Oleh: Mohammad Adlany
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat wa Tanbihat, mendeskripsikan kelezatan manusia dalam satu pembagian universal, yaitu syahwat, amarah, imajinasi, dan rasio (akal).
Kelezatan pertama yang terkait dengan syahwat adalah suatu
kelezatan tertentu yang dirasakan oleh salah satu organ tubuh manusia.
Sebagai contoh, lidah merasakan manis dan langit-langit mulut akan
menikmati kelezatannya. Kelezatan adalah sebuah perolehan dan
pencapaian. Kelezatan perolehan ini, kadangkala dihasilkan oleh organ
lidah yang melakukan aksi dan reaksinya pada permukaan lahiriah lidah
sehingga kemudian manusia memahami rasa tertentu, akan tetapi kadangkala
pula rasa tertentu ini dirasakan oleh manusia tanpa perantara organ
materi lidah, melainkan dia mampu merasakan kelezatan tanpa berhubungan
dan bersentuhan sama sekali dengan indera perasa.
Sebagai contoh, ketika dalam tidurnya manusia bermimpi
meminum sirup yang sangat lezat, sebenarnya dia telah merasakan
kelezatan ini tanpa menggunakan organ perasa lidah.
Kelezatan-kelezatan syahwat muncul dari selera-selera
rendah yang bukan hanya tidak penting bagi manusia, bahkan mungkin akan
bisa menjadi penghalang dan pengganggu bagi gerak menyempurnanya.
Sebagaimana seseorang yang melakukan aktivitas makan, tidur, dan
memenuhi syahwat hewaninya secara terus menerus, akan membuatnya tetap
berada pada sumbu hewani secara permanen.
Kelezatan kedua yang berhubungan dengan potensi amarah
manusia. Sebagaimana kita ketahui, balas dendam dan kemenangan pada
pihak tertentu atau tertimpanya musibah yang menyedihkan bagi musuhnya
akan menimbulkan semacam ketenangan dan perasaan lezat bagi pelakunya.
Memuaskan potensi amarah ini begitu menariknya sehingga kadangkala
mengalahkan kelezatan syahwat dan tak jarang manusia akan
mengesampingkan kelezatan syahwatnya dengan alasan untuk memperoleh
kelezatan amarah ini, dan bisa jadi bahkan dia akan rela mengorbankan
nyawanya dan bergerak hingga ke ambang kematian untuk melampiaskan balas
dendam dan kemarahannya.
Kelezatan ketiga yang terkait dengan imajinasi dan khayal
adalah yang sebagaimana kelezatan-kelezatan yang mengantarkan orang pada
lahirnya sifat-sifat sombong, angkuh, merasa tersohor, memegang
kepemimpinan, kekuasaan, dan egois, yang keseluruhannya ini merupakan
kelezatan-kelezatan yang sama sekali tidak berhubungan dan tidak
bersentuhan langsung dengan tubuh manusia, melainkan berhubungan dengan
gairah dan gejolak batin. Dan kelezatan ini jauh lebih kuat jika
dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan alamiah tubuh. Dan untuk
mendapatkan kelezatan imajinasi ini sering kali terlihat sebagian
individu menutup diri dari seluruh kelezatan tabiat dan alami. Misalnya
untuk memperoleh kekuasaan, seseorang bisa menutup mata dari makan,
minum, dan pemenuhan syahwat-syahwat yang lainnya.
Bagian keempat dari kelezatan ialah kelezatan akal atau
rasio. Kelezatan ini sebagaimana kecerdasan, memiliki begitu banyak
tingkatan dan derajat. Dimulai dari memanfaatkan ilmu, manisnya
melakukan ibadah, jihad, hingga pada mengorbankan jiwa. Dalam keadaan
seperti ini, dengan meninggalkan begitu banyak kelezatan dan kecintaan
yang lainnya, manusia akan bergerak ke arah Tuhan dan fana dalam
penghambaan pada Sang Pencipta alam, lalu dia akan menemukan esensi
wujudnya sebagai manifestasi Ilahi dan apa yang diperoleh dari
kesempurnaan di dalam dirinya ataupun diluar dirinya semuanya
berhubungan dengan kesempurnaan wujud Tuhan.
Tingkatan Kelezatan
Antara satu kelezatan dengan kelezatan yang lainnya
terdapat perbedaan dan tingkatan. Dan ukuran perbedaan masing-masing
setara dengan perbedaan substansinya, yaitu perbedaan kelezatan akal
dengan kelezatan inderawi terletak pada ukuran kedekatan diri kepada
Tuhan ketika mengecap kelezatan itu. Esensi kelezatan hanya bisa
dipahami melalui hakikat jiwa, tentunya aksi dan reaksi yang terdapat
dalam anggota tubuh merupakan perantara untuk memindahkan kelezatan
tersebut kepada jiwa. Sebagai contoh, apabila kita merasakan manisnya
gula di langit-langit mulut lalu kita menyukainya, maka gula yang
memiliki rasa manis merupakan perantara awal dan lidah merupakan
perantara kedua untuk memahami kelezatan lahiriah tersebut.
Kelezatan-kelezatan manusia dan untuk memperolehnya harus
dilakukan dengan memanfaatkan beberapa perantara dimana masing-masingnya
akan bertindak dengan cepat, namun kesibukan jiwa dan perhatian manusia
pada dimensi yang lain akan menyebabkan jiwa manusia tidak mampu
menggapai kelezatan tanpa melalui perantara. Oleh karena itu, terdapat
perantara dan penghalang supaya pesan terkirim ke otak dan akan terjadi
aksi dan reaksi yang beragam supaya kelezatan bisa diraih secara
maksimal dan sempurna.
Perantara-perantara ini akan melemahkan
pencapaian kelezatan dan semakin banyak perantara maka akan terdapat
hijab dan penghalang perolehan kelezatan yang semakin besar pula, dan
sebaliknya apabila perantara semakin berkurang, maka perolehan kelezatan
akan yang lebih jelas dan berkualitas. Meskipun tanpa perantara pun
sebagian dari kualitas-kualitas tersebut akan bisa ditemukan dan
pencapaian kelezatan ini akan menjadi lebih jernih, sebagaimana
seseorang yang berada pada alam mimpi, ketika dia meminum sirup atau
memakan sesuatu, maka kelezatan yang diperolehnya terasa lebih tinggi
dari kelezatan ketika dia makan dan minum sesuatu dalam keadaan sadar,
dan baginya perolehan kelezatan tanpa perantara materi jauh lebih kuat
dan lebih memikat.
Kelezatan Khayal Menurut Ibnu Sina
Abu Ali Sina dalam kitab Isyarat wa Tanbihat[1]
dalam pembahasannya tentang kelezatan khayal manusia, menganggap
kelezatan ini sebagai sebuah pengaruh dari munculnya keinginan, harapan,
dan permintaan hawa nafsu manusia, dengan makna bahwa dalam anggapan
manusia ini begitu banyak ide dan harapan yang menurutnya berharga, lalu
dia menyangka apabila harapan tersebut terwujud di alam luar, maka dia
akan mendapatkan begitu banyak kebahagiaan, kesuksesan dan kesempurnaan.
Sebagai contoh, seseorang yang menginginkan jabatan, kekuasaan,
kehormatan, dan kepribadian yang tinggi, apabila suatu hari harapannya
terwujud, maka kelezatan yang dihasilkan oleh kekuasaan dan jabatan
tersebut merupakan kelezatan khayalan.
Manusia ini telah terikat dan tertarik pada sesuatu yang
tidak benar-benar dia miliki secara hakiki, dengan makna apabila suatu
hari kepribadian khayalan tersebut terambil darinya, maka dia akan
kembali menjadi individu yang sebelumnya, yang secara pasti telah
melewati umurnya tanpa menemukan sedikitpun perkembangan signifikan
dalam umur yang telah terlewati tersebut. Dia tak lain adalah orang yang
terkena musibah dan malapetaka besar, karena seluruh kekuasaan dan
jabatan itu tidak akan memberikan kesempurnaan hakiki dalam dirinya. Hal
ini merupakan kebalikan dari kelezatan akal yang akan kami bahas
setelah ini.
Akan tetapi, kelezatan-kelezatan inderawi, sebagaimana
makan, tidur, memuaskan instink alami, apabila pelampiasan ini hanya
bertujuan untuk hidup dan bahkan tujuan hidup untuk makan dan minum
serta tak ada tujuan lain selain memuaskan keinginan alami, manusia ini
meskipun akan menemukan manfaat-manfaat alami tubuh, akan tetapi harus
diketahui bahwa kelezatan-kelezatan tersebut merupakan
kelezatan-kelezatan hewani yang memiliki tingkatan lebih rendah. Manusia
seperti ini tidak akan pernah mengeluarkan kepalanya dari tubuh
hewaninya dan tidak memiliki informasi sedikitpun tentang alam insani,
dia tetap tinggal dalam batasan kehewanannya, dan seluruh jerih payahnya
hanya berada pada batasan-batasan hewan tersebut.
Manusia semacam ini telah meletakkan dirinya untuk
berhidmat pada tingkatan hewani dan melupakan atau mengesampingkan
tingkatan insaninya sendiri. Jalan yang dia pilih ini sama sekali tidak
akan pernah mengantarkan seluruh potensi insaninya untuk menjadi sesuatu
yang aktual dan menyempurna, dan pada hari kiamat kelak dia tidak akan
dibangkitkan sebagai manusia. Sekarang pertanyaan yang masih tertinggal
adalah bahwa apakah kesempurnaan manusia itu? Dalam jawabannya bisa
dikatakan bahwa satu-satunya kesempurnaan yang layak bagi manusia adalah
sampainya dia pada kelezatan akal dan rasio.
Meskipun telah dikatakan bahwa kelezatan-kelezatan akal
memiliki tingkatan dan derajat yang beragam, paling tingginya kedudukan
rasionalitas dan bahkan di atas rasionalitas, tak lain adalah apa yang
dikatakan oleh Ibnu Sina, “Kesempurnaan mutlak manusia adalah
kesempurnaan akal dan rasionalitas, yaitu cahaya Tuhan memancar ke dalam
dirinya dan dia tetap berada dalam kesempurnaan yang mulia dan agung
seiring dengan menetapnya pancaran suci Tuhan.”[2]
Tujuan tinggi manusia adalah menggapai penegasan Ilahi dan
pancaran taufik-Nya dan melangkahkan kakinya pada tingkatan tinggi ini,
jika hal ini dicapai berarti ia telah meraih seluruh keberhasilan
manusia dan tidak ada satupun martabat atau kedudukan yang sesuai dan
lebih tinggi baginya.
Pada tingkatan ketuhanan ini, manusia akan menghadapkan
wajahnya ke arah tak terbatas dan sesaat demi sesaat dari umurnya
merupakan gerakan menuju kesempurnaan.
Pada ufuk tak terbatas ini, seluruh kekuatan dan potensi
manusia secara bersamaan akan menuju ke satu arah yang lebih baik dari
khayal dan imajinasi. Ini merupakan tujuan tinggi insani dimana mata
harus tertutup dari selain-Nya dan hati tak tertambat pada selain-Nya.
Batasan Kelezatan Inderawi
Pada pembahasan terdahulu telah kami katakan bahwa
kelezatan-kelezatan manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda.
Filosof besar Ibnu Sina pada bab kedelapan kitab Isyarat wa Tanbihat
menyinggung khayal dan imajinasi menjadi lima tingkatan dimana
kelezatan-kelezatan ini berada di atas kelezatan inderawi. Dan
kebanyakan masyarakat meninggalkan kelezatan-kelezatan inderawi karena
adanya tarikan-tarikan kelezatan-kelezatan di atas kelezatan inderawi.
Dengan hal ini dia hendak membuktikan bahwa kelezatan-kelezatan inderawi
memiliki batasan dan bukan kelezatan yang terbaik. Ibnu Sina dalam hal
ini menuliskan, “Kalangan awam menganggap bahwa paling tingginya
tingkatan kelezatan tak lain adalah kelezatan inderawi, seperti makan,
tidur, marah, dan syahwat, sedangkan kelezatan-kelezatan non-inderawi
merupakan kelezatan-kelezatan yang rendah.”[3]
Kemudian Ibnu Sina menyanggah pernyataan di atas dengan menyebutkan contoh-contoh berikut:
- Kadangkala sebagian dari individu-individu ini yang hingga batasan tertentu memiliki kemampuan analisa yang benar dan berkata kepada mereka, bukanlah kalian menganggap bahwa kelezatan-kelezatan inderawi yang paling baik adalah kelezatan-kelezatan seksual, makanan, dan sepertinya? Lalu kenapa kadangkala kita melihat pada sebagian individu yang untuk sampai pada satu kelezatan khayal dia bisa mengesampingkan kelezatan-kelezatan inderawi semacam ini? Misalnya seseorang yang tengah asyik bermain catur, kadangkala keasyikannya telah membuatnya tak sadar bahwa dia telah mengesampingkan makanan dan minuman-minuman lezat yang telah dihidangkan untuknya, dan dia tetap asyik bermain dengan khayalannya sendiri hingga berjam-jam lamanya;
- Demikian juga, bisa jadi media untuk memperoleh sebagian dari kelezatan-kelezatan inderawi seperti makanan dan menikah tersedia di hadapan orang yang menginginkan “kesucian” dan kekuasaan, akan tetapi demi menjaga kebesaran dan keuntungannya, dia akan menjauhi kelezatan-kelezatan inderawi tersebut. Baginya menjaga kedudukan dan keuntungan terasa lebih lezat dan lebih sesuai dari pada meraih kelezatan-kelezatan inderawi;
- Kadangkala bagi seseorang yang berjiwa pemurah, ketika tiba masa untuk memberi, dia akan lebih memilih kelezatan memberi atas kelezatan sifat hewani, dan dia mendahulukan pihak lain dari dirinya sendiri dalam merasakan kenikmatan. Oleh karena itulah dia bergegas untuk memberi. Jadi, jelas bahwa kelezatan memberi baginya terasa lebih tinggi dari kelezatan-kelezatan inderawi dan keinginan-keinginan hewani;
- Demikian juga manusia yang berjiwa besar dan mulia, di akan memilih lapar dan haus untuk menjaga harga dirinya, dan pada medan perang, ketika terdengar ajakan untuk menyerang dia akan menganggap ketakutan terhadap kematian dan kebinasaan mendadak merupakan sebuah persoalan yang sangat sepele;
- Bisa jadi pula, untuk sebagian pasukan perang, karena penghargaan dan pujian telah memberikan kelezatan dan kenikmatan yang tak terkira, hal ini telah menyebabkan mereka menyambut hal-hal yang berbahaya tanpa pikir panjang dan mereka akan segera menyerang ke arah musuh. Mereka mendahulukan kelezatan kebanggaan setelah mati dari pada kehidupan yang rendah.
Contoh-contoh di atas, menunjukkan bahwa
kelezatan-kelezatan inderawi bukan merupakan hal yang paling ideal bagi
manusia, karena kadangkala manusia menggunakan kelezatan-kelezatan
inderawi tersebut sebagai alat untuk mencapai kelezatan-kelezatan yang
lebih tinggi.
Oleh karena itu, apa yang ada di dalam benak masyarakat
umum tentang kelebihan kelezatan inderawi merupakan persoalan hakiki
manusia yang tidak mereka ketahui, dan mereka hanya menyarikan manusia
dalam mekanisme natural dan alam materi saja. Ibnu Sina juga menisbahkan
pernyataan yang serupa dalam anggapan keliru masyarakat umum, yaitu
metode tafakkur semacam ini beranjak dari khayalan rendah, karena apa
yang menguasai mekanisme berpikir masyarakat umum adalah khayalan bukan
rasionalitas. Sebagaimana khayalan juga menguasai dunia hewan.
Hanya saja, perbedaan yang jelas antara manusia yang
terletak pada tingkatan ini dengan hewan adalah manusia memiliki potensi
untuk mencapai kesempurnaan dan mereka bisa bergerak ke arah
kesempurnaan insani, meskipun selama mereka belum berada pada perjalanan
insani dan kesempurnaan insani, hanya khayalanlah yang akan
menguasainya, mereka tidak akan mendapat manfaat dari akal teoritis dan
kelezatan akal. Kodrat khayalan manusia ini adalah mereka memegang dan
mengatur persoalan-persoalan dunia, duduk, bangkit, melakukan transaksi
dan lain sebagainya. Dan ringkasnya, manusia ini tak lebih hanya sebagai
pemuas potensi-potensi inderawinya.
Oleh karena itu, kelezatan inderawi bukan saja tidak lebih
kuat dan lebih tinggi dari kelezatan-kelezatan yang lain, bahkan
kelezatan ini merupakan kelezatan yang paling rendah jika dibandingkan
dengan kelezatan-kelezatan lainnya.
Sebenarnya jika manusia yang mampu melesak dari mekanisme
inderawi dan khayalan, melihat dirinya terpenjara dalam kerangka tubuh,
maka sebenarnya harus diketahui bahwa tidak saja dia telah dicengkeram
oleh kekuatan hewani dan setani dimana cakar dan giginya telah memasuki
jantung dan meresap ke dalam jiwanya, bahkan hawa nafsunya pun telah
mengikat erat tangan, kaki, mata dan telinganya.
Dalam keadaan ini, maka dia harus secepatnya menyelamatkan
diri dari perangkap yang melingkupinya dengan cara semakin mendekatkan
diri kepada para wali-wali Ilahi dan memberikan perhatian yang penuh
pada dirinya sendiri, lalu melepaskan diri dari penjara tubuh untuk
terbang ke arah alam insani.
Mengarahkan Kelezatan
Apabila telah dikatakan bahwa manusia memiliki
kelezatan-kelezatan inderawi, instink, dan khayal, sekarang harus
dikatakan bahwa larut dalam kelezatan-kelezatan ini akan menjadi
penghalang untuk sampai kepada kesempurnaan manusia dan kelezatan akal.
Kami harus pula mengingatkan tentang poin berikut bahwa memanfaatkan
setiap kelezatan-kelezatan ini, bukan berarti akan menghalangi
perkembangan dan kesempurnaan manusia, melainkan kehidupannya hanya
diperuntukkan menggapai kelezatan-kelezatan inilah yang akan menghalangi
manusia untuk mencapai kesempurnaan yang seharusnya layak dia peroleh.
Jadi manusia bisa mengambil manfaat dari seluruh kelezatan ini dan pada
saat yang sama dia harus melangkah pada lintasan kelezatan yang benar
yaitu kelezatan akal dan kesempurnaan manusia.
Tentunya hal ini akan terjadi ketika seluruh potensinya,
baik yang berbentuk amarah, syahwat, dan khayalan berada di bawah
kontrol dan pengawasan dari potensi akal, yaitu pada saat manusia sampai
pada tingkatan akal, seluruh potensinya dia kerahkan untuk berjalan ke
arah kesempurnaan manusia, potensi yang sama yang sebelum ini
menghalangi jalannya, setelah ini dan selanjutnya akan menyediakan media
bagi pertumbuhan menyempurnanya dan akan mendorong munculnya gerakan
yang lebih baik baginya. Perjalanan kesempurnaan semacam ini, bukan saja
tidak menjadi penghalang, bahkan akan mendorong dan membimbing manusia
menuju jalan kesempurnaan.
Sebagai contoh, Rasulullah saww menjalani kehidupannya di
antara para penduduk dengan membentuk kehidupan berkeluarga, beliau juga
melakukkan perdagangan dan bersosialisasi dengan masyarakat, sedemikan
sehingga keluhuran akhlak dan budi pekerti beliau menjadi pembicaraan
dalam al-Quran, “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”[4]. Beliau selain memanfaatkan karunia alam natural ini juga mengarahkan pandangannya pada titik kulminasi kesempurnaan manusia.
Ketika seluruh potensi manusia berada di bawah kekuasaan
akal, dengan kepemimpinan akal ini, semua potensi ini akan berubah
menjadi bentuk-bentuk yang aktual, akal juga akan merubah perjalanan dan
tujuan kehidupan, dan seluruh persoalan besar dan kecil akan terwarnai
dengan pandangan Ilahi.
Ibnu Sina pada bab ke sembilan kitab Isyarat,
mengatakan bahwa orang arif dalam kehidupannya memiliki kedudukan dan
derajat tersendiri, dimana hal ini hanya terjadi pada kalangan mereka
dan orang lain tidak akan bisa memahami kedudukan dan derajat tersebut.
Mereka seakan mengenakan pakaian ruh dan tinggal di alam materi, mereka
terlepas dari seluruh pengaruh alam materi dan terlepas dari seluruh
aturan pemerintahan tubuh serta bergerak ke arah alam kudus. Seseorang
yang tidak mengetahui derajat semacam ini akan mengingkarinya dan mereka
yang mengetahuinya akan mengangapnya sebagai sebuah persoalan yang
besar dan agung.
Untuk untuk sampai pada kesempurnaan dan
kelezatan-kelezatan akal, manusia harus meletakkan potensi dan
kelezatan-kelezatan yang berderajat rendah dalam bimbingan dan riyadhah.
Langkah pertama dalah melatih khayal, amarah, dan syahwat, lalu
perlahan-lahan menarik mereka di bawah pemerintahan akal dan mengalihkan
perhatiannya dari dunia yang menipu ini untuk menuju ke arah alam
Ilahi. Dalam keadaan ini, akan terjadi keseimbangan antara potensi
instink, amarah, syahwat, dan khayal dimana tidak ada satupun dari
mereka yang bertentangan dan mengganggu berupaya menggapai kelezatan
yang lebih tinggi, kelezatan akal (seperti ketika manusia memperoleh
pengetahuan baru atau mendapatkan solusi atas berbagai keraguan
berkenaan dengan pemikiran tertentu). Nantinya, potensi-potensi tersebut
bukan saja tidak akan mengganggu akal dan menghalangi manusia untuk
sampai pada kesempurnaannya, bahkan karena telah merupakan sahabat yang
seia sekata, mereka akan senantiasa menyertai akal dan sebagaimana
kendaraan mereka akan menuruti kemauan akal.
Di sinilah kemudian akan muncul pancaran suci Ilahi pada
diri orang ini, dimana amarah, syahwat, dan khayalannya telah berhasil
dia gunakan untuk menuju ke jalan kesempurnaan insani dan pemerintahan
Ilahi. Allah mencintai hamba-Nya yang ikhlas, yaitu yang meletakkan
amarah dan syahwatnya dalam mekanisme akal. Kita mengetahui bahwa kodrat
khayal manusia mempunyai lingkup yang sangat luas dari kodrat badan dan
materi dimana kodrat ini tak akan pernah memiliki kemampuan untuk
mewujudkan pengetahuan-pengetahuan khayal tersebut ke alam eksternal.
Referensi:
[1] . Rujuk, Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, poin ke delapan, hal. 346.
[2] . Al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 345.
[3] . Syarh al-Isyarat, jilid ketiga, hal. 334-335.
[4] Qs. Al-Qalam: 4.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar