Oleh: Mohammad Adlany
Dasar-dasar Argumen Imkan dan Wujub
Argumen
yang dipergunakan di sini untuk menelaah realitas eksistensi dan wujud
eksternal dalam menegaskan eksistensi hakiki Tuhan adalah argumen
imkan (contingent)
dan
wujub (necessity).
Argumen ini merupakan salah satu argumen rasional yang paling kuat
dalam membuktikan eksistensi Tuhan, karena tak satupun manusia berakal
menolak dan memungkiri eksistensi dirinya dan realitas wujud-wujud di
alam ini, sementara argumen ini secara prinsipil berpijak pada
penerimaan realitas eksistensi dan wujud hakiki.
Sebenarnya, Tuhan tidak gaib, yang gaib justru diri kita sendiri,
Tuhan bahkan lebih berwujud dari wujud-wujud lain dan lebih bercahaya
dari cahaya-cahaya lain. Jadi, kalau kita mempergunakan argumen-argumen
untuk “pembuktian” wujud Tuhan, maka itu hanyalah berdimensi
“mengingatkan” kita akan realitas hakiki itu.
Banyak jalan menuju Roma. Banyak metode menyingkap wujud Tuhan, cara
menyingkap Tuhan sebanyak realitas wujud-wujud. Jalan menuju kepada-Nya
sangatlah banyak karena Dia memiliki banyak sisi (baca: nama dan
sifat-Nya), setiap sisi-Nya merupakan jalan yang bisa digunakan para
pesuluk. Walaupun jalan begitu banyak, tapi ada jalan yang paling kuat
dan sempurna dibanding yang lainnya. Dalam hal ini, kita harus memilih
argumen yang paling sempurna dalam menegaskan eksistensi Tuhan, argumen
adalah jalan menuju kepada-Nya dalam kerangka akal teoritis. Semakin
sempurna argumen maka semakin sempurna pula pandangan dunia tauhid.
Sempurna pandangan dunia tauhid berarti sempurna tujuan hidup dan
hakikat wujud kita.
Sebelum kita masuk dalam pembuktian wujud Tuhan lewat argumen ini, di
bawah ini kami akan jabarkan dan jelaskan secara terperinci beberapa
pendahuluan dan pengertian yang mendasar berkaitan dengan argumen ini.
Dengan memahami pengertian-pengertian itu, maka kita mudah mengikuti
alur-alur argumen dan memahami secara benar premis-premisnya.
Pengertian-pengertian yang akan dijelaskan antara lain:
- Pengertian wujud kontingen (mumkin al-wujud), Wujud Wajib (wajib al-wujud) dan wujud mustahil (mumtane’ al-wujud);
- Pengertian keniscayaan;
- Prinsip kausalitas;
- Kemustahilan daur dan tasalsul.
1. Pengertian Wujud Kontingen, Wujud Wajib dan Wujud Mustahil
Ketika kita menelaah realitas-realitas eksistensi di alam ini
misalnya manusia, hewan, tumbuhan, gunung-gunung, batu-batuan dan lain
sebagainya, maka kita akan dapat simpulkan bahwa realitas-realitas
eksistensi tersebut, dalam rentangan waktu, pernah tiada dan kemudian
terwujud di alam ini. Begitu pula, realitas-realitas wujud ini, dalam
koridor ruang-waktu, mengalami kesinambungan perubahan yang berjenjang.
Kelihatannya, tak ada satupun dari realitas-realitas tersebut yang tak
pernah mengalami perubahan dari awal perwujudannya dan tetap pada satu
kondisi dan tingkatan.
Jika realitas-realitas itu adalah niscaya adanya maka senantiasa
mewujud, dan sebaliknya jika mereka itu tak niscaya adanya maka mustahil
mewujud. Segala realitas eksistensi di alam ini berawal dari penciptaan
kemudian mengalami perubahan dan pembaruan yang terus menerus dalam
rentangan waktu, dengan kata lain realitas ini pernah berwujud dan akan
sirna. Ini berarti bahwa yang niscaya pada esensi realitas-realitas
tersebut adalah berwujud dan tak berwujud. Dengan ungkapan lain, esensi
realitas-realitas berada pada titik nol, bukan pada angka negatif
(mustahil ada) dan bukan pada angka positif (niscaya ada).
Dalam istilah Filsafat, dijelaskan bahwa jika sesuatu secara esensial niscaya adanya maka dia disebut Wujud Wajib (
wâjib al-wujud). Jadi Wujud Wajib
adalah
realitas yang senantiasa berwujud dan ekistensinya abadi. Dan jika
sesuatu secara esensial mustahil adanya maka dia disebut wujud mustahil (
mumtane’ al-wujud). Dan jika sesuatu secara esensial mungkin mengada maka disebut wujud kontingen atau wujud bergantung (
mumkin al-wujud),
berarti bisa ada dan bisa tiada. Mengalami inovasi dalam ciptaan dan
abadi dalam perubahan dan gerak merupakan sifat esensial dari wujud
kontingen
, seperti manusia, hewan, tumbuhan dan lain sebagainya.
2. Pengertian Keniscayaan
Ketika kita memperhatikan kata-kata seperti, genap, ganjil, delapan
dan tujuh, maka kita akan menemukan hubungan antara genap dengan delapan
dan ganjil dengan tujuh. Kemudian, hubungan tersebut akan membentuk
premis-premis yang logis seperti, delapan adalah genap dan tujuh adalah
ganjil.
Interaksi logis antara angka delapan dan genap dan angka tujuh dan
ganjil didasarkan atas realitas luar yang ada di alam ini dan di pikiran
kita bahwa hubungan hakiki antara realitas- realitas itu tak
terpisahkan. Dengan ungkapan lain, genap merupakan hakikat delapan dan
delapan meniscayakan genap. Adalah mustahil memisahkan antara sifat
genap dan angka delapan, begitu pula antara sifat ganjil dan angka
tujuh. Hubungan hakiki antara realitas-realitas tersebut disebut niscaya
atau keniscayaan.
Hubungan hakiki antara eksistensi dan Tuhan disebut niscaya artinya
eksistensi dan Tuhan adalah dua hal yang mustahil terpisahkan yaitu
wujud Tuhan pasti ada, mustahil tiada, niscaya dan senantiasa ada. Dan
wujud Tuhan, dalam istilah filsafat, disebut Wujud Wajib (
wâjib al-wujud).
3. Prinsip Kausalitas
Pada prinsipnya, teori kausalitas telah muncul seumur dengan
peradaban manusia, bahkan seusia dengan alam ini dan realitas eksistensi
itu sendiri. Manusia yang berakal senantiasa mencari sebab-sebab dari
setiap kejadian. Karena, dengan mengetahui sebabnya berarti memahami
akar dan sumber akibat atau kejadian.
Di bawah ini, kami akan menghadirkan beberapa ungkapan dari filsuf terkemuka tentang definisi kausalitas sebagai berikut:
- Al-Farabi berkata, “Sebab adalah sesuatu yang niscaya ada dan hadir bersama dengan akibat.”[1]
- Ibnu Sina menyatakan, “Sebab adalah sesuatu yang meniscayakan
sesuatu yang lain, dan akibat mesti aktual karena keaktualan sebabnya. “[2]
- Mulla Sadra menyatakan, “Sebab memiliki dua pengertian, pertama:
sebab adalah wujud sesuatu yang memancarkan realitas eksistensi yang
lain dan ketiadaan sebab berefek pada ketiadaan realitas itu. Pengertian
kedua: sebab adalah wujud yang meniscayakan kebergantungan hakiki
realitas lain, dan ketiadaan akibat karena ketiadaan sebabnya.”[3]
- Syekh Isyraq Suhrawardi berkata, “Maksud sebab adalah sesuatu yang
keberadaannya meniscayakan sesuatu yang lain dan memustahilkan
kejamakan sebab. “[4]
Konklusi dari semua definisi di atas adalah sebab merupakan realitas
wujud yang meniscayakan kebergantungan mutlak dan hakiki segala
eksistensi eksternal lainnya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat contoh berikut. Secara empiris,
api menimbulkan panas. Api disebut sebab karena meniscayakan panas.
Panas disebut akibat karena bersumber dari api. Secara hakiki, api dan
panas memiliki hubungan khusus. Hubungan khusus ini, dalam istilah
filsafat, disebut kausalitas atau hubungan sebab akibat. Dengan
kausalitas, manusia bisa menghubungkan antara satu realitas dengan
realitas lain serta menentukan sebab dan akibat dari realitas-realitas
tersebut.
Sebagian filsuf barat yang beraliran empiris seperti David Hume
menolak hubungan kausalitas itu. Mereka beranggapan bahwa yang bisa
diempiriskan hanyalah api dan panas bukan hubungan khusus yang bersifat
niscaya (baca: kausalitas). Segala realitas yang mustahil terempiriskan
tidak dikategorikan sebagai realitas yang berwujud. Karena, hubungan
kausalitas itu mustahil terempiriskan maka tak berwujud. Lebih lanjut
dia berkata, “segala pengetahuan manusia bersumber dari hal-hal yang
empiris. Jika terdapat “keberhubungan” antara satu realitas dengan
realitas lain, hubungan ini hanya bersifat kebetulan, bukan karena
adanya hubungan kausalitas. Karena “keberhubungan” dua realitas itu
senantiasa terjadi, keberadaan api memunculkan panas, maka “hubungan
kausalitas” antara kedua realitas itu terbentuk dalam pikiran.”
Jawaban kritikan dan penolakan atas kausalitas itu, sebagai berikut:
- Dalam filsafat Islam, hubungan kausalitas tidak ada kaitannya dengan
penginderaan lahiriah tapi berkaitan dengan persepsi akal dan
dibuktikan lewat pengkajian-pengkajian rasional. Kajian-kajian
rasionalitas tidak berangkat dari realitas empiris. Dalam contoh di atas
dimana api adalah sebab dan panas adalah akibat hanya dimaksudkan untuk
memudahkan pemahaman atas hukum kausalitas. Penentuan sebab dan akibat,
dalam contoh itu, bukan wewenang filsafat. Filsafat hanya merumuskan
kaidah dan hukum universal. Hal yang wajar kalau terjadi kesalahan dalam
penentuan subyek masalah. Kritik yang ditujukan ke subyek masalah,
dalam kajian filsafat, tidak dibenarkan. Kritik semestinya dialamatkan
kepada kajian filosofisnya., Kesalahan dalam penentuan itu bukan berarti
kekeliruan dalam kaidah universalnya.
Jadi sebab, akibat dan hubungan sebab akibat (baca: kausalitas) memiliki realitas yang tak terpungkiri.
Sangat disayangkan kalau seorang ilmuwan menolak prinsip kausalitas
hanya karena ketidakmampuannya menerapkan kaidah universal dalam wilayah
partikularitasnya, kecuali kalau rumusan epistimologinya mengharuskan
semua pengetahuan berasal dari realitas empiris. Jika demikian, problem
pada konsep epistimologi dan bukan pada penentuan subyek sebab dan
akibat.
- Dalam ilmu logika, proposisi tersusun dari premis minor dan premis
mayor, misalnya A dari B dan B dari C, maka A dari C. A dari B disebut
premis minor dan B dari C disebut premis mayor. Jika menolak prinsip
kausalitas maka mustahil melahirkan silogisme dari proposisi itu, yaitu A
dari C. Menolak kausalitas artinya ragu B dari A dan juga ragu B dari
C, akhirnya mustahil menyimpulkan A dari C. Jadi, silogisme A dari C
hasil dari adanya hubungan keniscayaan dari dua premis minor dan mayor.
Hubungan keniscayaan itu disebut hubungan kausalitas atau hubungan sebab
akibat.
Bukankah David Hume menggunakan premis-premis untuk menolak hubungan
kausalitas? Dia menyatakan sebagai berikut: Hubungan kausalitas antara
api dan panas adalah nonempiris (premis minor), segala realitas
nonempiris niscaya tak berwujud (premis mayor), jadi hubungan kausalitas
antara api dan panas niscaya tak berwujud yaitu tak ada hubungan
kausalitas diantara kedua realitas itu (silogisme).
Kalau David Hume konsisten atas argumentasinya, maka harus menolak
konklusi atau silogisme dari argumen yang dibangunnya. Karena, dalam
proposisi kedua premis minor dan mayor adalah sebab dan silogisme adalah
akibat. Jadi, dalam proposisi juga terdapat hubungan kausalitas.
Maka dari itu, menolak hubungan kausalitas sama dengan menolak ilmu
logika dan menolak ilmu logika sama dengan menolak semua bentuk
proposisi dan argumentasi, termasuk argumentasi penolakan hubungan
kausalitas itu sendiri. Dan menolak argumentasi sama dengan menolak
keberadaan ilmu dan pengetahuan. Karenanya, penerimaan hubungan
kausalitas menjadi prinsip dalam semua realitas, baik eksternal maupun
internal (baca: alam pikiran).
Immanuel Kant, filsuf besar asal Jerman, karena mengetahui
konsekuensi logis dari pemikiran Hume, lantas mengambil jalan lain dalam
menyikapi hubungan kausalitas itu. Usahanya bahkan melahirkan problem
lain. Dalam pandangannya, kausalitas atau hubungan hakiki sebab akibat
hanya terwujud di alam pikiran dan bukan di alam eksternal. Hubungan itu
dikatakan ada di alam eksternal jika bisa diaplikasikan kedalam
fenomena ruang-waktu di alam materi. Hubungan kausalitas itu, begitu
juga argumen imkan (contingency) dan wujub (necessity), tak bermanfaat
jika mustahil terterapkan dalam koridor ruang-waktu.
Kant, sebagaimana Hume, sepakat bahwa pengetahuan berasal dari
realitas empiris. Kant, berbeda dengan Hume, berpendapat bahwa walaupun
pengetahuan kita di peroleh dari realitas-realitas empiris, ini bukan
berarti semua pengetahuan berasal dari realitas empiris.
Kritik Kant dalam masalah kausalitas sangat tidak konsisten. Dia
menolak sebagian yaitu menolak hubungan kausalitas yang tak
terempiriskan dalam ruang-waktu (alam materi), jadi hubungan kausalitas
itu tertolak di alam materi. Dan dia menerima sebagian yakni hubungan
kausalitas terterapkan di alam gaib (alam non materi). Ketakkonsistenan
Kant karena mengkhususkan hubungan kausalitas itu di alam gaib. Tanpa
dia sadari, konsekuensi dari pengecualian itu sama dengan menolak
realitas semua alam, karena akan memunculkan pertanyaan tentang
bagaimana proses perwujudan alam-alam itu termasuk alam gaib? Apakah ada
hubungan antara alam-alam itu dan bagaimana bentuk hubungannya? Kalau
dia menerima adanya “proses perwujudan” alam-alam itu dan mengakui “pola
hubungan” diantara realitas-realitas itu, maka tak ada jalan lain
kecuali menerima eksistensi hubungan kausalitas itu.
Dalam perspektif filsuf Islam, prinsip dan hubungan kausalitas
bersifat universal dan tak terbatas pada alam tertentu, tapi terterapkan
pada semua alam baik alam materi maupun alam non- materi.
3.1. Gamblangnya Teori Kausalitas
Hukum kausalitas berbunyi, “setiap akibat membutuhkan sebab.” Definisi ini adalah
badihi,
jelas dan tak membutuhkan argumen. Ketika kita mempersepsi makna
akibat, suatu realitas eksistensi yang bergantung kepada wujud yang
lain, maka kita memahami bahwa kebergantungan dan kebutuhan
kepada
wujud yang lain merupakan konsekuensi dan hakikat dari eksistensi
akibat. Jadi, sebenarnya kita tak perlu argumen dan dalil (burhan) dalam
membuktikan kebenaran prinsis kausalitas.
Dengan memperhatikan definisi Wujud Wajib (
wâjib al-wujud) dan wujud kontingen (
mumkin al-wujud)
yang terjabarkan di atas, maka hukum kausalitas itu menjadi: setiap
wujud kontingen membutuhkan sebab. Wujud kontingen memiliki kuiditas
(mahiyah), karenanya secara esensial berada diantara ada Wujud Wajib dan
wujud mustahil atau antara ada dan tiada. Wujud yang demikian untuk
mengada niscaya memerlukan sebab pengada, tanpa sebab mustahil mewujud.
Inilah hakikat prinsip kausalitas.
Ciri-ciri wujud kontingen sebagai berikut: wujudnya lemah, terbatas,
kebergantungannya hakiki, kebutuhannya abadi, tak sempurna dan secara
esensial terus mengalami perubahan, perpindahan dan gerak. Perubahan,
perpindahan dan pergerakan merupakan hakikat kebutuhan, kekurangan dan
kemiskinan. Wujud yang tak sempurna mustahil bisa mencukupi dan
menyempurnakan segala kebutuhan dan kekurangannya. Karena itu, wujud
kontingen secara aktual memerlukan realitas wujud sempurna dalam
penyempurnaan kekurangan dan pencukupan segala kebutuhannya serta
pengaktualan semua potensi yang dimilikinya.
3.2. Hakikat Kausalitas
Hakikat kausalitas adalah setiap akibat memerlukan sebab atau setiap
wujud kontingen membutuhkan Wujud Wajib. Sebagian filsuf barat, karena
keliru memahami hakikat kausalitas, menyangka bahwa setiap realitas
eksistensi eksternal memerlukan sebab. Karena Tuhan (
wâjib al-wujud) juga berwujud dan memiliki eksistensi maka juga memerlukan sebab.
John Hospers dalam menegaskan eksistensi Tuhan berkata, “Begitu
banyak anak remaja dan orang dewasa dengan penuh keraguan bertanya
kepada orang tua mereka tentang penyebab eksistensi Tuhan. Pertanyaan
mereka bisa dibenarkan, karena kita telah menegaskan bahwa segala
sesuatu memerlukan sebab, dan kalau proposisi ini benar maka eksistensi
Tuhan juga memiliki sebab, dan kalau Tuhan tidak memiliki sebab maka
proposisi tersebut salah. Pada hal proposisi ini merupakan pendahuluan
dari argumen sebab akibat dan argumen imkan (contingent) dan wujub
(necessity).
Oleh karena itu, argumen imkan dan wujub kehilangan keabsahannya dan
bahkan mengandung kontradiksi satu dengan lainnya. Pernyataan yang
berbunyi : Tuhan tidak memiliki sebab, ini bertentangan dengan definisi
kausalitas yang berbunyi: segala sesuatu memiliki sebab. Kalau definisi
ini, sebagai mukadimah argumen, benar maka silogisme argumen imkan dan
wujub juga benar, tapi mukadimah salah. Begitu banyak masyarakat tidak
memahami kenapa argumen ini digunakan menegaskan eksistensi Tuhan.
Mereka, pada akhirnya, melupakan cara tersebut dalam menegaskan
keberadaan Tuhan.”[5]
Kritik John Hospers dan mereka yang sealiran dengannya, menyangka
bahwa segala realitas eksternal memerlukan sebab, padahal maksud dari
prinsip kausalitas adalah setiap wujud yang tak sempurna niscaya
memerlukan sebab, bukan segala wujud. Tuhan adalah wujud yang sempurna,
Dia bukan wujud yang berkekurangan. Oleh karena itu, Tuhan tak memiliki
sebab, bahkan Dialah Sebab Pertama dan Sebab dari segala sebab-sebab.
Tuhan adalah realitas eksistensi yang swa-ada.
Penegasan di atas bisa dianalogikan dengan ungkapan sebagai berikut:
sesuatu yang bergaram dan kegaramannya bersumber dari zat lain seperti
air, kegaramannya bukan esensial, tapi bersumber dari zat lain. Ini
berbeda jika dibandingkan dengan zat garam itu sendiri, yang
kegaramannya bersifat esensial dan bukan berasal dari zat lain. Oleh
karenanya, zat garam tidak memerlukan zat lain untuk kegaramannya. Zat
garam bergaram dengan sendirinya atau swa-garam.
Jawaban yang sempurna atas kritikan John Hospers adalah bahwa
definisi kausalitas yang berbunyi, “Setiap wujud membutuhkan sebab”
adalah keliru. Dan juga definisi yang umum dipakai berbunyi, “Setiap
akibat membutuhkan satu sebab ” juga kurang tepat, karena proposisi ini
adalah proposisi analitis yakni inti subyek berulang dipredikatnya, ini
seperti kalau kita katakan, “Setiap manusia adalah manusia. Karena
definisi akibat adalah sesuatu yang bergantung kepada selain dirinya.,
Jika kita katakan, “Setiap akibat membutuhkan sebab” maka sesungguhnya
sama kalau dikatakan, “Jika sesuatu bergantung kepada yang lain, sesuatu
itu membutuhkan yang lain.”
Kalau definisi akibat adalah setiap wujud yang bergantung membutuhkan
sebab, maka masalah tersebut di atas akan tetap terulang, karena
kebergantungan sama dengan kebutuhan kepada yang lain. Dalam penjelasan
teori kausalitas kita harus meletakkan tolok ukur kebergantungan dan
kebutuhan sesuatu itu sebagai subyek, dengan demikian kita akan
menghasilkan definisi yang sempurna.
Definisi yang sempurna tentang hukum kausalitas adalah setiap wujud
yang lemah dan rendah membutuhkan sebab. Tapi definisi yang umum
digunakan oleh para filsuf dan bahkan Mulla sadra tentang kausalitas
adalah setiap kuiditas dalam keberadaan dan ketiadaannya membutuhkan
sebab.
3.3. Keidentikan Sebab dan Akibat
Salah satu pembahasan penting dalam teori kausalitas adalah
keidentikan antara sebab dan akibat. Filsuf Islam membagi sebab dalam
dua bagian, sebab ilahi
dan sebab natural. Sebab ilahi adalah
sebab pemberi eksistensi dan wujud bukan pemberi kuiditas kepada akibat.
Sebab seperti itu, meniscayakan kesempurnaan wujud akibat bersumber
dari kesempurnaan wujud sebab atau kesempurnaan wujud sebab niscaya ada
pada akibat. Jika, sebab tak memiliki kesempurnaan wujud maka akibat
mustahil memilikinya. Maksud dari kesempurnaan yang mesti dimiliki oleh
sebab dan akibat itu adalah kesempurnaan eksistensi atau wujud dan bukan
kesempurnaan kuiditas. Kaidah filsafat berbunyi, “
sesuatu yang tak memiliki mustahil bisa memberi.”
Inilah makna keidentikan antara sebab dan akibat. Berdasar pada kaidah
ini, eksistensi sesuatu tak otomatis berasal dari sebab tertentu. Setiap
kesempurnaan khusus akibat berasal dari kekhususan sebab. Dan
kesempurnaan khusus sebab meniscayakan kesempurnaan khusus akibat.
Pengetahuan akan hubungan keidentikan antara sebab ilahi dan akibat itu
lewat persepsi rasional bukan dari metode empiris.
Sebab natural, berbeda dengan sebab ilahi, karena hanya berkaitan dengan gerak disebut juga sebab materi.
Aplikasi sebab-sebab natural terbatas pada kondisi-kondisi tertentu.
Sebab itu hanya berlaku pada alam materi. Alam materi meniscayakan
gerak, karenanya perubahan-perubahan yang terjadi di alam itu karena
sebab natural.
Pembuktian keidentikan sebab natural dan akibat dengan metode empiris
bukan dengan jalan persepsi rasional. Misalnya, api adalah panas. Kalau
pembuktian kaidah itu lewat persepsi akal, maka sebab api niscaya
panas. Tapi tidaklah demikian. Dengan metode empiris, kita bisa
mengetahui sebab natural api. Kita ketahui bahwa tidak semua benda
merupakan sebab natural api.
Sebagian filsuf barat menolak secara mutlak kaidah keidentikan antara sebab dan akibat.
Jawabannya adalah kaidah itu adalah kaidah akal dan tak bersumber dari realitas empiris. Kaidah itu bersifat
badihi,
gamblang dan tak perlu dalil. Berbeda dengan sebab natural yang
berhubungan dengan realitas empiris. Karena itu, mustahil menghukumi
secara universal kaidah itu. Pembatasan sebab hanya pada sebab natural
dan melupakan sebab ilahi berefek pada pembatalan kaidah itu secara
umum.
3.4. Hubungan Keniscayaan Sebab dan Akibat
Hubungan keniscayaan antara sebab
dan akibat bermakna bahwa
ketika sebab sempurna terwujud maka akibat niscaya mewujud. Jadi,
mustahil terpisah antara wujud akibat dan wujud sebab sempurna.
Maksud sebab sempurna adalah realitas wujud yang memenuhi segala
syarat-syarat dan kebutuhan akibat dalam perwujudan. Jadi, kalau
diasumsikan bahwa akibat tak mewujud dengan wujudnya sebab sempurna
berarti bahwa ada syarat-syarat dan kondisi-kondisi yang tak terpenuhi
oleh sebab sempurna. Jika asumsi itu diterima, maka ada kontradiksi
dengan kesempurnaan mutlak sebab. Begitu juga, jika diasumsikan adanya
halangan dan hambatan dalam perwujudan akibat, inipun akan bertolak
belakang dengan kesempurnaan mutlak sebab, karena halangan juga
merupakan syarat perwujudan akibat. Kesempurnaan mutlak sebab berarti
bahwa meniscayakan ketiadaan segala penghalang dan hambatan dalam
perwujudan akibat.
3.5. Kebersamaan Hakiki Sebab dan Akibat
Di sini akan dibahas dua poin sebagai berikut:
- Jika sebab sempurna ada maka niscaya akibat mewujud.
- Kalau akibat telah mewujud maka niscaya sebab sempurna senantiasa ada.
Inti poin pertama adalah akibat senantiasa bersama dengan sebab
sempurnanya atau mustahil terpisah antara keduanya. Mustahil jika sebab
sempurna ada tapi akibat tiada atau akibat terwujud tapi sebab sempurna
meniada. Setiap sebab sempurna berwujud niscaya akibat terwujud.
Prinsipnya, ada kebersamaan hakiki antara sebab sempurna dan akibat.
Argumen untuk poin pertama dirumuskan sebagai berikut:
Pertama-tama diasumsikan bahwa sebab sempurna ada dan pada saat yang
sama akibat niscaya tiada. Dengan asumsi ini, maka sebab sempurna ada
dan akibat tiada. Realitas itu bertentangan dengan prinsip kausalitas.
Berdasarkan prinsip itu, ketiadaan akibat karena ketiadaan sebab
sempurna. Jadi kalau diasumsikan bahwa akibat tiada, berdasarkan prinsip
kausalitas, maka sebab sempurna pasti tiada, Karena sebab sempurna ada
(berdasarkan asumsi di atas) dan juga tiada (berdasarkan prinsip
kausalitas itu) maka menyebabkan terjadinya kontradiksi.
Setelah menjelaskan poin pertama, kita akan membahas poin kedua.
Hakikat poin kedua adalah jika akibat berwujud maka niscaya sebab
sempurna akan senantiasa berwujud.
Sebagian teolog Islam menolak pemikiran itu dengan memberikan sebuah
contoh antara rumah (sebagai akibat) dan tukang bangunan (sebagai sebab)
dan juga antara anak (sebagai akibat) dan orang tuanya (sebagai sebab).
Argumentasi mereka antara lain: jika tukang bangunan meninggal maka
rumah tetap ada begitu juga kalau orang tua meninggal maka anak-anaknya
tetap ada. Jadi mustahil adanya kebersamaan hakiki antara keduanya.
Jawaban kritikan sebagai berikut:
Sebab terbagi dua:
- Sebab sempurna (sebab hakiki), contohnya matahari dengan cahayanya (akibat).
- Sebab tidak sempurna/cacat (sebab tidak hakiki) contohnya tukang bangunan dan orang tua.
Subyek pembahasan kita di sini berkaitan dengan kebersamaan hakiki
antara sebab dan akibat adalah hubungan kebersamaan hakiki sebab
sempurna dan akibatnya bukan sebab tidak sempurna/cacat dan akibatnya.
Mustahil ada cahaya matahari (akibat) tanpa mataharinya (sebab
sempurna). Dalam sebab tidak sempurna memungkinkan adanya keterpisahan
antara akibat dan sebabnya atau sebab dan akibatnya, sebagaimana contoh
antara tukang bangunan dengan rumah atau antara orang tua dengan anak.
Argumentasi untuk poin kedua yaitu, sebagai berikut:
Untuk menetapkan kebenaran proposisi itu, kemustahilan keterpisahan
antara akibat dan sebab sempurnanya, kita tetap menggunakan metode di
atas, yaitu mengasumsikan bahwa akibat ada dan pada saat yang sama tidak
meniscayakan eksistensi sebab sempurna. Dengan ungkapan lain, setelah
akibat terwujud maka tak ada kemestian keabadian eksistensi sebab
sempurna, jadi sebab sempuna bisa tetap ada dan juga bisa menjadi tiada.
Jika pada asumsi itu sebab sempurna tiada, maka akibat ada dan pada
saat yang sama sebab sempurna tiada. Berdasarkan teori kausalitas,
ketiadaan sebab sempurna meniscayakan ketiadaan akibat. Jadi, kalau
sebab sempurna tiada (berdasar pada asumsi itu) maka akibat pun niscaya
tiada. Karena akibat ada (berdasarkan asumsi itu) dan juga tiada
(berdasarkan teori kausalitas) maka akan terjadi kontradiksi.
3.6. Hubungan Sebab Akibat Hanya Pada Wujud
Hal yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa hubungan kausalitas
ini merupakan hubungan yang dibangun di atas realitas wujud dan bukan
pada dimensi kuiditas (mahiyah). Hubungan kausalitas senantiasa terjadi
antara dua wujud yakni satu wujud yang senantiasa butuh kepada wujud
lain. Dengan ungkapan lain, hanya keberadaan dan eksistensi kuiditas
yang membutuhkan wujud lain. Dari sini, diketahui bahwa definisi
kausalitas yang berbunyi, “Kuiditas dalam keberadaan dan ketiadaan
membutuhkan sebab” tak bisa ditolerir sama sekali, karena kuiditas yang
tiada sesungguhnya berada dalam “ketiadaan murni”. Maka dari itu,
Sesuatu yang tiada bagaimana mungkin bisa disandarkan kepadanya makna
kebergantungan dan kebutuhan secara hakiki. Misalnya, Yazid tiada, ini
berarti bahwa dia tak memiliki realitas wujud sama sekali. Jadi,
mustahil kalau kita katakan bahwa, “Yazid yang tiada bergantung dan
butuh kepada sesuatu.” Oleh karena itu, tak ada hubungan sebab-akibat
(baca: kausalitas) dalam di “alam ketiadaan.”
Sesungguhnya, subyek pembahasan dari teori kausalitas adalah wujud
kontingen dan bukan kuiditas, yakni wujud kontingen dalam perwujudannya
membutuhkan wujud lain, dan kuiditas dari sisi bahwa dia itu wujud
kontingen dalam keberadaannya membutuhkan wujud lain.
3.7. Yang Tercipta adalah Wujud
Apa yang diciptakan oleh sebab? Apa yang terpancar dari sebab? Pada poin ini, yang akan dibahas berkaitan dengan realitas
akibat sebagai sesuatu yang dicipta dan dipancarkan oleh
sebab.
Ketika sebab pengada mencipta akibat dan mewujudkannya, maka yang
hadir hanyalah suatu realitas eksternal dan tidak lebih. Yakni yang
terpancar dari sebab adalah “sesuatu”.
Dalam pembahasan filsafat, “sesuatu tersebut” memiliki tiga kemungkinan:
- Wujud;
- Kuiditas;
- Perwujudan kuiditas.
Misalnya, ketika panas akan diwujudkan di alam nyata, maka sesuatu yang akan hadir di alam luar adalah:
- Wujud;
- Panas (kuiditas);
- Perwujudan panas.
Pembahasan kita adalah menentukan mana diantara ketiga unsur tersebut
yang secara hakiki berhubungan langsung dengan sebab. Filsuf Mulla
Sadra dan para pendukung hikmah muta’aliyah telah menetapkan secara
filosofis bahwa yang pertama kali terpancar dan tercipta dari sebab
adalah wujud, bukan kuiditas dan perwujudan kuiditas.
Di bawah ini akan dikemukan dua dalil yang mendukung pendapat Mulla Sadra, sebagai berikut:
Argumentasi pertama tentang ketakterciptaan kuditas, memuat dua pendahuluan:
Pendahuluan pertama: kuiditas merupakan sesuatu yang
tak hakiki dan nisbi yakni kehakikian ada pada wujud (ashalah
al-wujud). Penyandaran kepada sesuatu yang nisbi bersifat aksidental,
oleh karena itu, kuiditas tak memiliki eksistensi hakiki.
Pendahuluan kedua: sesuatu yang tak hakiki adalah
mustahil tercipta. Dengan ungkapan lain, “Sesuatu yang tercipta adalah
sesuatu yang hakiki,” karena hakikat akibat itu diberikan oleh sebabnya,
maka akibat juga merupakan sesuatu yang hakiki. Dengan demikian, apa
yang terpancar dari sebab adalah realitas yang hakiki.
Kesimpulan dari dua pendahuluan tersebut adalah yang tercipta oleh sebab adalah wujud dan bukan kuiditas.
Argumentasi kedua juga tentang ketakterciptaan kuiditas, memuat dua pendahuluan:
Pendahuluan pertama: hubungan sebab-akibat merupakan
hubungan hakiki antara akibat dan sebabnya. Secara hakiki, akibat
adalah hubungan dan kebutuhan itu sendiri kepada sebab. Akibat adalah
kebutuhan itu sendiri, bukan sesuatu yang memiliki kebutuhan. Jadi yang
ada di alam luar hanya satu wujud yang mandiri dan bukan dua wujud yang
mandiri, karena kalau ada dua wujud yang mandiri, maka wujud akibat
mustahil butuh kepada wujud sebab. Akibat secara mutlak bergantung
kepada sebabnya.
Pendahuluan kedua: kuiditas secara esensial tak
memiliki hubungan dengan wujud lain, karena kuiditas secara hakiki tak
lain adalah dirinya sendiri yakni berada diantara ada dan tiada.
Kesimpulannya, kuiditas mustahil berhubungan langsung dengan sebab
pengada, atau kuiditas bukan sesuatu yang tercipta dan terpancar dari
sebab.
Argumentasi ketiga tentang ketakterciptaan “perwujudan kuiditas”, memuat tiga pendahuluan:
Pendahuluan pertama: “perwujudan kuiditas” memiliki
makna yang relatif dan keberadaannya bergantung pada dua realitas.
“Perwujudan kuiditas” sebenarnya adalah hubungan yang terbentuk antara
wujud dan kuiditas.
Pendahuluan kedua: jika yang tercipta secara hakiki
adalah “perwujudan kuiditas”, maka wujud dan kuiditas merupakan sesuatu
yang tak hakiki. Karena yang tercipta secara hakiki dari sebab hanya
satu, maka yang lainnya harus bersifat majasi.
Pendahuluan ketiga: sesuatu yang memiliki realitas
hakiki mustahil bergantung dan bersandar pada dua realitas tak hakiki
(majasi). Dengan ungkapan lain, adalah mustahil hadirnya pola hubungan
diantara dua realitas tak hakiki.
Oleh karena itu, mustahil sesuatu yang tercipta langsung dari sebab secara hakiki adalah “perwujudan kuiditas”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang secara hakiki dicipta dan
dipancarkan langsung oleh sebab tiada lain adalah wujud (baca: akibat).
4. Kemustahilan Daur dan Tasalsul
4.1. Kemustahilan Daur (Sirkulasi)
Daur dan tasalsul merupakan salah satu pembahasan penting dalam teori kausalitas.
Daur adalah bergantungnya wujud B kepada wujud A dimana wujud A juga bergantung kepada wujud B.
Penjelasan: akibat B memerlukan sebab A dan sebab A juga merupakan
akibat B. Jadi, akibat B pada saat yang sama juga sebab A. Oleh karena
itu, B pada saat yang sama adalah sebab dan akibat. Karena B adalah
sebab A harus lebih dahulu dari A dan karena A adalah akibat maka harus
lebih belakang dari B. Oleh karena itu, wujud A dibandingkan wujud B
pada saat yang sama merupakan wujud yang lebih dahulu adanya dan juga
wujud yang lebih belakang, yaitu wujud lebih dahulu dan juga wujud tak
lebih dahulu. Realitas ini menyebabkan inner kontradiksi.
Oleh karena itu, daur merupakan sesuatu yang mustahil terjadi,
kemustahilan ini dikarenakan inner kontradiksi dan menyebabkan
keterdahuluan wujud sesuatu itu atas dirinya sendiri.
4.2. Kemustahilan Tasalsul
Maksud tasalsul pada sebab-sebab pengada adalah hadirnya mata rantai
sebab-sebab dan akibat-akibat dalam garis bentang yang tak terbatas,
yaitu adanya A dari B, B dari C, C dari D dan seterusnya hingga tak
terbatas.
Tasalsul dikatakan mustahi ketika:
- Seluruh wujud akibat ada secara aktual;
- Keseluruhan wujud akibat dan sebab-sebabnya berkumpul secara aktual;
- Mata rantai dari wujud-wujud akibat dan sebab-sebabnya terjadi dan ada secara aktual.
Jika salah salah satu dari ketiga syarat tasalsul tersebut tidak
aktual, maka tasalsul dalam pengertian dan istilah di atas tak akan
teraplikasi.
Misalnya jika sebagian dari akibat-akibat itu bersifat potensi maka
tasalsul ini mungkin terjadi karena wujud-wujud yang ada senantiasa
terbatas. Begitupula tasalsul ini bisa diterima jika keseluruhan dari
wujud-wujud akibat dan sebabnya bersifat aktual akan tetapi tidak
menyatu dalam satu mata rantai wujud.
Mulla Sadra, dalam kitab Asfar-nya menjabarkan salah satu argumen kemustahilan tasalsul, menyatakan,
“Wujud
akibat jika dibandingkan dengan sebabnya menjadi wujud penghubung
bahkan merupakan hubungan dan ketergantungan itu sendiri, artinya: wujud
akibat bukan wujud yang bebas dan berdiri sendiri sebagaimana wujud
sebabnya, dia ada dikarenakan adanya sebab dan jika sebabnya tiada dia
pun tiada.”[6]
Penjelasan kemustahilan tasalsul sebagai berikut:
Jika sebab C dibandingkan dengan sebab yang lebih tinggi darinya
misalnya sebab B maka sebab C merupakan akibat dari sebab B, begitu pula
sebab B dibandingkan dengan sebab yang lebih tinggi darinya sebab A
maka sebab B merupakan akibat sebab A, dan keadaan ini terus berlanjut
kepada sebab-sebab berikutnya. Karena setiap sebab, pada mata rantai tak
terbatas itu, adalah akibat dari sebab di atasnya dan juga setiap
akibat adalah sebab untuk akibat di bawahnya, maka kita akan memiliki
mata rantai kebergantungan-kebergantungan tak terbatas. Dengan demikian,
mustahil ada wujud mandiri pada mata rantai itu. Karena, secara hakiki
tak ada wujud mandiri, maka mustahil terdapat wujud bergantung. Karena,
mata rantai “wujud-wujud” bergantung yang tak terbatas mustahil memiliki
eksistensi hakiki tanpa adanya wujud mandiri, maka secara hakiki
tasalsul atau rangkaian sebab-sebab dan akibat-akibat tak terbatas
menjadi mustahil.
Referensi:
[1]
. Ta’liqat Farabi, hal. 6.
[2] . Kumpulan risalah Ibnu Sina, bab definisi, hal. 117.
[3] .
Asfar, jilid 2, hal. 127.
[4] .
Hikmah al-isyraq, hal. 62.
[5] . John Hospers, an introduction to philosophical analysis, hal. 431.
[6] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 2, hal. 166.
(teosophy/ABNS)