Oleh: Mohammad Adlany
Para filsuf dan pemikir barat mengadopsi argumen imkan dan
wujub dari fisuf-filsuf muslim, tetapi mereka tidak sempurna dalam
memahami dan memaparkannya. Kekeliruan dalam paparan mereka adalah
anggapan bahwa jika keseluruhan wujud di alam ini adalah wujud-wujud
kontingen maka niscaya pada waktu tertentu wujud-wujud ini akan tiada.
Kekeliruan ini, membuat para pengkritik argumen ini beranggapan bahwa
jika alam ini senantiasa ada maka akan menjadi azali dan tak lagi
memerlukan sebab. Kondisi ini menjadikan alam ,yang secara esensial
merupakan wujud kontingen, sesuai dengan keazalian. Artinya tak mustahil
jika ada realitas wujud yang bergantung kepada wujud azali tetapi
keazalian ini tidak menghilangkan kebergantungannya kepada sebab bahkan
keperluannya semakin bertambah.
Konsekuensi dari anggapan itu adalah waktu itu sendiri
menjadi realitas wujud yang berdiri sendiri dan mandiri dari wujud
kontingen, yakni waktu itu sendiri memiliki eksistensi tetapi tak
satupun realitas wujud berada di dalamnya. Nah, sekarang kita bertanya
tentang waktu itu sendiri, apakah dia wujud kontingen? Kalau wujud
kontingen maka tak perlu waktu itu sendiri barada di dalam suatu
realitas waktu. Jika waktu itu sendiri bukan wujud kontingen maka pasti
Wujud Wajib atau wujud mustahil. Kalau wujud mustahil maka tak mungkin
mewujud, sementara secara riil waktu itu sendiri telah terwujud. Jika
waktu itu sendiri adalah Wujud Wajib maka juga mustahil, karena waktu
itu sendiri tidak memiliki sifat-sifat Wujud Wajib.
Konklusi dari pemahaman keliru itu adalah kalau keseluruhan
wujud di alam ini adalah wujud-wujud kontingen maka niscaya pada waktu
tertentu wujud-wujud itu akan meniada.
Di bawah ini akan kami kutipkan pemaparan argumen imkan dan
wujub oleh Thomas Aquinas. Argumen ini sampai ke tangan filsuf-filsuf
barat melalui penerjemahan karya-karya Ibnu Rusyd di abab pertengahan
oleh Thomas Aquinas, seorang filsuf dan teolog besar Kristen.
Menurut Thomas, dalil ini merupakan salah satu dari lima
dalil dalam pembuktian eksistensi Tuhan, ia berkata, “Kita melihat
realitas di alam ini bahwa sesuatu di masa yang akan datang bisa mewujud
dan juga meniada, ini dikarena bahwa semua realitas tersebut berada
dalam kondisi yang senantiasa berubah. Tetapi, mustahil
realitas-realitas itu senantiasa mewujud, karena secara esensial, wujud
kontingen tak meniscayakan eksistensi. Oleh karena itu, segala wujud
kontingen pada waktu tertentu akan meniada. Wujud kontingen untuk
mewujud membutuhkan wujud yang senantiasa ada dan mustahil tiada. Kalau
pada zaman dahulu tak ada satupun wujud (baca: selain wujud kontingen)
maka mustahil wujud kontingen bisa mengada. oleh karena itu, mustahil
semua realitas wujud adalah wujud kontingen, tetapi niscaya ada realitas
wujud sebagai Wujud Wajib.”
Setiap realitas wujud adalah niscaya, tetapi keniscayaannya
ada yang berasal dari wujud lain dan berasal dari diri sendiri
(swa-niscaya). Sebagaimana telah ditetapkan kaidah bahwa mustahil
terjadi mata rantai tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat.
Berdasarkan kaidah ini, terpaksa kita menerima adanya realitas wujud
yang secara esensial adalah niscaya (baca: Wujud Wajib) dan
keniscayaannya tak berasal dari wujud lain, bahkan keniscayaan itu
dipancarkan kepada wujud lain. Manusia menyebut realitas wujud ini
sebagai Tuhan[1].
Dengan menyimak paparan di atas, maka disimpulkan bahwa
pemahaman dan penjabaran argumen imkan dan wujub dari filsuf-filsuf
muslim sedikit berbeda dengan yang dipaparkan oleh filsuf-filsuf barat.
Karenanya, tidak berdasar berbagai kritik yang dilontarkan oleh filsuf
barat diatas bangunan argumen dari filsuf muslim, karena ada kekeliruan
dalam pemahaman dan penjabaran argumen tersebut.
Kritik Atas Argumen Imkan dan Wujub
Argumen ini berpijak dan bersumber pada analisis rasional
keserbamungkinan esensi kuiditas. Ibnu Sina untuk pertama kalinya
menyebut argumen ini dalam kitab Isyarat wa at-Tanbihat sebagai
burhan shiddiqin. Kekhususan argumen ini tidak bersandar pada argumen
gerak, keteraturan dan hudus (kebaruan dalam penciptaan) tapi
mempergunakan bentuk hubungan ketergantungan esensi kuiditas (mahiyah)
dan realitas hakiki atau hubungan ketergantungan hakiki wujud kontingen
dan Wujud Wajib.
Kritikan filsuf barat atas argumen ini, sebenarnya tak
lepas dari faktor adanya kesalahan dalam penerjemahan karya-karya filsuf
muslim. Disamping itu juga, terdapat kesalahan dalam memahami argumen
ini, mereka tidak memasukkan teori kausalitas sebagai bagian yang
prinsipil dalam bangunan argumen ini. Prinsip kausalitas merupakan
prinsip universal bagi semua bangunan argumen dan tak terkhusus pada
argumen imkan dan wujub. Menolak teori kausalitas sama artinya menutup
semua jalan untuk menetapkan dan menafikan segala sesuatu.
David Hume, dalam kritikannya terhadap argumen ini, ia
menyatakan, “Jika secara esensial, hubungan antara wujud-wujud
partikular (sebagian wujud kontingen) dan eksistensi dan non-eksistensi
di alam ini bersifat sama dan seimbang, maka untuk mewujud memerlukan
sebab. Kaidah ini tidak berlaku secara universal untuk keseluruhan
realitas wujud, karena tak ada kesetaraan antara wujud-wujud partikular
dan keseluruhan wujud, misalnya jika setiap manusia memiliki satu ibu,
maka tidak bisa dihukumi secara universal bahwa keseluruhan manusia
memilki satu ibu.”[2]
Jawaban kritikan di atas sebagai berikut:
Hume menyangka bahwa argumentasi itu berlandaskan atas
keserbamungkinan mewujudnya sebagian wujud kontingen di alam. Anggapan
ini sangat keliru, karena inti argumen imkan dan wujub adalah wujud
kontingen niscaya membutuhkan wujud lain (baca: Wujud Wajib, Tuhan)
untuk mengada. Kaidah ini bersifat hakiki dan universal yang berkaitan
dengan keseluruhan wujud kontingen dan bukan sebagiannya.
Kritik lain atas argumen ini adalah keniscayaan wujud hanya merupakan kategori logika[3] dan kategori logika tidak berhubungan dengan realitas eksistensi eksternal atau wujud hakiki.
Jawaban kritikan tersebut sebagai berikut:
Keniscayaan memilki pengertian yang sama dalam ilmu logika
dan filsafat. Makna keniscayaan dalam ilmu logika juga teraplikasikan
dalam filsafat. Keniscayaan ini terkait secara langsung dengan realitas
eksternal dan wujud-wujud hakiki di alam ini.
Mullla sadra berkata, “Bahwa keniscayaan memiliki satu
pengertian, tetapi pengertian ini bergradasi sesuai dengan predikat yang
melekat kepadanya, misalnya angka empat niscaya genap dan wujud Tuhan
niscaya ada. Pengertian keniscayaan yang ada pada kedua proposisi itu
memiliki gradasi dan berjenjang. Keniscayaan tidak semata-mata
berhubungan dengan realitas eksistensi Tuhan, tetapi berkaitan dengan
segala realitas wujud baik eksternal (wujud di alam) maupun internal
(wujud dalam pikiran.”[4]
Argumen imkan dan wujub tidak berpijak pada analisis akal
tentang pengertian kuiditas wujud kontingen yang secara esensial
meniscayakan kebergantungan kepada sebab, tetapi berpijak pada analisis
akal tentang realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki di alam ini.
Jadi pengertian keniscayaan murni berasal dan bersumber dari eksistensi
eksternal dan wujud hakiki, dan bukan sebuah pengertian yang tak
memiliki obyek nyata dan hakiki (baca: pengertian yang semata-mata dalam
pikiran).
Ibnu sina dalam memaparkan argumen tersebut secara langsung
menggunakan obyek eksternal dan eksistensi hakiki dalam proposisi. Dia
berkata, “Karena wujud mustahil tidak memiliki realitas eksternal dan
wujud hakiki maka yang berwujud hanya dua kemungkinan yaitu wujud
kontingen dan Wujud Wajib, dan kalau realitas eksistensi eksternal itu
adalah wujud kontingen maka
Sangkaan David Hume atas keniscayaan adalah sebagai
berikut: pertama, pengertian keniscayaan hanya dalam kategori logika dan
menolak aplikasinya dalam filsafat[5]. Kedua, keniscayaan terbatas pada proposisi analitik yang predikatnya melekat pada subyek.
Jadi, anggapan Hume tentang bahwa keniscayaan hanya
teraplikasikan pada satu subyek yang telah terasumsi validitasnya dalam
pikiran, dan kemudian subyek itu diletakkan berbandingan dengan subyek
atau bagian-bagian dari subyek itu sendiri, lalu subyek yang terasumsi
itu atau bagian-bagiannya dipredikasikan kepada subyek yang terasumsi
itu, seperti manusia adalah manusia.
Berdasarkan prasangka di atas, setiap argumentasi yang
berakhir berpijak pada keniscayaan hanya berlaku dalam ruang lingkup
presentasi pikiran dan pemikiran dan tidak berhubungan dengan realitas
eksternal dan wujud hakiki.
Jawaban atas sangkaan ini adalah sebagai berikut:
Keniscayaan berlaku pada semua proposisi baik analitik[6] maupun hakiki[7]. Pengertian keniscayaan bersumber dari fenomena hakiki dan menunjuk langsung pada eksistensi eksternal yang nyata.
Argumen imkan dan wujub tidak bersandar pada analisa
pikiran atas pemahaman kuiditas eksistensi yang terasumsi, tetapi
terbangun di atas analisa akal atas realitas eksistensi luar dan wujud
hakiki dan juga diperoleh dari perbandingan langsung antara persepsi
suatu kuiditas dan extensi-extensinya[8].
Jadi, yang dipergunakan dalam argumen ini adalah konsepsi keniscayaan
yang terkait secara hakiki dengan extensi-extensi eksternal, dan extensi
keniscayaan adalah eksistensi hakiki dan realitas eksternal[9]. Oleh karena itu, pengetahuan kita terhadap eksistensi keniscayaan itu sendiri bersifat badihi.
Mengingkari keniscayaan sama dengan menolak eksistensi, realitas dan
wujud hakiki. Menolak eksistensi dan wujud hakiki sama dengan memungkiri
diri kita sendiri.
Kritik lain untuk argumen ini bersifat epistimologis bukan
filosofis. Kritik ini berbunyi, “Suatu argumen dianggap sempurna jika
realitas eksternal dan wujud hakiki berada dalam jangkauan persepsi akal
dan pengetahuan-pengetahuan rasionalitas manusia bersesuaian dengan
realitas eksistensi hakiki, jika realitas wujud tersebut tidak dalam
jangkauan persepsi akal maka argumen tersebut tidak sempurna dan tak
berguna. Sebagai contoh dalam argumen ini, dikatakan bahwa realitas
terbagi dua bagian yaitu Wujud Wajib dan wujud kontingen, dan pembagian
ini bersandar pada kaidah kemustahilan terkumpulnya dua hal yang kontradiksi, kaidah
ini walaupun bersifat rasional tetapi tidak memiliki realitas
eksistensi hakiki dan obyek luar yakni dua wujud yang saling
berkontradiksi dan bertentangan mustahil mewujud di alam riil. Karena
argumen ini berhubungan dengan kaidah itu maka argumen imkan dan wujub
tidak memiliki pondasi yang kuat.”
Jawaban atas kritikan itu adalah sebagai berikut:
Kritikan ini berhubungan dengan ilmu epistimologi.
Pengkritik meragukan nilai ilmu dan pengetahuan manusia, dan keraguan
atas ilmu dan pengetahuan manusia sama dengan menolak dan memungkiri
kebenaran ilmu dan pengetahuan manusia, konsekuensinya adalah
pengingkaran realitas eksternal dan eksistensi hakiki.
Bentuk keraguan seperti ini sangat halus sehingga terkadang
kita tak menyadari keterjebakan kita di dalamnya. Problem yang sangat
besar adalah kalau kita tidak mengetahui metode dan rumusan
penyelesaiannya. Keraguan merupakan jembatan emas untuk sampai kepada
kesempurnaan ilmu dan pengetahuan, tetapi menetap di atas jembatan itu
akan mengakibatkan ketersiksaan jiwa dan keterasingan batin terhadap
dirinya sendiri. Inti dan hakikat ilmu dan pengetahuan sama dengan
hakikat eksistensi eksternal dan wujud hakiki. Menolak kebenaran ilmu
dan pengetahuan manusia sama dengan mengingkari realitas eksistensi
eksternal dan memungkiri realitas eksistensi erksternal sama dengan
menolak keberadaan dan eksistensi diri sendiri. Jadi, perbedaan yang
nyata dalam ilmu dan pengetahuan manusia bukan bermakna ketiadaan
kebenaran ilmu dan pengetahuan, tetapi perbedaan itu berarti bahwa ilmu
dan pengetahuan manusia berjenjang, bertingkat dan bergradasi. Perbedaan
itu jangan dipandang secara horizontal atau hitam putih, tetapi
dipersepsi secara vertikal atau bergradasi.
Dalam perspektif ontologis Mulla Sadra, dijelaskan bahwa
realitas eksternal dan wujud hakiki bersifat gradasi, yakni ada
perbedaan intensitas dalam eksistensi hakiki. Jadi, wujud yang paling
tinggi hingga wujud yang paling rendah semuanya disebut wujud, dibalik
kemajemukan wujud terdapat kesatuan wujud yang hakikatnya bergradasi.
Karena ilmu dan pengetahuan berpijak pada realitas eksternal dan wujud
hakiki maka ilmu dan pengetahuan juga berjenjang. Wujud Wajib (baca:
wujud Tuhan) adalah wujud yang paling tinggi dan sempurna, jadi ilmu
yang berkaitan dengan wujud Tuhan menjadi ilmu yang paling tinggi dan
sempurna, dan begitu pula sebaliknya, hubungan antara wujud yang rendah
dengan ilmu. Pluralitas dalam hal ini adalah pluralitas bergradasi dan
bukan horizontal.
Referensi:
[1] . Etin Jilson, Mabani falsafe-e masahiyyat, penerjemah Muhammad Muhammad Reza-I, hal. 118.
[2] . Bertrand Russel, Irfan wa Mantiq, hal. 213.
[3] . Sebuah pahaman yang tidak didasarkan pada obyek nyata dan tidak berasal dari realitas dan eksistensi hakiki.
[4] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 91.
[5] . Subyek pembahasan filsafat adalah realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki.
[6]
. Proposisi analitik adalah subyek pembahasan hanya dalam pikiran,
misalnya sekutuTuhan mustahil ada. Jadi, apa yang diasumsikan oleh akal
tentang sekutu Tuhan tidaklah mustahil hadir dalam pikiran, dengan
ungkapan lain bahwa asumsi sekutu Tuhan adan dalam pikiran.
[7]
. Proposisi hakiki adalah subyek pembahasannya di alam eksternal dan
berkaitan dengan wujud hakiki, misalnya Imam Husain as syahid di karbala
atau Zionis membunuh anak-anak Palestina. Proposisi tersebut aktual dan
faktual.
[8]
. Pengertian extensi (mishdaq) dapat dicontohkan sebagai berikut:
Muhammad, Ali, Hasan dan Husain adalah manusia. Jadi yang dimaksud
dengan Muhammad, Ali, Hasan dan Husain adalah extensi (mishdaq) dari
manusia. Manusia itu sendiri tidak memiliki obyek luar, yang ada
obyeknya di luar adalah Muhammad dan sebagainya.
[9]. Wujud eksternal adalah bersifat hakiki dan pengetahuan atasnya bersifat badihi,
jelas, gamblang dan tak memerlukan argumen. Manusia yang menolak
realitas eksistensi eksternal dan wujud hakiki sama dengan menolak
eksistensi dan wujud dirinya sendiri.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar