SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany
 
Kesempurnaan setiap maujud mempunyai batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Karena karakteristik masing-masing maujud, mulai dari tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia, adalah berbeda satu sama lain, maka kesempurnaannya pun menjadi berbeda dan bertingkat-tingkat. Setiap maujud dikatakan sempurna ketika potensi-potensi khusus yang ada pada dirinya telah aktual.

Kesempurnaan setiap maujud harus ditemukan dalam sistem alam penciptaan. Untuk melakukan hal ini, harus dilakukan pengenalan terhadap hakikat suatu maujud untuk kemudia menempatkan kedudukannya di alam penciptaan, setelah itu dibutuhkan spesialisasi yang untuk mengetahui, memperkirakan, dan terakhir memberikan kesimpulan yang layak. Tentunya, penentuan kesempurnaan suatu maujud tidak bisa merujuk pada pendapat masyarakat umum, adat istiadat, dan peradaban.



1. Mengenal kesempurnaan manusia
Dengan memperhatikan pemikiran di atas, maka hal-hal yang diperlukan untuk mengenal kesempurnaan manusia, adalah:
  1. Mengenal dimensi kesempurnaan manusia;
  2. Menetapkan dimensi terbaik di antara seluruh dimensi wujud yang dimilik manusia;
  3. Mencari kesempurnaan yang layak dari poin terbaik;
  4. Menemukan metodologi pendidikan dan pembinaan untuk mengarahkan manusia menuju titik kesempurnaan tertinggi;
  5. Cerdas dalam melangkah, mengenal, dan memilih jalan dan tarikat di antara jalan-jalan yang telah dikenali;
  6. Menemukan derajat dan kedudukan yang harus diperoleh pada perjalanan menyempurna ini,
  7. Memperoleh akhir kedudukan yang ditempuh oleh seorang pesuluk dan sampai pada titik akhir kesempurnaan.

2. Proses pencapaian kesempurnaan manusia
Syarat pertama untuk melakukan perjalanan ke arah tujuan tertinggi manusia adalah melaksanakan ketujuh poin di atas, yang tidak memperhatikan salah satunya atau meninggalkan seluruhnya akan menyebabkan kebingungan dan kesesatan bahkan pada awal perjalanan.
  1. Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, manusia merupakan sebuah majemuk dari seluruh tingkatan eksistensi dan merupakan contoh atau miniatur dari seluruh keberadaaan. Manusia yang paling sempurna akan memiliki seluruh kesempurnaan yang dimiliki oleh Sang Penciptanya.
  2. Telah dikatakan bahwa dimensi terbaik dan terunggul yang dimiliki oleh manusia adalah dimensi nonmaterinya (akal) yang menyebabkan seluruh malaikat bersujud padanya.
  3. Kesempurnaan yang layak untuk kedudukan manusia ini adalah dia merupakan dan menjadi maujud yang terbaik dan paling sempurna di antara seluruh eksistensi, tidak menganggap dirinya kecil, rendah, dan tidak menjual dirinya untuk tingkatan yang lebih rendah seperti materi, melainkan memanfaatkan dan meletakkan seluruhnya sebagai alat dan wasilah dalam perjalanan menuju tingkatan tertinggi dan untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi dan paling sempurna.
  4. Melewati dan meniti jalan yang diperintahkan oleh Tuhan yang telah ditetapkan oleh-Nya dengan diturunkannya agama Islam lewat Nabi dan Rasul-Nya. Dimana hal ini harus ia lakukan dengan menghiasi aspek lahir dan dimensi batin dengan mengamalkan perintah-perintah dan aturan-aturan Tuhan (baca: syariat) serta tidak penafikan aturan-aturan Ilahi tersebut sekecil apapun, dan pada langkah pertama dia harus menegaskan dirinya untuk melaksanakan hukum yang wajib dan mushtahab, dan meninggalkan yang mubah, haram, dan makruh, serta berusaha untuk mendakwakannya.
  5. Meletakkan setiap jejak dan langkahnya dalam tradisi orang-orang yang shaleh dan berilmu, berjalan sendiri sangat besar kemungkinan untuk tersesat karena dia tidak mampu mengenali jalan yang hak dan benar, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Musa bin Ja’far as dalam salah satu haditsnya, “Binasalah orang yang tidak memiliki pembimbing yang membimbingnya” dan sebagaimana yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Ali as, sebelum manusia mencapai tingkatan alim rabbani (orang yang benar-benar mengenal Tuhan) dan mengetahui derajatnya, terlebih dahulu dia harus belajar untuk mendapatkan jalan keselamatan.
  6. Mengetahui setiap tahap dari masing-masing derajat dan kedudukan spiritual, supaya dia tidak menghentikan langkahnya pada posisi yang telah didapatkannya, karena setiap kedudukan memiliki pengaruh yang sebegitu agung dan menakjubkan kadangkala hal ini memunculkan sangkaan pada seseorang bahwa dia telah sampai pada titik tertinggi dari kesempurnaan, sementara dia tidak mengetahui bahwa saat ini dia baru saja memulai perjalanannya yang begitu panjang. Salah satu persoalan yang paling urgen dalam melakukan perjalanan ke arah tujuan yang benar dan hakiki adalah terletak pada kesalahan dalam menentukan kedudukan dan derajat spiritual ini, yang tentu saja akan menyebabkan stagnasi dalam perjalanan ke tahapan selanjutnya. Pada tahapan ini, diharuskan ada seorang guru untuk membimbingnya ke derajat dan kedudukan tertinggi. Melakukan perjalanan spiritual seorang sendiri dengan tanpa guru sebagai pembimbing spiritual, kadangkala akan mengakibatkan perjalanan justru mengarah ke ambang kesesatan, kehilangan akal sehat, dan munculnya kebingungan. Apabila untuk melakukan perjalanan di alam ini saja kita harus mengetahui dan mengenal lintasannya, bagaimana mungkin kita akan bisa berjalan di alam transenden dan spiritual tanpa terlebih dahulu mengetahui dan mengenal lintasan perjalanannya dan tanpa adanya guru pembimbing?
  7. Akhir dari derajat dan kedudukan manusia adalah perjalanan menuju “Realitas Tak Terbatas”, Tuhan.

3. Hakikat insan dan kesempurnaannya
Faktor paling besar penyebab kesalahan dalam perjalanan manusia saat ini adalah ketidakjelasan dan ketiadaan perhatian terhadap hakikat manusia. Persoalan ini telah menyebabkan manusia meninggalkan fitrah yang benar dan terjerumus ke lembah kesesatan. Dalam keadaan seperti ini, kesalahan, kesesatan, dan keburukan telah termanifestasi dalam bentuk tujuan yang tinggi, sedangkan tujuan asli dan hakiki mereka telah terlupakan. Dalam keadaan ini, hawa nafsu dan khayalan kosong diposisikan sebagai arah dan tujuan yang sebenarnya.

Ulama sejati yang akan duduk sebagai pemimpin kafilah manusia dan memperkenalkan dirinya sebagai pemimpin masyarakat adalah penting bagi mereka untuk terlebih dahulu berpikir tentang hakikat manusia dan berusaha menentukan identitas hakiki manusia untuk mengetahui poin-poin kesempurnaan yang layak untuk mereka.

Manusia yang sifat dasarnya adalah bersumber dari malaikat dan ruh Ilahi, “Dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku”[1], untuk apa mengarahkan dirinya pada suatu realitas yang bukan tujuan suci penciptaannya? Manusia yang Tuhan menyebut kedudukannya dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya”[2], tidak seharusnya menjadikan tempat tinggal abadinya di asfalus-safilin (paling rendahnya kedudukan), melainkan tempat terendah tersebut (baca: alam materi) harus dianggap sebagai batu loncatan menuju ke langit suci makrifat dan derajat tertinggi.

Burung-burung angkasa yang sayapnya lebar yang tidak bisa tertampung dalam sebuah sangkar dan sarang manapun, sama sekali tidak layak terpenjara dalam sebuah sangkar yang sempit. Dia harus terbang bebas mengarungi angkasa, lautan, dan hutan-hutan.

Manusia yang kalbunya tidak dapat dipenuhi dan dipuaskan oleh realitas apapun, sehingga apabila planet bumi ini diserahkan kepadanya, ia tetap akan memikirkan untuk menguasai planet-planet lainnya, dan apabila telah menguasai seluruh alam, masih tetap memiliki keinginan untuk menguasai apa yang berada di luar alam, apakah dia akan merasa beruntung dan bahagia dengan hanya mengenyangkan perut dan syahwatnya? Tidak, sama sekali tidak demikian, apabila dia memiliki kapasitas wujud yang tidak terbatas, maka dia hanya layak untuk sesuatu yang juga tidak terbatas, dan kesempurnaan hakikat yang tak terbatas ini menuntut kehadiran realitas kesempurnaan yang tidak terbatas pula.

Ibarat di atas adalah kandungan dari ayat, “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”[3], yang dengan beberapa penegasan mengatakan bahwa satu-satunya yang mampu menenangkan hati dan memberi ketentraman serta kepuasaan pada kalbu dan jiwa manusia tidak lain adalah Sang Penciptanya sendiri.

Dalam sebuah hadits mulia dikatakan, jiwa mukmin adalah ‘rumah’ Tuhan, maka janganlah kalian menerima selain Tuhan di dalam rumah ini. Kesempurnaan yang layak untuk manusia adalah tidak melepaskan diri dari mengingat Tuhannya dan mencintai-Nya dengan setulus hati.

4. Para nabi, pembimbing kesempurnaan
Karena Tuhan mengajak manusia ke arah kesempurnaan-Nya dan menjaminnya keamanan, ketenangan, dan kehancuran dunia serta juga memberikan kemudahan untuk menggapai realitas alam malakuti, maka Dia menciptakan teladan-teladan suci berupa Nabi, Rasul, dan Ahlulbait dan mengajak seluruh manusia untuk berjalan bersama mereka dan meniti jalan yang mereka lalui, teladan-teladan suci tersebut diletakkan sebagai contoh dari kalangan manusia yang telah mampu mencapai derajat dan kedudukan manusia yang paling tinggi.

Dalam keadaan ini, karena kita belum menjadi manusia sempurna adalah logis apabila segala gerak dan langkah kita sebagaimana gerak dan langkah para manusia sempurna tersebut, dan kita bergerak dan berjalan di bawah hidayah dan bimbingan mereka.

Hal ini persis seperti keadaan orang buta yang melakukan perjalanannya dengan meletakkan tangannya pada genggaman orang yang tidak buta. Sudah pasti orang buta tersebut akan melangkah sebagaimana orang yang tidak buta, dia akan aman dari bahaya kebutaan, karena meskipun dia buta, akan tetapi gerak dan langkahnya bukan gerak dan langkah orang buta.

Dalam lingkup tujuan yang sangat agung dan berharga inilah kemudian tercipta maktab suci Ilahi untuk memberikan bimbingan dan mengarahkan keinginan mulia manusia, dan mengingatkan bahwa apabila keinginan hakiki manusia tidak diiringi dengan hidayah khusus dengan perantara para teladan suci dan manusia sempurna, maka kesempurnaan tertinggi dan tujuan suci penciptaan manusia tidak akan pernah tergapai dan terwujud.

5. Dosa, penghalang kesempurnaaan
Almarhum Allamah Thabathabai ra sepakat bahwa melakukan maksiat dan dosa sekecil apapun, akan mampu menjadi penghalang bagi perjalanan memasuki medan makrifat Ilahi, dan mengetahui kewajiban berkenaan dengan perintah-perintah suci Ilahi adalah syarat awal menuju kesempurnaan dan langkah awal seorang pesuluk.

Tentu saja puncak kesempurnaan ini tidak dapat dengan mudah diperoleh karena menuntut penjagaan ketat dan kehati-hatian sempurna. Almarhum Allamah dalam risalahnya al-Wilayah menukilkan bahwa gurunya, almarhum Ayatullah Sayyid Ali Qadhi Thabathabai, mengatakan bahwa para pertapa India yang hanya memakan sebutir kacang dalam setiap minggunya, tidak tidur pada hari-hari tertentu, berdiri di atas satu kaki dengan merentangkan kedua tangan dalam sehari semalam, atau hal ajaib lainnya, pada dasarnya mereka telah lari dari amanah dan tanggung jawab yang besar dan beralih pada hal-hal yang mudah. Tanggung jawab yang besar dan perbuatan yang mulia adalah dalam waktu selama 70 tahun sama sekali tidak berbohong, ghibah, riya, memandang perempuan non-mahram, dan lain-lain. Sebagian dari murid almarhum Ayatullah Ogho Rahim Arbab menukilkan bahwa beliau berkata, sejak umur lima belas tahun hingga sekarang, aku tidak pernah satu kali pun memandang perempuan non mahram.

Jadi, kemestian pengamalan seluruh kewajiban dan perintah Ilahi merupakan syarat pertama untuk memasuki wilayah suci Ilahi dan secara bertahap dia akan mengalami perluasan kapasitas wujudnya.
Amirul Mukminin Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah mengatakan, kalbu dan jiwa manusia merupakan wadah-wadah dan terbaiknya wadah adalah yang memiliki kapasitas yang terbanyak.

Program-program yang telah difirmankan oleh Tuhan untuk manusia dan tertuang di dalam agama suci Islam mengatakan bahwa badan materi merupakan sebuah eksistensi yang tidak abadi dan fana, maka jadikanlah badan-badan tersebut menjadi realitas ruhani dan Ilahi (yakni jiwa melesak ke alam tinggi malakuti), karena tidak mengikuti aturan-aturan Ilahi hanya akan menjadikan ruh menjadi realitas materi (yakni jiwa akan turun ke alam terendah materi).

Kebodohan dan kejahilan yang tidak memberikan manfaat sedikitpun, lantas berperan dan berusaha dalam membumi hanguskan program-program Ilahi dan meletakkan segala sesuatu untuk berkhidmat kepada alam materi dan dunia, dan kejahilan ini dengan seluruh usahanya berupaya untuk menyimpangkan agama Islam supaya manusia-manusia malang terjebak dan terkubur dalam sifat dan prilaku hewan. Mereka menganggap bahwa tolok ukur kebahagiaan dan kesempurnaan manusia terletak pada motivasi-motivasi dalam memenuhi tuntutan syahwat dan perut, dan mereka tidak mengetahui sesuatu lebih dari hal itu.

6. Penyakit tanpa rasa sakit
Penyakit-penyakit tubuh terbagi menjadi dua kelompok, sebagian penyakit tubuh diikuti dengan rasa sakit yang tidak menyenangkan seperti penyakit pada sistem pencernaan atau infeksi-infeksi pada sistem-sistem organ yang diikuti dengan rasa sakit yang luar biasa pada anggota badan.

Akan tetapi terdapat jenis penyakit lain yang mampu mengalami perkembangan sangat pesat di dalam tubuh manusia akan tetapi sama sekali tidak diikuti dengan rasa sakit, dan penderita penyakit semacam ini biasanya tidak mengetahui adanya kerusakan di dalam tubuhnya, seperti kejang yang terjadi pada pembuluh kapiler atau pengentalan darah yang timbulkan oleh sedimen bahan-bahan seperti lemak yang akan menekan jantung, hal ini secara bertahap dan tanpa diketahui oleh manusia akan mampu menghentikan detak jantung secara tiba-tiba dan hal ini berarti berakhirnya sebuah kehidupan.

Penyakit-penyakit ruh yang muncul karena tidak adanya kesempurnaan spiritual pun memiliki keadaan seperti tersebut di atas. Manusia tidak pernah merasakan adanya aib dan kekurangan di dalam dirinya karena dia telah terkekang dalam mekanisme materi.

Dan karena manusia tidak mengetahui bahwa kecintaan atas materi tidak terhitung sebagai kesempurnaan dirinya, tidak bisa memuaskan fitrahnya, dan tidak bisa menjadi solusi bagi tuntutan potensi-potensinya, oleh karena itu dia sama sekali tak merasakan ketersiksaan sedikitpun. Dia hanya berpikir pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tabiat dan badannya dan dia tidak mengenal kebutuhan ruhani yang lebih tinggi dari itu. Orang-orang semacam ini tidak akan mendapatkan kesempurnaan hakiki, bersamaan dengan itu ia tak pula merasakan sakit dan kekurangan. Penyebab dari masalah ini adalah hati mereka sibuk, larut dan tenggelaman dalam lautan dunia materi. Al-Quran menamakan orang-orang semacam ini dengan orang-orang yang buta dan tuli dan saking tuli dan butanya sehingga dia tidak mengetahui penyakit yang diderita di dalam dirinya sendiri.

Akan tetapi ketika mereka melihat jarak yang begitu jauh dan penuh bahaya disertai dengan segala ketegangan dan ketakutan yang terjadi di alam akhirat, memahami bahwa dia tidak memiliki kendaraan dan alat untuk bergerak dan melihat betapa banyak nikmat-nikmat tak terbatas yang tercecer akan tetapi dia tidak mampu mengumpulkan dan memanfaatkannya, dan dia tidak mempersiapkan tempat tinggal dan kediaman abadi untuk dirinya, keadaan ini persis seperti seorang anak yang lahir dari ibu dan tidak memiliki mata, telinga, tangan, kaki, hidung, dan mata untuk melihat, mendengar, berjalan, bernapas, dan makan.
Sebenarnya harus diketahui bahwa seluruh perintah dan aturan-aturan suci Tuhan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia di alam akhirat dan mempersiapkan kediaman abadinya.

7. Tahap akhir kesempurnaan
Gerak manusia adalah ke arah realitas tak terbatas. Allamah Thabathabai ra dalam risalahnya al-Wilayah mengutarakan isyarah-isyarah yang diungkapkan oleh al-Quran dan hadits tentang tingkatan dan derajat akhir manusia ini.     Pada risalah itu disinggung tentang lima tingkatan dan menentukan garis lintasan manusia:
  1. Hukum-hukum agama dan syariat suci Islam memiliki dimensi lahir dan batin;
  2. Mekanisme batin alam tidak berdasar pada mekanisme alam natural ini karena dia memiliki mekanisme tersendiri yang khusus dan tertentu;
  3. Tidak ada sedikitpun keraguan bahwa para Nabi memiliki hubungan dan keterkaitan dengan batin alam ini;
  4. Pintu ke arah batin alam tersebut terbuka pula untuk umat manusia dan terdapat kemungkinan untuk melakukan hubungan dengan tingkatan dan derajat alam tersebut;
  5. Apa yang dicapai manusia dalam perjalanan suci ini adalah menggapai puncak kesempurnaan wujud.

Allamah Thabathabai ra pada masing-masing poin tersebut menyertakan juga sanad-sanad al-Quran dan hadits, bisa dikatakan bahwa risalah ini merupakan hasil karya yang sangat berharga pada kurun ini.
Almarhum Allamah pada poin keempat dari risalah tersebut mengatakan, “Sesungguhnya jalan paling dekat dan paling bermanfaat untuk bergerak ke arah kesempurnaan mutlak adalah perjalanan jiwa (seir anfusi)”[4], dengan makna bahwa pada lintasan ini, manusia sama sekali tidak akan bergelut dengan defenisi-defenisi dan pemikiran. Yang akan dihadapi hanyalah hakikat-hakikat wujud yang bisa ditemukan dalam jiwa manusia dimana hal ini akan menambah keluasan wujudnya. Pada topik ini, Allamah menyandarkannya pada salah satu ayat yang berbunyi, “… Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk …”.[5]

Sedangkan pada poin kelima, beliau mengatakan,[6] “Manusia akan sampai pada suatu realitas dimana Tuhan akan menyingkap tabir dari mata-mata mereka dan meletakkan mereka pada golongan muqarribin (orang-orang yang didekatkan pada-Nya), Tuhan berfirman, “Tahukah kamu apakah ‘Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)”[7], dimana pada posisi ini mereka akan ‘menyaksikan’ alam-alam keberadaan yang tertinggi dimana merupakan sebuah lembaran dimana keberadaan dan segala sesuatu yang terjadi di alam itu telah tertulis dan terjaga dengan rapi. Juga manusia akan mengalami penyempurnaan hingga sampai pada sebuah derajat yang jauh dari jangkauan dan pengaruh setan, karena setan berkata, “Demi kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas (orang yang disucikan dan diikhlaskan) di antara mereka”[8] .

Demikian juga akan sampai pada suatu tempat dimana mereka akan memperoleh balasan atas segala amal dan perbuatan sebagaimana manusia-manusia lainnya, dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan”[9], akan tetapi pada kelanjutan ayat tersebut Tuhan berfirman, “Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).”[10]

Imam Ali As dalam salah satu khutbahnya, mengatakan, “Ya Allah! Mata manakah yang akan mampu bertahan ketika berhadapan dengan pancaran cahaya dan kodrat-Mu, dan akal manakah yang mampu menggapai kodrat dan cahaya-Mu, kecuali mata yang telah tersibak dari tabir dan hijab yang membutakan.”[11]

Imam Ali As dalam munajat Sya’baniyah juga menganjurkan kepada kita untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt sebagai berikut, “Ya Allah! Terangkanlah mata hati kami untuk memandang kemuliaan-Mu supaya terbuka hijab-hijab yang ada di antara kami sehingga kami akan sampai kepada keagungan-Mu dan ruh-ruh kami bergantung pada seluruh kemuliaan suci-Mu.”

Pada bagian yang lain, dari munajat yang sama, beliau bersabda, “Ya Allah! Sampaikanlah kami kepada cahaya kemuliaan dan cahaya menakjubkan yang Engkau miliki, sehingga kami mampu mengenal-Mu dan memalingkan wajah dari selain-Mu.”

Allamah Thabathabai ra pada akhir risalahnya menyatakan, “Apabila kita berpikir dan bertadabbur dengan baik pada ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits, maka akan kita temukan bahwa ternyata kita masih belum mendapatkan informasi sempurna tentang wilayah suci Ilahi dan apa yang akan mereka gapai dari kesempurnaan-kesempurnaan Ilahi tersebut, tak satupun ibarat dan ungkapan yang bisa digunakan untuk menceritakan secara utuh tentang maqam, derajat dan kedudukannya sama sekali.”[12]

Manusia merupakan satu-satunya eksistensi yang memiliki potensi dan kapasitas yang mampu meletakkan seluruh alam ini di dalam jiwa dan kalbunya, dan – sebagaimana yang telah kami katakan – apabila Allah menyebut seluruh alam dengan sebutan mikrokosmos dan dalam al-Quran memperkenalkan dunia dengan sebutan “sedikit” akan tetapi pada ayat lainnya menyebutnya sebagai sebuah “komoditi”, dan mendefinisikannya sebagai sesuatu yang tidak berharga dan kecil, bukan disebabkan karena dunia ini memang tidak berharga dan kecil, melainkan karena kedudukan manusia yang besar, agung, dan sangat berharga, dan kapasitasnya yang sedemikian besar sehingga kalbunya merupakan arsy Ar-Rahman dan ‘rumah’ Tuhan, dimana pada salah satu hadits dikatakan, “Kalbu para mukmin merupakan tempat suci Tuhan” dan seluruh alam ini tidak berharga ketika berdampingan dengan realitas yang bisa menampung arsy Ilahi atau tempat suci Tuhan.”[13]

Dari sinilah Amirul Mukminin Ali as mengatakan, “Perdagangan yang tidak beruntung adalah manusia yang menganggap dirinya memiliki nilai tertentu dan terbatas lalu dia menjual dirinya dengan nilai tersebut”[14]. Perdagangan seperti ini hanya akan menghasilkan penyesalan tak terbatas. Betapa indahnya, apabila manusia mengetahui citra, hakikat, dan nilai dirinya, dan melakukan amal dan perbuatan sedemikian sehingga dia mampu menyibakkan tabir yang menutupinya dan menggapai kesempurnaan dirinya dengan penuh kebahagiaan.

8. Pendidikan akhlak dalam Islam
Kata pendidikan mempunyai makna menghasilkan dan menambah. Sedangkan kata pertumbuhan memiliki makna menjadi sesuat yang lebih baik, berkembang, dan berproses menuju posisi yang lebih sempurna.
Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pembinaan – dalam proses pengajaran dan pendidikan – seorang manusia bukan berarti mengarahkan pertumbuhan badan dan menaikkan berat badannya, melainkan yang dimaksud adalah menyelamatkan manusia dari keterjebakan dalam dunia materi dan memberikan pemahaman akan arah dan tujuan yang lebih tinggi, lebih mulia, lebih agung, dan lebih sempurna dari sekedar memuaskan instink dan syahwat semacam makan, tidur, berpakaian dan kebutuhan jasmani lainnya.

Jelaslah bahwa di atas mekanisme jasmani manusia terdapat mekanisme lain yang berkedudukan lebih tinggi dan lebih suci, dimana struktur dan pondasi derajat tersebut berada pada salah satu tingkatan wujud yang terletak lebih tinggi dari alam materi.

Manusia yang berkedudukan tinggi dan suci bukanlah mereka yang lebih baik dalam hal makan, minum, tidur, dan kelebihan dalam fasilitas-fasilitas materi lainnya, melainkan apabila mereka hanya mencukupkan pada persoalan-persoalan ini, berarti mereka malah telah terjerembab dari derajat insaniah menuju derajat hewaniah, dan kemerosotan manusia yang semacam ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah pertumbuhan atau kesempurnaan.

Hal ini sama artinya ketika kita menganggap alam eksistensi ini hanya sebatas alam materi – sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum materialis – karena dengan anggapan seperti ini berarti proses menyempurna yang ada pada alam eksistensi sama sekali tidak bermakna.

Meskipun mereka telah merasionalisasikan kemunculan makhluk-makhluk hidup bahkan manusia dan mengatakan apabila di dalam alam natural ditemukan makhluk hidup, maka sebenarnya unsur-unsur maujud di alam eksistensi akan terkomposisi dan terwujud dalam bentuk yang lebih rumit dan lebih mendetail.
Dengan ungkapan lain, partikel atom alam ini tetap konstan dan permanen, akan tetapi kadangkala mereka saling berbaur dalam bentuk yang sederhana, dimana dalam keadaan ini akan muncul eksistensi yang sederhana pula seperti in-organik dan tumbuhan; terkadang pula, atom-atom ini berkomposisi dengan sangat rumit dimana akan menghasilkan spesis hewan.

Jadi perbedaan antara katak dengan batu, bunga, dan tumbuhan hanya terletak pada komposisi partikel atom atau unsur-unsurnya dalam bentuk yang lebih rumit, dan apabila kemudian terwujud manusia, hal ini terjadi pula dengan cara yang sama yaitu karena pengaruh penggabungan unsur-unsur dan partikel-partikel atom alam ini sedemikian mendetail dan lebih rumit dari makhluk lainnya, dengan ini terbentuklah eksistensi yang menakjubkan berupa manusia, akan tetapi tetap saja berada dalam lingkup unsur-unsur pertama materi dan tidak keluar darinya, dan apabila seluruh maujud yang terdapat di alam ini dikembalikan semula dalam bentuk atom-atom, maka jumlah atom-atom tersebut niscaya akan tetap dan konstan, tidak terkurangi dan tidak pula bertambah.

Dari penjelasan di atas, secara pasti bisa dikatakan bahwa perspektif ini tidak sesuai dengan proses kesempurnaan maujud-maujud, dan bahkan pernyataan mereka tentang kesempurnaan dalam bentuk di atas tidak diterima oleh aliran filsafat manapun, karena perubahan dari satu materi ke materi yang lain tidak bisa dikatakan sebagai sebuah proses kesempurnaan, melainkan hanya sebuah rangkaian penjumlahan dan pembagian dimana pada satu kondisi akan menggabung dan pada kondisi lain akan memisah. Dengan ibarat lain, sekedar perubahan kondisi tidak bisa dikatakan sebagai kenaikan derajat sebuah maujud. Suatu gerak akan bisa dikatakan sebagai gerak ke arah kesempurnaan ketika ada hasil pada setiap lintasan perjalanan yang dilaluinya, dimana hasil itu sebelumnya tidak dimiliki dan sekarang mengalami pertambahan.

Ibnu Sina menganggap bahwa setiap gerak merupakan kesempurnaan awal, yaitu langkah pertama untuk mencapai segala yang dikehendaki ialah gerak, dimana manusia atau setiap maujud akan bergerak dan mengarah pada tujuan. Bila tujuan yang akan dicapai tidak ada, melainkan antara wujud awal dan wujud akhirnya adalah sama dan tidak ada satu hal baru yang dihasilkan, maka aksi-reaksi semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah proses kesempurnaan.



Referensi:
[1] Qs. Al-Hijr: 29.
[2] . Qs.At-Tiin: 4-5.
[3] . Qs. Ar-Ra’d: 28.
[4] .  Risalah al-Wilayah, Allamah Thabathabai, hal. 37.
[5] . Qs. Al-Maidah: 105.
[6] . Risalah al-Wilayah, hal. 65.
[7] . Qs. Al-Muthaffifin: 19-21.
[8] . Qs. Shaad: 82-83.
[9] . Qs. Ash-Shaaffat: 39.
[10] . Qs. Ash-Shaaffat: 40.
[11].  Biharul Anwar, jilid 25, bab 1, hal. 29
[12] . Risalah al-Wilayah, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 75.
[13] . Gurar wa Durar, Imam Ali as, hal. 112.
[14] . Ibid.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top