Oleh: Mohammad Adlany
Kehendak Tak Terbatas
Manusia memiliki kapasitas yang tak terbatas. Potensi,
keinginan, dan bakatnya tidak berhenti pada batas yang tertentu.
Seberapapun yang diberikan padanya, ia masih akan mengatakan, “apakah
masih ada yang lain?” Untuk memperoleh keinginannya, kadangkala ia rela
berjalan hingga pada batas yang membahayakan jiwa, akan tetapi ketika
keinginannya tersebut telah berada dalam genggamannya, ia akan menemukan
bahwa ternyata keinginannya lebih besar dan lebih tinggi dari apa yang
telah diperolehnya saat ini, dan apa yang berada dalam genggamannya
tersebut tidak seperti apa yang ia inginkan sebelumnya.
Manusia memiliki keinginan tak terbatas dalam mencari
segala kesempurnaan. Sebagai contoh, seorang pemilik harta, betapapun
banyaknya ia memiliki harta simpanan tetap saja tidak merasa cukup.
Demikian juga, orang yang memiliki kekuasaan, ia masih
tetap akan mencari jalan untuk memperoleh kekuasaan yang lebih. Bahkan
misalnya, meskipun telah ditambahkan planet bumi ke dalam kekuasaannya,
ia masih akan mencari planet Mars supaya jatuh ke tangannya dan
ketamakannya terhadap kekuasaan tidak akan berhenti sampai di sini,
keinginan berkuasa yang dimilikinya akan membawanya untuk menguasai
planet-planet lainnya.
Sama halnya dengan orang yang mencari ilmu, keinginannya
untuk memperoleh ilmu yang lebih banyak tidak akan pernah ada habisnya.
Dikatakan, pada suatu zaman terdapat seorang ilmuwan besar yang sedang
sakit keras dan telah tiba pada batas hidupnya, ketika sahabatnya yang
juga seorang alim datang menjenguknya, ia menghadapkan mukanya pada sang
alim tersebut lalu bertanya tentang sebuah persoalan geometri yang
hingga saat itu belum bisa ia temukan jawabannya. Sang alim mengatakan,
“Ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakannya”, dan sang ilmuwan besar
berkata, “Menurutmu, aku mengetahui persoalan ini lalu mati, adalah
lebih baik, ataukah aku meninggalkan dunia ini dalam keadaan tidak
mengetahui jawabannya?”
Walhasil, manusia memiliki potensi dan keinginan yang tiada
batas. Maksudnya bukanlah bahwa ia tidak mungkin sampai pada keinginan
tak terbatasnya tersebut, karena sampai pada yang tak terbatas, pada
dasarnya sama sekali tidak bermakna dan tidak akan pernah berkesudahan,
akan tetapi bisa dikatakan dengan istilah lain yaitu melangkah dan
bergerak ke arah tak terbatas.
Poin penting yang terletak pada pembahasan ini adalah,
bahwa memenuhi segala keinginan tak terbatas ini, hanya bisa dilakukan
ketika sampai pada hal yang sesuai dengan yang tak terbatas, lalu
jiwanya dipenuhi dengan Sumber Tak Terbatas.
Ketidakterbatasan Hakikat Manusia
Allah swt dalam salah satu ayat al-Quran berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”[1],
yaitu tidak ada makhluk selain manusia yang memiliki bentuk dan
struktur lebih baik dari yang dimiliki oleh manusia, dan pada kelanjutan
ayat berfirman, “Kemudian Kami akan kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”[2],
yaitu manusia yang memiliki sebaik-baik bentuk ini akan Kami kirim ke
tempat yang serendah-rendahnya. Kata “ahsan” dan “asfal” keduanya
bermakna “paling baik atau sebaik-baiknya” dan “paling rendah atau
serendah-rendahnya”.
Realitas ini merupakan dalil bahwa hakikat wujud manusia
adalah tidak terbatas, dengan makna bahwa dia mampu menjangkau tingkatan
yang bahkan lebih tinggi dari tingkatan para malaikat dan manusia juga
bisa jatuh terjerumus ke tingkatan paling rendah dan paling buruknya
tempat yang dimiliki oleh binatang dan setan.
Al-Quran juga memberikan isyaratnya tentang dua perjalanan
tak terbatas ini pada ayat-ayat yang berlainan. Dalam salah satu
ayat-Nya, Allah berfirman, “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah; orang-orang yang pekak dan tuli
yang tidak mengerti apa-apapun”[3]. Dan pada ayat yang lain tentang perjalanan lain, Allah berfirman,
“Tahukah kamu Apakah ‘Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, yang
disaksikan oleh malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)”[4].
Kecintaan Diri
Salah satu hal paling prinsipil yang bisa ditemukan dalam
karakter manusia adalah kecintaannya kepada dirinya sendiri. Kecintaan
ini merupakan faktor penggerak yang sangat penting dalam keseluruhan
perbuatannya, dengan makna bahwa seluruh kesenangan yang diraihnya
berpijak pada kecintaan pada zatnya. Kecintaannya kepada anak,
kehidupan, dan lain sebagainya bersumber dari motivasi ini. Kecintaan
kepada diri akan membuat manusia menjelajahi setiap jalan dan mengambil
segala hal yang ia anggap akan membawanya menuju kesempurnaan, dan untuk
memperoleh hal tersebut, dia akan memaksa dirinya untuk bersusah payah.
Dan sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, untuk
memuaskan instink ini, manusia tidak akan pernah merasa puas dengan
seluruh tingkatan yang telah diperolehnya, dan dia tidak akan pernah
menghalangi keinginan-keinginannya, melainkan akan senantiasa mencari
keuntungan untuk dirinya. Tabiat dan karakternya, keinginannya, egonya,
dan seluruh kemampuannya, akan ia gunakan untuk membawa dirinya kepada
tujuan yang hendak diperolehnya, dan semangat mencari keuntungan dirinya
tidak akan pernah padam, demikian juga ia akan terikat dengan keinginan
esensinya.
Sebagian manusia menjadikan cinta diri dan egoisme sebagai
tujuan dan berusaha segenap kemampuan untuk meraih tujuan ini. Mereka
mengerahkan segenap kekuatan jiwa dan pikirannya untuk memuaskan apa-apa
yang menjadi tuntutan dan kecenderungan kecintaan dirinya.
Keadaan tersebut biasanya ditemukan pada masa remaja, dan
keadaan ini dapat melemah dan berlalu dengan cepat seiring dengan
penambahan umur sehingga tidak terlalu penting dan berbahaya bagi jiwa.
Namun keadaan ini bisa tetap berlanjut hingga pada tingkatan
mempengaruhi keseimbangan jiwa manusia dan menjadi suatu penyakit jiwa.
Penyakit jiwa ini akan semakin parah dengan ketiadaan sistem pendidikan
yang mumpuni dan keadaan sosial yang sangat liberal serta prilaku
masyarakat yang non-etis.
Bermasyarakat
Salah satu dimensi wujud manusia yang lain adalah membentuk
suatu peradaban. Peradaban memiliki makna kehidupan bermasyarakat dan
bersosial. Kehidupan manusia pada awal penciptaannya, hampir bisa
dikatakan mempunyai kehidupan yang bersifat individual dan perorangan,
dengan makna bahwa ia sendiri yang membuat bibit tanaman, menanamnya,
memanen, memasak lalu memakannya, dan ia sendiri pula yang menyediakan
pakaian, ia sendiri yang bertanggung jawab terhadap
pekerjaan-pekerjaannya, dan ia sendiri yang berusaha untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
Lalu secara bertahap mereka memahami bahwa apabila ingin
mengarungi kehidupan ini dengan lebih mudah dan santai, mereka harus
meninggalkan kehidupan individu dan berjalan menuju kehidupan sosial dan
bermasyarakat yang sebagaimana makhluk-makhluk hidup lainnya.
Sebagai contoh, merpati yang senantiasa muncul dengan
pakaian alaminya yang bersih, dengannya badan mereka telah cukup terjaga
dari udara panas maupun dingin. Mereka juga tidak perlu terlalu
bersusah payah untuk menyediakan makanan, karena mereka tidak perlu
menanam, memanen, ataupun memasak makanannya, melainkan dimanapun mereka
menemukan biji-bijian, maka biji-bijian tersebut telah menjadi makanan
instant yang siap disantap. Setiap kali merasakan haus, mereka bisa
memanfaatkan setiap air yang mereka dapatkan. Perkawinan, berumah
tangga, dan regenerasi pun tidak juga memerlukan terlalu banyak
pendahuluan, mereka dengan gampang akan memilih pasangannya, bertelur
lalu mengeraminya.
Hewan-hewan lainnya pun memiliki jalan kehidupan yang
serupa, akan tetapi manusia untuk memenuhi setiap kebutuhannya ia tidak
akan pernah bisa menemukan cara yang semudah ini. Untuk menyediakan
bahan makanan saja, mereka harus menanam, memanen, dan memasaknya dengan
rasa yang sesuai selera, demikian juga untuk memasak bahan tersebut,
mereka masih harus menyiapkan peralatan-peralatan dapur sebagai alat
memasak.
Untuk mempersiapkan baju dan pakaian, mereka harus menanam
kapas terlebih dahulu atau memelihara domba supaya bisa memanfaatkan
bulunya. Lalu kapas dan bulu domba inipun harus diubah terlebih dahulu
menjadi benang, kemudian ditenun menjadi kain, setelah itu masih harus
dipotong, baru kemudian dijahit, dan banyak lagi pekerjaan-pekerjaan
lainnya.
Seandainya manusia hendak hidup sendirian, maka ia juga
harus menjadi tukang batu untuk membangun rumahnya, menjadi tukang kayu
untuk membuat perabot rumah tangga, menjadi petani untuk memenuhi
kebutuhan dapur, menjadi pande besi, dokter, guru, penjahit, koki, dan
profesi lainnya.
Oleh karena itu, manusia lalu paham bahwa mereka harus
memulai kehidupan mereka dengan saling bermasyarakat, bersosial, dan
bergotong royong dengan sesamanya. Dalam kehidupan sosial atau
bermasyarakat, setiap orang akan bertanggung jawab terhadap pekerjaan
yang dilakukannya. Salah satu dari mereka akan menjadi dokter, satunya
lagi menjadi koki, yang lainnya menjadi tukang batu, ada lagi yang
menjadi tukang kayu, tukang sampah, penjahit, dan demikian seterusnya
sehingga dengan hal seperti ini tidak ada lagi pekerjaan di muka bumi
yang tertinggal.
Mereka bekerja secara bersama-sama dan setiap orang
mengangkat beban sesuai dengan kemampuannya, sehingga dengan demikian
semuanya mempunyai peran dalam mengatur kehidupan. Sebagai contoh, guru
mengajar anak tukang roti, dan tukang roti membuat roti untuk kebutuhan
makanan sang guru. Para ilmuwan pun menyerahkan hasil dari jerih
payahnya selama berpuluh-puluh tahun ke telapak tangan masyarakat untuk
bisa dimanfaatkan.
Dalam kehidupan gotong royong semacam ini masing-masing
pihak akan menikmati hasil jerih payah dari pihak yang lain, dan setiap
orang dalam batas kemampuannya akan memberikan jasa dan penghidmatannya
kepada masyarakat. Gaji yang diperoleh oleh setiap orang sebagai hasil
keringat dalam melakukan pekerjaan, merupakan contoh dari adanya
hubungan keterkaitan dan timbal balik dari penghidmatan dalam kehidupan
bermasyarakat ini. Kehidupan semacam ini dinamakan kehidupan yang
berperadaban, dan hal ini sesuai dengan tabiat dan karakter manusia.
Manusia Membutuhkan Aturan
Dengan memperhatikan dua karakter yang dimiliki oleh
manusia yaitu berperadaban dan kecintaan kepada dirinya, menjadikan
kebutuhan manusia akan aturan dan hukum menjadi semakin jelas, hal ini
dikarenakan keuntungan individual di dalam masyarakat senantiasa saling
berbenturan dan akhirnya akan menimbulkan sengketa. Dan dengan adanya
hukum, sengketa dan perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat bisa
dihindari.
Hukum dibuat sebagai menjadi penentu dan batasan-batasan
hak setiap individu yang ada di masyarakat, hal ini untuk keuntungan
manusia sendiri. Oleh karena itu, hanya mekanisme yang berpijak pada
hukum dan aturan yang bisa berlanjut secara terus menerus demi menjaga
keseimbangan masyarakat. Masyarakat yang tidak memiliki hukum dan aturan
akan menjadi lemah dan senantiasa berada di bawah kekuasaan “hukum
rimba”, yang hal ini berarti berada dalam ambang kemusnahan.
Referensi:
[1] . Qs. At-Tiin: 4.
[2] . Qs. At-Tiin:5.
[3] . Qs. Al-Anfal: 22.
[4] . Qs. Al-Mutaffifin: 19-21.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar