Oleh: Mahdi Hairi Yazdi
Penjelasan lebih jauh tentang pengertian ganda obyektivitas
memerlukan penyuguhan analisis mengenai proposisi yang biasanya
diajukan manakala orang mempunyai pengetahuan fenomenal yang biasa
tentang sebuah obyek eksternal, yakni jenis pengetahuan yang nanti akan
kita sebut pengetahuan dengan korespondensi.
Andaikan kita mempunyai pernyataan utama:
A. S mengetahui P
Selagi pernyataan utama ini berlaku, ia bisa dianalisis
menjadi tiga sub pernyatan analitis, yang masing-masing menggambarkan
sebuah komponen bagian dari hakikat mengetahui. Ketiga komponen tersebut
adalah:
- S adalah subyek yang mengetahui P
- P adalah obyek yang diketahui S
- Tindak mengetahui P telah dioperasikan oleh S.
Kenyataan bahwa pernyataan utama di atas secara logis
menyiratkan ketiga pernyataan tersebut berarti bahwa sub pernyataan b
seperti halnya a dan c adalah esensial terhadap pernyataan A sedemikian
rupa sehingga jika orang mengajukan pernyataan A dan mengingkari sub
pernyataan b dalam suatu konjungsi (kata sambung) logis, dia akan jatuh
dalam sebuah kontradiksi yang nyata.
Konjungsi itu adalah:
A1. “S mengetahui P” dan “P bukan obyek yang diketahui oleh
S”. Berdasarkan pengandaian ini, pernyataan selanjutnya adalah “P bukan
obyek yang diketahui oleh S”, ekivalen dengan pernyataan:
“P tidak eksis di dalam pikiran S” yang pasti sepadan dengan “S tidak mengetahui P”, dan kita mencapai kesimpulan bahwa:
A2.”S mengetahui P” dan “S tidak mengetahui P”.
Karena pengingkaran sub pernyataan b membawa kepada
kontradiksi ini, dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa yang menjadi
masalah adalah “pengingkaran terhadap pengingkaran” ini, Jadi, pada
dasarnya b adalah kebenaran yang wajib dari pernyataan utama. Dengan
demikian P, karena mewakili obyek subyektif dalam definisi hubungan
“mengetahui” adalah sebuah komponen logis dari hubungan ini, dan
sebagaimana yang terkandung dalam hubungan ini, adalah obyek esensial
dan bukan obyek aksidental.
Semua ini menunjuk kepada obyek imanen intrinsik yang
disebut obyek subyektif dalam hubungan mengetahui. Sekalipun demikian,
analisis di atas tidak berlaku jika yang dipertimbangkan adalah obyek
obyektif. Ini karena apabila kita mengganti obyek subyektif dengan obyek
obyektif dan menganggap:
B. S mengetahui P
sebagai pernyataan utama kita dimana yang kita maksudkan
dengan P adalah suatu eksistensi yang mandiri seperti sebuah benda
fisik, katakanlah sebuah meja, maka ia juga bisa dianalisis menjadi tiga
pernyataan berikut:
- S adalah subyek yang mengetahui P,
- P adalah obyek eksternal yang diketahui oleh S,
- Tindak mengetahui P diinisiatifkan oleh S.
Tetapi, berlawanan dengan kasus yang terdahulu, kita tidak
dihadang kontradiksi logis jika menganggap pernyataan utama B benar, dan
mengingkari sub pernyataan e dalam konjungsi berikut:
B1. “S mengetahui P”, dan “P bukan obyek eksternal yang sesungguhnya diketahui oleh S”.
Alasan bahwa B1 tidak konsisten adalah bahwa orang bisa
mengetahui dengan cukup pasti bahwa S pada akhirnya mengetahui P,
sementara dia tidak sepakat dengan S bahwa P adalah hal yang
diketahuinya. Dinyatakan dengan ringkas, bukanlah pernyataan yang
mengalahkan diri sendiri jika ditanyakan:
B2. “S mengetahui P”, tetapi “apakah P benar-benar hal yang diketahui oleh S?”
Sebaliknya, tampaknya adalah sebuah pernyataan terbuka jika
ditanyakan betulkah ada sebuah obyek eksternal tertentu, meskipun kta
tahu dengan pasti bahwa S percaya obyek seperti itu memang ada. Dengan
demikian, kita memang memiliki dua pengertian obyektivitas –yakni obyek
esensial atau obyek imanen dan obyek aksidental atau obyek transitif.
Untuk kedua pengertian ‘obyek’ yang secara mendasar berbeda
ini, salah seorang tokoh terkemuka dalam filsafat Islam yakni Shadr
Al-Din Syirazi, menggunakan istilah “esensial”, “hal-hal terpahami yang
aktual” (ma’lum bi adz-dzat, actual intelligibles), dan “hal-hal terpahami yang aksidental” (ma’lum bi al-aradh, accidental intelligibles) dalam kasus pengetahuan transendental, dan juga sebutan-sebutan “esensial”, “hal-hal terinderai yang aktual” (actual sensibles), serta “hal-hal terinderai yang aksidental (accidental sensibles) dalam kasus pengetahuan empiris.
Dia menulis, “Bentuk benda-benda ada dua jenis, yang
pertama adalah bentuk material yang eksistensinya diasosiasikan dengan
materi dan posisi, dan bersifat spasitemporal. Berkenaan dengan kondisi
materialnya yang ditempatkan di luar kuasa mental kita, jenis bentuk ini
tidak mungkin bisa “terpahami secara aktual dan esensial”, karena itu
tidak pula “terinderai secara aktual dan esensial” kecuali “secara
aksidental”. Bentuk yang kedua adalah bentuk yang bebas dan terpisah
dari materi, dari posisi dan dari ruang dan lokasi. Pemisahan itu adalah
melalui abstraksi sepenuhnya, seperti suatu “hal-hal terpahami yang
aktual”, atau melalui abstraksi yang tak lengkap seperti “hal-hal
terkhayalkan yang aktual” dan “obyek-obyek terinderai yang aktual”.[1]
Dalam wacana ini jelas terlibat dua dikotomi yang penting
secara mendasar. Pertama adalah obyek terpahami yang aktual atau
esensial (yang berada di alam pikiran) versus obyek aksidental atau
material (yang berada di alam eksternal). Yang kedua adalah obyek
terkhayalkan atau terinderai yang aktual, yang berbeda dari obyek
aksidental atau material. Dalam kedua dikotomi ini jajaran obyek yang
pertama dicirikan oleh aktualitas dan esensialitas, dan yang kedua oleh
materialitas dan aksidentalitas. Sebuah obyek dikatakan “terpahami
secara aktual dan esensial” hanya jika ia secara eksistensial identik
dengan, dan hadir dalam pikiran sebagai bagian dari fenomena mental
tindak mengetahui. Obyek tersebut diyakini “terinderai secara aktual”
atau “terkhayalkan secara aktual” ketika ia menjadi bagian dari tindak
penginderaan atau imajinasi kita. Akan tetapi, ketika obyek tersebut
secara eksistensial berada di luar akal atau di luar persepsi indera dan
imajinasi kita, maka ia memiliki hubungan korespondensi eksterior
dengan representasinya dalam pikiran kita. Hanya aspek kebetulan dan
aksidentalitas saja yang mencirikan penampakan obyek material yang
tergambar dalam pikiran kita pada waktu kita mengkhayalkannya atau
menginderakannya dalam persepsi indera. Ini berarti tidak ada kepastian
logis seperti bahwa hubungan korepondensi harus tetapi ada, sebab selalu
ada ruang bagi kemungkinan logis bahwa pengetahuan S tentang P ternyata
tidak benar. Dengan demikian, tampaknya sangat bisa diterima apabila
dikatakan bahwa karena korespondensi obyek mental dengan obyek material
bersifat aksidental, maka obyek material (yang berada di alam eksternal)
harus disebut “obyek aksidental”. Hasilnya, aksidentalitas di sini
berarti probabilitas yang senantiasa ada dalam kebenaran ilmiah.
Sesuai dengan itu, manusia memiliki fakultas-fakultas
“hal-hal terpahami yang esensial” maupun “hal-hal yang esensial” yang
kedua-duanya dirujuk, dalam terminologi Ducasse, sebagai “obyek
subyektif”, dan yang dalam terminologi kami disebut “obyek imanen”. Sama
halnya, manusia memiliki “obyek-obyek terpahami yang aksidental” maupun
“obyek-obyek terinderai yang aksidental”, yang mungkin sekali
kedua-duanya disebut oleh Ducasse sebagai “obyek obyektif” apabila dia
bisa mempertimbangkan masalahnya secara metafisik; kami telah menyebut
obyek-obyek aksidental ini sebagai obyek “transitif” dan obyek “tak
hadir” (yakni tidak hadir secara langsung dalam jiwa kita). Makalah ini
menegaskan bahwa, dari dua obyek utama ini, yakni obyek imanen dan obyek
transitif, hanya obyek imanen yang konstitutif dan esensial bagi teori
pengetahuan qua pengetahuan.
Obyektivitas Ganda Informasi-Inderawi
Bukan hanya analisis mengenai pengertian ganda obyektivitas
saja yang didasarkan pada teori korespondensi. Tesis Russell tentang
“informasi-inderawi” juga melibatkan teori obyektivitas ganda yang sama,
meskipun Russell sendiri mungkin tidak mengakui implikasi seperti itu.
Akan tetapi, kesan ini menjadi jelas ketika dia bersiteguh bahwa mesti
ada hubungan korespondensi antara informasi-inderawi dengan eksistensi
independen obyek fisik yang dicerap. Apabila terdapat korespondensi,
maka terdapat juga obyektivitas ganda. Bertrand Russell menulis, “Dalam
persoalan informasi-inderawi, kita telah menyaksikan bahwa, bahkan
apabila obyek-obyek fisik memang memiliki eksistensi independen dan
mandiri, mereka mesti sangat jauh berbeda dari informasi-inderawi, dan
hanya dapat mempunyai korespondensi dengan informasi-inderawi dengan
cara yang sama seperti sebuah katalog mempunyai korespondensi dengan
apa-apa yang dikatalogkan.[2]
Russell sama sekali tidak siap untuk mengakui dan menerima
lebih jauh bahwa ada implikasi yang harus dipertimbangkan dalam gagasan
tentang korespondensi itu sendiri. Implikasinya adalah bahwa seandainya
ada obyek-obyek fisik yang eksistensinya tak bergantung pada
informasi-inderawi, maka mau tak mau obyek-obyek fisik itu berhak
menjadi obyek-obyek obyektif yang berkoresponden dengan entitas-entitas
mental (realitas-realitas yang ada dalam pikiran) yang mesti disebut
obyek-obyek subyektif, atau seperti dikatakan Russell sebagai
informasi-inderawi. Apabila obyek-obyek fisik mempuyai koresponden
dengan benda-benda yang dikatalogkan, maka pada kedua dimensi hubungan
korespondensi tersebut harus terdapat obyek-obyek yang berkoresponden
sedemikian sehingga hubungan korespondensi dua dimensi ini bisa
mempunyai makna. Ini adalah implikasi yang logis.
Sebagaimana halnya di satu pihak dari hubungan tersebut
terdapat beberapa “obyek fisik” yang bisa menjadi “obyek-obyek
obyektif”, maka mesti terdapat pula, di pihak yang lain dari hubungan
itu, beberapa “obyek mental” yang harus dipandang sebagai “obyek-obyek
subyektif”. Merupakan hal yang jelas bahwa sebuah katalog, agar
mempunyai arti dan makna, harus secara subyektif mempuyai pengertian
obyektivitas benda-benda yang dikatalogkannya, yang menghubungkan yang
disebut belakangan ini dengan obyek-obyek yang disebut terdahulu. Akan
tetapi, sebagaimana terbukti, Russell enggan menerima, dalam keadaan
apapun bahwa terdapat obyek-obyek subyektif atau obyek-obyek obyektif
mental tersebut. Dia menggambarkan masalahnya dengan cara begini, “Di
satu pihak ada sesuatu yang kita sadari, katakanlah warna meja saya, dan
di lain pihak ada kesadaran aktual itu sendiri, yakni aksi mental
memahami sesuatu itu. Aksi mental itu tidak diragukan lagi bersifat
mental, akan tetapi apakah ada alasan untuk menganggap bahwa yang
dipahami itu sendiri bersifat mental.”[3]
Apabila informasi-inderawi belum merupakan obyek-obyek
mental, orang akan berpikir-pikir apakah informasi-inderawi itu
sebenarnya.
Kembali kepada sistem filsafat Iluminasi, kita sekarang
harus membahas mengapa semua obyek fisik yang secara eksistensial tak
bergantung pada pikiran kita diperlakukan dalam sistem tersebut sebagai
“obyek-obyek yang tak hadir” yang diperlawankan dengan “obyek-obyek yang
hadir”. Dengan mempertimbangkan eksistensi obyek-obyek fisik sebagai
sama sekali tak bergantung pada dan tak berpengaruh oleh aksi mental
mengetahui kita, maka pokok pembicaraannya menjadi jelas bahwa sifat
eksistensi seperti itu terletak di luar kecemerlangan mentalitas
eksistensial kita, dan tak pernah identik dengannya. Keadaan “tak
tergantung”, “tak terpengaruh”, dan “berada di luar” ini diungkapkan
oleh filsafat Iluminasi sebagai keadaan “tak hadir”, dan obyek-obyek
yang termasuk dalam keadaan ini diungkapkan sebagai “obyek-obyek tak
hadir”. Ini berurusan dengan kata “tak hadir”. Sedangkan tentang kata
“hadir”, filsafat Iluminasi dengan landasan yang sama memandangnya dalam
pengertian kondisi keidentikan eksistensi pikiran dengn eksistensi
aksi-aksi mental dan entitas-entitas mentalnya. Entitas-entitas yang
dihadirkan dalam kondisi identitas pikiran subyek yang mengetahui
disebut sebagai “obyek-obyek hadir”. Karenanya, “kehadiran”, dalam
pengertian yang positif memiliki konotasi yang mirip dengan arti
“identitas” dalam eksistensi dengan pikiran, sebagaimana halnya kata
“ketidakhadiran” berarti perbedaan dalam eksistensi dari eksistensi
pikiran. Dalam pengertian yang negatif, “obyek-obyek yang hadir” adalah
obyek-obyek yang tidak absen dari kecemerlangan eksistensial pikiran.
Selama kita mempertahankan sudut pandang terminologi murni
filsafat iluminasi, akan tampak tidak ada atau hanya sedikit sekali
perbedaan antara fisafat Iluminasi dengan pendekatan empiris Ducasse
terhadap pengertian ganda obyektivitas. Akan tetapi, harus dicatat bahwa
ada satu langkah lebih lanjut dalam pokok bahasan yang disebut di muka
dimana analisis Shadr Al-Din Syirazi (Mulla Shadra) bergerak lebih dalam
daripada analisis Ducasse. Yakni perluasan “obyek-obyek subyektif dan
esensial” dari keadaan pembatasan pada kesan-kesan indera sebagai
obyek-obyek pengalaman-indera, yang tentangnya keduanya sepakat, kepada
“obyek-obyek transendental terpahami” yang hanya muncul dalam filsafat
eksistensi Mulla Shadra. Tampak sangat jelas bahwa sebagai filosof
penganut empirisme, Ducasse tidak merasa berkewajiban untuk mengambil
langkah lebih lanjut dalam masalah “obyek-obyek transendental”, karena
obyek-obyek ini terletak jauh di luar lingkup dan wilayah “kesan-kesan
indera” Ducasse dan obyek-obyek subyektifnya. Akan tetapi, dalam
filsafat Mulla Shadra, perbedaan antara “obyek esensial” dan “obyek
aksidental” terutama dirancang untuk berlaku pada semua jenis tindak
epistemik, baik yang bersifat empiris maupun transendental, yakni
pemahaman transendental mengenai “obyek-obyek terpahami”. “Hal-hal yang
terpahami”, kata Mulla Sadra, “Adalah obyek-obyek aktual pikiran kita,
jenis obyek yang sepenuhnya bebas dari materi dan bersifat esensial
terhadap aksi mengetahui intelektual”.[4]
Obyek Aksidental adalah Obyek Tak Hadir
Dari semua ini kita bisa memahami bagaimana semua situasi
dan kondisi ini membenarkan pengandaian-pengandaian oleh para pemikir
yang berorientasi pencerahan dan iluminatif, semisal Mulla Shadra, yang
menegaskan bahwa benda-benda yang termasuk dalam tatanan dunia eksternal
harus dipandang sebagai “obyek-obyek tak hadir” yang diperlawankan
dengan “obyek-obyek yang hadir”. Obyek-obyek eksternal ini, dalam
pengertian yang sesungguhnya, tidaklah hadir bagi, dan diidentifikasikan
dengan, kita dalam dataran eksistensi, akan tetapi konsepsi-konsepsi
mereka dan representasi-representasinya memang hadir bagi, dan identik
dengan, kita. Dalam hal ini Mulla Shadra menulis, “Sebuah risalah
tentang teori bahwa pengetahuan mengenai obyek-obyek ini yang
eksistensinya absen dari kita hanya mungkin melalui perantaraan
representasi obyek-obyek di dalam diri kita.”[5]
Akan tetapi, menurut pendapatnya, adalah absurd apabila
realitas obyektif obyek-obyek ini pernah hadir dalam pikiran kita
sedemikian rupa sehingga sebuah obyek eksternal menjadi internal secara
total, dan suatu eksistensi yang mandiri jatuh dari dataran
eksistensinya ke dataran konsepsi yang hidup dalam keadaan mentalitas
kita (yakni berada di alam pikiran kita). Dalam pandangan filosof agung
ini, kita masih dapat mencapai komunikasi dengan “obyek-obyek tak hadir”
tersebut hanya melalui representasi-representasi yang bersifat
perseptual maupun konseptual dalam pikiran kita.
Representasi-representasi ini pada mulanya adalah milik kita dan
dibangkitkan serta ditegakkan oleh kekuatan intelektual kita.
Marilah kita ringkaskan pembahasan tentang perbedaan antara
obyek esensial (imanen) dengan obyek aksidental (transitif). Obyek
pengetahuan kita haruslah dipahami sebagai dua jenis:
(a) obyek-obyek
esensial, imanen, intrinsik, dan wajib yang merupakan bagian dari aksi
subyek yang mengetahui; dan
(b) obyek-obyek aksidental, transitif, dan
ekstrinsik yang tidak hadir dalam pikiran dan berada di luar tindak
mengetahui. Hubungan antara kedua obyek yang berbeda ini adalah melalui
korespondensi bukan identitas.
Karena obyek esensial dan imanen bebas dari keterikatan
dengan materi, dia dapat dicontohkan sebagai obyek yang bisa diindera,
dibayangkan, dan sangat bisa dipahami secara transendental, bergantung
pada derajat pengetahuan abstrak dan kekuatan pemahaman mental kita.
Dalam proyek ini bahkan obyek terinderai yang imanen dalam pengetahuan
empiris kita menikmati suatu derajat primitif abstraksi dan
transendentalitas karena dia bebas dari materi. Artinya dia berada bukan
dalam materi, akan tetapi di alam pikiran dan mental.
Di lain pihak, obyek aksidental dan transitif adalah bentuk
obyek yang eksternal, material, ataupun immaterial, yang secara
eksistensial tidak bergantung pada, dan terpisah dari, keadaan
mentalitas kita dan tidak mempunyai kerentanan terhadap derajat
abstraksi. Dalam kasus obyek material, dia terikat dan bergantung dengan
materi, ruang, dan waktu. Di samping itu, dalam contoh obyek
nonmaterial, apabila obyek seperti itu memang ada, dia berdiri sendiri
tanpa hubungan pasif dengan materi, ruang, ataupun waktu. Obyek-obyek
aksidental dan transitif ini dapat dikomunikasikan hanya dengan
menginisiasi representasi-representasi ini, karena berada dalam tatanan
konsepsi, mesti dipandang sebagai obyek-obyek imanen yang sebenarnya,
dan obyek-obyek yang direpresentasikan oleh mereka –yang eksistensinya
tetap berada dalam wujud- harus dianggap sebagai obyek-obyek transitif
dan aksidental.
Akhirnya, orang harus memperhatikan bahwa untuk obyek-obyek
esensial yang subyektif, yang baru saja kita cirikan sebagai
obyek-obyek yang bebas dari materi, persoalan apakah obyek-obyek itu
bebas, dan karenanya “abstrak” atau bebas secara esensial, dan karenanya
“bersifat bawaan”, bisa diputuskan dengan mudah. Meskipun tidak secara
prinsipil menjadi pokok persoalan kita, kita telah menunjukkan bahwa
“abstraksi” tidak boleh dianggap sebagai aksi intensional lain yang
ditambahkan kepada tindakan mengetahui, mempersepsi, atau menggagas.
Sebaliknya, dia tidak lain adalah tindak mengetahui itu sendiri,
sedemikian sehingga bahkan dalam bentuk primitifnya dia
merepresentasikan bentuk murni obyek material melalui pengalaman-indera.
Karenanya, abstraksi tidak boleh dipahami sebagai penjumlahan persepsi
atas seluruh obyek material, kemudian memisahkan bentuknya dari materi
dengan tetap menyimpan bentuknya dalam pikiran, dan membiarkan materi
berada di dunia luar. Kekuatan subyektif mengetahui tidak, dan tidak
bisa, mendatangkan apapun dari luar dirinya. Sebaliknya, kekuatan bawaan
representasi bentuk murni benda-bendalah yang membuat esensi sederhana
pengetahuan kita menjadi mungkin. Atas dasar pencerahan ini, semua jenis
dan ragam pengetahuan kita memperoleh derajat transendentalitas yang
layak. Persepsi-indera yang empiris, misalnya, karena merupakan
representasi-indera dari bentuk murni sebuah obyek fisik, terhitung
sebagai bentuk primitif tak sempurna dari obyek transendental.[6]
Status eksistensial suatu persepsi-indera tidak pernah dapat
diklasifikasikan sebagai obyek material, sebaliknya, dia merupakan
entitas immaterial yang mewakili bentuk murni obyek material. Dia
mewakili bentuk obyek material tersebut tanpa memiliki materi
eksternalnya.
Kesimpulan:
Dalam semua ini kita telah membicarakan persoalan-persoalan
mendasar berikut: analisis tentang pengetahuan secara logis menyiratkan
bahwa karena obyeknya tidak lain hanya bersifat imanen dan esensial,
maka arti obyektivitas obyek ini, seperti yang telah kita tunjukkan
bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahui itu sendiri.
Sebaliknya, obyek transitif, karena secara keseluruhan bersifat
aksidental, tidak menjadi bagian dari inti esensial kesadaran dan
pengetahuan manusia. Obyek transitif dan aksidental dengan demikian
menjadi konstitutif hanya ketika yang dipersoalkan adalah pengetahuan
tentang obyek eksternal. Ini adalah spesies pengetahuan tertentu yang
dalam terninologi kita akan dinamakan “pengetahuan dengan korespondensi”
(ilmu hushuli) yang diperlawankan dengan “pengetahuan dengan kehadiran”
(ilmu hudhuri). Akan tetapi, bentuk primordial pengetahuan adalah
“pengetahuan dengan kehadiran”, dan terlebih lagi dalam teori
pengetahuan, obyek transitif eksternal sama sekali tidak berfungsi
sebagai bagian pembentuk konsep umum pengetahuan. Dari semua ini dengan
sendirinya dapat disimpulkan bahwa gagasan prospektif kita tentang
“pengetahuan dengan kehadiran”, sebagaimana dicirikan oleh
swa-obyektivitas, benar-benar dan dengan sendirinya dijelaskan oleh
bentuk dasar pengetahuan, tanpa mempunyai obyek fisik eksternal yang
berkorespondensi dengan obyek yang hadir secara esensial. Akan tetapi,
“pengetahuan dengan kehadiran” secara harfiah termasuk, bahkan merupakan
contoh utama, dalam kategori pengetahuan seperti itu, sebab dia
bersifat neotic dan obyektif dalam hakikatnya dan memenuhi
semua persyaratan esensial konsepsi pengetahuan, mekipun tidak mempunyai
obyek transitif yang aksidental. Dengan demikian, tidak terdapat alasan
untuk mengingkari dan menolak pengertian obyektivitas jenis pengetahuan
ini semata-mata karena dia tidak mempunyai obyek luar dan eksternal.
Demikian pula, tidak ada alasan untuk diperlukannya semacam
transubyektivitas[7]
dalam kesadaran mistik yang, seperti akan kita lihat, merupakan sejenis
“pengetahuan dengan kehadiran”. Dinyatakan secara ringkas, ilmu hudhuri
secara harfiah berarti pengetahuan dengan kehadiran karena dia ditandai
oleh keadaan neotic dan mempunyai obyek imanen dan esenssial yang menjadikannya pengetahuan swaobyek (self–object-knowledge),
yang memadai untuk definisi pengetahuan seperti itu tanpa membutuhkan
obyek transitif dan aksidental yang berkoresponden, selain obyek yang
imanen dan esensial.
Referensi:
[1] . Syirazi, Kitab Al-Asfar, Perjalanan I, J. 3, pasal 10, bab 7, hal. 313.
[2] . B. Russell, The Problems of Philosophy (London, 1976), hal. 37-38.
[3] . Op.cit., hal. 41.
[4] . Sadr ad-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar, jilid pertama, pasal 10, hal. 313-315.
[5] . Op. cit., hal. 20.
[6] . Op. cit., hal. 313.
[7] . Lihat W. T. Stace, Mysticism and Philosophy (Philadelphia, 1960), hal. 146-52.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar