SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany

Kaidah imkân asyrâf termasuk salah satu kaidah penting dalam kajian-kajian filsafat, mengingat penerapannya yang cukup banyak dalam menegaskan berbagai realitas-realitas wujud. Sebagaimana diketahui bahwa kaidah imkân asyrâf (noblest contingency, higher possibility) untuk pertama kalinya ditemukan dalam ungkapan-ungkapan Aristoteles, kemudian dalam kalimat-kalimat Ibnu Sina, setelah itu digunakan dalam gagasan-gagasan Syaikh Isyraq, dan kajian-kajian Mir Damad serta pemikiran Mulla Sadra. Kaidah ini telah dijadikan dasar analisis dan pondasi argumentasi untuk membuktikan dan menegaskan eksistensi hakiki yang paling sempurna di antara realitas-realitas eksistensi di semua alam.
Persoalan-persoalan yang timbul berhubungan dengan kaidah imkân asyrâf dapat diungkapkan sebagai berikut:
  1. Apakah masih terdapat di dalam karya-karya Aristoteles yang secara gamblang dan signifikan membahas kaidah imkân asyrâf? Kalau ada, sejauh mana kedalaman pembahasannya? Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari perbandingan antara pandangan-pandangan filosof Islam dan teori Aristoteles tentang kaidah ini?
  2. Bagaimana filosof-filosof Muslim menjabarkan kaidah tersebut? Apakah terdapat kesamaan-kesamaan definisi tentang kaidah ini yang dapat dipahami dan disepakati oleh semua kalangan filosof?
  3. Argumen-argumen apa yang menjadi inti kekuatan landasan dari kaidah tersebut? Apakah argumen-argumen tersebut sarat dengan berbagai kritikan, sanggahan dan keraguan?
  4. Apa tujuan, manfaat dan aplikasi dari kaidah imkân asyrâf?

Dengan mengungkapkan persoalan-persoalan di atas, maka menjadi jelaslah ruang lingkup pembahasan dan pengkajian kita serta prediksi kesimpulan-kesimpulan yang ingin kita capai.

Syaikh Isyraq mengkhususkan satu pasal dalam kitab Mutârahât untuk menjelaskan dan membahas kaidah imkân asyrâf, ia menyatakan bahwa Aristoteles dalam kitab al-Asmâ’ wa al-‘Âlam berkeyakinan bahwa di alam yang tinggi berlaku kaidah tersebut[1]. Tetapi Aristoteles sendiri hanya sebatas mengisyaratkan pengertian tersebut dan tidak mengungkapkannya secara eksplisit. Kalaupun kita menerima pernyataannya, namun terdapat dalam kitab Utsûlûjiyâh – tentang kitab ini terdapat perbedaan apakah karya Aristoteles ataukah karya Pluthin (neo-Platonisme) – bahwa ia tidak secara tegas merumuskan kaidah tersebut dalam bentuk kaidah filsafat. Sebenarnya, para filosof Islamlah yang mengembangkan secara luas persoalan-persoalan yang awalnya bersumber dari karya-karya filosof Yunani lalu menjadikannya sebagai rumusan dan kaidah untuk menyelesaikan berbagai masalah substansial filsafat.

Para filosof Islam menekankan kaidah ini dan membahasnya dalam karya-karya mereka. Dalam hal ini, Mulla Sadra menyatakan, “Kita banyak memanfaatkan kaidah imkân asyrâf ini dan juga telah diaplikasikan oleh para filosof Peripatetik. Aristoteles, di dalam kitab Utsûlûjiyâh dan al-Asmâ’ wa al-‘Âlam, berkata bahwa di alam yang tertinggi terdapat yang lebih sempurna. Begitu pula, filosof Ibnu Sina dalam kitab as-Syifâ dan kitab lainnya, mengungkapkan kaidah ini dan meletakkan dalam pembahasan yang berhubungan dengan susunan dan tingkatan alam-alam wujud serta penjelasan tentang hal ikhwal keberadaan alam, dan secara serius Syaikh Isyraq juga menggunakan kaidah ini serta secara luas menjabarkannya dalam kitab-kitab Muthârât, Talwihât dan Hikmah al-Isyraq.”[2]

Mir Damad dalam kitabnya yang masyhur bernama Qabasât secara lebih khusus membahas kaidah imkân asyrâf ini.[3] Begitu pula, para filosof mutakhir, seperti Hakim Mulla Hadi Sabzewari dan Allamah Thabathabai, mereka semuanya mengkaji dan mengulas secara mendalam kaidah ini dalam kitab-kitab penting mereka.

Dimensi lain yang perlu kita singgung pada pendahuluan ini adalah bahwa Mulla Hadi Sabzewari diawal penjelasannya tentang kaidah tersebut, dalam kitabnya yang berjudul Syarh al-Manzûmah, mengungkapkan bahwa imkân itu sendiri tidak dapat dijelaskan dan dinisbahkan dengan sesuatu yang lebih tinggi dan yang lebih rendah, kecuali kalau maksud dari para filosof tentang imkân adalah mumkin[4] itu sendiri, karena imkân mempunyai pengertian: mustahil niscaya-ada dan mustahil[5] niscaya-tiada, atau kemustahilan ini hanya satu sisi saja yakni mustahil niscaya-ada atau mustahil niscaya-tiada. Imkân dapat juga berarti: sifat dari suatu kuiditas yang hubungan dan nisbahnya terhadap keberadaan dan ketiadaan adalah sama. Jadi, imkân di sini tidak bisa disifati dengan yang lebih sempurna, lebih mulia (tinggi) atau yang lebih rendah.

Uraian Kaidah Imkân Asyrâf
Kaidah ini dapat didefinisikan sebagai berikut: mumkin asyrâf[6] (wujud hakiki yang lebih sempurna) pada tingkatan eksistensi, lebih dahulu terwujud daripada mumkin akhas (wujud hakiki yang lebih rendah atau tidak sempurna). Oleh karena itu, kalau mumkin akhas (lower possibility, lower contingency) telah terwujud maka niscaya telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya.

Semua filosof telah bersepakat tentang inti definisi tersebut, tetapi dengan tidak memandang perbedaan kecil dalam ungkapan-ungkapan mereka: kalau mumkin akhas terwujud, maka niscaya sebelumnya, telah terwujud mumkin asyrâf. Teori imkân asyrâf mengandung pengertian bahwa mumkin asyrâf niscaya lebih dahulu dari mumkin akhas dalam tingkatan wujud dan kalau mumkin akhas mewujud maka mesti telah terwujud mumkin asyrâf sebelumnya.[7]

Di antara definisi-definisi yang telah diungkapkan di atas, Mir Damad merumuskan suatu definisi yang lebih teliti dan cermat, definisi ini efektif menjawab beberapa persoalan yang berhubungan dengannya, ia berkata, “Kaidah imkân asyrâf adalah segala wujud yang berada di alam penciptaan dimana mumkin asyrâf yang ada di alam tersebut, telah terwujud secara aktual di alam akal sebelum perwujudan mumkin akhas di alam-alam setelah alam akal.[8]

Kaidah ini, berlaku secara mutlak di alam non-materi dimana tidak terdapat gerak, pertentangan dan benturan. Alam non-materi dalam definisi Mir Damad disebut sebagai alam hakikat dan alam penciptaan. Di alam materi, dimana terdapat gerak, benturan dan perlawanan adalah sangat mungkin suatu wujud mumkin tidak dapat mencapai kesempurnaan, karena kesempurnaannya sangat bergantung kepada faktor-faktor eksternal. Oleh Karena itu, jangan beranggapan tentang kemestian perwujudan mumkin asyrâf di alam natural ini. Sebagaimana sering kita saksikan bagaimana mayoritas wujud-wujud ciptaan (makhluk) terhalang dan terhambat untuk dapat menggapai kesempurnaan yang mesti dimilikinya. Mumkin asyrâf hanya akan terwujud di alam natural ini, jika telah terpenuhi dan tidak terhalangi segala syarat dan kondisi perwujudannya.

Apakah tolok ukur kesempurnaan dan kerendahan? Manakah eksistensi-eksistensi yang dapat dikategorikan ke dalam mumkin asyrâf dan wujud-wujud yang digolongkan sebagai mumkin akhas?
Untuk menjawab seluruh masalah di atas, dikatakan bahwa Tuhan sebagai wujud murni dan suci dari segala kekurangan dan keterbatasan, Dia merupakan sumber mata air kesempurnaan dan kebaikan. Oleh karena itu, wujud Tuhan sebagai “wadah” kesucian, keagungan dan kesempurnaan. Berdasarkan kaidah kehakikian wujud (ashâlah al-wujûd), kita mengetahui bahwa wujud sebagai sumber segala kesempurnaan dan kebaikan, dan semua keburukan berasal dari “ketiadaan” dan kuiditas, dan karena Tuhan merupakan Pemberi wujud dan eksistensi, maka Dia pun mesti sebagai Pemberi kesempurnaan, ketinggian, kemuliaan, keagungan dan kebaikan.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa Wâjib al-Wujûd merupakan sumber mata air dan tolok ukur kesempurnaan, Dia “berada” pada tingkatan wujud yang paling tinggi dan mempunyai intensitas yang paling kuat, atau dengan ungkapan lain, Dia yang meliputi segala yang tidak terbatas. Dengan demikian, maka setiap wujud mumkin, semakin sempurna, semakin suci dari materi (tajarrud min al-maddâh) dan semakin jauh dari daerah “ketiadaan” apabila ia semakin “dekat” dengan wilayah Wâjib al-Wujûd, dan begitu juga sebaliknya, setiap kali kebergantungan dan kebutuhannya kepada materi bertambah, maka semakin kecil pula lingkaran dan intensitas wujudnya serta semakin rendah tingkatan eksistensinya, sehingga terus menurun ke derajat wujud yang paling rendah, dan akhirnya akan sampai pada derajat dan tingkatan yang sama dengan “ketiadaan” (baca: materi awal, al-hayûlâ al-ûlâ.[9]

Tentang persoalan tersebut Mulla Sadra berkata, “Ketahuilah bahwa wujud mutlak terbagi dua: pertama adalah Wâjib al-Wujûd, Dia yang berada pada kulminasi teratas dari kesempurnaan wujud, intensitas kesempurnaan-Nya tidak terbatas, dan keaktualan-Nya (bil-fi’il) juga tidak terbatas, dan kedua adalah materi pertama (al-hayûlâ al-ûlâ), wujud ini berada pada kulminasi paling bawah dari kesempurnaan, ia tidak terbatas dalam ketaksempurnaan, juga tak terbatas dalam kepotensialan (bil-quwwah) dan kepasifan. Sesuatu tidak akan terwujud (perjalanan menurun) di alam materi sebelum melewati materi pertama, yakni perjalanan menurun dari alam akal hingga ke alam materi, dan begitu pula materi pertama tidak akan mencapai puncak kesempurnaan wujudnya (perjalanan menaik) sebelum melewati tingkatan-tingkatan eksistensi yang berada di atasnya, yakni menerobos eksistensi-eksistensi yang berada di antara alam materi dan alam akal.”[10]

Dengan demikian, alam eksistensi meliputi: alam natural atau materi (nâsût), alam malakût dan jabarût, dan alam Ilahi (lâhût). Alam-alam tersebut, apabila ditinjau berdasarkan intensitas kesempurnaannya, maka secara berurutan dapat dikatakan bahwa alam materi berada pada derajat intensitas yang rendah dan alam Ilahi terletak pada tingkatan intensitas yang paling tinggi, dan tingkatan kesempurnaan alam-alam yang lain bergantung kepada kedekatannya dengan alam Ilahi (rububiyyah). Berdasarkan pada kenyataan tersebut, jiwa manusia (an-nafs) – yang zat dan esensi adalah bersifat non-materi tapi aktifitas dan perbuatannya sangat bergantung pada badan dan unsur-unsur materi – berada pada tingkatan yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan akal – yang esensi dan aktifitasnya tidak bergantung kepada alam materi.

Kaidah imkân asyrâf tidak dapat diaplikasikan pada alam materi dan bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan alam ini. Sesungguhnya, ini sebagai syarat penerapan kaidah imkân asyrâf dan faktor utama dalam memahami secara benar kaidah ini. Mir Damad dan Mulla Sadra mengisyaratkan hal ini dan sebelumnya, Syaikh Isyraq menekankan dimensi ini dan berkata: “Adalah benar apabila suatu wujud di alam materi yang senantiasa mengalami perubahan ini tidak mampu mencapai tujuan yang paling sempurna dikarenakan berbagai halangan dan rintangan yang bersumber dari watak setiap unsur-unsur materi yang saling bertolak belakang.”[11]

Syaikh Isyraq dalam persoalan tersebut beranggapan bahwa keberadaan halangan dan hambatan yang bersumber dari sebab-sebab natural dan karakter unsur-unsur materi lebih disebabkan karena mengikuti kecenderungan dan substansi alam materi secara keseluruhan, kenyataan inilah yang dapat menjadi penghalang dan penghambat bagi seseorang untuk mencapai kesempurnaan hakiki yang menjadi tujuan penciptaannya. Di samping itu, terdapat faktor kebergantungan dan kecenderungan internal makhluk pada materi, kenyataan inilah sesungguhnya merupakan penghalang substansial pencapaian kesempurnaan wujud bagi makhluk di alam materi ini.

Berdasarkan kaidah imkân asyrâf, eksistensi yang pertama tercipta adalah eksistensi-eksistensi yang lebih sempurna dan kemudian eksistensi-eksistensi yang lebih rendah tingkatannya, kaidah ini niscaya berlaku pada tingkatan-tingkatan vertikal di alam akal. Sebagaimana penjelasan para filosof bahwa akal kedua dan jiwa pertama keduanya terpancar dari akal pertama (akibat pertama) dan mempunyai tingkatan kesempurnaan yang berbeda.


Referensi:
[1] Majmû’e-ye Mushannafât-e Syeikh Isyraq, jilid 1, hal. 435.
[2] Sadruddin Muhammad Syirazi, Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 7, hal. 244-245.
[3] Mir Damad, Qabasât, hal. 372.
[4] Wujud mumkin (mumkin al-wujûd) atau wujud eksternal, yang nyata, hakiki dan aktual.
[5] Yang dimaksud dengan “mustahil niscaya-ada atau mustahil niscaya-tiada” adalah menegasikan atau menafikan kemestian, keharusan dan keniscayaan itu sendiri jika dihubungkan dengan keberadaan atau ketiadaan, dengan ungkapan lain, “sesuatu” itu tidak mesti-ada dan juga tidak harus-tiada. Posisinya seperti angka nol bila dinisbahkan kepada bilangan positif dan bilangan negatif. Dengan demikian ia bisa-ada dengan keberadaan sebabnya dan ia juga dapat-tiada dengan ketiadaan sebabnya.
[6] Majmû’e-ye Mushannafât-e Syaikh Isyraq, jilid kedua, hal. 154.
[7] Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’ah, jilid ketujuh, hal. 244.
[8] Mir Damad, Qabasât, hal. 382.
[9] Materi pertama atau prima yang merupakan persiapan dan potensi murni, atau potensi belaka dan kososng dari segala bentuk aktualitas, ia bahkan menjadi “tempat” bagi segala bentuk aktualitas. Materi pertama sebagai materi yang tanpa bentuk. Eksistensi ini akan mencapai kesempurnaan eksistensial pada level tertentu, jika ia menerima aktualitas dari level tersebut.
[10] Sadrul Muta’allihin, Mulla Sadra, al-Asfar, jilid ketujuh, hal. 257.
[11] Majmu’e-ye Mushannafât-e Syaikh Isyraq, jilid pertama, hal. 434.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top