah, bisa menumpahkan kasih sayangnya kepada
orang-orang yang dicintainya, bisa gembira, dan bisa bersedih. Bagaimana
dia bisa menjadi orang yang jahil atau berilmu, bisa berfikir, dan
memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul serta apa
aksi dan reaksi di dalam otak setelah manusia memiliki pengetahuan.
Ringkasnya, apakah struktur tubuh dan mekanisme alami tubuh
manusia, berada dalam kedudukannya yang mampu memberikan jawaban untuk
seluruh pertanyaan tersebut sehingga tidak diperlukan lagi upaya-upaya
pembuktian terhadap adanya satu wujud nonmateri bernama ruh dan jiwa
untuk manusia?
Beberapa Pertanyaan
- Seluruh manusia yang teis dan ateis akan menganggap dirinya sebagai manusia yang ideal dan besar karena merasa mempunyai keseimbangan dalam mengontrol kecenderungan-kecenderungan tubuh, keinginan-keinginan jiwa dan syahwat hewaninya, sementara pada sisi lain terdapat pendosa-pendosa dan penyembah hawa nafsu pada semua tempat. Apabila manusia hanyalah ibarat sebuah badan, maka baginya tidak ada kesempurnaan yang lebih tinggi selain memberikan jawaban positif pada seluruh kecenderungan dan syahwatnya. Jika manusia tidak memiliki dimensi lain selain dimensi materi dan hewaninya, lalu kenapa fitrah seluruh manusia memberi kesaksian bahwa dengan semakin tidak memperhatikan kecenderungan dan syahwat miliknya, dia akan semakin sempurna?
Sementara apabila manusia hanya menyimpulkan dirinya dalam
tubuh materi dengan seluruh kecenderungannya, berarti manusia yang
sempurna dan beruntung adalah mereka yang lebih memperhatikan
keinginan-keinginannya tersebut lalu menjaga dan memenuhi tuntutannya
hingga batasan yang memungkinkan. Semakin ia bisa memuaskan keinginan
hawa nafsunya, seharusnya dia menjadi manusia yang semakin sempurna dan
semakin berhasil. Dengan demikian, tidak ada lagi hukuman dan denda
untuk pelaku setiap pengkhianatan dan kejahatan, karena dengan melakukan
hal tersebut niscaya seorang manusia telah sempurna dan ideal secara
mutlak. Sama sekali tidak akan menghindari tuntutan syahwat dan
kecenderungan tubuh, karena hal ini akan membahayakannya dan tak
menyempurnakannya.
Dengan demikian, apabila terdapat orang yang tidak
melakukan dosa dan tidak memuaskan keinginan alaminya sebaliknya dia
mengontrol dirinya dalam hal-hal tersebut, dia malah akan menjadi orang
yang tak sempurna, lemah, dan tak memiliki kekuatan. Akan tetapi kita
lihat, tidak ada satupun manusia yang meyakini celoteh batil ini, bahkan
mereka mengatakan bahwa manusia yang sempurna dan berhasil adalah
manusia yang mempunyai kemampuan menyeimbangkan seluruh kecenderungannya
dan mampu melawan keinginan hawa nafsunya. Jadi, manusia memiliki
hakikat yang lebih tinggi dari tingkatan hewani.
- Kita menyaksikan bahwa begitu manusia melewati usianya yang ke 35, dia akan memiliki mekanisme berfikir dan kontemplasi yang semakin mendalam dan semakin sempurna, padahal dari sini hingga selanjutnya tubuhnya setahap demi setahap akan semakin melemah. Dengan ibarat yang lain, rasionalitasnya akan semakin kuat dan pemahamannya akan semakin cermat, akan tetapi tubuh dan mekanisme sel-sel tubuhnya akan semakin mengarah pada kerapuhan dan kelemahan. Sebagai contoh, semakin lanjut usia seorang filosof, maka perkataan yang diucapkannya akan semakin matang dan mendalam.
Di sini akan muncul persoalan berikut, apabila hakikat
manusia hanya berupa tubuh ini, dengan semakin melemahnya tubuh, berarti
pikiran dan kecerdasannya pun akan semakin melemah dan semakin banyak
melakukan kesalahan pula, sementara yang terjadi adalah kebalikannya,
ilmuwan dan cendekiawan yang jenius dan cerdas, pada usia separoh
bayanya tidak bisa lagi dibandingkan dengan masa mudanya, pada usia ini
dia telah muncul sebagai orang yang mampu menuangkan ilmu-ilmunya dengan
pengetahuan lebih luas dan pemikiran yang lebih mendalam, dan menjadi
orang yang semakin diyakini pendapat, gagasan, konsep, dan pemikirannya.
- Kita melihat pelajar-pelajar pada tingkat sekolah dasar akan mempelajari persoalan-persoalan matematik yang sederhana. Misalnya, mempelajari bahwa 2×2 = 4, tahun demi tahun terlewati, dan subyek ini tetap ada secara permanen pada diri mereka dan tidak terjadi sedikitpun perubahan, apabila tujuh puluh tahun kemudian ditanyakan dua kali dua berapa hasilnya, maka mereka akan mengatakan jawabannya dengan cepat. Akan tetapi dari sisi lain, kita mengetahui bahwa tubuh pada setiap tujuh tahun akan mengalami perubahan secara total bahkan unsur-unsur pertama yang terdapat pada sel-sel otak pun akan mengalami perubahan.
- Apabila manusia hanya didefinisikan sebagai mekanisme tubuh natural dan sel-sel material, dengan berlalunya masa dan dengan terjadinya perubahan pada setiap sel-sel yang dimilikinya, maka pasti segala ingatan dan kenangan-kenangannya pun akan mengalami perubahan pula, lalu kenapa yang terjadi tidaklah demikian? Begitu banyak kenangan kanak-kanak dan pengetahuan-pengetahuan awal yang tetap melekat erat hingga akhir hayat seorang manusia.
Jadi, bisa terjelaskan dengan baik bahwa manusia memiliki
dimensi non-materi dan metafisika yang akan menjaga seluruh bentuk ilmu,
pengetahuan, dan kenangan yang ada di dalam benaknya, sedemikian hingga
tidak ditemukan sedikitpun cacat dan kelemahan pada mereka, meskipun
terjadi perubahan-perubahan pada sel-sel tubuh. Bahkan kadangkala kita
melihat bahwa peristiwa atau kenangan yang telah terlupakan akan kembali
teringat dengan mengutarakan konteks-konteks tertentu, hal ini akan
menjelaskan dengan baik bahwa sebenarnya persoalan-persoalan yang telah
terlupakan tetap terjaga dalam lembaran jiwa manusia dan tidak mengalami
sedikitpun perubahan.
Korelasi Perbuatan dan Struktur Jiwa
Ibnu Sina dalam penjelasannya tentang pengaruh perbuatan
dalam jiwa dan ruh manusia, mengatakan, “Seluruh perbuatan yang
dilakukan oleh manusia merupakan serangkaian aksi dan kualitas yang
bergabung dengan jiwa manusia, karena ruh dan jiwa manusia “berada” di
sisi badan dan pengaruh gerakan dan perbuatan lahiriah badan terhadap
jiwa merupakan sebuah persoalan yang pasti. Sekarang, apabila aksi dan
kualitas prilaku tersebut telah terserap di dalam jiwa manusia, maka
jiwa setelah berpisah dengan badan, tetap memiliki karakteristik dan
sifatnya semula persis seperti ketika dia masih berada bersama badan.
Akan tetapi karakteristik dan sifat dari perbuatan-perbuatan buruk badan
yang telah menjadi bagian dari ruh, akan muncul sebagaimana sebuah
penyakit parah yang terjadi sebagai pengaruh dari kelalaian jiwa dalam
mengatur badan, yang hal ini kemudian menyebabkannya terkena siksaan,
terazab dengan api barzakh yang panasnya melebihi api jasmani.”[2]
Jadi, setiap perbuatan dan prilaku yang dilakukan oleh
manusia akan memberikan pengaruh pada jiwa dan ruhnya, yang kemudian
secara bertahap hal ini akan memberi bentuk dan karakteristik pada jiwa
tersebut. Pada persoalan ini kami akan menukilkan sebuah misal yang
telah terbukti secara ilmiah.
Untuk pertama kalinya seorang anak yang terlibat dalam
kasus pencurian kecil-kecilan, dengan secara sembunyi-sembunyi dan
sangat hati-hati dia telah mengambil sejumlah uang dari dompet
seseorang. Apabila kita amati tingkah laku anak ini dengan seksama, maka
kita akan menemukan wajah, tingkah dan gerakan-gerakan tidak wajar yang
menghikayahkan gejolak yang terjadi di dalam jiwanya. Akan tetapi,
apabila dia melakukan hal ini untuk kedua kalinya, gejolak jiwa yang
semula tetap senantiasa ada, akan tetapi dengan kualitas yang lebih
rendah, tidak separah pada kejadian pertama.
Demikian seterusnya, apabila dia secara terus menerus
mengulangi perbuatannya, secara bertahap perbuatan mencuri sudah
merupakan hal yang biasa baginya, dia akan melakukannya tanpa sedikitpun
memiliki rasa takut ataupun gelisah. Semakin banyak dia melakukan aksi
pencurian, yang berarti akan semakin menambah keahliannya dalam bidang
ini, dia akan mendapatkan hasil yang semakin banyak pula, lama-kelamaan
perbuatannya akan mengarahkannya pada perampokan bank dan pembunuhan,
sedemikian sehingga ketika tidak berhasil melakukan pembunuhan dia akan
merasa gelisah dan gagal. Sekarang yang harus diperhatikan, “pencabut
nyawa” ini yang tidak lain adalah si anak yang ketika mencuri beberapa
ratus rupiah diliputi dengan ketakutan dan gejolak jiwa yang luar biasa,
tetapi sekarang, dia telah berubah menjadi sosok yang mampu membunuh
dan merenggut nyawa orang lain dengan perasaan yang sangat tenang.
Perubahan yang sangat ajaib ini, merupakan sebuah hasil
dari perbuatan dosa, maksiat, dan pelanggaran-pelanggaran moral yang dia
lakukan secara berulang-ulang.
Jadi, amal dan perbuatan manusia, secara bertahap dan alami
akan memberikan bentuk kepribadian baginya. Sebenarnya, setiap manusia
akan membentuk dirinya dengan amal dan perbuatannya. Dalam salab satu
hadits, Imam Shadiq as bersabda, di dalam hati setiap mukmin terdapat
sebuah titik putih yang secara bertahap karena pengaruh amal dan
perbuatannya, akan berubah menjadi gelap dan menghitam. Ketika warna
hitam telah melingkupi dirinya, maka manusia tersebut akan menjadi
bagian dari ayat, “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup, dan bagi mereka siksa yang Amat berat”.[3]
Perbuatan dan prilaku harian memberikan refleksi-refleksi
yang khas bagi jiwa manusia dan memakaikan “baju” pada jiwa yang tak
lain adalah badan barzakh bagi manusia, yaitu dengan amal dan
perbuatan, manusia akan membentuk badan barzakhnya. Manusia ketika
terlahir ke dunia, sama sekali tidak memiliki peran dalam membentuk
fakultas diri dan juga cantik atau buruknya, dan Sang Maha Pencipta
telah mensketsa semua ini untuknya. Jadi, manusia terlahir ke dunia
tanpa memiliki interfensi dan campur tangan serta pengawasan mengenai
bentuk dirinya. Akan tetapi, ketika hendak meninggalkan dunia, dia
memiliki bentuk dan wajah yang terbentuk karena campur tangannya dan
bisa dikatakan bahwa bentuk tersebut merupakan hasil dari perbuatan dan
prilaku manusia di dunia. Ghibah, mencela, berbohong, dan memandang
non-mahram, akan meninggalkan warna hitam di dalam kalbu manusia dan
menghilangkan cahaya dan sinar kalbu tersebut.
Secara bertahap, dikarenakan pengaruh berkumpulnya
perbuatan-perbuatan tersebut, akan muncul figure dan bentuk pada jiwa,
dan akan menciptakan manusia dalam bentuk yang sesuai dengan akhlak dan
tingkah laku yang telah dihasilkannya. Imam Khomeini ra beberapa kali
mengutarakan masalah ini dalam kitabnya Cehel Hadist dimana
beliau mengisyarahkan bahwa amal dan perbuatan manusia akan memberikan
bentuk pada diri manusia, dan orang-orang yang memiliki mata barzakh
mampu melihat begitu banyak wajah-wajah dan bentuk-bentuk barzakh
manusia.
Dalam sebuah hadits dinukilkan, seorang sahabat Imam ketika
berada di Mekkah berkata kepada Imam Sajjad as, “Betapa banyaknya para
haji”, Imam as mengoreksi perkataan tersebut dan bersabda, “Betapa
banyak orang yang melakukan ibadah haji tapi betapa sedikitnya haji”[4]. Pada poin inilah Allah swt berfirman, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”[5]. Tentunya
satu-satunya jalan untuk tidak terjebak oleh tipuan setan ini adalah
kembali ke jalan yang benar dan menemukan jalan serta kebiasaan hidup
dengan melakukan hubungan dan komunikasi tiada putus dengan Sang Maha
Pencipta, dan inilah satu-satunya jalan yang mampu membersihkan hati
yang telah berkarat dan gelap lalu menghiasinya dengan kesucian
penghambaan kepada Sang Tuhan.
Kehidupan manusia, sebagaimana kualitas kematian manusia
(hidup pasca mati) merupakan sebuah jalan yang sangat sensitif. Apabila
manusia berbahagia dan beruntung dalam kehidupannya, maka dia juga akan
bahagia dan beruntung pasca kematiannya. Sebagian manusia akan meninggal
dalam keadaan insani, akan tetapi tak jarang yang meninggalkan dunia
ini dengan keadaan layaknya seekor hewan.
Dengan alasan inilah, Para Imam Ahlulbait memerintahkan memilih bentuk kematian yang baik dan bahagia.
Mula Sadra mengatakan bahwa, “Manusia adalah
substansi-substansi yang berbeda dan mandiri”, yakni setiap amal dan
prilaku yang dilakukan oleh manusia akan membentuk hakikat dirinya. Tak
satupun manusia memiliki kualitas yang sama dalam setiap prilaku dan
perbuatannya, oleh karena itu tidak satupun manusia memiliki hakikat
wujud yang sama dan sederajat.
Jika akhir seluruh perbuatan manusia sedemikian sensitifnya
dan senantiasa beriringan dengan bahaya besar seperti ini, berarti
membutuhkan kehati-hatianyang sangat cermat, dan selayaknyalah kita
tidak melepaskan diri kita lalu mengorbankan diri kita pada hal-hal yang
kabur, kehidupan yang kosong, penuh khayalan, tipuan, penampakan
lahiriah dan jahil terhadap hakikat eksistensi alam. Poin yang penting
untuk mendapatkan perhatian adalah bahwa hendaklah manusia mengetahui
hakikat dirinya. Di manakah tempat ia berada? Bagaimanakah melaksanakan
kewajiban secara benar?
Mawas Diri
Ketika seseorang bertanya tentang tahapan-tahapan
perjalanan spiritual, Alamah Thabathabai ra mengungkapkan tiga pesan
pentingnya, yaitu musyarathah[6], muraqabah[7] dan muhasabah[8].
Berkata, pada awal hari kita harus mempersiapkan diri sedemikian rupa
supaya senantiasa mampu menjaga diri dari khayalan-khayalan nafsu dan
bisikan setan, lalu mensyaratkan diri misalnya hari ini aku harus
berusaha sedemikian rupa menjaga diriku supaya tidak melakukan hal-hal
yang melawan keridhaan dan perintah-Nya dan harus bertekad untuk tidak
melakukan perbuatan-perbuatan aib dan tercela, dan setelah keputusan
awal ini, pada awal hari kita harus memegang kuat-kuat apa yang telah
kita syaratkan untuk diri kita sendiri selama sehari penuh hingga mampu
menyelesaikannya dengan baik.
Alamah melanjutkan, yang kedua adalah muraqabah,
yakni perbuatan yang senantiasa terjadi antara dua pihak secara timbal
balik, yaitu Tuhan akan menjagamu dan kamupun harus menjaga perintah-Nya
dan melakukan segala sesuatu sesuai kehendak dan keridhaan-Nya. Setelah
melewati kedua tahapan ini, kini sampai pada tahapan ketiga yaitu muhasabah,
dengan makna bahwa pada saat-saat terakhir disetiap hari kita mencoba
memikirkan kembali segala gerak dan perbuatan yang telah kita lakukan
sepanjang hari, memperhatikan sesaat demi sesaat yang telah terlalui,
bertanya, dan melihat pada diri sendiri, apa yang telah dihasilkannya
hari ini dengan hilangnya aset penting dari tangannya.
Pada tahapan ini, dengan ketelitian dan kecermatan penuh
dia harus memperhatikan aktivitas, kedatangan, kepergian, duduk, makan,
percakapan, tulisan, dan ringkasnya seluruh gerak dan perbuatan yang
telah dia lakukan, lalu memisahkan yang baik dari yang buruk. Setiap
kali menemukan perbuatan tidak pantas, beristighfar dan memohon ampunan
dari-Nya, dan bertekad untuk mengubahnya, dan setiap kali melihat
keberhasilan senantiasa mengucapkan syukur atas nikmat yang telah
diberikan oleh-Nya.
Alamah berkata, orang yang melalui hidupnya dengan cara
seperti ini, dia akan bertemu dengan berbagai kesempurnaan yang
keberhasilannya jarang ditemukan, dan ketinggian ruhani dan spiritualnya
tidak akan bisa dibandingkan dengan seluruh manusia biasa yang tidak
melakukan penghitungan dan hisab atas segala amalan dan prilaku
hariannya pada setiap malam hari.
Referensi:
[1] . Qs. Al-Fathir: 10.
[2] . Syarh Isyarat wa Tanbihat, Khawjah Nashiruddin Thusi, bab delapan, hal. 350.
[3] . Qs. Al-Baqarah:7.
[4] . Ikhtishash Syeikh al-Mufid, hal. 313; Mustadrak al-Wasail, jilid 1, hal. 157.
[5] . Qs. Al-Mudatsir: 38.
[6] . Yakni mensyaratkan diri atas amal dan perbuatan tertentu.
[7]
. Yakni amal yang disyaratkan untuk dikerjakan secara rutin dan
istiqomah dikontrol secara terus menerus dari sisi kuantitas dan
kualitasnya.
[8] . Yakni senantiasa menghisab diri setiap hari sebelum tidur atas segala perbuatan yang dikerjakan sepanjang hari.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar