SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: H.M.H. Al Hamid Al Husaini, Penulis Sunni Kenamaan Indonesia

Gelar “Imam” adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping gelar “Amirul Mu’minin” yang lazim dipergunakan orang pada masa itu, untuk menyebut seorang pemangku jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala Negara Islam.

Tentang ta’rif (definisi) dari perkataan “imamah” (keimaman) oleh para ahli ilmu kalam, dirumuskan: “Imamah ialah kepemimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan yang ada pada seseorang…”

Jadi menurut ta’arif tersebut, maka yang dimaksud dengan “Imam” ialah seorang pemimpin atau seorang ketua yang ditaati dan memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang muslimin dalam segala urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan.

Menurut mazhab “Imamiyah”, imamah merupakan keharusan objektif dalam kehidupan masyarakat muslimin, yang dalam keadaan bagaimana pun tak dapat diabaikan. Dengan adanya imamah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan agama dan tata kehidupan dunia, dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka bumi, dapat diusahakan realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk mendorong masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah swt, untuk menyebar luaskan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di kalangan anggota-anggota masyarakat.

Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan diri dari hal-hal yang buruk dan menghayati hal-hal yang baik, sebagaimana yang dikehendaki Allah swt. Untuk itu, ummat Islam wajib mentaati seseorang Imam dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu taat dan tidak menyimpang dari perintah-perintah Allahswt. Sebab hanya dengan ketaatan kaum muslimin, seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat persatuan dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar.

Banyak sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain ialah menjaga dan memelihara pelaksanaan perintah serta larangan agama; menjaga keselamatan Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan nilai-nilai susila dan moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum agama; menjamin pengayoman dan kesentosaan wilayah Islam; menjamin terlaksananya keadilan bagi orang-orang yang teraniaya (madzlum); memimpin ummat dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan lain sebagainya.

Untuk dapat menjadi Imam, orang harus memiliki syarat-syarat. Antara lain ia harus mempunyai pengetahuan yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu memberikan pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas segala-galanya ialah kebersihan pribadi.

Semua kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian pribadi itu orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan maksiyat, baik yang mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Sifat luhur seperti itu sudah tentu lebih terjamin adanya pada para Imam yang berasal dari Ahlu-Bait Rasulullah saw, yaitu orang-orang yang sanggup menjadi benteng dan pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya mendambakan keridhoan Allah semata-mata.

Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali ra menegaskan: “Barangsiapa yang hendak menjadikan diri sebagai Imam di kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya sendiri lebih dulu sebelum mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang baik lebih dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai mengajar dan mendidik orang lain.”

Diantara empat orang Khalifah Rasyidun, hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib ra sajalah yang disandangi gelar “Imam” oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang lain yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash Shiddiq ra juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul Khattab ra juga seorang Imam seperti Ali? Bukankah Utsman bin Affan ra juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah-Khalifah itu juga Khalifah Rasyidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu penerus kepemimpinan Rasulullah saw sepeninggal beliau?
Bila pengertian “imamah” hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang Khalifah itu semuanya adalah Imam-Imam juga seperti Imam Ali ra. Bahkan mereka memegang “imamah” lebih dulu daripada Imam Ali ra.

Mengenai hal itu, seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat, bahwa kalau yang disebut “imamah” pada masa itu hanya terbatas pengertiannya di bidang hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu tidak perlu disangkal lagi. Tetapi, demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali ra, tak ada seorang pun diantara mereka itu mengibarkan bendera imamah untuk menghadapi tantangan kekuasaan duniawi yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua pasukan bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang menjadi lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh dengan berbagai problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat.

Al Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti itu, tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali ra, boleh saja disebut Imam. Tentu saja pengertian “Imam” itu sangat berlainan dengan gelar “Imam” yang ada pada Imam Ali bin Abi Thalib ra. Ia adalah seorang Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak menimbulkan keragu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam diberikan kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Begitu luasnya gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun mengenal Imam Ali lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di jalan-jalan, tanpa perlu disebut nama orang yang menyandang gelar itu sendiri.

Seterusnya Al Aqqad menjelaskan, bahwa “kekhususan imamah yang ada pada Ali bin Abi Thalib ra ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan Imam-Imam lainnya. Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan mazhab-mazhab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semenjak kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa pertumbuhan Islam. Jadi sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-mazhab, atau dapat juga disebut sebagai poros di sekitar mana golongan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Hampir tidak ada satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat pembahasan ilmu agama.”

Menurut kenyataannya, Imam Ali ra adalah Imam yang benar-benar memiliki semua syarat yang diperlukan. Satu keistimewaan yang paling menonjol dan tidak dipunyai oleh khalifah-khalifah lainnya, ialah penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama.

_______________
Sumber: 
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib (ra)
Penulis: H.M.H. Al Hamid Al Husaini
Penerbit: Lembaga Penyelidikan Islam
Jl. Blora 29, Jakarta
Oktober 1981

(dedyzulvita/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top