Oleh: Mohammad Adlany
Akal manusia -berdasarkan apa yang telah dikatakan dalam
pembahasan tentang parameter dan mizan kebenaran dalam rasionalitas dan
Epistemologi- perlu melakukan berbagai peneltian, observasi, dan
pencarian untuk menemukan dan menyingkap persoalan- persoalan yang
hakiki dan realitas-realitas yang obyektif, dan setelah dia menemukan
hakikat-hakikat tersebut, maka semestinya dia merancang dan membentuk
kehidupannya yang sesuai dengan pengetahuan dan makrifat hakikinya itu
dan berupaya menyesuaikan perilaku-perilakunya dengan pengetahuan yang
diperolehnya, termasuk di dalamnya adalah tindakan-tindakan yang
berkaitan dengan politik dan sosial kemasyarakatan.
Metode dan alur pemikiran manusia bisa jadi berada pada salah satu dari tiga jalan berikut: induksi (istiqra’), analogi (tamtsil), dan argumen (burhan).
Pada ketiga metode di atas, hanya metode argumen-lah yang
akan menghasilkan suatu pengetahuan, makrifat, dan ilmu yang benar.
Karena hanya dalam metode argumen-lah tercipta suatu hubungan yang
bersifat pasti dan niscaya antara mukadimah-mukadimah proposisi (yakni
premis mayor dan minor) dan konklusinya (hasil dan konsekuensi
proposisi).
Dengan demikian, metode burhan atau argumen pasti akan
mengantarkan manusia pada suatu keyakinan dan kebenaran. Pada lintasan
ini, dengan memanfaatkan fakultas akal-pikiran dan menyusun secara
sistimatis pengetahuan-pengetahuan dasarnya -yang diketahuinya secara
aksiomatik dan badihi atau sejenis pengetahuan yang telah ada sejak awal
kelahirannya- maka manusia akan menemukan pengetahuan-pengetahuan baru
dan menyingkap sebagian realitas-realitas obyektif.
Demikian juga, pada langkah-langkah selanjutnya dia bisa
memanfaatkan apa yang diperoleh oleh akalnya (yakni pengetahuan dan
makrifat terdahulu yang non aksiomatik dan bersifat teoritis) untuk
menemukan hakikat-hakikat yang lain dan memahami perkara-perkara yang
baru. Begitulah seterusnya hingga tak terbatas.
Hubungan keniscayaan antara pendahuluan-pendahuluan
proposisi dan konklusinya yang ada dalam metode argumen ini telah
menyebabkan tidak adanya sedikitpun bentuk-bentuk penyimpangan maupun
perbedaan dalam semua perolehan dan kesimpulan suatu argumen.
Dengan secara ketat menjaga dasar-dasar dan prinsip-prinsip
metode ini, maka konklusi dan hasil yang dicapainya tidak akan pernah
mengalami perubahan, begitu pula tidak ada perbedaan dan ikhtilaf karena
konklusi senantiasa satu dan tidak ada sesuatu lain yang bisa merubah
hasilnya itu.
Dengan demikian, metode argumen bukanlah merupakan sebuah
alur dan lintasan yang di dalamnya terdapat kesalahan dan kekeliruan.
Argumen atau burhan adalah sebuah metode yang benar dan sebuah struktur
yang meyakinkan serta jalan yang tak tergoyahkan yang apabila seorang
pemikir berpegang erat dan berpijak secara kuat padanya maka dia sama
sekali tidak akan tergelincir dalam kesalahan dan terjebak dalam
kekeliruan.
Oleh karena itu, untuk menentukan dimana letak sebuah
kesalahan dan kekeliruan suatu pemikiran, langkah pertama yang harus
diperhatikan secara mendetail dan seksama adalah ‘subyek yang berpikir’
atau ‘manusia yang bertafakkur’ itu, bukan cara dan metodologinya.
Karena manusialah yang kadangkala atau sering salah dalam menggunakan
mukadimah-mukadimah (premis mayor dan minornya) proposisi, atau keliru
dalam menempatkan pendahuluan-pendahuluan yang aksiomatik, atau
memanfaatkan proposisi-proposisi lain yang tidak selayaknya, atau bisa
jadi pula dia melakukan kesalahan dalam menyusun pendahuluan-pendahuluan
proposisi, yang pada akhirnya dia tidak akan memperoleh hasil dan
konklusi yang benar.
Dengan demikian, pada hakikatnya metode, jalan, alur, dan
lintasan pemikiran tidaklah salah dan keliru. Dan secara mutlak, metode
argumen-lah yang telah dijadikan sebagai struktur dan landasan pemikiran
yang paling benar dan jauh dari segala bentuk kesalahan. Kesalahan yang
ada dalam pemikiran dan rasionalitas itu berhubungan erat dengan subyek
dan manusianya, bukan kepada metode argumen itu.
Jelaslah bahwa metode analogi –yang tak lain adalah qiyas fikih- dan juga metode induksi tak sempurna (al-istiqra’ an-naqish)
tidaklah mampu mengantarkan manusia pada kebenaran dan keyakinan yang
pasti, karena itulah tidak dapat dijadikan sebagai metode yang tepat
dalam mengkonstruksi pemikiran-pemikiran manusia.
Dan pada kasus-kasus yang disandarkan pada suatu keyakinan
tertentu, maka dalam kasus tersebut bisa dikaitkan dengan sebagian dari
dalil-dali akal yang meyakinkan, sebagaimana halnya dalam kasus tersebut
bisa juga dilandaskan pada sebagian dalil-dali naqli (teks-teks suci
agama).
Metodologi Terapi Kesalahan
Setelah mengetahui letak-letak kesalahan dan kekeliruan
suatu pemikiran, langkah berikutnya adalah melakukan analisa lebih
mendetail terhadap metode-metode yang dapat memberikan solusi untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan itu.
Pengajuan jalan-jalan penyelesaian dan solusi-solusi ini
adalah sekaligus menunjukkan bahwa pengenalan hakikat-hakikat dan
pencapaian realitas-realitas obyektif merupakan sesuatu yang mungkin.
Dan manusia tidak seharusnya menghilangkan upaya-upaya ilmiahnya untuk
terus mencari dan mengetahui hakikat hanya karena suatu anggapan dan
kenyataan bahwa adanya kemungkinan kesalahan dalam pikiran seseorang.
Meskipun dalam kenyataannya bahwa dia tidak mungkin
menafikan adanya kemungkinan kesalahan dalam perolehan-perolehan
akalnya, namun dia tidak melepaskan diri dari usahanya untuk berjalan di
atas metode pemikiran yang benar sedemikian sehingga mencapai suatu
perolehan dan kesimpulan pemikiran pada batas-batas yang layak dan
meyakinkan untuk dijadikan pegangan dan kepercayaan.
Di samping itu, dia senantiasa berusaha melakukan peneltian
dan pengkajian ulang terhadap metode-metode dan hasil-hasil
pemikirannya.
Manusia yang berakal, apabila menyadari bahwa terdapat
metode-metode yang tepat untuk menjaga pemikiran-pemikirannya dari
berbagai bentuk kekeliruan dan kesalahan, daripada dia menapaki
metode-metode yang tidak rasional yang tidak memiliki peran sentral
dalam upaya-upaya penelitian dan observasi, senantiasa berharap dan
berusaha untuk memperbaiki pikiran-pikirannya dan menyelaraskannya
dengan realilitas hakiki.
Metode-metode untuk memperbaiki dan menyingkap kesalahan-kesalahan pemikiran antara lain:
1. Meneliti aturan, kaidah, dan prinsip
Mungkin sebagian menyangka bahwa tidak ada manfaatnya
menisbahkan suatu kesalahan itu kepada subyek yang memahami atau kepada
bentuk dan metode argumennya, dan beranggapan bahwa hakikat setiap
pemikiran adalah senantiasa bercampur dengan kesalahan, yakni setiap
pemikiran niscaya mengandung suatu kesalahan. Padahal, dengan
menganalisa dan mengkaji letak-letak kesalahan maka menjadi jelaslah
bahwa untuk suatu pemikiran dan rasionalitas terdapat suatu kerangka,
metode, dan bentuk yang meyakinkan dimana dengan mengikuti kerangka dan
metode ini pasti akan mendapatkan hasil dan konklusi yang benar.
Apabila tidak terdapat satupun perkara yang meyakinkan,
maka kesalahan dan kekeliruan akan senantiasa melingkupi
pemikiran-pemikiran, dan tidak ada lagi jalan untuk memilah
pemikiran-pemikiran yang benar dari pemikiran-pemikiran yang salah dan
memilih pemikiran yang sesuai dengan kenyataan.
Dengan mengikuti dan berjalan di atas suatu kerangka dan
metode rasionalitas yang meyakinkan, maka akan memberikan suatu harapan
kepada manusia untuk sampai kepada kebenaran.
Karena dengan berlandaskan kepada aturan, kaidah, dan
metode ini, manusia dapat menentukan dimana letak kesalahan-kesalahan
yang mungkin terjadi, dengan demikian dia bisa meletakkan syarat dan
kondisi yang dibutuhkan untuk menggapai suatu hasil-hasil yang benar dan
meyakinkan, dan dengan mengenali tempat-tempat kesalahan dan memahami
adanya aturan-aturan yang tidak diikuti maka dia mampu menganalisa alur
logika dan pemikirannya.
Oleh karena itu, untuk sampainya dia kepada hasil-hasil
yang benar maka tetaplah memperhatikan kaidah-kaidah argumen dan tidak
melupakan aturan-aturan dalam alur logika dan pemikiran. Yakinlah bahwa
ketelitian dan kedisiplinan dia dalam menerapkan metode-metode yang
benar niscaya akan memberikan pengaruh yang langsung dalam ketepatan dan
kebenaran kesimpulan yang diperolehnya.
Setiap upaya yang semakin teliti dan pengambilan
pendahuluan-pendahuluan yang benar serta penyusunan mukadimah-mukadimah
itu secara teratur, maka akan berbanding lurus dengan pengurangan
kesalahan dan kekeliruan dalam kesimpulan yang dicapainya atau bahkan
sama sekali tidak terdapat satupun kesalahan dalam hasil-hasil yang
diraihnya.
2. Membandingkan dengan suatu tolok ukur dan mizan
Setelah manusia meneliti dan mencermati kembali aturan,
kaidah, dan metode argumen pemikirannya sendiri dan berhasil meraih
hasil-hasil dan kesimpulan-kesimpulannya, maka untuk sampai kepada
keyakinan akan kebenaran hasil-hasil yang diperolehnya itu seharusnya
dia membandingkan, menyesuaikan, dan menghubungkannya dengan
pemikiran-pemikiran atau pengetahuan-pengetahuan yang lalu yang telah
diyakini kebenarannya itu.
Pengetahuan-pengetahuan inilah yang berperan sebagai tolok
ukur dalam menganalisa dan mengkaji kesimpulan-kesimpulan yang akan
dating, sekaligus membantu manusia dalam menggapai konklusi-konklusi
yang benar dan meyakinkan.
Bagian pertama dari tolok ukur dan pengetahuan yang benar
dan pasti adalah dasar-dasar pertama argumen atau burhan yang sering
disebut juga sebagai ‘patokan-patokan pemikiran yang meyakinkan’.
Pengetahuan-pengetahuan itu yang dikarenakan tak terdapat sedikitpun
kesalahan dan kekeliruan di dalamnya merupakan suatu tolok ukur-tolok
ukur yang baik untuk menegaskan kebenaran dari hasil-hasil dan
kesimpulan-kesimpulan suatu argumen.
Bagian kedua dari tolok ukur adalah pokok-pokok utama
teks-teks suci keagamaan. Pokok-pokok utama ini tidak lain adalah
pengetahuan-pengetahuan yang diambil langsung dari teks-teks kitab suci
agama dan merupakan hasil-hasil kesepakatan para ulama, mujtahid, dan
pemikir keagamaan.
Pokok-pokok tersebut mengandung teks-teks suci agama ini
yang berupa ayat-ayat al-Quran yang memiliki makna dan arti yang jelas (muhkamât)
dan hadis-hadis yang sahih dari Nabi Islam dan Ahlulbaitnya.
Pokok-pokok ini bisa disebut sebagai ‘patokan-patokan tekstual yang
meyakinkan’.
Berhubungan dengan ini, Imam Shadiq As menegaskan bahwa Ahlulbait Nabi itu masuk dalam kategori dari ayat berikut ini, “Ayat-ayat yang muhkamât adalah pokok-pokok isi al-Quran …dan orang-orang yang mendalam ilmunya“[1]. Oleh karena itu, sebagaimana dalam kitab Tuhan ‘yang tertulis’ (tasyri’iyyah), al-Quran, terdapat ayat-ayat yang muhkamât dan mutasyabihat (ayat-ayat yang maknanya berganda, beragam atau tidak jelas), maka dalam kitab Tuhan ‘yang tercipta’ (takwiniah), makhluk dan alam eksistensi, juga terdapat hal-hal yang muhkamât, yakni para Nabi, Rasul, dan Ahlulbaitnya.
Sesuai dengan kaidah bahwa supaya terhindar dari kesalahan dan kekeliruan pemaknaan ayat-ayat yang mutasyabihat maka ia harus dihubungkan dan disandarkan dengan ayat-ayat yang muhkamât.
Dengan demikian, pemikiran-pemikiran dari individu-individu
yang beragam itu -dimana terdapat adanya kemungkinan kesalahan- harus
dibandingkan dengan pemikiran dan gagasan dari orang-orang yang mendalam
ilmunya dan orang-orang yang telah mendapatkan legitimasi dari Tuhan
sehingga terbuka jalan yang pasti untuk meraih hakikat dan menggapai
kebenaran.
Begitu pula metode dan kaidah individu yang berbeda itu harus berada di bawah bayangan metode-metode para manusia Ilahi.
Suatu Sanggahan
Dua jalan dan metode yang telah disebutkan tersebut akan
mampu mengantarkan para pencari-pencari hakikat menggapai makrifat dan
pengetahuan yang benar, serta dengan berpijak pada kaidah-kaidah argumen
mereka mampu menganalisa dan mengkaji alur-alur pemikirannya, begitu
pula dengan membandingkan ‘hasil-hasil pemikiran yang dicapainya’ dengan
tolok ukur dan ‘patokan-patokan pemikiran dan tekstual yang meyakinkan’
mereka dapat mengetahui letak-letak kesalahan pemikirannya sendiri,
dengan demikian mereka memperoleh konklusi-konklusi pemikiran yang benar
dan meyakinkan.
Akan tetapi, dengan keberadaan dua metode tersebut -dan
kemungkinan masih terdapat metode-metode dan kaidah-kaidah lain dalam
menimbang kebenaran-kebenaran suatu pemikiran- maka kenyataan ini tidak
dapat dipungkiri bahwa mungkin masih tetap ada manusia yang tidak
meyakini kebenaran yang diraihnya.
Walaupun dia mengetahui bahwa dia memiliki kemampuan untuk
meluruskan dan membenarkan pemikiran-pemikirannya itu, akan tetapi dia
tetap tidak bisa menolak adanya kemungkinan hadirnya kesalahan dalam
pemikiran-pemikirannya.
Maka dalam kondisi seperti ini, masih tertinggal suatu
pertanyaan bahwa apakah dengan adanya kemungkinan kesalahan dalam
pemikirannya itu bagaimana manusia mampu menegaskan dan memandang bahwa
pemikirannya itu adalah benar dan segala perilakunya senantiasa
berlandaskan kebenaran?
Dengan ungkapan lain, apabila manusia tidak lepas dari
lingkaran keraguan dan kebimbangan, maka bagaimana dia dapat memandang
bahwa hasil-hasil pemikirannya itu adalah suatu kebenaran dan yakin
padanya serta beranggapan bahwa aspek-aspek kehidupannya itu senantiasa
berpijak dan berpihak pada lingkaran kebenaran?
Jawaban
Perlu diketahui bahwa pencapaian kebenaran dan hakikat
sentris yang senantiasa ditekankan dan dimotivasi oleh agama kepada
manusia itu adalah bermakna bahwa perolehan kebenaran dan peraihan
makrifat yang benar adalah berada dalam jangkauan kemampuan dan kodrat
manusia.
Oleh karena itu, apabila para peneliti di dalam alur-alur
logika dan pemikirannya mengerahkan segala kemampuan dan menggunakan
semua kaidah argumen yang ada serta hasil-hasil pemikiran yang sementara
diperolehnya kemudian dibandingkannya dengan ‘patokan-patokan pemikiran
dan tekstual yang meyakinkan’, akan tetapi dia masih belum yakin
menemukan kebenaran dan mencapai suatu keyakinan dalam
makrifat-makrifatnya, maka dia bisa bersandar dan berpijak pada
keraguan-keraguannya sendiri.
Dalam keadaan seperti ini, dia tidak bisa dikategorikan
telah keluar dari lingkaran kebenaran dan dinyatakan tak berpihak pada
kebenaran.
Namun, perlu dipisahkan antara kebenaran, keraguan, dan
kesalahan yang merupakan tiga tingkatan makrifat dimana ketiganya itu
secara terpisah telah dibahas dalam akidah, akhlak, fikih, dan hak-hak
asasi manusia.
Pada hakikatnya, kebenaran sentris atau perolehan
hakikat-hakikat itu telah mengajarkan kepada kita, ini sebagaimana bahwa
suatu pengetahuan yang benar dan makrifat yang meyakinkan adalah
memiliki nilai yang penting, dan konsekuensinya itu terdapat jalan-jalan
dan metode-metode yang valid dan bermanfaat yang berpijak pada suatu
kepastian dan kebenaran yang walaupun implikasinya bersifat keraguan.
Yakni, manusia ketika menyangka dan ragu tentang suatu
jalan dan metode, walaupun terdapat perbedaan antara keraguan dan
kebenaran, akan tetapi karena pijakan keabsahan keraguan dan sangkaan
itu adalah kebenaran dan kepastian, maka sebagaimana halnya kebenaran,
keraguan itu memiliki validitas.
Oleh karena itu, tidak mesti senantiasa dimaknakan bahwa
kebenaran itu adalah pencapaian makrifat yang pasti, bahkan meniti suatu
jalan keraguan yang bersandar pada keyakinan tetap berada dalam
lingkaran keberpihakan kepada kebenaran.
Perlu dikatakan bahwa metodologi seperti itu juga berlaku
dalam ilmu-ilmu empirik, karena para ilmuwan empirik apabila mampu
mencapai keyakinan, maka mereka akan berpijak padanya dalam
praktik-praktik dan penerapannya, akan tetapi kalau tidak sanggup
memperoleh keyakinan, maka mereka akan berlandaskan pada
keraguan-keraguan (baca: asumsi-asumsi) dalam aplikasi-aplikasinya.
Sebagai contoh, ketika para pelaku ekonomi menegaskan bahwa
pada wilayah geografi tertentu sangat cocok untuk pertanian dan tidak
tepat untuk pendirian industri, walaupun penentuan ini mungkin tidak
mencapai derajat kepastian secara seratus persen dan para peniliti
bahkan menegaskan bahwa kepastiannya itu hanyalah mencapai delapan
puluh persen, akan tetapi proyek itu tidak akan mungkin terlaksana
hanya karena terdapat duapuluh persen kemungkinan kesalahan, karena
mereka mengetahui bahwa tidak terdapat suatu jalan dan metode untuk
menghasilkan kepastian dan keyakinan seratus persen, dan apabila hasil
penelitian yang diperoleh itu tidak diyakini dan diaplikasikan maka
justru akan melahirkan bahaya dan kerugian yang lebih besar bagi mereka.
Maka dari itu, mereka merasa cukup dengan keputusan pasti
akal tentang keraguan sebagian hasil penelitian itu dan berpijak pada
derajat keyakinan yang dicapainya.
Dalam logika, pemikiran, dan rasionalitas agama -yang
konsekuensinya juga mencakup dimensi teoritis pemerintahan agama atau
teokrasi- yang apabila pencapaian keyakinan dan kebenaran secara seratus
persen tidak terpenuhi maka tidaklah dibenarkan meninggalkan penelitian
dan pengkajian atasnya, bahkan semestinyalah mengamalkan, menerapkan,
dan mengaplikasikan pemikiran-pemikiran yang lebih banyak memiliki
kemungkinan kebenaran menurut akal.
Metode dan kaidah seperti ini, tidak menjauhkan dari
lingkaran kebenaran dan hakikat sentris menurut cara pandang agama,
bahkan dikarenakan berpijak pada akal dan teks-teks suci agama juga
digolongkan berada dalam ranah kebenaran dan berpihak padanya.
Referensi:
[1] . Qs. Ali Imran: 7
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar