Oleh: Mahdi Hairi Yazdi
Apabila ada dua eksistensi yang mandiri dan independen
sedemikian rupa sehingga keadaan eksistensial yang satu sama sekali
tidak berkaitan dengan atau berasal dari yang lain, dan konsekuensinya
tidak ada hubungan kausalitas yang konstan antara keduanya, maka
tampaknya adalah benar kalau dikatakan bahwa yang satu “mutlak netral”
dalam hubungannya dengan yang lain. Cara lain untuk menyatakan hal ini
adalah bahwa kedua wujud yang berbeda ini “berjauhan” secara
eksistensial dari yang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan dan
ditafsirkan bahwa keduanya secara eksistensial absen dari dan tidak
hadir bagi atau tidak bersatu dengan yang lain.
Di sini, seperti yang telah ditunjukkan, kata
“ketidakhadiran” yang sangat sering dipakai dalam teknik linguistik
filsafat Iluminasi, berarti bahwa tidak ada kaitan dan hubungan logis,
ontologis, atau bahkan epistemologis antara kedua eksistensi tersebut,
yang dianggap berada dalam situasi dan kondisi wujud yang sama sekali
berbeda. Ungkapan “mutlak netral” karenanya adalah ungkapan yang sah
untuk menamai pengertian ketidakhadiran yang khusus seperti itu.
Suatu entitas mental atau hal-hal yang berada di alam
pikiran berhadapan dengan sebuah obyek eksternal pertama-tama akan
tampak sebagai dua eksistensi yang mutlak netral terhadap dan tidak
hadir bagi yang lain. Ini berarti bahwa keduanya tidak terikat secara
logis, ontologis, ataupun epistemologis. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa “netralitas” seperti itu tak pernah bisa dihilangkan
sama sekali dan diubah menjadi “kesatuan mutlak” sehingga kedua
eksistensi itu menjadi satu realitas dan sama secara serempak dan dalam
segala hal. Adalah suatu kontradiksi dan kekeliruan yang nyata bahwa
sebuah entitas mental dan obyek eksternal menjadi identik dan menyatu
secara mutlak, baik secara logis, ontologis, atau epistemologis apabila
keduanya dianggap berbeda dalam ketiga kriteria ini.
Hanya ada satu kemungkinan bagi kedua eksistensi yang
berbeda ini untuk berkumpul, bersatu, dan terikat satu sama yang lain
melalui semacam unifikasi. Yakni unifikasi fenomenal yang bersifat
epistemik, bukan logis ataupun ontologis. Sebuah obyek eksternal boleh
jadi memiliki, di samping realitas faktualnya yang termasuk dalam
tatanan wujud, sebuah representasi fenomenal dalam pikiran kita,[1]
yang berhubungan dengan tatanan konsepsi. Ini tidak berarti sebuah
tatanan wujud eksternal muncul, berada, dan berdiam dalam pikiran kita
sehingga secara eksistensial dianggap bersatu dengan pikiran kita, dan
sekaligus dipandang termasuk dalam tatanan konsepsi. Juga bisa dikatakan
bahwa salah satu ciri utama tatanan konsepsi adalah bahwa dengan
bersifat mental ia sangat bergantung dan mendapatkan realitasnya dari
diri kita serta dihasilkan oleh pikiran kita dalam wilayah aksi
fenomenal kita, sementara tatanan wujud dicirikan oleh eksisnya ia tidak
dalam diri kita, tetapi dalam dirinya sendiri, dan terletak di luar
diri kita di dunia eksternal yang independen terhadap pancaran
mentalitas kita.
Telah ditegaskan bahwa satu-satunya cara yang mungkin
diambil ke arah unifikasi kedua eksistensi yang pada awalnya netral itu
adalah unifikasi epistemik. Akan tetapi, bagaimana sifat unifikasi ini
dan bagaimana ia terjadi, tetap menjadi sebuah pertanyaan. Jawaban bagi
pertanyaan-pertanyaan ini terletak pada gagasan korespondensi (al-muthabaqat).
Arti korespondensi yang dipakai dalam teori pengetahuan ini ringkasnya
adalah “kemiripan” dalam isi dan “keidentikan” dalam bentuk.[2]
Artinya, bentuk internal disatukan dengan bentuk material eksternal,
akan tetapi eksistensi mental tak pernah identik dengan eksistensi
eksternal. Kedua mode eksistensi yang berbeda itu karenanya saling
menyerupai satu sama lain berkat unifikasi formal. Jika keidentikan
formal ini tidak ada, maka tidak akan ada kemungkinan “komunikasi”
antara pikiran manusia dengan dunia realitas.[3]
Ketika kita berbicara tentang gagasan korespondensi (al-muthabaqat),
tentu saja harus dicatat bahwa paling tidak pada saat ini kita tidak
berurusan dengan penetapan kriteria pernyataan-pernyataan logis yang
mesti benar atau salah. Dalam filsafat Iluminasi persoalan ini dipandang
berasal dari persoalan-persoalan yang sudah ada sejak asalnya.
Bagaimana pengetahuan kita bisa berkorespondensi dengan dunia realitas?
Atau, dengan perkataan lain, bagaimana kita bisa memahami dunia
eksternal kita sebelum kita mampu berbicara dan membuat kalimat-kalimat
mengenainya? Inilah pokok dan ranah pembicaraan yang menjadi perhatian
kita dalam masalah keadaan dimana suatu pernyataan tertentu adalah benar
atau salah, adalah masalah lain yang mesti dibahas pada tempat
tersendiri.
Telah ditunjukkan bahwa tidak seperti ilmu hudhuri
(pengetahuan dengan kehadiran), ilmu hushuli (pengetahuan dengan
korespondensi) ditandai oleh keterlibatan pengertian ganda obyektivitas
(yakni ilmu hushuli mempunyai dua obyek, obyek subyektif-esensial dan
obyek obyektif-aksidental). Ia mempunyai obyek subyektif (yang terletak
dalam pikiran), sebagai esensi yang diperlukan oleh pengetahuan seperti
itu, dan juga mempunyai obyek obyektif yang terletak di luar tatanan
konsepsi (yang terletak di alam eksternal) dan merupakan rujukan
obyektif pengetahuan tersebut. Obyek yang pertama oleh filsafat
Iluminasi disebut “obyek yang hadir”, dan obyek yang terakhir disebut
“obyek yang tak hadir”, yang realitasnya terpisah dari realitas pikiran
“subyek yang mengetahui”.
Dalam kasus pengetahuan ini, obyek subyektif memainkan
peran representasi perantara dalam pencapaian suatu pengetahuan.
Artinya, obyek subyektif, melalui konseptualisasi, menyuguhkan realitas
obyek eksternal di hadapan pikiran “subyek yang mengetahui”. Untuk
mencapai tindakan representasi ini harus ada “kesesuaian” dan
“keidentikan” dalam pengertian korespondensi antara kedua jenis obyek
tersebut. Sebagai representasi, obyek subyektif dan esensial, dan
karenanya keseluruhan kesatuan pengetahuan, hanya bisa dimengerti
apabila ia memiliki kesesuaian dan korespondensi dengan obyek eksternal.
Karenanya, ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi) adalah
pengetahuan dimana:
- Terdapat dua jenis obyek: obyek internal (obyek esensial dan imanen) dan obyek eksternal (obyek aksidental dan transitif). Artinya, baik obyek subyektif maupun obyek obyektif harus sudah berada dalam tatanan aktual.
- Ada hubungan korespondensi antara kedua obyek tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, karena hubungan
korespondensi bersifat aksidental, artinya, pengetahuan kita mungkin
berkoresponden atau tidak dengan realitas eksternal, maka dualisme logis
kebenaran dan kesalahan, atau kekeliruan, perlu dipertimbangkan.
Apabila obyek subyektif-esensial kita benar-benar berkoresponden dengan
obyek obyektif-aksidental, maka pengetahuan kita mengenai dunia
eksternal adalah benar dan sahih, akan tetapi apabila kondisi
koresponden belum diperoleh, maka kebenaran pengetahuan kita tidak akan
pernah dihasilkan. Ini karena oposisi terhadap kebenaran dan kesalahan
termasuk jenis oposisi khusus. Ia menuntut suatu relasi yang aplikasinya
dapat bersifat simetris bahkan jika hubungan itu tak simetris. Ini
berarti bahwa pada setiap proposisi atau kalimat dimana kualitas
“kebenaran” bisa diterapkan, kualitas kesalahan dengan alasan yang sama
bisa diterapkan secara potensial, dan terhadap setiap proposisi atau
kalimat dimana kualitas kesalahan bisa diterapkan, maka kualitas
kebenaran, atas dasar yang sama secara potensial juga bisa diterapkan.
Dalam filsafat Iluminasi, menurut prinsip-prinsip yang layak, telah dikembangkan oposisi-oposisi (taqâbul) tertentu yang tidak dapat ditemukan dalam kotak perlawanan tradisional. Di antaranya, oposisi dan taqâbul terhadap apa yang disebut sebagai “bakat dan privasi” (‘adam wa malakah)
mesti dikhususkan dalam kaitannya dengan kebenaran dan kepalsuan. Sifat
oposisi ini, ketika dielaborasi, menyarankan suatu kategori oposisi
yang di dalamnya mesti terdapat sesuatu yang memenuhi syarat bagi
pemenuhan salah satu kualitas yang berlawanan. Sebuah contoh yang
disebutkan oleh para filosof ini adalah obyek bernyawa yang memenuhi
syarat untuk melihat atau buta, yang kerentanan terhadapnya tidak
dimiliki oleh obyek tak bernyawa. Kita bisa mengatakan bahwa individu
atau spesies binatang tertentu buta karena pada keadaan generik ia
mempunyai kemampuan untuk melihat. Akan tetapi, kita tidak akan pernah
bisa mengatakan bahwa benda tertentu (tak bernyawa), katakanlah batu,
adalah buta karena keadaan generik dari benda ini tidak menganggap akan
adanya kemampuan untuk dapat melihat.[4]
Jadi, benda apapun yang mempunyai, menurut fitrahnya mempunyai
“kemampuan” untuk memenuhi salah satu kualitas yang berlawanan ini, ia
mempunyai kemampuan dan kerentanan untuk dikualifikasikan oleh kualitas
yang lain, dan sebaliknya.
Perlawanan (tashâd) antara kebenaran
dan kesalahan dianggap termasuk dalam jenis ini, dan berlaku hanya pada
penilaian-penilaian dan pernyataan-pernyataaan yang, melalui hubungan
korespondensi, memenuhi syarat untuk benar atau salah. Akan tetapi,
ketika penerapan kriteria kesalahan tidak berlaku, maka penerapan
kriteria kebenaran juga tidak berlaku.
Melalui korespondensi dengan rujukan obyektifnya, ilmu
hushuli (pengetahuan dengan korespondensi) memiliki kemampuan untuk
menjadi benar. Oleh karena itu, ada kemungkinan pengetahuan ini tidak
memenuhi persyaratan-persyaratan yang layak dan sebagai akibatnya ia
lantas menjadi salah. Akan tetapi, sifat dan karakteristik ini tidak
berlaku dalam ilmu hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran), sebab jenis
pengetahuan ini tidak mempunyai kaitan dan hubungan apa-apa dengan
korespondensi, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menjadi salah.
Dengan demikian, ia tak mungkin dipersalahkan. Sebagaimana dinyatakan
oleh sifat perlawanan (tashâd), apabila tidak ada kerentanan
terhadap kesalahan, maka tidak ada pula makna bagi kebenaran. Dengan
demikian, dualisme kebenaran dan kesalahan hanya berlaku dalam
perlawanan yang layak dimana kemungkinan salah satu pihaknya merupakan
tolok ukur bagi kemungkinan pihak lain. Ketidakmungkinan yang satu juga
dipandang sebagai kriteria bagi ketidakmungkinan yang lain. Akan
tetapi, seperti telah kita nyatakan, dalam derajat eksistensi ilmu
hudhuri (pengetahuan dengan kehadiran) yang tinggi terdapat versi
kebenaran lain yang, seperti halnya pengetahuan itu sendiri, termasuk
dan digolongkan ke dalam tatanan eksistensi dan bukan tatanan konsepsi
dan representasi.[5]
Referensi:
[1] . “Representasi fenomenal” ini dalam bahasa Ilmuminasi Islam disebut al-asrar al-muthabiq li al-waqi’, yang berarti efek mental yang berkoresponden dengan realitas obyek tersebut. Lihat Kitab Al-Masyari wa Al-Mutharihat (Istanbul, 1845), hal. 479.
[2] . Ini adalah pengertian khas Islam mengenai fenomenologi pikiran. Lihat Kitab Al-Asfar, jilid 2, pasal 4.
[3] . Mulla Hadi Sabziwari, Syarh-I Manzhumah, hal. 58-85.
[4] . Jenis perlawanan ini disebut ‘adam wa malikah’. Lihat Sabziwari, Syarh-i Manzhumah, hal. 153.
[5] . Untuk pembahasan mengenai semua pengertian penting “kebenaran”, lihat bahasan Al-Farabi yang dikutip oleh Sabziwari, al-Manzhumah, hal. 170.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar