SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany

Pemikiran keagamaan kontemporer ialah kenyataan atas bentuk pengkajian baru yang mempunyai akar dalam hermeneutik. Probabilitas pelontaran interpretasi yang beragam dan tak berhingga terhadap teks-teks agama, penafsiran yang bersifat historikal, perubahan interpretasi yang terus menerus, adanya keabsahan intervensi pikiran para mufassir dalam penafsiran teks-teks, dan pengaruh ilmu-ilmu lain terhadap pemahaman keagamaan adalah dimensi-dimensi baru yang hadir dalam wilayah dan ranah pembahasan keagamaan yang mempunyai akar mendalam pada teori-teori pemikiran hermeneutikal.

Hermeneutik kontemporer dari dua sisi memberikan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran keagamaan:
  1. Sebagian dari pembahasan hermeneutikal sangat berhubungan erat dengan pemikiran filosofis tentang pemahaman dan pengetahuan secara umum. Pemikiran tentang substansi pemahaman dan syarat-syarat eksistensial kehadirannya serta karakteristik-karakteristiknya yang prinsipil, akan berkonsekuensi pada kehadiran suatu hukum dan kaidah umum tentang pemahaman dimana juga meliputi makrifat keagamaan, pemahaman, dan penafsiran teks-teks suci keagamaan, dengan demikian, akan mewujudkan suatu pertalian yang sangat erat dan mendalam antara kajian-kajian hermeneutikal dan segala pengetahuan keagamaan.
  2. Islam, Kristen, dan Yahudi adalah agama-agama yang berpijak pada wahyu dan kalam Ilahi. Realitas ini akan menyebabkan agama-agama tersebut akan menerima pengaruh dalam aspek-aspek beragam dari teks-teks keagamaan, interpretasi, dan pemahaman-pemahamannya. Pertalian mendalam ini antara tradisi keagamaan dan kategori interpretasi teks-teks religius menyebabkan perumusan teori-teori baru dalam bidang  penafsiran dan pemahaman teks-teks, merekontruksi metode-metode penafsiran teks yang umum digunakan, serta pencarian solusi baru atas persoalan-persoalan kontemporer, yang kesemuanya ini akan berefek secara radikal pada segala pemikiran keagamaan.

Hermeneutik senantiasa bersinggungan dengan masalah-masalah interpretasi teks, yang walaupun terjadi banyak perubahan dalam ranah dan tujuannya, akan tetapi tetap memberikan penekanan khusus pada kategori pemahaman teks. Dari sisi ini, pelontaran konsep-konsep baru dalam wilayah hermeneutik tekstual akan berefek pada kedalaman pemikiran dan penafsiran keagamaan.

Hermeneutik pra Heidegger, pra abad keduapuluh, dengan berbagai horizon-horizon baru dalam interpretasi teks, tidak melahirkan benturan dalam domain perspektif keagamaan, karena seluruh aliran hermeneutik pada saat itu, sejalan dan mendukung tradisi metodologi dalam pemahaman dan penafsiran teks, dan masing-masingnya berupaya menegaskan dan merumuskan tolok ukur pada berbagai dimensi dalam metodologi umum yang diterima itu.

Namun, hermeneutik filosofis dan segala kajian yang berada dalam wilayah pengaruhnya lantas bangkit untuk melakukan kritik dan rekonstruksi terhadap kesusastraan dan semiotik serta melakukan perubahan radikal terhadap metode umum pemahaman dan panafsiran teks. Walhasil, objektivitas pengetahuan keagamaan menjadi diragukan.

Sebelum kita menyinggung perubahan penting yang dihembuskan oleh hermeneutik kontemporer dalam ranah pemahaman teks adalah urgen mengupas secara umum pencapaian universal dari pemahaman terhadap teks.

Tradisi interpretasi teks keagamaan yang lazim dan umum berkembang di kalangan para pemikir kontemporer berpijak pada gagasan-gagasan di bawah ini:

1. Upaya mufassir dalam menggali makna-makna teks. Makna-makna setiap teks adalah sesuatu yang diinginkan oleh subjek pembicara dan penulis teks dimana untuk mengungkapkannya mereka menggunakan kata-kata dan kalimat-kalimat.

Oleh sebab itu, setiap teks mempunyai makna-makna tertentu dan terbatas yang diinginkan dan dituju oleh pemilik teks dan pembicara secara serius. Tujuan serius dan makna-makna khusus itu ialah hal yang objektif dan riil yang senantiasa diupayakan oleh para mufassir untuk diungkapkan dan dijelaskan.

Maksud dari objektivitas dan realitas tersebut adalah bahwa terkadang mufassir salah menafsirkannya dan tak berhasil mengungkap realitas hakikinya. Bagaimanapun, makna-makna tersebut merupakan perkara yang konstan dan tak berubah serta pikiran mufassir sama sekali tidak berperan dalam perubahan makna tersebut.

Berdasarkan perspektif ini, teks-teks keagamaan berisi pesan-pesan Ilahi yang ditujukan untuk umat manusia dan tujuan para mufassir teks-teks ini adalah menggali, menganalisa, dan mengungkap pesan-pesan serius dari pemilik teks-teks itu.

2. Untuk sampai pada tujuan dan maksud tersebut, dapat menggunakan metode yang diterima secara umum oleh orang-orang yang berakal dalam aspek pemahaman atas teks.

Dalam metode itu, kata-kata lahiriah teks merupakan jembatan penghubung untuk menemukan tujuan inti dan makna yang dimaksud, karena pembicara dan pemilik teks menggunakan kata-kata untuk menyampaikan maksud yang sesungguhnya.

Implikasi kata-kata terhadap makna-makna mengikuti kaidah-kaidah bahasa dan aturan-aturan logis dalam setiap dialog, pembicaraan, dan proses belajar mengajar.

Kaidah dan aturan tersebut bersifat umum dan logis yang digunakan secara disiplin oleh para pembicara dan lawan bicara, dan tidak mengikuti aturan ini membuat kesalahan dalam pemahaman dan interpretasi teks.

Berdasarkan pandangan yang absah dalam tradisi keilmuan, aturan dan hukum tersebut bisa disusun dan dirumuskan, sebagaimana perumusan dan penyusunan secara sistimatik kaidah-kaidah berpikir dan berargumentasi yang dapat disaksikan pada disiplin ilmu logika (mantik).

3. Kondisi ideal untuk mufassir adalah pencapaian suatu pemahaman yang benar-benar diyakini sebagai tujuan inti dari pembicara dan pemilik teks.

Namun, keyakinan dan kepercayaan ini tidak senantiasa hadir dalam semua teks. Kejelasan implikasi teks terhadap makna yang dituju (sebagaimana kehendak utama sang pemilik teks), dalam tradisi keagamaan, disebut dengan “nash“.

Dalam nash keagamaan, para mufassir meraih pemahaman objektif yang sesuai dengan realitas hakikinya. Dalam selain nash, yang secara istilah disebut dengan “makna lahiriah”, para mufassir tidak dapat menyatakan secara jelas, yakin, dan tegas terhadap objektivitas pemahaman dan interpretasinya, akan tetapi, perolehan makna-makna tersebut tidak dikatakan telah keluar dari domain validitas penafsiran.

Ketiadaan kejelasan ini dan kesulitan pencapaian maksud utama pembicara dan pemilik teks, tidaklah lantas menggambarkan ketiadaan tolok ukur untuk memilah dan memilih mana interpretasi yang benar dan yang tidak benar.

Dalam kategori-kategori penafsiran teks, khususnya interpretasi terhadap teks-teks keagamaan, sangat diupayakan menemukan pemahaman valid yang dapat dipertanggung jawabkan dalam koridor metodologi, kaidah-kaidah umum, dan aturan-aturan logis yang secara disiplin diaplikasikan oleh kaum intelektual dan cendekiawan dalam menafsirkan setiap teks.

4. Perbedaan dan kesenjangan zaman yang terdapat antara penafsir dan kehadiran teks adalah bukanlah penghalang bagi tercapainya makna-makna yang dimaksud dan objektivitas dalam teks-teks religius, karena perubahan-perubahan bahasa dalam rentang perjalanan waktu tidaklah membuat pemahaman atas teks menjadi sangat sulit dan tidak akan terjadi kontradiksi antara makna lahiriah dan makna-makna yang diinginkan oleh pembicara dan penulis.

5. Segala upaya interpretator dan penafsir mesti diarahkan untuk menggali pesan-pesan utama teks dan maksud asli penulis lewat implikasi-implikasi teks. Atas dasar ini, menolak segala bentuk pikiran-pikiran penafsir dalam penentuan pesan dan maksud teks.

Tafsir birra’yi secara tegas tertolak, karena telah diwarnanai oleh pemikiran mufassir dan bertolak belakang dengan metode umum dalam penafsiran teks.

Berdasarkan metode ini, mufassir akan dipengaruhi oleh pesan asli dan pesan utama teks serta terposisikan sebagai penerima pesan-pesan teks itu, ia tidak berhak merumuskan sendiri bentuk pesan dan warna pesan teks itu.

Dan jika penafsir menginginkan aktif dalam penentuan pesan-pesan utama teks secara sepihak, maka ia telah keluar dari metode interpretasi yang sah.

6. Tradisi penafsiran yang benar atas teks sangat bertentangan dengan aliran relativisme pemahaman dimana beranggapan tentang ketiadaan tolok ukur yang pasti dan jelas dalam penentuan pemahaman yang benar dan keliru, tidak mungkin memisahkan dan menentukan pemahaman hakiki dan objektif dari pemahaman yang salah, menerima berbagai bentuk keragaman pemahaman teks, dan menolak adanya ketunggalan pemahaman dan objektivitas.

Kehadiran aliran hermeneutik filosofis pada abad keduapuluh yang melontarkan berbagai kritikan-kritikan terhadap kaidah-kaidah, hukum-hukum, dan tradisi-tradisi umum interpretasi teks yang diterima sebagai landasan bagi perumusan pemikiran keagamaan, pada akhirnya mengerucut kepada keraguan atas realitas penafsiran teks keagamaan dan berbagai pikiran-pikiran religius.


Di bawah ini akan diungkapkan secara ringkas ide dan gagasan utama hermeneutik filosofis yang kemudian melahirkan kondisi-kondisi pertentangan dengan metode umum interpretasi yang diterima oleh penafsir-penafsir muslim:
  1. Pemahaman-pemahaman atas teks merupakan hasil dari penggabungan antara horizon dan perspektif mufassir dan makna-makna teks. Oleh karena itu, pengaruh pemikiran-pemikiran para penafsir dalam pemahaman bukanlah hal yang negatif, melainkan juga syarat eksistensial kehadiran pemahaman dan merupakan hal yang tak bisa ditolak dan dipungkiri.
  2. Memperoleh pemahaman objektif teks yang berarti kemungkinan mencapai suatu pemahaman yang sesuai dengan kenyataan hakiki adalah hal yang mustahil, karena unsur-unsur itu (seperti pikiran dan asumsi mufassir) merupakan syarat perwujudan pemahaman, dan dalam setiap perolehan tidak lepas dari pengaruh pengetahuan-pengetaguan penafsir.
  3. Pemahaman teks secara praktis tidak berakhir dan kemungkinan adanya penafsiran dan interpretasi lain yang beragam dengan ranah tak terbatas, karena penafsiran teks itu adalah gabungan antara horizon mufassir dan makna-makna teks, dan dengan adanya perubahan sosok penafsir dan perspektif-perspektifnya, akan melahirkan interpretasi yang tak terbatas dari probabilitas penggabungan tersebut. Jadi kemungkinan munculnya komposisi-komposisi tak berhingga. Walhasil, kemungkinan perwujudan pemahaman dan penafsiran terhadap teks yang beragam pun menjadi realitas yang tak terbatas.
  4. Tak ada suatu pemahaman dan interpretasi pun yang konstan dan tak berubah dimana merupakan suatu pemahaman puncak yang bersifat tetap.
  5. Tujuan dari penafsiran teks adalah bukan berupaya memahami maksud dan keinginan pemilik teks. Kita berhadapan dengan teks dan bukan pencipta teks itu. Bahkan, penulis teks juga diposisikan sebagai penafsir teks yang tidak berbeda dengan mufassir-mufassir lainnya. Teks adalah realitas mandiri yang “berdialog” dengan interpretator dan pemahaman itu lahir dari hasil “percakapan” dan “dialog” tersebut. Seorang penafsir sama sekali tak berurusan dengan pesan-pesan inti dan maksud-maksud utama yang dikehendaki oleh para penulis dan pemiliki teks.
  6. Tak ada satu pun tolok ukur yang bisa digunakan untuk membandingkan antara interpretasi yang benar dan yang keliru, karena secara mendasar tak ada satu penafsiran yang dianggap paling absah.
  7. Hermeneutik filosofis memiliki kesamaan dengan ide relativitas interpretasi dan membuka secara luas penafsiran-penafsiran teks yang radikal. Sangat perlu dikatakan bahwa hermeneutik filosofis mempengaruhi pemikiran-pemikiran keagamaan secara tidak langsung dan juga ia tak mengajukan metode baru dalam pemahaman teks. Ketidaklangsungan pengaruh-pengaruhnya itu telah disinggung di awal pembahasan ini dan telah kami tunjukkan bahwa hermeneutik filosofis tidak memiliki kecenderungan religius dengan segala konsep dan gagasan khususnya itu. Pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dalam ranah pemikiran keagamaan itu melewati kritikan-kritikan yang diajukannya kepada cara dan metode umum interpretasi teks yang diterima itu. Poin penting yang ditekankan di sini adalah bahwa kritikan hermeneutik filosofis terhadap metodologi umum itu tidak dalam rangka mengajukan rumusan metode baru sebagai pengganti metode umum tersebut. Hermeneutik filosofis tidak memandang posisinya itu sebagai ungkapan metodologi baru untuk pemahaman dan interpretasi teks, termasuk teks-teks keagamaan, melainkan ia mengajukan analisis substansi pemahaman teks, syarat perwujudan pemahaman, dan tujuan-tujuan penafsiran serta sangat kontra dengan tradisi analisis interpretasi teks. Gagasan ini, merupakan serangan dan kritikan serius terhadap metodologi umum penafsiran teks. Dan kelanggengan metode umum dan keabadian pemikiran formal religius tersebut sangat bergantung kepada solusi komprehensif dan universal terhadap berbagai kritikan-kritikan itu.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top