Oleh: Mohammad Adlany
Salah satu prinsip yang memiliki akar terpenting dalam pandangan dunia (word view), pengenalan manusia, ideologi, dan wacana filsafat adalah pengenalan terhadap Sumber Eksistensi dan Sang Pencipta.
Karena pengetahuan tentang Sang Pencipta sebagai
pengetahuan tertinggi maka pandangan dunia yang tidak didasarkan padanya
merupakan sebuah pandangan yang tidak rasional dan rendah.
Korelasi-korelasi yang terdapat pada bagian-bagian partikular dari
sistem mekanisme universal alam semesta yang dipandang terjadi secara
kebetulan dan tanpa tujuan adalah bersumber dari suatu pandangan bahwa
maujud-maujud alam tidak memiliki tujuan penciptaan, hal ini
berkonsekuensi pada pengingkaran Sang Pencipta. Walaupun ada sebagian
pemikir yang memandang bahwa Tuhan pernah ada secara azali dan Dia lah
yang menciptkan alam semesta ini beserta sistemnya yang maha sempurna,
namun ragu akan keberadaan Tuhan yang bersifat abadi. Nah, kelompok
pemikir seperti ini tetap kita golongkan sebagai pengingkar Tuhan.
Manusia yang meyakini keberadaan Sang Pencipta dengan orang
yang tidak meyakininya adalah dua hakikat yang berbeda secara
fundamental. Dari sinilah sehingga pengenalan terhadap Sang Pencipta
memiliki peran yang sangat signifikan dalam pengenalan dan pertumbuhan
kesempurnaan manusia. Pengenalan kepada Sang Pencipta adalah inti dan
substansi pembentukan hakikat manusia.
Demikian juga, pembahasan tentang ketuhanan memiliki saham
yang sangat besar dalam pembahasan epistemologi. Gagasan-gagasan para
pemikir dan filosof Ilahi dalam pembahasan epistemologi sangat berbeda
dengan pendapat-pendapat kaum ateis, bahkan kadangkala sangat
kontradiktif.
Oleh karena itu, perlu dilakukan pembahasan secara cermat
dan mendetail terhadap berbagai pikiran dan pendapat tentang ketuhanan
serta menghindarkan diri dari segala fanatisme dan taklid-buta serta
sebisa mungkin melakukan observasi atasnya, karena menganggap remeh
persoalan ini akan berujung pada kelemahan keimanan, merusak pilar
keagungan manusia, dan menghancurkan kemuliaan akhlak manusia.
Disamping pengkajian filosofis tentang ketuhanan adalah
sesuatu yang sangat urgen dan fundamental, seluruh agama Ilahi secara
nyata memberikan perhatiannya terhadap persoalan pengenalan kepada Tuhan
dan mengarahkan perhatian manusia kepada realitas bahwa Tuhan merupakan
sumber dari segala eksistensi, penyebab seluruh kebaikan, dan seluruh
yang terjadi di alam ini merupakan kehendak-Nya. Agama Ilahi hadir untuk
membangunkan fitrah-fitrah manusia, menekankan argumentasi-argumentasi
akal atas fenomena ontologi, epistemologi, kosmologi, dan eskatologi,
serta memberikan nasehat-nasehat kepada umat manusia untuk lebih
mendekatkan diri kepada Sumber Hakikat.
Prinsip utama agama adalah keyakinan kepada eksistensi
Tuhan yang menciptakan segala realitas. Perbedaan mendasar antara
pandangan dunia Ilahi dan pandangan dunia Materialisme terletak pada ada
atau tidaknya keyakinan kepada Tuhan. Maka dari itu, langkah pertama
yang harus dilakukan oleh seorang pencari kebenaran menegaskan
eksistensi Tuhan.
Untuk menegaskan eksistensi Tuhan itu, langkah umum yang
harus dilakukan adalah dengan pendekatan akal dan argumen-argumen
rasional, karena jalan ini diterima oleh semua manusia. Semua manusia
memiliki akal dan menggunakannya dalam rutinitas kehidupannya. Tidak
satu pun manusia yang mengingkari akal dan fungsinya.
Untuk mengenal Tuhan, terdapat dua bentuk pengetahuan yaitu pengetahuan hudhuri dan pengetahuan hushuli. Pengetahuan hudhuri adalah mengenal
Tuhan dengan hati, yakni tanpa perantara pemahaman yang bersifat
konseptual di pikiran. Orang yang memiliki pengetahuan hudhuri mengenai Allah, tidak membutuhkan argumentasi rasional.
Namun, pengetahuan hudhuri tidak dialami oleh
semua manusia tanpa sebelumnya membentuk jiwanya melalui perjalanan
spiritual yang islami. Adapun tingkatan terendah dari pengetahuan ini,
walaupun dapat dicapai oleh semua orang, namun karena tidak dilandasi
oleh kesadaran rasional maka tidaklah cukup untuk membentuk pandangan
dunia yang universal.
Mengenal Tuhan melalui pengetahuan hushuli adalah
berkaitan dengan konsep-konsep universal yang terbentuk dalam pikiran
manusia. Semua pengetahuan yang didapatkan manusia dari kajian rasional
dan argumentasi filosofis tergolong ke dalam pengetahuan hushuli ini. Pengetahuan ini pada hakikatnya merupakan dasar bagi lahirnya pengetahuan hudhuri.
Disamping dua bentuk pengetahuan di atas, terdapat
pengetahuan lain yang umum digunakan dalam pembahasan teologis, yakni
pengetahuan fitriah. Untuk mengetahui bentuk pengetahuan ini,
pertama-tama kita mesti mengenal kata fitrah. Kata ini berasal dari
bahasa Arab yang berarti “sebuah bentuk penciptaan”. Sesuatu itu
dikatakan bersifat fitrah ketika hakikat penciptaan suatu realitas
menuntut akan hal itu.
Tiga sifat pada perkara-perkara fitriah:
- Perkara-perkara fitriah bagi makhluk-makhluk satu spesis adalah sama, walaupun kualitasnya berbeda, ada yang lemah dan kuat;
- Perkara-perkara fitriah bersifat tetap dalam diri manusia dan tidak mengalami perubahan dalam rentangan zaman;
- Perkara-perkara fitriah itu adalah bagian dari penciptaan makhluk, karena itu itidak diperoleh melalui proses pembelajaran, namun diperlukan bimbingan untuk memperkuat dan mengembangkannya.
Perkara-perkara fitriah yang ada pada manusia terbagi dua macam:
- Pengetahuan-pengetahuan fitriah yang dimiliki oleh setiap orang yang tanpa memerlukan proses belajar;
- Kecenderungan-kecenderungan fitriah.
Mayoritas pemikir agama memandang pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifatullah)
sebagai pengetahuan fitriah. Dan kecenderungan kepada Tuhan, menghamba
kepada-Nya dan kesadaran beragama yang ada pada setiap manusia sebagai
kecenderungan fitriah.
Perlu diperhatikan bahwa pada setiap individu terdapat
derajat pengenalan fitriah kepada Tuhan. Oleh karena itu, mungkin setiap
orang akan meyakini adanya Allah hanya dengan merenung sejenak atau
dengan bernalar secara sederhana. Kemudian ia meningkatkan dan
memperkokoh pengenalan kepada-Nya sampai pada tingkat tersingkap mata
batin dan musyahadah. Namun, potensi-potensi fitriah pada orang biasa
tidak sebegitu kuat disadari. Maka dari itu, mereka memerlukan
argumentasi rasional dan pembahasan rasional untuk dapat mengenal Tuhan
secara pasti dan sadar. Disamping itu, argumentasi rasional sangat urgen
bagi orang-orang yang sudah tertutup mata hatinya ataukah orang-orang
yang sudah terjebak dalam pemikiran materialisme atau isme-isme lain
yang anti ketuhanan.
Tentang Pandangan Dunia
Pandangan dunia manusia terbagi empat:
- Pandangan dunia empiris, yaitu pandangan yang hanya berpijak pada data inderawi, fisikal, dan empiris;
- Pandangan dunia filosofis, yaitu pandangan yang bersandar pada analisis rasional dan penalaran akal;
- Pandangan dunia religius, yaitu pandangan yang diperoleh lewat kepercayaan kepada para pemimpin agama dan pada ucapan-ucapan mereka;
- Pandangan dunia irfani (gnostik),yaitu pandangan yang dicapai melalui alur kasyf (penyingkapan batin) dan syuhudi (penyaksian batin).
Wilayah pengetahuan empirik hanya terbatas pada
fenomena-fenomena alam materi, maka dari itu tidak mungkin bisa
mengetahui secara menyeruluh dasar-dasar penciptaan alam semesta dan
menyelesaikan berbagai persoalan yang bersangkutannya.
Persoalan-persoalan fundamentasl alam semesta di luar jangkauan
ilmu-ilmu empiris, karenanya, ilmu empiris manapun tidak bisa
menolaknya atau menegaskannya. Misalnya, kita tidak mungkin dapat
membuktikan keberadaan Tuhan melalui observasi di laboratorium. Indra
lahiriah tidak dapat menilai ada tiadanya sesuatu di luar alam materi.
Pada sisi yang lain, berbagai perkara-perkara hudhuri dan syuhudi
yang ingin dijabarkan dengan kata-kata dan konsep mesti memerlukan
kemampuan nalar tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan
dasar-dasar analisis rasional dan filosofis.
Lagi pula, sering terjadi kekeliruan men-syuhud atau “menyaksikan”, gambaran-gambaran khayalan dipandang sebagai hakikat realitas .
Seseorang tidak mungkin mencapai berbagai hakikat batin kecuali setelah melakukan sair–suluk
irfani (menapaki jalan spiritual) bertahun-tahun lamanya. Sementara
persoalan-persoalan tentang Sang Pencipta dan keberadaan alam semesta
ini adalah hal yang urgen dan harus segera ditegaskan demi menetapkan
langkah awal dalam proses keberimanan seseorang. Dari satu sisi, sair suluk irfani itu adalah sesuatu yang bersifat praktis bukan teoritis, yakni sebelum memasuki sair suluk
itu semestinya seseorang harus meyakini secara teoritis tujuan sair
suluk-nya, yakni wujud Tuhan itu sendiri dan pengetahuan tentang-Nya.
Nah, penetapan teoritis wujud Tuhan hanya dapat dilakukan secara
maksimal dengan analisis rasional dan observasi akal.
Kesimpulannya, satu-satunya cara bagi seseorang yang
berupaya mencari solusi terhadap masalah-masalah substansial pandangan
dunia dan pengetahuan yang benar tentang Sang Pencipta adalah jalur
logika dan metode rasional. Maka dari itu, pandangan dunia yang hakiki
adalah pandangan dunia filosofis.
Mustahil Mengenal Hakikat Tuhan
Hakikat zat Tuhan tidak bisa dikenali. Tak terjangkaunya
masalah ini oleh pikiran manusia bisa digambarkan sebagai berikut:
karena Tuhan merupakan sebuah hakikat tak terbatas yang dalam
ketakterbatasan-Nya pun tak terbatas. Dia adalah Esa, tanpa ada yang
serupa dengan-Nya, dan tanpa ada yang mampu menandingi-Nya, maka:
- Hakikat zat yang tak terbatas ini sama sekali tidak akan bisa ditangkap oleh pikiran manusia yang terbatas dan tak akan bisa berada dalam lingkup pikiran seseorang, karena apa yang ada dalam lingkup pikiran dan bisa dikuasai oleh akal adalah terbatas; dan segala sesuatu yang digapai – yang selain Tuhan – adalah terbatas;
- Dalil ini bisa dipaparkan sebagai berikut bahwa tak bisa diragukan lagi bahwa manusia adalah makhluk dan akibat Tuhan, dan suatu akibat tidak akan pernah bisa melingkupi sebabnya;
- Demikian juga bisa dipaparkan dengan metode ketiga, yaitu tidak ada sebuah maujudpun di alam ini yang mampu mengetahui hakikat zat Tuhan, melainkan seluruh pengenalan yang dimiliki oleh manusia hanya terbatas pada aksiden-aksiden dan sifat-sifat benda. Apabila kita mendefinisikan air, maka kita akan mengatakan bahwa air adalah sebuah benda cair tak berwarna dan tak berasa yang memiliki massa tertentu. Pada prinsipnya, seluruh yang kita utarakan berkaitan dengan benda adalah penjelasan mengenai sifat-sifatnya, akan tetapi tentang apa substansi dan hakikat air itu sendiri hingga sekarang ini belum terlontarkan. Demikian juga apabila kita menjelaskan air sebagai sesuatu benda cair yang terbentuk dari dua unsur tertentu (yaitu oksigen dan hidrogen), maka permasalahan yang sama akan kita temukan pada kedua unsur tersebut dimana kitapun harus mendefinisikan tentang kekhususan, aksiden, dan sifat-sifat yang dimiliki oleh kedua unsur tersebut.
Meskipun makna dan pengertian ‘wujud’, ‘keberadaan’, dan
‘eksistensi’ adalah sangatlah jelas dan pemahaman tentang ‘wujud’ itu
sendiri tidak membutuhkan satupun penjelasan semantik, akan tetapi
mengenai hakikat zat Tuhan tidaklah demikian, karena zat Tuhan
benar-benar berada di luar jangkauan akal-pikiran manusia. Ilmu manusia
terhadap “hakikat-hakikat” alam adalah tidak pasti. Jadi, apabila
hakikat maujud-maujud alam ini tidak bisa ditangkap oleh pikiran dan
tidak berada dalam kewenangan akal, lantas bagaimana hakikat Pencipta
alam ini apakah bisa dipahami oleh akal dan diketahui?
Perlu ditegaskan bahwa pengenalan akal dan filsafat kepada
Sang Pencipta dan maujud-maujud alam semesta adalah bersifat universal
dan tidak menyentuh wilayah hakikat zat. Walaupun akal tidak dapat
menjangkau hakikat zat segala sesuatu, namun pengenalannya yang bersifat
universal itu sangatlah berarti dan merupakan langkah awal bagi manusia
untuk melakukan perjalanan spiritual dan menggapai puncak
kesempurnaannya. Tanpa pengenalan awal ini mustahil manusia mampu meniti
jalan spiritual secara pasti dan berkelanjutan. Agamapun tidak berada
dalam koridor memberikan pengenalan hakiki tentang zat Tuhan, walaupun
agama menjelaskan tentang sifat-sifat Ilahi pada batas-batas tertentu
secara partikular, namun manusia tetap tidak dapat menjangkau dan
meliputinya secara hakiki. Karena pada dasarnya, pengenalan hakiki
adalah meliputi zat dan sifat sesuatu secara utuh dan menyeluruh dengan
tidak meninggalkan sedikitpun keraguan tentangnya.
Argumen Rasional Keberadaan Tuhan
Argumentasi terbentuk dari dua premis yang memiliki
korelasi khusus dan melahirkan sebuah konklusi. Apabila kita mengatakan
“Socrates adalah manusia” dan “Setiap manusia pasti akan mati”, maka
kesimpulannya pasti adalah, “Socrates pasti akan mati”. Sekarang apabila
kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Pencipta manusia, sementara dalam
hal ini manusia dan kedua premis argumentasi beserta korelasi antara
keduanya dan kesimpulan yang dihasilkannya pada dasarnya adalah
“akibat-akibat” dari Tuhan itu sendiri. Dengan demikian, hakikat
argumentasi yang tidak lain adalah ‘hubungan’ itu sendiri kepada Tuhan,
tidak akan mampu secara mandiri menjadi bukti dan dalil sempurna atas
hakikat zat Tuhan. Hasil maksimal yang dicapai dari bentuk argumen
seperti ini adalah keberadaan Tuhan secara global.
Pengenalan hakiki tentang zat Tuhan adalah sebagaimana
seseorang yang berada di dalam matahari dan kemudian melihat terangnya
alam, baginya, zat matahari adalah dalil bagi munculnya sinar yang
terang itu, bukan sebaliknya, terangnya alam yang menjadi dalil atas
keberadaan matahari.
Nah, pengenalan dalam wilayah hakiki ini memang tidak
berada dalam tanggung jawab filsafat dan wewenang akal, tapi berhubungan
dengan wilayah pengetahuan irfani. Mula Sadra berkata, “Dia tidak
membutuhkan dalil, melainkan Dia adalah dalil atas segala sesuatu”.[1]
Apa yang diungkapkan oleh para filosof dan teolog dalam
bentuk argumentasi atas pembuktian wujud Tuhan, pada hakikatnya sebagai
bentuk peringatan atas kelalaian-kelalaian manusia dan untuk
membangunkan manusia dari “tidur”nya.
Argumentasi-argumentasi filosofis dan teologis disamping
hanya sebagai bentuk peringatan bagi manusia juga untuk menjawab
berbagai keraguan-keraguan filosofis dan kritikan-kritikan akal yang
diajukan oleh manusia tentang eksistensi Tuhan, misalnya berbagai
sanggahan yang diajukan oleh kaum Ateisme seputar masalah-masalah
ontologi. Dalam hal ini, argumentasi rasional dan filosofis tentang
ketuhanan tetap bermanfaat bagi kehidupan keberagamaan manusia, meskipun
masing-masing argumentasi yang ada itu memiliki kelemahan dan kekuatan
yang berbeda.
Dari seluruh argumentasi yang ada, argumentasi yang paling
sempurna adalah yang berangkat dari pengenalan “sebab” kepada
“akibat”nya dan kalimat yang menghubungkan (middle term) dua
premis argumen (minor dan mayor) adalah sebab hakiki bagi premis mayor,
sebagaimana ketika kita mengatakan, “Darah orang ini terinfeksi, dan
setiap orang yang memiliki darah terinfeksi akan memiliki suhu badan
yang sangat tinggi, jadi orang ini memiliki suhu badan yang sangat
tinggi”, dimana middle term-nya adalah “darahnya terinfeksi”
yang juga merupakan sebab hakiki untuk premis mayor yakni “memiliki suhu
badan tinggi”. Argumentasi semacam ini dinamakan a priori demonstration (burhan limmy, argumentasi dari sebab ke akibat). Akan tetapi, argumentasi yang berangkat dari “akibat” ke “sebab” yang disebut dengan posterior demonstration (burhan inny)
menduduki tingkatan yang lebih rendah, sebagaimana kalau kita ingin
membuktikan orang yang pernah melewati suatu jalan dengan melihat bekas
tapak kaki yang ditinggalkannya.
Sebenarnya bisa dikatakan bahwa kita belum sampai pada
argumentasi yang sempurna, karena ketika melihat suatu akibat dan
menyifatinya sebagai bentuk keakibatan lantas hal itu ditempatkan
sebagai dalil, sementara belum dibuktikan bahwa hal itu benar-benar
suatu akibat dari sebab tertentu, dan secara langsung ditetapkan
keberadaan sebab dari akibat tersebut. Bagaimana hal ini bisa diyakini
bahwa akibat itu secara hakiki adalah akibat dari sebab tertentu? Dengan
demikian, sekedar penyipatannya sebagai suatu akibat tidak bisa
dijadikan dalil untuk membuktikan suatu sebab tertentu.
Selama kita tidak menemukan sebab hakikinya mustahil diketahui akibatnya.
Tentunya posterior demonstration ini memiliki bagian lain yang mirip dengan a priori demonstration[2],
yakni berangkat dari satu keniscayaan mengarah pada keniscayaan yang
lain, seperti ketika kita mengatakan, “Alam adalah realitas yang
mengalami perubahan (dari potensi ke aktual), dan setiap realitas yang
berubag adalah baru-tercipta (hadits, yakni pernah tiada kemudian mengada). Jadi, “alam adalah baru-tercipta (hadits)”.
Dalam argumentasi ini, perubahan dan keterciptaan pada dasarnya
merupakan dua hal yang saling meniscayakan, yakni perubahan
berkonsekuensi atau meniscayakan suatu keterciptaan. Argumentasi ini,
meskipun tidak sekuat a priori demonstration, akan tetapi dalam filsafat, ilmu logika, fisika, kimia, dan ilmu matematika sangatlah penting dan bermanfaat.
Tentunya sebagian dari argumentasi yang telah diuraikan
untuk membuktikan eksisitensi Tuhan adalah argumentasi yang mirip dengan
a priori demonstration, sebagaimana argumentasi wujub dan imkan yang sangat penting dan mempunyai peran khas dalam mengkontruksi asas-asas makrifat, akan tetapi dalam argumentasi shiddiqin
akan mengantarkan kita dari suatu ‘keberadaan’ kepada ‘keberadaan
murni’. Dalam argumentasi ini, yang ada hanyalah kemutlakan wujud.
Terutama penjabarannya Allamah Thabathabai yang serupa dengan syair yang
berbunyi: Matahari adalah dalil bagi wujud matahari itu sendiri.
Referensi:
[1] . Rujuklah: kitab Asfar, jilid 6.
[2] . Rujuklah: kitab Asfar, jilid 6, hal. 177.
(teosophy/ABNS)
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar