Salah satu prinsip utama Islam yang mendapat perhatian besar Alqur’an adalah prinsip wilayah.
Alqur’an menyebutnya hingga 236 kali. 124 kali dalam bentuk kata benda
dan 112 kali dalam bentuk kata kerja. Salah satunya adalah yang terdapat
pada surat al-Maidah ayat 55 dan 56. Pada kedua ayat ini Alqur’an
menggunakan kedua bentuk kata wilayah itu.
“Sesungguhnya wali (bentuk kata benda) kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat saat mereka sedang ruku’. Maka barangsiapa yang berwilayah (kata kerja: yatawalla) kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, sesungguhnya partai Allah adalah yang menang.”
Secara bahasa, wilayah atau walayah yang berakar dari kata w-l-y pada dasarnya mengandung makna kedekatan, apakah itu kedekatan jasmaniyah atau kedekatan maknawiyah. Karena itu, ia kadang berarti berteman, menolong, mencintai, mengikuti, menteladani, memimpin atau mematuhi. Karena makna-makna tersebut pada dasarnya merujuk pada makna adanya kedekatan antara pelaku, subyek, dan penderita.
Kata wali (isim fail: nama pelaku) misalnya, kadang berarti teman, pembela, atau pemimpin; tergantung penggunaannya. Ketiga makna yang berbeda ini sesungguhnya memiliki dasar yang sama, yakni adanya kedekatan antara subjek dengan objek. Karena itu ia bisa berarti salah satunya atau keseluruhannya, tergantung qarinah, keadaan yang menyertainya dalam pembicaraan. Ayat 5: 55-56 di atas misalnya, walayah (wali) digunakan dalam arti kepemimpinan.
Jadi maknanya: “Sesungguhnya pemimpin kalian adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat ketika mereka sedang ruku. Maka barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman sebagai pemimpinnya, sesungguhnya partai Allah adalah yang menang.”
Sementara itu pada ayat 10: 62, walayah (auliya’) dimaksudkan sebagai kekasih: “Ketahuilah, sesungguhnya para kekasih Allah (Auliya’ Allah) tidak memiliki rasa takut dan tidak pernah gusar.” Sehubungan dengan itu, Alqur’an banyak berbicara tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi persoalan wilayahini. Atau dengan kata lain, bagaimana seharusnya kita berwilayah.
Alqur’an menjelaskan terdapat dua bentuk wilayah, yaitu wilayah positif dan wilayah negatif. Wilayah positif ialah wilayah yang diseru oleh Allah, sedangkan wilayah negatif ialah wilayah yang dilarang Allah. Maksudnya ialah Allah memerintahkan kita agar berwilayah kepada pihak-pihak yang diperkenankan-Nya (wilayah positif) dan melarang kita berwilayah kepada pihak-pihak yang tidak diperkenankan-Nya. (wilayah negatif)
Berkaitan dengan wilayah negatif, Alqur’an dengan tegas mengatakan bahwa kaum Muslimin dilarang berwilayah kepada orang-orang yang berada di luar barisan mereka, yakni orang-orang kafir. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu angkat musuh-Ku dan musuhmu sebagai wali-wali, yang kamu curahkan cinta kasihmu kepada mereka. Karena mereka telah mengingkari kebenaran yang datang kepadamu, mengusir Rasulullah, dan mengusir kamu karena imanmu kepada Allah Tuhanmu.” (QS. 60:1)
Hal itu karena orang-orang yang jelas-jelas menolak kebenaran, tidak dapat dipercaya. Dalam diri mereka tersimpan rasa permusuhan dan ketidaksenangan terhadap kaum Muslimin. Alqur’an menegaskan: “Jika mereka menangkap kamu, mereka memperlakukanmu sebagai musuh dan bertindak buruk terhadapmu dengan tangan dan lidah mereka. Mereka ingin kamu kembali kafir lagi.”(QS 60:2)
Ada dua bentuk wilayah positif yang mesti dilakukan oleh kaum Muslimin, yaitu wilayah terhadap kaum Muslimin secara umum, disebut Wilayah Positif Umum. Dan wilayah kepada pihak-pihak tertentu secara khusus, Wilayah Positif Khusus. Ada banyak penjelasan tentang kedua hal ini secara khusus di dalam Alqur’an. Demikian pula penjelasan oleh Nabi saw.
WlLAYAH POSITIF UMUM.
Alqur’an menegaskan bahwa kaum Muslimin satu sama lain adalah wali terhadap yang lainnya. “Wal-Mu’minuuna wal-mu’minaatu ba’dhuhum auliya-u ba’dh.” (QS 9:71) Mereka adalah saudara, innamal-mu’minuuna ikhwah. (QS 49: 10) Hubungan sesamanya didasarkan pada cinta kasih, ruhamaa-u bainahum (QS 48:29).
Bahkan Nabi saw menggambarkan bahwa kaum Muslimin itu bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya sakit, maka anggota yang lain ikut sakit. Karena itu kaum Muslimin tidak boleh gontok-gontokan (QS 8:46). Harus bersatu (QS 3: 103) dan membangun hubungan di antara mereka dengan saling percaya (QS 48:12). Jika demikian, maka kaum Muslimin akan jaya selamanya. “Janganlah kamu bersikap lemah dan jangan pula bersikap gusar. Sesungguhnya kamulah yang unggul, jika kamu beriman.”(QS 3: 139)
WlLAYAH POSITIF KHUSUS.
Yang dimaksud di sini adalah wilayah kepada Ahlubait, keluarga suci Nabi saw. Sunni dan Syi’ah sepakat bahwa Nabi saw menuntut umatnya agar berwilayah kepada Ahlubait. Alqur’an Surat al-Syura (42) 23 menegaskan:
Katakan: “Aku tidak minta upah apapun atas risalahku ini
kecuali cinta kepada keluarga(ku).”
Demikian pula ayat 55-56 Surat al-Maidah (5): “Sesungguhnya (wali) pemimpin kamu ialah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat saat mereka ruku”. Para ahli tafsir menjelaskan bahwa orang beriman yang dimaksud dalam ayat di atas adalah Imam Ali ibn Abi Thalib. Nabi saw berkata, “Barangsiapa yang menganggapku sebagai maula,, pemimpinnya, maka Ali adalah maula, pemimpinnya.”
Namun demikian, wilayah kepada Ahlubait dapat dibagi dalam beberapa bentuk. Pertama, wilayah mahabbah atau kecintaan kepada Ahlubait. Kedua, wilayah imamah atau menteladani dan mengikuti Ahlubait. Ketiga, wilayah ziamah atau mengakui Ahlubait sebagai pemimpin-pemimpin sosial dan politik. Dan keempat wilayah tasharruf atau mengakui Ahlubait memiliki kemampuan “mengendalikan” alam.
WILAYAH MAHABBAH.
Cinta kepada Ahlubait merupakan keharusan yang tidak terbantahkan. Puluhan bahkan ratusan hadis menyeru kita untuk mencintai Ahlubait, apakah itu hadits Sunni atau Syiah. Bahkan ahli tafsir terkenal, Fakhrur-Razi, penulis kitab tafsir al-Kabir, yang dalam masalah khilafah menyerang keras pandangan Syiah, menukil banyak hadits tentang kewajiban mencintai Ahlubait. Antara lain:
“Barangsiapa yang meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad (Ahlubait), maka ia mati sebagai syuhada. Ketahuilah, barangsiapa meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang telah diampuni dosa-dosanya oleh Allah. Ketahuilah, barangsiapa meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang taubat kepada Allah. Dan ketahuilah, barangsiapa yang meninggal dunia dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, mati sebagai orang yang telah sempurna imannya.”
Berkenaan dengan kecintaan kepada Ahlubait ini, lmam Syafii telah menggubah beberapa syair kecintaan kepada ahlubait. Antara lain:
Wahai Ahlibait Rasulullah
Mencintai kalian diwajibkan Tuhan
Tingkatmu agung sudah jelaslah
Dalam Alqur’an terdapat bahan
Siapa meninggalkan shalawat untuk kalian
Shalat tidak sah, begitu hukumnya
Tinggi kedudukan, tinggi derajat kalian
Merupakan karunia Allah semuanya
Jika Ali serta Fatimah
Dipuji orang dengan sanjungan
Pasti ada orang amarah
Menamakan Rafdhi dalam kenangan
Lalu kutanyai orang berbudi
Yang kuat imannya kepada Allah
Mencintai Fatimah bukan Rafdhi
Sebaliknya mencintai Rasulullah
Shalawat Tuhan tidak terhingga
Kepada Ahlubait serta salam
Laknat turun tangga
Kepada jahiliyah masa silam
Dalam pada itu diceritakan bahwa Farazdaq, penyair terkenal pada abad pertama Hijrah yang secara spontan melontarkan syair-syair pujian kepada Imam Ali Zainal Abidin putra lmam Husain tatkala Ibn Hisyam, penguasa Umayyah, pura-pura tidak mengenalnya saat ia dengan kesal menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, betapa orang-orang memberi jalan kepada Imam agar dapat bertawaf dengan baik. Sementara ia sendiri harus menanti berjam-jam menunggu sepinya petawaf. Ketika ditanya dalam mimpi sesudah ia meninggal dunia, apa yang dialaminya ? Farazdaq menjawab bahwa ia telah diselamatkan oleh syair-syair pujiannya kepada Imam Ali Zainal-Abidin.
Dengan demikian, maka seluruh kaum muslimin, siapa pun mereka, harus mencintai Ahlubait Rasulullah saw.
WILAYAH IMAMAH.
Yang dimaksud dengan Wilayah Imamah ialah al-marjaiyyah al-diniyyah atau posisi sebagai panutan dalam masalah-masalah agama dan akhlak. Umat harus menteladani mereka dan merujuk kepada mereka dalam masalah-masalah agama. Cinta saja, dalam arti kecenderungan perasaan, masih belum cukup. Cinta harus diikuti oleh sikap menteladani orang yang dicintai. Itulah maksud dari firman Allah(QS 3:31):
Katakanlah : “Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku. Dengan demikian, Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Itulah arti cinta sejati. Tentang Rasulullah, Allah berfirman: “Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik buat kamu.” (QS 33:21) Ayat ini menjelaskan tentang wilayah imamah yang dimiliki Rasullulah. Kaum muslimin harus merujuk kepada Rasulullah dan menjadikannya sebagai teladan dalam kehidupan mereka.
Sesudah Rasulullah, posisi ini dipikul oleh Ahlubait. Nabi bersabda: “Kutinggalkan pada kamu dua hal yang berat (tsaqalain), jika kamu berpegang kepada keduanya niscaya kamu tidak akan sesat untuk selamanya, yaitu Kitab Allah dan keluargaku, Ahlubaitku. ”
Hadits Nabi tentang keharusan mengikuti keluarga Rasulullah ini adalah hadits yang shahih, bahkan mutawatir. Semua ulama sepakat tentang kebenaran hadits ini dan tidak seorang pun yang berani menolaknya. Ia diriwayatkan oleh lebih dari 20 Sahabat Nabi. Karena itu ia termasuk di antara hadits-hadits yang qat’iy, yang kepastiannya tidak dapat diragukan oleh siapa pun. Selain hadits tsaqalain ini terdapat banyak hadits lain yang memiliki makna yang sama.
Misalnya hadits : “Barangsiapa yang ingin hidup seperti aku, maka ia harus berwilayah kepada Ali sesudahku dan mengikuti para imam dan keluargaku yang telah dikaruniai dengan pengetahuan dan kecerdasan. Celakalah orang-orang yang mengingkari keunggulan mereka. Orang-orang seperti ini akan dicabut keperantaraanku untuk kepentingan mereka.” dan sebagainya.
Wilayah Ziamah atau kepemimpinan sosial-politik ialah otoritas yang diberikan Allah kepada nabi-Nya untuk mengatur urusan kemasyarakatan, tidak terkecuali masalah kekuasaan. Nabi adalah Wali Amril-muslimin atau penguasa Islam. Sesudah Nabi saw, otoritas atau wilayah ziamah ini dilimpahkan kepada Ahlubait Nabi. Merekalah yang dimaksud dalam firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan para Wali Amr kamu. ” (QS 4:59) Berdasarkan hadits yang sahih, wali amr kamu di sini adalah para lmam Ahlubait.
WILAYAH TASHARRUF.
Wilayah Tasharruf atau Wilayah Maknawilah ialah kemampuan yang diberikan Allah kepada seseorang yang telah mencapai maqam qurb, posisi kedekatan dengan Allah yang sedemikan rupa sehingga yang bersangkutan dianugrahkan kekuasaan mengendalikan alam dan jiwa manusia. Wilayah ini adalah wilayah tertinggi yang mungkin dapat dicapai oleh manusia. Alqur’an dengan tegas menyatakan adanya orang-orang tertentu yang dianugrahi wilayah ini.
Salah seorang di antara mereka adalah Nabi Sulaiman alaihis salam. Ia dianugrahi Allah misalnya, kemampuan mengatur perjalanan angin. “Maka Kami tundukkan angin untuknya yang berhembus dengan baik menurut kemana saja yang dikehendakinya.” (QS. 38:36) Demikian pula kekuatan yang diberikan Allah: “Berkatalah orang yang mempunyai ilmu dari Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia berkata : “Ini semua merupakan karunia Tuhanku.” ” (QS. 27:40)
Tetapi wilayah ini tidak didapat oleh sembarang orang. Hanya orang-orang tertentu yang telah mencapai kedudukan yang sangat dekat dengan Allah, yang dapat mencapainya. Tentu saja Rasulullah saw adalah orang yang paling utama dalam hal ini. Beliau memiliki wilayah tasharruf yang paling tinggi. Sesudah Rasulullah, para Imam suci Ahlubait adalah orang-orang yang dianugrahi Allah wilayah ini. Oleh karena itu, maka Islam memerintahkan kita untuk bertaqarrub kepada Allah melalui orang-orang suci ini.
(lenteralangit/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar