Oleh: Mohammad Adlany
Setelah
menjelaskan secara terperinci dasar-dasar dari argumen ini, maka kita
akan membuktikan realitas eksistensi Tuhan. Secara hakiki, realitas
eksistensi Tuhan tak tersembunyi dari “pandangan” kita, Dia dekat dan
bahkan sangat dekat dari diri kita sendiri dan sangat terang dari cahaya
apapun.
Tak bisa disangkal, secara empiris, ada alam materi yang di
dalamnya terdapat ribuan makhluk mulai dari manusia hingga batu-batuan.
Setelah kita menganalisa, melihat, dan merasakan hakikat realitas
wujud-wujud eksternal ini, maka hanya terdapat dua asumsi sebagai
berikut:
Pertama, wujud kontingen (mumkin al-wujud, makhluk)
Kedua, Wujud Wajib (wâjib al-wujud, Tuhan).
Sementara asumsi ketiga yang tidak mungkin ada adalah wujud
mustahil (mumtane’ al-wujud, ketiadaan murni), karena ia merupakan
“realitas” yang benar-benar mustahil mengada dan tidak akan pernah
mungkin untuk mengada.
Pembuktian asumsi pertama sebagai berikut:
Apabila realitas wujud yang terasumsi adalah wujud
kontingen, berdasarkan prinsip kausalitas maka wujud itu niscaya
memerlukan sebab. Jika sebab itu adalah wujud kontingen itu sendiri maka
pertanyaan terus berlanjut tentang sebab pada wujud kontingen
berikutnya. Kalau wujud kontingen itu belum berakhir pada sebab hakiki
maka akan menyebabkan tasalsul. Dan tasalsul adalah mustahil.
Kalau realitas wujud itu kita asumsikan sebagai wujud
kontingen (misalnya A), maka berdasarkan prinsip kausalitas, realitas
ini niscaya membutuhkan sebab. Jika wujud kontingen A (akibat)
bergantung kepada wujud kontingen B (sebab), sementara wujud kontingen B
(akibat) juga bergantung kepada wujud kontingen A (sebab), maka akan
terjadi daur. Dan daur adalah mustahil.
Pembuktian asumsi kedua sebagai berikut:
Jika diasumsikan bahwa realitas wujud itu adalah Wujud
Wajib, maka juga menjadi mustahil, karena realitas wujud-wujud itu
pernah tiada dan akan menjadi tiada atau eksistensinya tak abadi.
Realitas wujud-wujud itu adalah wujud kontingen bukan Wujud Wajib.
Secara esensial wujud kontingen ini, baik dengan perantaraan ataupun
tidak, merupakan akibat dari sebab pertama yang disebut Wujud Wajib
(wâjib al-wujud).
Di bawah ini akan kami kemukakan beberapa argumentasi para
filsuf muslim dalam menegaskan kebenaran eksistensi Tuhan dengan
pendekatan argumen imkan dan wujub:
1. Argumen Al-Farabi
Realitas wujud ada dua bentuk: wujud pertama, ketika kita
memperhatikan esensinya maka kita akan mendapatkan bahwa eksistensi
baginya tak niscaya, wujud ini dinamakan wujud kontingen. Wujud kedua,
dengan memperhatikan esensinya akan kita peroleh bahwa eksistensi
baginya adalah niscaya, wujud ini disebut Wujud Wajib.
Tidak mustahil jika kita mengasumsikan ketiadaan wujud
kontingen. Untuk mengada, wujud kontingen memerlukan sebab dan jika
telah berwujud maka eksistensinya menjadi “niscaya”. Esensi wujud
kontingen tak abadi dan bersifat sementara. Wujud kontingen mustahil
menjadi sebab hakiki bagi realitas wujud lainnya, oleh karena itu harus
berujung kepada Wujud Wajib yang merupakan Wujud Pertama sekaligus Sebab
Pertama.
Mustahil kalau kita mengasumsikan ketiadaan Wujud Wajib.
Wujud Wajib tak memiliki sebab karena Dia adalah sebab pertama untuk
semua eksistensi[1].
2. Argumen Ibnu Sina
Ibnu Sina ,dalam kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat
menjabarkan argumen imkan dan wujub untuk membuktikan eksistensi Tuhan,
menyatakan, “Realitas wujud adalah Wujud Wajib dan wujud kontingen. Jika
realitas wujud itu adalah Wujud Wajib maka terbuktilah realitas
eksistensi Tuhan, dan jika realitas wujud itu adalah wujud kontingen,
dikarenakan kemustahilan daur dan tasalsul, maka niscaya bergantung
kepada Wujud Wajib[2]. Jadi dalam dua pengandaian itu berakhir pada pembuktian realitas eksistensi Tuhan.”
3. Argumen Khwajah Nasir ad-Din at-Thusi
Jika realitas wujud itu adalah Wujud Wajib maka terbuktilah
eksistensi Tuhan, tapi kalau realitas wujud itu adalah wujud kontingen
maka meniscayakan adanya Wujud Wajib, jika tidak demikian maka akan
terjadi daur atau tasalsul, dan ini mustahil terjadi[3].
4. Argumen Mulla Sadra
Mulla Sadra tidak menganggap argumen imkan dan wujub ini
sebagai argumen yang paling tinggi, karena dalam pandangannya walaupun
argumen ini tidak meletakkan makhluk-makhluk dan segala ciptaan Tuhan
sebagai perantara dalam pembuktian Tuhan, tapi argumen ini menggunakan
sifat kuiditas (baca: imkan) sebagai perantara dalam penegasan
eksistensi Tuhan, maka argumen ini tetap digolongkan dengan argumen
huduts-nya para teolog dan argumen geraknya ilmuwan alam, yaitu
argumen-argumen yang menggunakan selain Tuhan sebagai perantara dalam
pembuktian eksistensi-Nya.
Mulla Sadra dalam hal ini, mengajukan satu bentuk argumen yang bersifat ontologi yang dia namakan dengan burhan shiddiqin,
menurut dia burhan dan argumen ini adalah argumen yang paling sempurna.
Pada kesempatan ini, kita akan mengutip ulasan Syahid Muthahhari atas
burhan ini. Beliau berkata bahwa untuk memahami secara benar burhan ini
diperlukan lima pendahuluan, sebagai berikut:
- Kehakikian wujud (ashalah al-wujud).
- Kesatuan wujud (wahdah al-wujud).
- Hakikat wujud mustahil tiada.
- Hakikat wujud secara esensial setara dengan kesempurnaan, ketakbergantungan, ketakterbatasan, kekuatan, keaktualan, cahaya dan keagungan.
- Wujud akibat identik dengan kelemahan, ketaksempurnaan, kebergantungan dan keterbatasan.
Dengan memahami pendahuluan ini, dapat dikatakan bahwa
hakikat wujud adalah keberadaan dan eksistensi itu sendiri. Hakikat
wujud mustahil tiada. Hakikat wujud tak menerima syarat dan kondisi
dalam keberadaan dan perwujudannya. Hakikat wujud identik dengan segala
kesempurnaan dan menolak segala bentuk kebergantungan dan keterbatasan.
Hakikat wujud azali dan abadi.
Argumen Mulla Sadra ini berbunyi sebagai berikut:
Tingkatan wujud, kecuali tingkatan paling tinggi yang
memiliki kesempurnaan tak terbatas dan ketakbergantungan mutlak, adalah
hubungan dan kebergantungan itu sendiri dan jika jenjang paling tinggi
itu tak berwujud, maka seluruh tingkatan juga mustahil terwujud; karena
asumsi keterwujudan segala derajat wujud tanpa keberwujudan derajat
paling tinggi berarti bahwa derajat itu mandiri dan tak bergantung,
sementara hakikat wujudnya adalah hubungan dan kebergantungan itu
sendiri[4].
5. Argumen Allamah Thabathabai
Tiada keraguan bahwa di alam ini terdapat realitas
eksistensi-eksistensi. Jika realitas eksistensi itu adalah Wujud Wajib
maka terbuktilah wujud Tuhan. Dan kalau realitas eksistensi itu adalah
wujud kontingen, karena wujud kontingen telah terwujud maka pasti
disebabkan oleh wujud di luar dirinya yang disebut sebab. Kalau wujud
kontingen itu tak membutuhkan sebab maka dia pasti Wujud Wajib, karena
wujud kontingen itu memerlukan sebab, dan jika sebab itu adalah Wujud
Wajib maka terbuktilah wujud Tuhan. Kalau sebab itu adalah wujud
kontingen yang lain maka konsekuensinya adalah terjadi daur atau
tasalsul, dan ini mustahil. Dengan demikian, hanya ada satu pilihan
logis yaitu wujud kontingen itu bergantung pada satu sebab yang disebut
Wujud Wajib.[5]
Kebergantungan Makhluk Kepada Tuhan
Wujud kontingen atau Makhluk yang hakikat wujudnya mustahil
dialamatkan pada inti esensinya maka untuk mewujud mesti membutuhkan
faktor-faktor eksternal yang hakiki. Jika tidak demikian, maka wujud
kontingen itu mustahil terwujud.
Setiap wujud kontingen untuk mengada dan mewujud secara esensial memerlukan faktor eksternal dan sebab pengada.
Setiap wujud kontingen membutuhkan wujud yang lain untuk
memenuhi segala keperluannya, jika keperluan wujudnya tidak terpenuhi
maka dia mustahil mengada, dan jika wujud kontingen telah terwujud
berarti niscaya ada wujud lain yang memenuhi kebutuhannya.
Realitas wujud lain yang memenuhi segala kebutuhan wujud
kontingen itu niscaya bukan dari wujud kontingen lain, karena semua
wujud kontingen memiliki sifat dan karakter wujud yang sama. Jadi, wujud
kontingen hanya bergantung pada satu-satunya wujud yaitu Wujud Wajib
(Tuhan). Dan Kebutuhan dan kebergantungan wujud kontingen kepada Wujud
Wajib bersifat abadi dan kekal, mulai dari “awal” perwujudannya hingga
pada “akhir” penciptaan. Hakikat dan esensi wujud kontingen adalah
kebergantungan dan kefakiran itu sendiri.
Referensi:
[1] . Abdurrahman Badawi, Mausu’at al-Falsafah, jilid 2, hal. 102.
[2] . Ibnu Sina, Al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 20.
[3] . Allamah Al-Hilli, Syarh al-Kitab Tajrid al-‘Itiqad, hal. 217.
[4] . Sadr al-Mutaallihin, Al-Asfar, jilid 6, hal. 14.
[5] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 320.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar