Oleh: Mohammad Adlany
Manusia
secara potensial memiliki seluruh kesempurnaan di alam. Lingkup gerak
menyempurnanya meliputi tingkatan terendah in-organik hingga tingkatan
tertinggi malakut. Jadi, kelayakan luar biasa dari mutiara alam semesta
yang bernama manusia ini, bukanlah berada pada posisi terendah dari
wujud jasmaninya, melainkan terletak pada sisi wujud ruhani, akal, dan
malakutinya.
Manusia dengan derajat ruhani yang dimiliknya, tidak
selayaknya ia meninggalkan posisi tertingginya dan menjerumuskan diri
pada tingkatan terendah dengan mengikuti instink syahwat yang tidak
lebih dari tingkatan yang dimiliki oleh seekor hewan. Manusia terkadang
hanyut menikmati syahwatnya dan terkagum-kagum dengan kemenangannya
melawan sifat antagonisnya, dan dengan segenap kemampuannya berusaha
memenuhi kebutuhan-kebutuhan instinknya.
Kecenderungan manusia ini tidak melebihi setengah wujudnya
dan kehidupan seperti ini diungkapkan al-Quran sebagai kehidupan neraka,
“Kemudian dia tidak akan mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup.”[1]
Ayat ini merupakan deskripsi kehidupan orang-orang yang mengisi
hidupnya dengan kehidupan hewan dan mengesampingkan kehidupan insani
yang merupakan kedudukan tertinggi dan termulia. Yang diperhitungkan
oleh orang semacam ini bukan kehidupan insaninya dan bukan pula koreksi
dan kontemplasi atas dirinya, pada dasarnya apapun yang dipilih orang
ini tidak akan pernah berharga dan dia akan mengalami kerugian dalam
seluruh prilakunya.
Dari sini Allah swt dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Sesungguhnya
Allah akan memasukkan orang-orang yang mukmin dan beramal saleh ke
dalam jannah yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sedangkan
orang-orang kafir yang bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan
seperti makannya binatang, maka jahannamlah tempat tinggal mereka.”[2]
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat, mencoba menyibak
tabir kelalaian yang merugikan manusia ini dan menjawab pertanyaan
berikut, mengapa manusia yang secara esensial mencari kesempurnaan diri,
malah sama sekali tidak memperhatikan kedudukan tertinggi yang
dimilikinya?
Ia berkata, “Sekarang setelah seluruh hakikat dan jiwamu
dibelenggu dan berada di bawah kekuasaan mekanisme tubuh, dan berbagai
penghalang serta rintangan pun telah menyibukkanmu, hal ini telah
membuatmu lalai terhadap kesempurnaan yang sesuai untuk dirimu dan
engkau sama sekali tidak bersedih dengan adanya kelalaian ini.
Ketahuilah, kelalaian ini berasal dari dirimu sendiri, karena sebenarnya
tidak ada satupun tirai yang membatasi kesempurnaan tertinggi dan
termulia tersebut dari dirimu, dan aku telah memperingatkan kepadamu
akan sebagian dari rintangan-mu yang tak lain adalah berbagai aktivitas
yang mengelilingimu dan telah membuatmu sibuk. Jadi, ketaksempurnaan dan
kecerobohan muncul karena dirimu sendiri, dan hal ini yang
menyebabkanmu tidak memiliki kesempurnaan yang seharusnya, dan
sebagaimana orang-orang yang buta, engkau sama sekali tidak
menyadarinya.”[3]
Perhatikan ayat ini dimana Allah berfirman, “Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti)
ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).”[4] dan pada ayat lain Allah berfirman, “engkau akan mati sebagaimana engkau hidup”,
ini merupakan sebuah poin penting bagi kita supaya tidak salah
menanggapi bahwa di akhirat kelak akan mendapatkan sesuatu yang tidak
dilakukan di dunia.
Kecenderungan Kesempurnaan pada Manusia
Benar apabila dikatakan bahwa tabiat manusia sangat rumit
dan untuk mengenalnya secara detail pun hal yang sangat sulit, akan
tetapi untuk menjangkau sebagian dari prinsip-prinsipnya tidaklah
sebegitu sulit, dengan syarat kita melepaskan diri dari ego kita dan
kita tidak bermain dengan kata-kata serta tidak berada di bawah pengaruh
keberhalaan benak kita.
Salah satu dari prinsip pembuktian tabiat manusia adalah
mencari kesempurnaan yang akarnya terdapat di dalam diri manusia.
Manusia secara dzat cenderung untuk melangkah ke arah kesempurnaan. Oleh
karena itu, sejak masa kanak-kanak hingga tua senantiasa berada dalam
upayanya untuk menuju pada kondisi-kondisi yang lebih tinggi dari
kondisi yang tengah dijalaninya.
Seorang pelajar yang belajar di kelas satu SD akan berusaha
untuk menuju ke kelas yang lebih tinggi dan ketika dia telah
menyelesaikan kelas yang lebih tinggi, sekali lagi dia akan berusaha
untuk menapaki kelas yang di atasnya lagi, demikian hingga dia
menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya lalu beranjak ke sekolah
menengah tingkat pertama. Setelah menyelesaikan tingkat menengah inipun
dia belum puas juga dan berusaha untuk menjalani tingkatan-tingkatan
selanjutnya.
Pedagang-pedagang kecil yang berada di pinggir-pinggir
jalan akan berada dalam gerak usahanya untuk membangun sebuah toko dan
dia ingin menjalani kehidupannya dengan perluasan langkahnya yang ke
arah yang lebih besar tersebut.
Seorang penulis pun senantiasa berusaha untuk menghasilkan
karya-karyanya yang lebih berbobot dengan melakukan berbagai pengkajian
dan penelitian. Demikian pula dengan yang dilakukan oleh seorang pelukis
yang senantiasa melakukan eksperimen-eksperimen baru supaya mampu
menghasilkan karya-karya besar.
Secara umum setiap manusia yang mempunyai keahlian,
pekerjaan dan ketrampilan senantiasa akan berusaha supaya dia bisa
menempatkan dirinya pada tingkatan dan kedudukan yang lebih tinggi.
Kesempurnaan yang dipilih oleh manusia tidaklah setara dan
sama, melainkan bergantung pada kondisi ruhani, cara berpikir, kondisi
lingkungan dan faktor-faktor lainnya.
Bisa jadi, untuk seseorang, menimba ilmu merupakan sebuah
kesempurnaan, sementara untuk selain dia kesempurnaan terletak pada
kekayaan, sementara untuk seniman kesempurnaan terletak pada penciptaan
karya-karya baru, sementara seorang penulis baru akan menemukan
kesempurnaan dengan tulisan-tulisannya yang hidup dan berbobot,
sedangkan pada yang lainnya mungkin terletak pada penghidmatannya pada
masyarakat, penghambaan atau ibadah, dan lain-lain.
Catatan Penting
Mereka yang di dunia ini senantiasa menyibukkan diri dengan
harta benda materi dan syahwat serta tidak pernah memikirkan dimensi
lain selain kenikmatan dan kelezatan dunia yang berlangsung sangat
singkat ini, sebenarnya salah menyangka bahwa mereka bisa meraup seluruh
kelezatan dunia ini dan memanfaatkan seluruh fasilitas yang ada di
dalamnya. Akan tetapi khayalan dan sangkaan mereka adalah salah, karena
struktur tubuh manusia bergantung pada aturan-aturan tertentu yang
senantiasa membutuhkan keseimbangan dalam memanfaatkan kelezatan dan
kesenangan-kesenangan alami.
Sistem tubuh manusia memiliki daya serap terhadap berbagai
bahan makanan pada batasan yang logis. Lemak, gula, garam, protein,
vitamin-vitamin dan mineral, keseluruhannya akan bisa dicerna dan
diserap oleh badan hanya pada ukuran tertentu saja, dan kelebihan serta
kekurangan, sekecil apapun, akan ditolak dari sistem pencernaan.
Manusia terkaya dunia yang memiliki seluruh fasilitas untuk
berpesta-pora dan berfoya-foya, tetap tak akan pernah bisa melewati
batas kemampuannya sendiri, dia tetap tidak mampu menikmati dan
memanfaatkan seluruh khayalannya secara riil, karena sistem pencernaan
dan seksualnya sangatlah terbatas. Kemampuan dan kekuatan wujudnya sama
sekali tidak akan pernah seimbang dengan seluruh keinginan dan
khayalannya.
Jadi, sebenarnya para penyembah dunia dan materialis pun
merasa berada dalam kesulitan dengan adanya batasan-batasan tersebut.
Dunia ini memiliki keterbatasan dan tak seorangpun bisa mewujudkan
seluruh keinginan dan khayalannya. Allah tidak saja telah meletakkan
manusia di bawah bimbingan dan pengarahan para pembawa risalah-Nya
dimana salah satu nasehatnya adalah “bukan aku yang indah dan cantik,
melainkan aku berasal dan tumbuh dari tangan yang memeliharaku”, dan
dengan pandangan gnosis ini, seluruh eksistensi merupakan tanda-tanda
kebesaran Ilahi, dimana selama jiwa manusia belum bersih dan suci, maka
dia tidak akan pernah merasakan keindahan tersebut. Dalam salah satu
ayat-Nya, Allah berfirman, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”[5], ayat-ayat suci al-Quran hanya bisa disentuh oleh orang-orang yang telah disucikan.
Tubuh dan Jiwa
Manusia memiliki dua dimensi, dimensi materi (tubuh) dan
non-materi (jiwa). Selain memiliki tubuh yang berasal dari tanah yaitu
tubuh materi yang bergerak, manusia juga memiliki dimensi non-materi
yang konstan dan permanen bernama ruh. Meskipun dimensi ini tidak bisa
disentuh dengan indera lahiriah, akan tetapi dengan argumentasi bisa
dibuktikan keberadaannya.
Sebagaimana Allah, meskipun Dia merupakan sebuah realitas
yang mustahil dicapai oleh indera lahiriah, akan tetapi dengan dalil
bisa dibuktikan keberadaan-Nya. Terkadang apa yang kita peroleh dan kita
ketahui tidak selalu sinkron dengan inderawi dan empirik, akan tetapi
pada beberapa hal, akal menghukumi adanya realitas itu.
Al-Quran juga menyiratkan tentang dua dimensi yang dimiliki oleh manusia dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah”, dan, “Dan Kami tiupkan di dalamnya ruh”,
ayat pertama menyiratkan dimensi materi manusia sedangkan ayat kedua
menunjukkan dimensi lain yang dimiliki oleh manusia yaitu ruh.
1. Hubungan Jiwa dan Tubuh
Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki ruh dan
tubuh. Ruh manusia ini bersifat tunggal, tak berkomposisi, dan memiliki
ilmu, yaitu realitas tunggal dengan aktivitas yang berbeda dan beragam.
Dimensi dari ruh bertugas untuk mencerna makanan, lainnya menciptakan
suhu badan, juga mengatur resistensi tubuh terhadap berbagai penyakit,
melihat, mendengar, merasakan, mencerna, membuang bahan-bahan aditif,
mengkhayal, berpikir, dan lain-lain, seluruh hal-hal di atas diciptakan
oleh ruh. Pada dasarnya, ruh memiliki dua tingkatan dan aktivitas:
- Mengatur dan menjaga badan;
- Kecerdasan, pemahaman, dan pengetahuan.
Ruh dalam setiap tingkatan memiliki nama yang berbeda.
Ketika dia tengah berperan untuk melengkapi tubuh, dia bernama jiwa, dan
ketika tengah menelaah dan memahami sesuatu, dia akan disebut sebagai
akal.
2. Sebuah Pemisalan
Ruh bisa diumpamakan dengan beragam jabatan yang dipegang
oleh seorang rektor perguruan tinggi. Pada salah satu sisi dia adalah
dosen, sisi lain dia adalah seorang kepala rumah tangga, selain itu dia
juga memiliki jabatan yang bermacam-macam. Jadi, dia adalah seorang yang
memiliki beberapa prestise dan jabatan. Dan ruh bisa pula diumpamakan
dengan seorang ahli matematik yang selain ahli matematik, ia merupakan
ayah dari anak-anaknya, juga anak dari kedua orang tuanya. Dia adalah
sosok yang memiliki beragam dimensi. Dalam contoh yang lebih jelas, bisa
dikatakan bahwa ruh seperti pembangkit tenaga listrik yang pada
saluran-saluran tertentu dia melakukan aktivitas yang tertentu pula. Dia
akan memunculkan suhu panas pada pemanas ruangan, akan menciptakan
udara dingin pada kipas angin dan AC, akan membuat udara dingin pada
lemari es, sementara pada lampu, dia akan melakukan aktivitas yang lain
lagi yaitu menciptakan terang dan cahaya, dan dia akan membuat pengaruh
yang bermacam-macam pada persoalan-persoalan yang berbeda. Demikian juga
dengan ruh. Ruh adalah sebuah hakikat tungga yang mempunyai beragam
sifat dan aktivitas.
3. Tubuh sebagai Perangkat Ruh
Ketika ruh tengah sibuk melakukan aktivitas rasionalnya,
maka tubuh tidak akan menyertainya, melainkan tubuh akan berperan
sebagai alat, yaitu akal sibuk melakukan perjalanan spitirualnya, tetapi
tubuh tidak melakukan perjalanan bersamanya. Ketika manusia sedang
bertafakkur dan melakukan kontemplasi, sel-sel otak akan melakukan
aktivitasnya, tetapi sel-sel tersebut tidak akan ikut berfikir, mereka
hanya merupakan sebuah alat untuk berfikir, sedangkan aktivitas berfikir
dan kontemplasi bersumber dari ruh itu sendiri.
Tubuh dan badan sebagaimana pensil yang berada di tangan
penulisnya. Pensil ini tidak menulis dan juga tidak berfikir,
penulisnyalah yang memanfaatkannya sebagai alat untuk menulis dan
menuangkan pikiran. Tulisan merupakan hasil perbuatan penulis, meskipun
jika tak ada pensil, penulis tidak akan mampu menuliskan apapun.
4. Peran Tubuh
Allamah Thabathabai ra pada jilid pertama kitab Al-Mizan
menuliskan sebuah pembahasan yang menarik tentang peran tubuh dalam
aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Beliau sepakat bahwa
seluruh subyek yang dikatakan oleh para fisiolog tentang kewajiban
organ-organ tubuh adalah benar, yaitu bahwa di dalam otak dan sel-sel
saraf serta bagian-bagian lain tubuh seperti mata, telinga, hidung, dan …
terjadi berbagai aksi, reaksi, serta aktivitas-aktivitas rumit dan
menarik lainnya supaya sistem tubuh manusia melakukan aktivitasnya
dengan keteraturan dan mekanisme yang menakjubkan untuk menimbulkan
kegiatan-kegiatan lain pada diri manusia seperti melihat, mendengar,
berfikir, tertawa, menangis, marah, dan lain sebagainya.
Tentunya poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa
seluruh aksi dan reaksi yang terjadi pada seluruh organ dan sel-sel
tubuh, semuanya hanya bertindak sebagai perangkat dan alat bantu bagi
jiwa. Pada dasarnya, mata, telinga, hidung, lidah, otak, dan lain-lain,
semuanya tidak memiliki peran lain kecuali hanya merupakan bagian dari
alat yang diletakkan dalam kewenangan jiwa manusia. Jiwa inilah yang
mampu melihat dengan bantuan sistem mata, jiwalah yang mampu berfikir
karena bantuan dari sistem otak.
Yang penting untuk diperhatikan adalah point berikut bahwa
tidak seharusnya kita salah meletakkan alat pembantu pada tempat pelaku
asli, dengan ibarat lain tidak salah mengatakan bahwa otaklah yang
berfikir, tanganlah yang menulis, melainkan yang benar adalah otak
merupakan alat untuk berfikir dan tangan merupakan alat untuk menulis,
sedangkan pelaku aslinya adalah ruh dan jiwa.
5. Jiwa
Telah dikatakan bahwa ruh disebut juga dengan nama nafs atau
jiwa. Dan jiwa akan melakukan begitu banyak perbuatan dan aktivitas
dengan bantuan perangkat-perangkat yang ada di dalam tubuh.
Seseorang yang hanya memperhatikan kematerian manusia dan
menganggap bahwa seluruh perbuatan, aktivitas, dan geraknya merupakan
akibat dari aksi dan reaksi materi, adalah sebagaimana seseorang yang
tengah menyaksikan lukisan yang sangat indah akan tetapi dia hanya
memandangnya sebagai sebuah lukisan yang dihasilkan oleh kuas dan cat
warna tanpa memandang peran pelukisnya sedikitpun, padahal kuas, cat
warna, dan kertas hanya merupakan alat yang dimanfaatkan oleh
pelukisnya, demikian juga dengan mata, telinga, jantung, otak, dan
indera lainnya hanyalah merupakan alat bantu yang diletakkan dalam
kewenangan jiwa.
6. Dimensi Gaib
Telah dikatakan bahwa ruh dan jiwa merupakan dimensi yang
dimiliki oleh manusia dalam bentuk invisibel dan tak terlihat, sebuah
dimensi yang tak bisa disentuh dengan indera lahiriah. Akan tetapi
dengan argumentasi, hal ini menjadi sebuah persoalan yang bisa
dibuktikan dan dipahami.
Ada yang mengatakan, selama aku tidak melihat sesuatu
dengan kedua mata kepalaku, aku tidak akan bisa mempercayai
keberadaannya, dan karena aku menyaksikan listrik dengan kedua mataku,
maka aku sepakat bahwa Edison adalah seorang ilmuwan yang besar dan
jenius. Sangat jelas bahwa perkataan semacam ini sama sekali tidak
benar, karena apabila dengan melihat lampu listrik serta cahayanya,
seseorang baru akan mengakui kebesaran dan kejeniusan penemunya, maka
setiap makhluk-makhluk materi yang mempunyai kemampuan untuk melihat,
akan mengambil kesimpulan yang sama ketika menyaksikan listrik,
sementara hal yang terjadi tidaklah demikian.
Seekor kambing sama sekali tidak akan mengetahui kecerdasan
penemu listrik dengan melihat lampu listrik tersebut, atau kebesaran
penyair tidak mungkin diketahui oleh semua orang, hanya dengan melihat
tulisan-tulisan syair yang ditulis oleh sang penyair pada sebuah kertas.
Oleh karena itu, yang penting adalah kekuatan dan daya
menakjubkan yang terdapat di dalamnya-lah yang dengan melihat listrik
dan melihat syair, dia mampu memahami dan mengerti kebesaran posisi
penemunya dan mampu mengenali kodrat dan keahlian penyair yang
menuliskan syairnya di atas kertas. Jadi, melihat listrik atau melihat
syair yang tertulis di atas kertas, semuanya hanya merupakan premis
untuk berfikir bahwa “penemu listrik dan penyair tersebut adalah para
ilmuwan yang cerdas dan ahli”.
Hakikat Jiwa; Perspektif Qurani
Al-Quran menganggap bahwa jiwa manusia merupakan sebuah
hakikat yang berada di luar badan dan di luar mekanisme organ-organ
tubuh. Setelah nutfah berkembang menjadi janin dan memiliki
tulang-tulang dan urat-urat bersusunan rumit, maka jiwa akan terwujud
darinya.
Dengan kehadiran jiwa ini, tubuh tersebut memiliki
kehidupan awal manusia dan akan menghasilkan potensi-potensi yang tak
berkesudahan, tubuh ini kemudian akan menjadi media bagi tumbuhnya bakat
dan kemampuan istimewa yang kelak bisa dimanfaatkan pada aktivitas
manusia masa mendatang. “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus
dengan daging, kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.”[6]
Poin yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa “makhluk
lain” pada ayat di atas bukan berasal dari proses darah, daging, dan
tulang seperti yang terjadi pada penciptaan tubuh manusia. Oleh karena
itu, al-Quran mencoba memahamkan bahwa “makhluk baru” (baca: jiwa
manusia) memiliki hakikat yang lain, akan tetapi tentunya hakikat
tersebut tidak lepas dari proses tubuh, dan bisa juga bermakna bahwa
jiwa tersebut terwujud bersamaan dengan proses penciptaan tubuh, jiwa
tidak menyatu dengan tubuh dan juga tidak lepas dari tubuh.
Namun ketika ruh dan jiwa “keluar” dari tubuh, maka tubuh
akan berubah menjadi jasad tak hidup dan tidak lagi disebut tubuh
manusia. Jadi, penyerapan, pertumbuhan, gerak, aksi, reaksi, dan
aktivitas yang dilakukan oleh tubuh terjadi dengan perantara dimensi
non-materi manusia, yaitu jiwa. Demikian juga, kesempurnaan manusia
dalam ilmu, perbuatan, dan keimanan seluruhnya berada di bawah pengaruh
mekanisme ruh sedemikian sehingga secara bertahap ruh akan membentuk
seluruh hakikat manusia dan mengantarkannya pada puncak tahapan
eksistensi.
Pada dasarnya kedirian yang tetap pada manusia karena
faktor ruh dan jiwa, misalnya seorang anak tujuh tahun setelah melewati
tujuh puluh tahun walaupun secara umur berbeda, tapi kediriannya tetap
sama, yakni Muhammad diumur 7 tahun tetap Muhammad pada umur 70 tahun.
Yang menarik di sini, al-Quran menganggap kematian manusia sebagai terangkatnya ruh ke alam malakut, Allah berfirman, “Katakanlah:
“Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikanmu,
kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.”[7] yaitu malaikat akan membawamu bersamanya, dan pada ayat yang lain berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; …” [8], yaitu ketika engkau mati Tuhan akan mengembalikan jiwamu kepada-Nya.
Pada ayat pertama, jiwa manusia tak lain adalah “kum” yang merupakan kata ganti subyek yang bermakna kamu, maksud dari “kamu” di sini tak lain adalah “jiwa non-materi”.
Salah satu keajaiban yang dimiliki oleh jiwa, sebagaimana
yang diungkapkan dalam al-Quran adalah bahwa melupakan jiwa dan
melalaikannya akan menyebabkan Tuhan pun melalaikannya, “Allah
berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu
melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun akan dilupakan”[9]. Ayat-ayat Tuhan adalah jiwa manusia itu sendiri.
Dimensi yang belum Terungkap
Manusia memiliki dimensi-dimensi lain selain apa yang
tersebut di atas. Sebagaimana al-Quran menyebutkan adanya dua mata
lahiriah, dua telinga lahiriah, dan sebuah jantung lahiriah untuk
manusia, dengan nada yang sama al-Quran juga mengatakan adanya dua mata
batin, dua telinga batin, dan satu kalbu batin di dalam diri manusia.
Melihat Tuhan dengan mata lahiriah merupakan sebuah
persoalan yang mustahil terjadi, akan tetapi manusia bisa menyaksikan
Tuhannya dengan mata batin. Mata hati merupakan dimensi lain yang
dimiliki oleh manusia untuk menemukan jalan menuju Tuhannya.
Oleh karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Imam Ali as, “Apakah engkau melihat Tuhan?”, beliau menjawab, “Lam a’bud rabban lam arahu (Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat)”,
dan selanjutnya bersabda, “Tuhan tidak bisa dilihat dengan mata kepala
yang merupakan organ tubuh manusia, tetapi Dia bisa dilihat dengan mata
yang berhubungan dengan hakikat keimanan”. Al-Quran memberikan
perumpamaan untuk sebagian orang, “Maka apakah mereka tidak berjalan
di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengannya mereka dapat
memahami atau mempunyai telinga yang dengannya mereka dapat mendengar?
Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, akan tetapi yang buta adalah
mata hati yang ada di dalam dada”[10]. Pada ayat yang lain berfirman, “Sesungguhnya
telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; barang siapa melihat
(kebenaran itu) maka (manfaatnya) ada bagi dirinya sendiri; dan barang
siapa buta (tidak melihat kebenaran itu), maka kemudharatannya akan
kembali kepada dirinya sendiri.”[11]
Jelaslah bahwa mata dan telinga yang disebutkan di dalam
al-Quran ini tidak ada hubungannya dengan mekanisme fisikal manusia.
Tema ini mirip dengan seseorang yang menemui Einstein lalu
menceritakannya kepada orang lain dengan mengatakan, “Aku melihat
Einstein sebagai seorang yang sangat pandai dan cerdas”. Sekarang yang
menjadi pertanyaan adalah, apakah orang tersebut menyaksikan ilmu dan
kecerdasan Einstein dengan kedua mata kepalanya, yaitu dia memperoleh
informasi ini dengan proses fisikal, ataukah dia memahami hal tersebut
melalui metode yang lain? Apabila penyaksiannya adalah penyaksian fisik,
maka setiap orang yang bertemu dengan Einstein harusnya juga mengetahui
tingkat kepandaian dan kecerdasan ilmunya, padahal yang terjadi
tidaklah demikian, hanya orang yang mengenalnya bisa memastikan
kejeniusan dan ketinggian ilmunya, dan hanya penyaksian batin yang
setelah melakukan sekian waktu penelitian, mampu mengenal ketinggian
ilmu Einstein.
Menjadi jelas bahwa penyaksian orang ini, bukan penyaksian yang berbentuk lahiriah.
Sayangnya, dunia saat ini lebih sering mengesampingkan satu
dimensi yang sangat agung ini, melainkan mereka malah hidup dalam
keadaan jahil dan tak memiliki informasi tentangnya. Kebanyakan dari
mereka lebih menginginkan melihat segala sesuatunya dengan visi dan
pandangan material, sehingga mereka mengobservasi seluruh
hakikat-hakikat makrifat yang sangat tinggi di dalam
laboratorium-laboratorium empirik, lalu menegaskan bahwa setiap
eksistensi yang bisa diindera secara lahiriah yang memiliki keberadaan,
dengan pernyatan ini sebenarnya mereka secara tak sengaja mengakui
dimensi rasionalitas yang notabene adalah realitas non-inderawi dan
non-materi. Sebagai contoh, apabila mereka mempelajari kitab yang
ditulis oleh seorang ilmuwan besar, mereka akan mengatakan bahwa aku
telah menemukan seorang ilmuwan besar, sementara apa yang dia temukan
adalah merupakan hasil dari dimensi non-materi (yakni pengetahuan dan
informasi dari kitab yang dibacanya).
Dengan demikian, secara yakin bisa dikatakan bahwa manusia
telah dilengkapi dengan dimensi yang sangat agung dan paling berharga,
dan manusia harus berusaha dan berupaya untuk menganalisanya secara
lebih mendetail lagi.
Kenonmaterian Ilmu
Filsafat telah membuktikan bahwa pemahaman dan rasionalitas
bersifat non-materi dan berada di luar mekanisme materi. Begitu pula
ilmu dan pengetahuan bersifat non-materi, karena ilmu dan pemahaman
manusia tidak memiliki satupun dari karakteristik-karakteristik alam
materi. Oleh karena itu, ilmu tidak bisa dibagi dan tidak pula mengalami
perubahan.
Realitas yang ada di dalam pikiran sama sekali tidak bisa
dibagi menjadi dua bagian. Apabila kita membayangkan satu meter, maka
bayangan ini sama sekali tidak akan bisa kita bagi, apabila kita mampu
membaginya, maka yang akan muncul adalah dua buah setengah meteran, dan
itu tak lain adalah satu meter yang awal yang tetap berada di tempatnya.
Ketika kanak-kanak, kita mempelajari dan mengalami begitu
banyak persoalan. Ketika usia kita bertambah sekian puluh tahun dan
mengalami begitu banyak perubahan pada tubuh dan otak, gambaran dan
kenangan kanak-kanak yang ada dalam benak kita tetap konstan dan tak
berubah.
Ringkasnya, meskipun apa yang dikatakan oleh para fisiolog
mengenai otak dan ilmu manusia adalah benar, tapi haruslah dipahami
bahwa otak sebenarnya alat untuk memahami, bukan merupakan pemahaman dan
ilmu itu sendiri. Sel-sel yang ada di dalam otak praktis bertindak
sebagai alat untuk memahami, sedangkan pemahaman itu sendiri merupakan
dimensi non-materi yang tak bisa dilihat.
Ibnu Sina sepakat bahwa di dunia ini, manusia kadangkala
bisa sampai pada suatu tingkatan sehingga mampu memisahkan ruh dari
tubuhnya, hal ini muncul karena adanya bimbingan, riyadhah dan latihan,
yaitu meskipun dia masih mengenakan pakaian, pada hakikatnya dia telah
berubah menjadi sebuah realitas non-materi, misalnya dia bisa
berhubungan dan bercakap dengan orang-orang yang telah mati.
Ibarat yang dikatakan oleh Ibnu Sina adalah sebagai
berikut, “Di kehidupan dunia ini terdapat tingkatan khusus yang dimiliki
oleh para arif yang tidak diketahui oleh selainnya. Dia tetap memiliki
tubuh, namun telah keluar dari efek tubuh dan berubah menjadi realitas
non-materi yang kemudian berkelana di alam yang lebih tinggi. Kaum arif
memiliki rahasia-rahasia yang sangat tersembunyi yang tidak diketahui
oleh orang lain”.[12]
Khayalan dan Kelezatan Tinggi
Potensi lain yang dimiliki oleh manusia adalah daya khayal. Khayal[13]
merupakan perantara antara mekanisme tubuh dan akal. Apabila potensi
ini tidak dibimbing ke arah yang benar dan tidak berada di bawah
pengawasan akal, hal ini akan mengantarkan manusia pada kebebasan mutlak
yang akan muncul dalam bentuk kekuatan yang merusak.
Akan tetapi apabila berada dalam pengawasan akal dan
bergerak pada jalan yang benar, maka dia akan berubah menjadi kekuatan
yang bisa diandalkan dalam membantu aktivitas akal. Dan apabila berada
tidak terarah dan liar, maka dia akan berjalan ke arah manapun yang ia
kehendaki dan bertindak di luar control akal, ia akan senantiasa
dipenuhi oleh beragam bentuk khayalan sehingga seluruh waktu luang yang
ada akan terbuang sia-sia dan dadanya dipenuhi dengan khayalan kotor dan
merusak, yang hal ini akan menghilangkan ketenangan pikiran pemiliknya,
dalam sebuah hadist dikatakan bahwa kalbu seorang mukmin merupakan
tempat suci Tuhan, maka janganlah kalian menempatkan selain Tuhan di
tempat suci Tuhan.
Kelezatan hakiki dunia ini akan menjadi milik seseorang
yang telah sampai secara aktual pada tingkatan akal dan telah terlepas
dari belenggu khayal, dengan itu dia mampu mendominasi dan mengatur
seluruh dimensi dan kecenderungan wujudnya sedemikian sehingga ia tak
menginginkan sesuatu selain yang benar dan suci, tidak melihat sesuatu
selain kebaikan, dan tidak berfikir selain yang bermanfaat, dia menutup
saluran benak dan kalbunya dari segala yang batil dan menjerumuskan,
karena itulah sehingga dia akan mampu memahami dan memanfaatkan potensi
batinnya dengan semakin baik.
Oleh karena itu, selama kita tidak berusaha mengembangkan
potensi-potensi akhlak, dan selama kita belum menjauhkan dan
membersihkan kotoran-kotoran dan khayalan-khayalan merusak dari
kejernihan benak kita, maka benak tersebut tidak akan pernah
merefleksikan hakikat sebagaimana cermin yang memantulkan cahaya, dan
kita tidak akan pernah menemukan kecintaan abadi. Jadi, manusia harus
merasakan kelezatan khayal dalam jiwa suci, dengan akal menguasai
khayalan tersebut dan mengontrolnya dari setiap kecenderungan liar dan
sia-sia.
Referensi:
[1] . Qs. Al-A’la: 13.
[2] . Qs. Muhammad: 12.
[3] . Syarh al-Isyaraat, jilid 3, hal. 349.
[4] . Qs. Al-Isyra’: 72.
[5] . Qs. Al-Waqi’ah: 79.
[6] . Qs. Al-Mukminun: 12-14.
[7] . Qs. As-Sajdah: 11.
[8] . Qs. Az-Zumar: 42.
[9] . Qs. Thahaa: 126.
[10] . Qs. Al-Hajj: 46.
[11] . Qs. Al-An’am:104.
[12] . Al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3.
[13]
. Khayal di sini bukan sesuatu yang tidak memiliki realitas yang
sebagaimana secara umum dipahami masyarakat. Khayal dalam pembahasan
filsafat disebut juga alam barzakh atau alam mitsal yang berada di
antara alam akal dan alam materi. Jadi khayal sebagaimana akal dan
materi terdapat di dalam diri manusia.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar