Oleh: Emi Nur Hayati
Hari ini Minggu 13 April 2014 bertepatan
dengan 13 Jumadil Tsani hari wafatnya Fatimah Kilabiyah istri Amirul
Mukminin Ali as yang dikenal dengan Ummul Banin.
 
Fatimah Kilabiyah adalah wanita yang
berasal dari keturunan para pemberani dan ksatria. Beberapa tahun pasca
syahadah istri tercintanya Sayidah Fathimah az-Zahra, ketika Imam Ali as
berniat menikah lagi, Asyura terbayang di depan matanya. Sehingga
beliau memutuskan untuk memilih istri dari keturunan pemberani dan
ksatria yang nantinya bisa melahirkan anak-anak pemberani yang bisa
menolong putranya Imam Husein as di Karbala melalui saudaranya Aqil yang
menguasai tentang keturunan kabilah-kabilah Arab.
 
Ummul Banin, memiliki empat orang anak
lelaki; Abbas yang bergelar bulan Bani Hasyim, pembawa panji Karbala,
penolong saudara dan imamnya Husein as dan ketiga lelaki lainnya bak
bintang yang mengelilingi bulan. Keempat putranya itu adalah Abbas,
Abdullah, Ja'far dan Utsman semuanya mencapai syahadah di padang Karbala
dalam rangka membela imamnya.
 
Ummul Banin seorang wanita mulia yang
benar-benar mencintai keluarga Rasulullah Saw. Ummul Banin mengasuh
putra-putri Sayidah fathimah az-Zahra as dengan baik dan mengabdi kepada
mereka.
 
Ketika pertama kali Fatimah Kilabiyah
baru menikah dan mau memasuki rumah Imam Ali as, beliau mengatakan,
"Saya tidak akan masuk ke dalam rumah selama putri tertua Sayidah
Fathimah as belum mengizinkan." Ini adalah puncak penghormatannya kepada
keluarga Rasulullah Saw.
 
Setelah beberapa lama hidup berumah
tangga dengan Imam Ali as, Ummul Banin mengusulkan agar Imam Ali tidak
memanggilnya ÔÇÿFatimah' karena kesamaan namanya dengan Sayidah fathimah
as. Agar anak-anak putri Rasulullah Saw ini tidak teringat ibunya dan
merasakan kesedihan masa lalunya dan meminta agar menganggapnya sebagai
pengabdi keluarga Rasulullah Saw.
 
Ummul Banin menurut lisan menantunya
Lubabah, istri Abul fadhl Abbas; beliau lebih penyayang dari ibu, lebih
kokoh dari gunung, lebih cantik dari peri, lebih segar dari angin
semilir pagi... sifat ini hanya beberapa tangkai bunga dari kebun bunga
keberadaan ibu mertua saya, Fatimah Ummul Banin.
 
Beliau begitu beradab, wibawa dan
tenang. Tidak berbicara selain pada waktunya. Beliau tegas namun pada
saat yang sama beliau sangat lembut dan wibawa, tidak takut cacian.
Kalian bisa berbicara berjam-jam dengannya...
 
Ketika suamiku Abbas dengan senyum
menceritakan tentang kedisiplinan ibunya dalam mendidik anak-anaknya
mengatakan bahwa ibunya adalah orang pertama yang melatihnya dan melatih
saudara-saudaranya bermain pedang dan memanah. Pertamanya aku tidak
percaya bahwa wanita yang lembut ini ada kaitannya dengan pedang dan
panah. Aku senantiasa mengira bahwa ucapan-ucapan seperti ini adalah
cara suami untuk menimbang pengetahuanku tentang kejiwaan dan emosional
ibunya.
 
Lubabah berkata, "Hari ini di pasar
Madinah aku bertemu dengan dua orang wanita dari suku Kilabiyah. Ketika
mereka tahu bahwa aku adalah anak menantu fatimah, mereka memelukku.
Setelah menanyakan kabar ibu mertua dan alamat rumahnya, pertanyaan
pertama mereka membuatku tercengang, "Masihkan dia membawa pedang di
pinggangnya?
 
Pedang?! Tidak.
 
Kalau begitu saudaranya benar bahwa setelah menikah ia sudah berubah!
 
Yakni Anda mengatakan bahwa ibu mertua saya mengerti tentang perang?!
 
Mereka tertawa melihat keheranan dan
kepolosanku serta gaya pertanyaanku. Salah satu dari keduanya mencium
wajahku dan meminta maaf karena tertawa spontan seraya berkata, "Betapa
polosnya kalian anak-anak kota!" Suku kami Bani Kilabiyah terkenal
sebagai suku pemberani di kalangan suku-suku lainnya. Sebagian besar
para wanitanya juga bisa bermain pedang, memanah dan melempar tombak,
namun fatimah berasal dari keturunan pemain tombak. Keluarganya tidak
saja terkenal dan terhormat di kalangan suku kami bahkan di kalangan
semua orang-orang Arab dan bahkan di kalangan imperatur Romawi. Fatimah
benar-benar menguasai permainan pedang dan teknik perang dan
saudara-saudara lelakinya tidak bisa mengalahkannya."
 
Sambil tertawa mereka melanjutkan,
"Tidak ada seorang lelakipun yang berani melamarnya. Dia juga menolak
para pelamar terkenal di kalangan suku-suku. Ketika kami dan keluarganya
bertanya kepadanya, mengapa kamu tidak menikah? Dia menjawab, "Aku
tidak melihat seorang lelaki. Bila memang ada lelaki yang melamarku maka
aku akan menikah."
 
Aku seakan-akan mendengar sebuah dongeng
indah. Seakan-akan aku pernah melupakan kisah yang tak pernah terdengar
tentang ibu mertuaku. Sehingga aku tidak sabar menanti dan bertanya,
"Katakan! Selanjutnya bagaimana?"
 
Wanita suku Kilabiyah sambil bercanda,
"Ya, jelas akhirnya bagaimana? Ketika Aqil datang mewakili saudaranya
Amirul Mukminin as melamar Fatimah, saking senangnya fatimah menangis
dan berkata, "Segala puji bagi Allah! Padahal sudah cukup bagiku bila
pelamarnya seorang lelaki tetapi Allah telah menetapkan untukku ksatria
para lelaki."
 
Bila Imam Ali as sebelum menikah
tergambar peristiwa karbala di depan matanya, kemudian memilih istri
dari keturunan ksatria dan pemberani, karena nantinya anak-anak yang
dilahirkan dari ibu yang pemberani adalah anak-anak yang pemberani juga.
 
Abul fadhl Abbas dan saudara-saudaranya
yang dilahirkan dari seorang Ayah yang bergelar "Laa Fataa Illaa Ali..."
tidak ada pemuda sebagaimana Ali, dan dari seorang ibu keturunan
pemberani, merupakan orang-orang pemberani yang nantinya adalah penolong
Imam Husein as di Karbala melakukan amar makruf dan nahi mungkar meluruskan agama yang sedang diselewengkan oleh manusia-manusia yang berbaju agama dan mengaku sebagai pemimpin kaum muslimin.
 
Wanita sebagai seorang ibu sangat
menentukan karakter anak-anaknya. Karena selain ia sebagai teladan sikap
dan perilaku, ia juga merupakan pengantar budaya sosial untuk
anak-anaknya dan kondisi emosional keluarga ada di tangannya. Ummul
Banin berhasil mendidik anak-anaknya menjadi pengabdi dan pembela imam
zamannya. Ummul banin berhasil mengantarkan anak-anaknya menjadi
pelindung dan pembela wilayah Ahlul Bait Nabinya.
(hajij/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar