Oleh: Mohammad Adlany
“Maskh” secara literal bermakna perubahan dari satu bentuk ke bentuk yang lebih buruk.[1] Akan tetapi di dalam al-Quran dan istilah Islam dikatakan sebagai sebuah bentuk azab dan hukuman yang diberikan oleh Tuhan secara mukjizat kepada sekelompok masyarakat atau umat-umat terdahulu, dan efek dari mukjizat ini adalah sebagai hukuman bagi manusia, ibrah dan untuk melihat akhir dari sebuah dosa.[2]
Yang dimaksud dengan manusia mengalami perubahan ke dalam bentuk hewan (seperti ke dalam bentuk monyet) adalah bentuk hewani dari dosa yang telah dilakukan diberikan kepadanya di dunia ini untuk menutupi bentuk manusianya dan mengubahnya menjadi manusia yang mengalami perubahan. Atau dengan ibarat yang lebih sederhana dikatakan sebagai manusia yang berbentuk hewan.
Mayoritas mufassir menyatakan bahwa perubahan yang diceritakan dalam al-Quran merupakan perubahan yang hakiki, yaitu orang-orang tersebut benar-benar mengalami perubahan ke dalam bentuk hewan, akan tetapi terdapat pula beberapa mufassir Ahli Sunnah yang menganggap perubahan semacam ini sebagai sebuah perubahan dalam tabiat, yaitu orang yang dimaksudkan tidak mengalami perubahan ke dalam bentuk hewan, akan tetapi dia hanya memiliki tabiatnya dan tidak lebih baik dari itu.
Penyebab terjadinya perubahan pada sebagian manusia ini adalah dosa-dosa yang telah mereka lakukan dan dimensi ibrah dari azab ini. Dari berbagai riwayat bisa disimpulkan bahwa manusia yang mengalami perubahan ini musnah beberapa hari setelahnya, dengan demikian hewan-hewan saat ini merupakan generasi asli dari hewan bukan generasi dari manusia yang telah mengalami perubahan tersebut.
1. Apakah “maskh” itu dan bagaimanakah terjadinya?
Perubahan dari bentuk manusia ke bentuk hewan dinamakan sebagai “maskh”. Kejadiannya adalah sebagai berikut, manusia-manusia akan memperoleh bentuk malakutnya karena keberulangan sebuah perbuatan,[3] yaitu manusia akan bergerak ke arah jiwa malakuti karena perbuatan-perbuatan baiknya dan karena keikhlasannya, dan sebaliknya ketika mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, maka mereka akan bergerak pula ke alam malakah dari perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam banyak riwayat akhlak, kemarahan diibaratkan sebagai sebuah api[4], atau di dalam al-Quran dikatakan, hakikat dari memakan harta anak yatim sebagai api.[5] Hal ini bukanlah metafora atau majasi, melainkan hakikat dari dosa-dosa tersebut yang telah disampaikan melalui kitab-kitab dan para nabi yang benar.
Kesimpulannya, jika seseorang tenggelam dalam dosa-dosanya, maka hakikat dari dosa-dosa ini bisa muncul dalam bentuk malakah di dalam jiwanya, yang bahkan dia akan dibangkitkan dengan malakah tersebut pada hari kiamat. Dalam salah satu riwayatnya, Imam Baqir As bersabda, “Barang siapa yang menyangkal Tuhan dan rasul-Nya, maka pada hari kiamat mereka akan dibangkitkan dari kubur dalam bentuk monyet dan babi.”[6]
Dari sisi yang lain, kita sama sekali tidak memiliki argumen yang menyatakan bahwa kejiwaan dan bentuk-bentuk kejiwaan yang akan muncul dan terbentuk di alam akhirat tidak bisa terbentuk dan termanifestasi dari batin ke lahirian di dunia ini.[7]
Dalam kaitannya dengan maskh, yang terjadi bukanlah, manusia berubah ke dalam bentuk hewan melainkan bentuk hewan diletakkan di atas bentuk keinsanannya. Dengan demikian yang dimaksud dengan telah berubah adalah manusia yang telah berubah, bukan keberubahan yang kosong dari keinsanan.[8]
Bahasan ini ditegaskan pula oleh argumen-argumen lain, karena sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya, maskh terjadi sebagai sebuah azab dan hukuman pada sekelompok pendosa.
Rasulullah saww dalam salah satu hadisnya bersabda, “Allah telah mengubah umat-umat yang tidak mengindahkan para ausiya dan imam setelah para nabi.”[9]
Maka jika azab Ilahi ini mengenai mereka, berarti mereka tetap harus merasakan keinsanannya namun bentuk hewan telah mendominasi mereka, dan azab dalam masalah ini akan menjadi benar ketika mereka menyadari dirinya sebagai manusia akan tetapi mereka berbentuk babi dan monyet. Dalam kaitannya dengan masalah ini, Imam Ridha As bersabda, “Allah meletakkan manusia-manusia yang telah diubah sebagai ibrah dan nasehat bagi yang lainnya dan sebagai argumen bahwa terdapat orang-orang yang mengalami perubahan dalam bentuk penciptaannya dan dalam kejadian maskh ini terdapat kemiripan dengan bentuk manusia sehingga bisa dipahami bahwa mereka adalah manusia-manusia yang dimurkai.”[10] Yaitu mereka sendiri mengetahui bahwa diri mereka manusia, demikian pula orang lain pun mengenali mereka, namun maskh ini telah mendominasi bentuk insani mereka.
Dalam salah satu hadis dari Imam Zainal Abidin As dikatakan, “Setelah para Yahudi melakukan dosa dengan tidak mengindahkan perintah Allah untuk tidak memancing pada hari Sabtu, Allah mengubah mereka ke dalam bentuk monyet.” Dalam salah satu ayat-Nya, Allah berfirman, “Dan sesungguhnya kamu telah mengetahui orang-orang di antara kamu yang melanggar (ketentuan Ilahi) pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, “Jadilah kera-kera yang hina!”[11] Sekelompok dari monyet-monyet yang tinggal di kota-kota sekitar berdatangan ke tempat tersebut untuk menyaksikan mereka. Setelah terjadinya perubahan muka pada manusia-manusia ini, sebagian dari monyet yang sebelumnya mengenal para pendosa ini masih tetap mengenalinya, dan mengatakan, “Bukankah kamu adalah fulan putra fulan?” Maka monyet tersebut menganggukkan kepalanya dengan bercucuran air mata.[12]
2. Apakah terdapat jenis-jenis maskh?
Mayoritas mufassirin menyepakati bahwa maskh dan perubahan yang disinggung di dalam al-Quran dalam kaitannya dengan berubahnya seseorang menjadi monyet dan babi merupakan sebuah perubahan dan maskh yang hakiki, yaitu orang tersebut benar-benar berubah bentuk menjadi monyet dan babi, akan tetapi terdapat sekelompok kecil dari mufassir Ahli Sunnah seperti Syeikh Muhammad Abduh dan lain-lain yang menganggap maskh ini sebagai sebuah keberubahan tabiat saja, sebagaimana hal tersebut tersirat di dalam salah satu ayat al-Quran, “Kamatsalil Khimar yahmalu asfara” dimana seseorang yang dimaksudkan tidak berubah ke dalam bentuk keledai, melainkan dia memiliki tabiat seperti itu dan tidak lebih baik darinya.[13]
3. Apakah manusia yang telah diubah ini juga melakukan reproduksi dalam bentuknya yang telah mengalami perubahan, kemudian tetap ada hingga sekarang?
Jawaban dari pertanyaan ini telah keluar dari dasar-dasar ilmu empiris dan genetik, dan pada prinsipnya cabang-cabang keilmuan ini tidak mampu membuktikan permasalahan semacam ini, karena jika manusia-manusia yang telah berubah tersebut masih tetap ada maka akan berbentuk monyet yang mirip dengan monyet-monyet lainnya, dan jika pun terbukti terdapat perbedaan pada sebagian monyet dengan monyet-monyet sejenisnya, tetap tidak ada alasan bagi keberlanjutan generasi manusia-manusia yang telah mengalami perubahan ini.
Akan tetapi riwayat-riwayat Ahli Bait As mengisyarahkan tentang topik ini, Imam Ali bin Al-Husain As dalam salah satu hadisnya bersabda, “Manusia-manusia yang telah mengalami perubahan tetap hidup hingga tiga hari kemudian, namun setelah itu Allah mengirimkan hujan dan angin dan melemparkan seluruh mereka ke lautan, setelah itu tidak satupun dari mereka yang masih hidup, sedangkan hewan-hewan yang saat ini kalian saksikan memiliki bentuk seperti mereka, sebenarnya hanyalah mirip dengan mereka, karena hewan-hewan ini bukanlah mereka ataupun generasi mereka.”[14]
Dan jika pada sebagian riwayat disebutkan bahwa alasan keharaman daging anjing, babi dan monyet adalah karena keberubahan mereka, maka maksudnya disini bukanlah bahwa hewan-hewan ini adalah generasi mereka, melainkan karena bahaya yang terdapat pada dagingnya dan karena untuk mengingatkan akan hukuman Tuhan terhadap sebagian manusia yang telah berubah bentuk ke dalam bentuk ini, supaya masyarakat tidak mendekati hewan-hewan seperti ini dan menyepelekan azab dan hukuman Ilahi.”[15]
[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]
Referensi:
[1] . Al-Munjid, kata “maskh”.
[1] . Al-Munjid, kata “maskh”.
[2] . Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, rujuklah: Terjemahan al-Mizan, jil. 1, hal. 310 dan seterusnya.
[3] . Al-Mizan, jil. 1, hal. 311.
[4] . Mi’raj As-Sa’adah, baba: Dar Madhemat-e Ghadhab, hal. 172.
[5] . Qs. An-Nisa: 10.
[6] . Safinatul Bihar, jil.4, hal. 377.
[7] . Al-Mizan, jil. 1, hal. 311.
[8] . Ibid.
[9] . Safinatul Bihar, jil. 4, hal. 376.
[10] . Tafsir Nur Ats-Tsaqalain, jil. 1, hal. 86.
[11] . Qs. Al-Baqarah: 65.
[12] . Tafsir Shafi, Mula Muhsin Feidz, jil. 1, hal. 620.
[13] . Tafsir Kasyif, Muhammad Jawad Mugniyah, jil. 1, hal. 121.
[14] . Tafsir Shafi, Mula Muhsin Feidz, jil. 1, hal. 620.
[15] . Safinatul Bihar, jil. 4, hal. 375.
(teosophy/ABNS)
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar