SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Oleh: Mohammad Adlany
 
Salah satu pembahasan yang cukup mendasar dalam wilayah dan domain pengetahuan adalah apakah pengetahuan dan makrifat itu bersifat mungkin? Apakah kita bisa meraih pengatahuan tentang alam, manusia, dan segala sesuatu?

Ketahuilah bahwa probabilitas dan kemungkinan pengetahuan merupakan poin yang tidak akan pernah diingkari oleh orang-orang berakal. Setiap individu dalam sehari senantiasa mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang perkara-perkara yang dibutuhkannya atau seseorang berupaya dengan sebaik dan sesempurna mungkin untuk menghadirkan satu atau beragam disiplin ilmu dan pengetahuan tertentu. Setiap manusia menjalani kehidupannya dengan berpijak pada ribuan gambaran-gambaran yang terdapat dalam pikirannya dan berkeyakinan bahwa di luar alam pikiran ini terdapat alam lain yang hakiki dan realitas-realitas yang mandiri dimana gambaran-gambaran pikiran tersebut merupakan pencerminan terhadap apa-apa yang terdapat di alam eksternal. Tak satupun manusia yang berakal sehat meragukan keberadaan alam eksternal tersebut, begitu pula tak satupun meragukan bahwa dia mengetahui sesuatu dan dapat memahami sesuatu.

Akan tetapi, dalam sejarah filsafat telah ditunjukkan bahwa terdapat gelombang-gelombang Sofisme dan Skeptisisme yang menghanyutkan dan menjauhkan manusia dari pencapaian makrifat dan pengetahuan. Kedua paham ini hadir di Eropa dan Yunani kuno pada abad kelima sebelum Masehi. Pandangan-pandangan dari kedua paham tersebut sempat mempengaruhi sebagian ilmuan-ilmuan. Paham-paham tersebut secara mutlak mengingkari segala bentuk eksistensi, keberadaan, ilmu, pengetahuan, dan makrifat.

Sofisme adalah suatu paham yang menafikan secara mutlak keberadaan alam eksternal yang kemudian berkonsekuensi pada penolakan segala jenis makrifat dan pengetahuan. Mereka ini beranggapan bahwa alam eksternal itu sama sekali tidak berwujud sehingga dapat dihasilkan darinya suatu ilmu, pengetahuan, dan makrifat. Sementara Skeptisisme merupakan suatu paham lain yang tidak mengingkari alam eksternal, namun, menafikan segala bentuk makrifat dan pengetahuan yang berasal dari alam tersebut.

1. Sumber Kemunculan Sofisme
Aliran ini berseberangan secara ekstrim dengan aliran-aliran pemikiran lainnya dan pada dimensi lain aliran tersebut tidak dapat menyelesaikan problematika pemikirannya sendiri yaitu tiba-tiba hadirnya penolakan, pengingkaran, keraguan, dan kebimbangan terhadap kebenaran pemikiran mereka sendiri sedemikian sehingga menafikan objek-objek fisikal dan aksioma-aksioma. Pencetus dan perintis maktab ini adalah Gorgias dimana dia menyatakan, “Adalah mustahil bahwa sesuatu yang terwujud dapat diketahui dan apabila dia dipahami niscaya dapat disifatkan dan dijelaskan.”[1]

Dalam sejarah filsafat dikatakan bahwa kaum Sophis bergaul secara bebas di tengah-tengah masyarakat. Pekerjaan kaum ini ialah sebagai wakil dan pengacara bagi para tersangka dan tertuduh demi membela mereka di mahkamah pengadilan. Mereka menerima perwakilan baik dari kalangan yang merasa benar maupun yang bersalah. Mereka sama sekali tidak terikat untuk membela kalangan yang benar saja, sehingga perlahan-lahan muncullah dari mereka suatu pemikiran bahwa di dunia ini tidak terdapat yang namanya kebenaran dan kebatilan serta perlahan-lahan menolak keberadaan alam eksternal. Karena, mereka memandang bahwa manusia bisa salah menilai kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran.

Manusia dapat merumuskan suatu argumentasi yang berlawanan dengan aksioma-aksioma. Perkembangan pemikiran kaum Sophis ini lantas mempengaruhi pemikiran-pemikiran Yunani, dan apabila tidak terdapat pemikir-pemikir dan filosof-filosof besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang menentang mereka dan mengungkap kekeliruan-kekeliruan pemikiran mereka, maka dapat dipastikan bahwa wabah pemikiran kaum sophis ini akan tersebar meluas di Yunani pada khususnya dan di sebagaian belahan bumi ini.[2]

Aristoteles dengan menyusun kitab Mantik (logika) dan mengkonstruksi argumen-argumen yang kokoh telah menegaskan bahwa objek-objek fisikal dan aspek-aspek rasio manusia memiliki nilai yang hakiki, dan manusia dengan berpijak pada dasar-dasar dan pokok-pokok logika akan bisa menyelesaikan berbagai keraguan dan ketidakjelasan tersebut seperti problematika keberadaan objek-objek fisikal dan rasionalitas-rasionalitas murni.

Namun, dengan segala upaya yang dilakukan oleh filosof-filosof ternama Yunani tersebut untuk menumpas kesesatan berpikir kaum Sophis tetap saja tidak secara total mencabut akar-akarnya, hal ini bisa disaksikan dengan didirikannya suatu aliran resmi baru, Skeptisisme, yang dipelopori oleh Pyrrho.[3] Dengan hadirnya agama Islam dan merosotnya peradaban Yunani kuno maka secara resmi berakhir pulalah maktab-maktab Sofisme.

Ibnu Sina mempunyai metode tertentu untuk mengobati penyakit-penyakit keraguan tersebut, dia meyakatan, “Nyalakanlah api dan katakan pada para peragu untuk masuk ke dalam kobaran api tersebut. Apabila mereka menolak dan menjaga jarak dari api itu, maka tanyakanlah pada mereka mengapa mereka menghindari dan takut pada api yang berkobar itu. Padahal menurut perspektif mereka, ada dan tiadanya api itu adalah sama. Atau cambuklah mereka itu apabila mereka menjerit kesakitan, maka katakanlah pada mereka bahwa apakah kebaikan dan ketiadaan kebaikan atau sakit dan tiadanya sakit adalah sama dalam pandangan anda.”[4]


2. Pengingkaran Pengetahuan yang Benar terhadap Objek Eksternal
Ibnu Jazm dalam kitabnya, Al-Fashl, menuliskan, “Sofisme merupakan suatu aliran yang menolak kebenaran-kebenaran itu dan mereka ini terbagi dalam tiga kelompok: mereka yang menolak dan menafikan kebenaran secara mutlak, mereka yang meragukan kebenaran-kebenaran itu, dan mereka yang memandang secara relatif kebenaran-kebenaran itu dan menyatakan bahwa suatu realitas bisa benar dan salah, suatu realitas adalah benar bagi orang-orang yang memandang bahwa itu adalah suatu kebenaran dan suatu realitas adalah salah bagi orang-orang yang memandang bahwa hal tersebut adalah suatu kebatilan.”[5]

Akan tetapi, terdapat suatu kesalahan dalam menafsirkan substansi pemikiran Sofisme tersebut. Mungkin yang benar adalah bahwa kaum Sofisme tidak meragukan keberadaan alam eksternal, akan tetapi, inti bahasan mereka berhubungan dengan nilai ilmu dan pengetahuan manusia dan validitas persepsi indrawi dan fakultas rasional manusia. Hal ini sebagaimana tertulis dalam sejarah filsafat bahwa di awal terbitnya filsafat di Yunani para pemikir-pemikir besar tidak mempercayai pengetahuan indrawi itu sebagaimana Heraclitos atau Parmenides yang menafikan indra-indra sebagai media pengetahuan dan hanya mempercayai hukum-hukum akal, Heraclitos beranggapan bahwa eksistensi dan keberadaan itu adalah perubahan itu sendiri dan untuk alam sama sekali tidak ada kata diam walau sejenak, pada saat yang sama, indra-indra lahiriah manusia melaporkan bahwa alam tersebut berada dalam keadaan tak bergerak dan diam.

Parmenides dan muridya, Zeno, memandang bahwa gerak itu merupakan suatu perkara yang mustahil untuk diamati, karena gerak meniscayakan bergabungnya dua hal yang saling berlawanan dan di sini panca indra itu salah menceritakan bahwa sebagian benda-benda itu adalah bergerak. Dari hal ini dapat diutarakan bahwa terdapat pemikiran-pemikiran para filosof yang saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain dimana kenyataan-kenyataan seperti ini kemudian menjadi lahan bagi munculnya berbagai pemikiran-pemikiran Sofisme dan penolakan segala bentuk pengetahuan serta pengingkaran validitas pengetahuan rasional.[6] Sebagaimana disaksikan bahwa berdasarkan pandangan Heraclitos atau Parmenides berhubungan dengan indra-indra bahwa mereka sama sekali tidak mempercayainya dan adanya berbedaan di antara mereka berkaitan dengan kemungkinan ilmu dan pengetahuan adalah dikarenakan validitas sumber dan alat pengetahuan, bukan berkisar persoalan eksistensi alam eksternal.

Dengan menyimak uraian singkat di atas, bisa dikatakan bahwa aliran-aliran yang secara khusus mengingkari dan menolak keberadaan alam eksternal tidak mempunyai landasan sejarah yang cukup kuat[7], dan sekarang ini apabila terdapat seseorang yang menafikan eksistensi alam eksternal maka pastilah mengidap suatu penyakit kejiwaan dan jalan pengobatannya sebagaimana yang diusulkan oleh Ibnu Sina tersebut. Dengan demikian, pembahasan yang menjadi fokus kita di sini ialah mengenai apakah pengetahuan yang benar terhadap objek-objek dan alam eksternal merupakan sesuatu yang bersifat mungkin ataukah tidak?

3. Aliran Sofisme
Telah kami katakan bahwa aliran Skeptisisme muncul hampir sezaman dengan kehadiran Sofisme dimana meragukan adanya kemungkinan pencapaian pengetahuan yang benar terhadap alam eksternal. Mereka mengungkap beberapa argumen dan dalil bahwa kita tidak bisa beranggapan mengetahui secara tepat hakikat-hakikat itu sebagaimana adanya, melainkan kita mesti menyatakan bahwa hakikat-hakikat itu kita pahami berdasarkan kondisi-kondisi dan batasan-batasan dari indra dan persepsi kita masing-masing. Namun, apakah hakikat itu? Kita sama sekali tidak mengetahuinya, dengan demikian, kita menahan diri untuk menilai dan mengungkap pendapat mengenai segala permasalahan, serta kita menempatkan seluruh persoalan filsafat, ilmu, dan matematika sebagai hal-hal yang tidak diyakini dan masih diragukan.

Apabila Skeptisisme itu telah sirna di zaman Yunani kuno pada abad kelima sebelum Masehi di tangan para filosof besar Yunani, maka mungkin kita tidak temukan lagi sejenis keraguan terhadap nilai dan validitas pengetahuan yang hadir dalam evolusi pengetahuan astronomi dan ilmu-ilmu alam di Barat. Kita bisa saksikan bagaimana pemikiran-pemikiran Sofisme Yunani Kuno seperti Corylas yang kemudian hidup kembali dalam bentuk Idealisme Berkeley. Penyebab munculnya aliran yang meragukan nilai dan validitas pengetahuan adalah perubahan yang mendasar dalam bidang astronomi dan ilmu-ilmu alam serta perubahan pada persoalan-persoalan yang sangat “diyakini” kebenarannya dimana sebelumnya tak dimungkinkan adanya kekeliruan padanya.

Walhasil, validitas ilmu dan pengetahuan menjadi sirna dan terungkaplah ketidakberdayaan umat manusia untuk menggapai hakikat, pengetahuan, ilmu, makrifat dan kayakinan. Padahal diketahui bahwa hanya satu bidang keilmuan yang kehilangan validitasnya, namun sangat disayangkan bahwa orang seperti Berkeley mempunyai pandangan ekstrim yang menggeneralisasikan keraguan-keraguan tersebut kepada semua ilmu dan pengetahuan. Evolusi pengetahuan di Barat, tidak hanya menghidupkan kembali aliran-aliran seperti Sofisme, melainkan juga menyebabkan filsafat kontemporer itu berubah menjadi suatu filsafat yang tidak lagi disandarkan dengan subjek-subjek keilmuan dan hanya semata berpijak pada asumsi-asumsi ilmiah. Dari hasil gabungan ilmu-ilmu empirik ditarik suatu kesimpulan hukum yang bersifat universal dan kemudian disebut sebagai “filsafat ilmu” yang diajarkan dalam ruang lingkup pembahasan filsafat. Oleh karena itu, filsafat yang mencakup ilmu-ilmu saat itu merupakan simpulan dari ilmu-ilmu alam dan matematika, yakni capaian-capaian ilmu itu yang dibentuk dalam kerangka universal lantas dinamakan dengan “filsafat” dan kemudian filsafat dengan makna pengenalan universal yang meliputi seluruh eksistensi menjadi tertolak.

4. Macam-macam Keraguan dan Keyakinan
Setiap manusia memiliki keyakinan dalam beberapa perkara dan pada sebagian persoalan mengalami keraguan dan bimbang, misalnya seseorang mempunyai kepercayaan kepada dirinya sendiri dan pada keberadaan alam sekitarnya serta perasaan-perasaannya, namun mengalami keraguan dan kebimbangan terhadap berbagai perkara-perkara. Setiap manusia mungkin mengalami perbedaan dalam kualitas keyakinan dan keraguan, walaupun terdapat perkara yang tak diragukan oleh satu individu pun, namun manusia akan mengalami keraguan yang nyata dalam bagian-bagian tertentu dari perkara tersebut. Faktor-faktor perbedaan pada manusia dalam derajat keraguan dan keyakinan terkadang bersumber dari masalah kejiwaan, aspek internal manusia, dan pemikiran. Maka dari itu, keyakinan dan keraguan dapat dibagi berdasarkan faktor-faktor yang melatar belakanginya dan perkara-perkara yang berhubungan dengannya serta kualitas kejiwaan setiap manusia.

a. Jenis-jenis keraguan
Keraguan-keraguan itu bisa dibagi berdasarkan objek, subjek, dan pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Di bawah ini akan disebutkan beberapa macam keraguan-keraguan yang terpenting:
  1. Keraguan mutlak dan relatif. Apabila manusia ragu terhadap semua persoalan bahkan pada dirinya sendiri, maka hal seperti ini disebut dengan keraguan mutlak. Selain dari hal ini dinamakan dengan keraguan relatif;
  2. Keraguan psikis, pertanyaan, dan kondisional. Keraguan bisa hadir karena kondisi kejiwaan seseorang dan juga sangat mungkin muncul karena pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan logika serta kondisi-kondisi zaman, seperti pada zaman renaissance yang terjadi di Barat dimana telah menghadirkan berbagai keraguan-keraguan tertentu;
  3. Keraguan ilmiah, filosofis, dan umum. Keraguan global bisa menimpa banyak orang seperti keraguan terhadap kejadian-kejadian yang dikatakan hadir dalam sejarah manusia. Begitu pula pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan filosofis sangat sarat memunculkan keraguan-keraguan, seperti keraguan sebagian filosof berkenaan dengan gerak dan yang semacamnya;
  4. Keraguan yang merusak dan membangun. Keraguan dapat dibagi menjadi demikian dengan berdasarkan pengaruh dan efeknya yang positif dan negatif. Keraguan yang berimbas pada rukun-rukun penting keagamaan dan asas-asas akhlak adalah jenis keraguan yang merusak, sementara keraguan yang menyentuh wilayah penelitian ilmiah dan pengetahuan manusia merupakan bentuk keraguan yang membangun;
  5. Keraguan fundamental dan struktural. Keraguan bisa menjadi dasar bagi hadirnya keraguan-keraguan yang lain. Keraguan dalam ranah aksioma-aksioma dan asas-asas global disebut dengan keraguan fundamental, sementara keraguan yang hadir dalam domain dan wilayah permasalahan-permasalahan ilmiah dan teoritis dinamakan dengan keraguan struktural;
  6. Keraguan ontologis dan epistemologis. Keraguan dalam ranah hakikat-hakikat eksistensi dan perkara-perkara wujud disebut dengan keraguan ontologis. Dan keraguan yang berhubungan dengan kemungkinan pencapaian sebuah keyakinan, ilmu, dan pengetahuan dinamakan keraguan epistemologis;
  7. Keraguan yang dikehendaki dan yang dipaksakan. Apabila seseorang secara sadar dan sengaja meragukan sesuatu supaya menggapai suatu keyakinan yang lebih tinggi atau ingin menjadi seorang peneliti, maka keraguannya tersebut dinamakan keraguan yang dikehendaki. Jika tidak demikian, yakni dia terpaksa dan diluar kehendaknya melakukan suatu penelitian atas suatu perkara yang meragukannya, maka hal seperti ini digolongkan sebagai keraguan yang dipaksakan.

b. Macam-macam keyakinan
Keyakinan juga dapat memiliki varian-varian yang didasarkan oleh faktor-faktor tertentu, kondisi-kondisi internal individu, dan perkara-perkara lainnya, antara lain:
  1. Keyakinan logikal dan non-logikal. Keyakinan yang sama sekali tidak terdapat keraguan di dalamnya atau keyakinan yang memuncak disebut dengan keyakinan logikal. Keyakinan yang masih menyisakan bentuk-bentuk keraguan merupakan suatu keyakinan yang non-logikal;
  2. Keyakinan hakiki dan non-hakiki (merasa mengetahui). Kalau keyakinan itu bersesuaian dengan realitas maka dinamakan keyakinan hakiki dan logikal. Apabila tidak demikian, maka dikategorikan ke dalam bentuk keyakinan yang non-hakiki;
  3. ‘Ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin, haqq al-yaqin. Keyakinan pertama berhubungan dengan pengetahuan universal dan teoritis. Dan keyakinan kedua berkaitan dengan pengetahuan-pengetahuan intuitif dan penyaksian (musyahadah) hakikat-hakikat segala sesuatu. Serta keyakinan ketiga merupakan keyakinan yang tertinggi dimana tidak terdapat jarak lagi antara subjek yang mengetahui (‘alim) dan objek yang diketahui (ma’lum dan hakikat-hakikat sesuatu), atau dengan ungkapan lain, terwujudnya kesatuan eksistensial antara ‘alim dan ma’lum;
  4. Keyakinan orang awam, para filosof, dan urafa. Keyakinan-keyakinan ini bertingkat-tingkat dalam kualitas sesuai dengan landasan dan dasar pengetahuan-pengetahuan mereka;
  5. Keyakinan taklidi dan ijtihadi. Keyakinan yang dihasilkan dari mengikuti dan taklid pada seseorang yang dipercayai disebut dengan keyakinan taklidi. Sementara keyakinan yang digapai dari proses-proses usaha dan aktivitas observasi individual dinamakan dengan keyakinan ijtihadi;
  6. Keyakinan ontologis dan epistemologis. Keyakinan ontologis adalah suatu keyakinan yang berhubungan dengan eksistensi dan realitas alam wujud, sementara keyakinan epistemologis merupakan sejenis keyakinan yang berkaitan dengan proses pencapaian dan penggapain suatu pengetahuan dan makrifat yang sesuai dengan realitas dan hakikat sesuatu;
  7. Keyakinan indrawi, rasional, intuitif, dan tekstual. Tingkatan-tingkatan yang terdapat pada keyakinan-keyakinan seperti ini sangat ditentukan oleh media-media dan alat-alat yang menjadi sumber dan asal keyakinan dan pengetahuan itu.

5. Kritikan-kritikan Sofisme dan Skeptisisme
Upaya dan usaha semua manusia dan khususnya para ilmuan dalam menyingkap hakikat-hakikat segala sesuatu merupakan ciri dan pertanda bahwa manusia yang berakal sehat (bukan para sofis dan skeptis) mempercayai dan meyakini bahwa terdapat sesuatu yang diketahui dan terdapat pula sesuatu bisa diketahui. Dan apa-apa yang mungkin untuk diketahui kemudian dijadikan subjek dan ranah pembahasan dan pengkajian. Domain penyingkapan hakikat dan sejauh mana serta pada wilayah mana saja manusia dapat menggapai pengetahuan dan keyakinan. Begitu pula dalam wilayah mana manusia tidak memiliki kemungkinan untuk dapat memahami dan mengetahui, seperti kemustahilan dan ketidakmampuan manusia menyingkap dan mengungkap hakikat zat Sang Pencipta.

Baik dalam filsafat Barat maupun dalam filsafat Islam akan diperhadapkan dengan beberapa keraguan dan kritikan dimana salah satu yang terpenting adalah keraguan terhadap probabilitas dan kemungkinan pencapaian ilmu dan pengetahuan. Yang pasti dalam filsafat Barat keraguan semacam itu sangatlah kental dan bahkan telah melahirkan beberapa aliran yang secara terang-terangan mendukung pemikiran semacam itu. Realitas ini sedikit berbeda dalam filsafat Islam dimana hal tersebut hanyalah sebatas sebuah kritikan dimana para filosof Muslim telah mencarikan solusi yang tepat dan jawaban yang proporsional. Kritikan ini dapat dilihat dalam perjalanan pemikiran Al-Gazali dimana awalnya mengalami semacam keraguan dan melontarkan berbagai kritikan pada unsur-unsur pemikiran filsafat Islam, namun pada akhirnya dia mencapai suatu keyakinan baru dan berhasil keluar dari kemelut pemikiran.

Berikut ini kita berusaha akan membeberkan segala keraguan dan kritikan yang ada dan kemudian mencarikan jawaban dan solusinya. Keraguan yang dilontarkan oleh kaum sofis dalam ranah makrifat dan keyakinan memiliki dua bentuk:
  1. Kemampuan akal dalam menggapai hakikat sesuatu;
  2. Berkaitan dengan sebagian pengenalan-pengenalan manusia.

Keraguan dalam bentuk pertama dapat dijabarkan secara universal sebagai berikut:
  1. Alat dan sumber pengetahuan, keyakinan, ilmu, dan makrifat manusia adalah indra dan akal;
  2. Indra dan akal manusia rentan dengan kesalahan, karena kesalahan penglihatan, pendengaran, dan rasa itu tidak dapat dipungkiri dan juga tidak tertutup bagi seseorang mengenai kontradiksi-kontradiksi akal serta beberapa kekeliruannya.  Dalam banyak kasus di sepanjang sejarah, kita menyaksikan dalil-dalil rasional dan argumentasi-argumentasi akal telah dibangun, namun seiring berlalunya waktu secara bertahap dalil dan argumentasi tersebut satu persatu menjadi batal;
  3. Kesalahan dan kekeliruan kedua sumber pengetahuan dan makrifat tersebut dalam beberapa hal tidaklah nampak, akan tetapi tetap saja tidak dapat dijadikan landasan dan tertolak;

Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendahuluan di atas yakni pengetahuan dan makrifat manusia yang dihasilkan lewat jalur indra dan akal adalah tidak dapat dijadikan pijakan dan karena manusia hanya mempunyai dua jalur dan sumber pengetahuan ini maka sangatlah logis apabila manusia meragukan apa-apa yang dipahami dan diyakininya tersebut serta sekaligus mengetahui bahwa mereka mustahil mencapai suatu keyakian dan pengetahuan yang hakiki. Atau keraguan itu bisa dipaparkan dalam bentuk ini bahwa senantiasa terdapat jarak antara manusia dan realitas atau gambaran-gambaran pikiran dan persepsi-persepsinya itu, dan pikiran manusia, sebagaimana kaca mata, merupakan hijab yang membatasinya dengan realitas eksternal, dengan demikian, tidak akan pernah manusia menyaksikan dan mengetahui realitas dan kenyataan eksternal itu sebagaimana adanya.

Kesimpulannya, kita tidak bisa benar-benar yakin bahwa realitas dan objek eksternal itu diketahui dan dipahami sebagaimana mestinya, karena mungkin saja pikiran kita telah ikut campur dalam mewarnai pemahaman dan pengetahuan tersebut dimana hal ini sebagaimana kaca mata yang berwarna telah ikut berpengaruh dalam penampakan objek-objek yang kita saksikan. Oleh karena itu, mustahil menggapai suatu keyakinan dan pengetahuan yang sebagaimana hakikatnya.Keraguan bentuk kedua berhubungan dengan keraguan dalam aksioma-aksioma dan dasar-dasar pengetahuan. Dalam hal ini para filosof berupaya mengajukan berbagai solusi dan jawaban.

Keraguan-keraguan yang terlontarkan dalam filsafat Islam adalah sebagai berikut:
  1. Indra melakukan kesalahan dan kekeliruan, sedangkan segala sesuatu yang salah dan keliru tidak dapat dijadikan pijakan, sementara mayoritas pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari indra dan empirisitas;
  2. Dalam banyak permasalahan manusia berargumentasi dan berdalil dengan akal dan rasionya, akan tetapi setelah berlalunya waktu nampaklah berbagai kesalahan-kesalahan argumentasi rasional itu. Oleh karena itu, kita tidak dapat bersandar pada argumentasi dan burhan akal, pada saat yang sama kita menyaksikan bahwa begitu banyak pengetahuan dan makrifat manusia bersumber dari akal;
  3. Keberadaan perkara-perkara yang saling kontradiksi dan bertolak belakang satu sama lain dalam pemikiran-pemikiran manusia telah menyebabkan hadirnya sejenis keraguan dan ketidakpercayaan pada salah sumber pengetahuan dan makrifat yakni akal dan rasio;
  4. Perbedaan yang nyata di antara para filosofdan pemikir dalam wilayah pemikiran dan keilmuan telah menunjukkan bahwa upaya pencapaian suatu pengetahuan dan makrifat hakiki adalah hal yang sangat sulit atau hampir-hampir mustahil;
  5. Keberadaan argumen-argumen yang sempurna dan dapat diterima pada dua persoalan yang saling kontradiksi dan berbenturan satu sama lain telah menampakkan kepada kita bahwa segala argumentasi akal tidaklah nyata dan hakiki;
  6. Apabila cukup dengan keyakinan akal bahwa sesuatu itu ialah aksioma, maka hal ini bisa diajukan suatu kritikan bahwa akal meyakini suatu perkara yang secara potensial mengandung kesalahan, oleh karena itu, tidak mesti mempercayai perkara itu karena sama sekali tidak berpijak pada tolok ukur. Dengan demikian, keyakinan akal dalam aksioma-aksioma tidak valid;
  7. Manusia dalam keadaan tidur menyaksikan seluruh perkara itu nampak secara nyata dan hakiki, akan tetapi setelah terbangun dia kemudian memahami bahwa semua yang disaksikan tersebut hanyalah suatu hayalan dan mimpi. Maka dari itu, bagaimana kita bisa meyakini bahwa kita sekarang ini tidak dalam keadan tidur dan berhayal serta apa-apa yang kita saksikan tersebut bukanlah suatu mimpi belaka;
  8. Manusia-manusia yang berpenyakit dan gila menyangka bahwa perkara-perkara yang tidak riil itu adalah perkara-perkara yang nyata dan hakiki. Dengan demikian, bagaimana kita dapat mempercayai bahwa kita tidak sementara terjangkit suatu penyakit tertentu atau sedang mengalami suatu kesalahan dalam sistem pemikiran dan kontemplasi;
  9. Akal mampu menampakkan kesalahan dan kekeliruan indra, namun apakah kita yakin bahwa tidak terdapat sesuatu atau perkara lain yang dapat menunjukkan secara jelas kesalahan dan kekeliruan akal itu?
  10. Jumlah aksioma-aksioma itu sangatlah terbatas dan semuanya berpijak pada satu proposisi yakni “kemustahilan bergabungnya dua perkara yang saling berlawanan”. Proposisi ini bersandar pada konsepsi tentang ketiadaan dan kemustahilan yang terdapat dalam proposisi itu (kemustahilan bergabungnya …) dimana akal tidak mampu memahaminya, karena kemustahilan itu sendiri tidak mempunyai individu-individu dan objek-objek eksternal;
  11. Keragaman dan perbedaan dalam karakteristik dan potensi setiap individu, lingkungan dan ekosistemnya, dan budaya-budayanya telah menyebabkan munculnya berbagai persepsi-persepsi dan pandangan-pandangan yang juga beragam;
  12. Menyingkap sesuatu yang tidak diketahui adalah hal yang mustahil, mengungkap suatu hakikat merupakan hal yang tak mungkin, karena hakikat itu tak diketahui;
  13. Pengetahuan hudhuri dipandang sebagai pengetahuan yang paling tinggi dan sempurna. Pengetahuan kepada diri sendiri adalah bersifat hudhuri, sementara semua orang tidak bisa mengetahui “hakikat diri sendiri” dan tidak mampu menyelami esensi “pengetahuan kepada diri sendiri” itu. Dengan demikian, kita pun tidak mungkin mengetahui segala sesuatu selain “diri kita sendiri”;
  14. Pencapaian konsepsi-konsepsi di luar dari batas iradah dan kehendak kita, karena hal ini menyebabkan kita mengetahui sesuatu yang telah kita ketahui sebelumnya atau mengetahui sesuatu yang mutlak tidak diketahui, kedua konsekuensi ini adalah batil. Dengan demikian, pembenaran sesuatu yang aksioma adalah mustahil, oleh karena itu, tertutup jalan untuk meraih keyakinan;
  15. Semakin kita menyelami realitas dan hakikat sesuatu maka yang dihasilkan tidak lain hanyalah persepsi itu sendiri. Oleh karena itu, yang bisa ditegaskan hanyalah “diri kita” dan “persepsi kita”, inilah makna dari suatu pernyataan bahwa “satu-satunya realitas eksternal yang kita miliki” tidak lain adalah persepsi itu sendiri;
  16. Apabila pengetahuan dan makrifat manusia bersifat penyingkapan dan pencerminan terhadap objek-objek eksternal, maka tidak mungkin terdapat kesalahan;
  17. Manusia di awal kelahirannya sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan jahil terhadap aksioma-aksioma. Oleh karena itu, aksioma-aksioma tersebut dihasilkan oleh manusia setelah berinteraksi secara luas dengan alam dan lingkungannya, aksioma bukanlah merupakan fitrah dan pembawaan alami manusia.[8]

Sementara keraguan-keraguan yang muncul dalam tradisi filsafat Barat antara lain:
  1. Indra dan akal melakukan kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu tidak dapat dijadikan landansan;
  2. Terdapat kontradiksi-kontradiksi antara akal itu sendiri dan manusia yang berakal dalam wacana filsafat;
  3. Menegaskan setiap sesuatu niscaya membutuhkan serangkaian dasar-dasar, dan membuktikan dasar-dasar itu mesti memerlukan pendahuluan-pendahuluan, demikianlah seterusnya hingga tak terbatas. Konklusinya, perolehan makrifat dan pengetahuan ialah hal yang tak mungkin;
  4. Metode induksi tidak menghasilkan suatu keyakinan;
  5. Adanya perbedaan riil pada indra-indra manusia serta perbedaan persepsi di antara indra-indra itu, perbedaan di antara manusia-manusia dari dimensi tubuh dan jiwa, pertentangan indra-indra, perbedaan syarat-syarat yang menyebabkan pula lahirnya perbedaan pada persepsi-persepsi indrawi, perbedaan benda-benda dari dimensi jarak dan tempat, perbedaan benda-benda dari aspek horizontal yakni benda satu di atas dan benda yang lain di bawah, dan perbedaan hukum-hukum adab dan etika. Kesemua perbedaan tersebut berkonsekuensi bahwa tak satupun ilmu dan makrifat dapat dihasilkan;
  6. Fenomena-fenomena akibat (ma’lul) dan tanda-tanda sebab (‘illah) tidaklah tersembunyi, karena semua manusia menyaksikan bahwa fenomena-fenomena itu adalah sama, akan tetapi, terdapat perbedaan dan keragaman dalam penentuan sebab-sebabnya;
  7. Apakah kita benar-benar yakin bahwa tidak dalam keadaan tidur dan bermimpi;
  8. Adanya kemungkinan kita ditipu oleh setan;
  9. Proposisi yang berbunyi, “A ada”, yakni “Saya mengetahui keberadaan A itu”, dengan demikian, selain “saya” dan persepsi-persepsi “saya” adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan keberadaanya;
  10. Tidak terdapat perbedaan antara “kualitas pertama” dan “kualitas kedua”, sebagaimana “kualitas pertama” seperti warna dan bau adalah tidak hakiki, begitu pula “kualitas kedua” seperti panjang dan bentuk adalah juga tidak hakiki;
  11. Prinsip kausalitas itu merupakan buatan pikiran semata, karena konsepsi-konsepsinya bersumber dari pikiran yang tidak diperoleh lewat indra-indra yang lima itu;
  12. Pikiran manusia sama seperti kaca mata, atau fungsinya menimal sama dengan kaca mata. Oleh karena itu, tak satupun dari persepsi-persepsi yang dapat dipercaya;
  13. Mungkin pikiran kita sama saja dengan suatu wadah yang menerima dan menyimpan apa saja yang diberikan padanya, maka dari itu, kesalahan persepsi-persepsi tidak semua dapat ditegaskan dan dibuktikan secara nyata.[9]

6. Analisa dan Solusi Pemikiran Sofisme dan Skeptisisme
Terdapat dua metode dan sikap bagi kaum sofis dan skeptis yang berhubungan dengan berbagai lontaran-lontaran keraguan dan kritikan mereka:
  1. Kaum sofis dan skeptis hanyalah sekedar mengeluarkan sebuah pernyataan dan pengakuan tentang penafian dan penolakan adanya kemungkinan pengetahuan;
  2. Kaum sofis dan skeptis mengkontruksi berbagai argumen-argumen untuk menegaskan dan membuktikan kebenaran berbagai keraguan-keraguan yang mereka lontarkan itu.

Dalam penyikapan pertama terdapat dua makna dan gambaran:
  1. Pengakuan dan pernyataan dari kaum sofis dan skeptis yang berhubungan dengan kemustahilan adanya kemungkinan dan probabilitas perolehan pengetahuan dan keyakinan;
  2. Sebuah pengungkapan dan pernyataan tentang keraguan dalam pencapaian suatu keyakinan dan pengetahuan.

Makna pertama:
Seseorang yang mengeluarkan pernyataan tentang penafian dan penolakan terhadap probabilitas pengetahuan adalah pada hakikatnya “meyakini” dan “mempercayai” bahwa perolehan suatu keyakinan, makrifat, ilmu, dan pengetahuan adalah hal yang mustahil dan tak mungkin. Dalam hal ini, sebenarnya pernyataan-pernyataan dan ungkapan-ungkapan kaum ini terdapat kontradiksi satu sama lain, karena kalau dianalisa secara cermat maka dengan jelas dapat dikatakan bahwa “pernyataan” dan “ungkapan” mereka itu sendiri pada hakikatnya adalah sebuah keyakinan dan pengetahuan (dimana pada saat yang sama mereka sendiri dengan tegas menolak dan menafikan keberadaan suatu keyakinan, ilmu, makrifat, dan pengetahuan).

Makna kedua:
Mereka mengungkapkan berbagai keraguan-keraguan dan menyatakan bahwa “sama sekali tidak terdapat suatu kemungkinan pengetahuan yang benar”. Dalam hal ini, kita bisa mengajukan sebuah pertanyaan kepada mereka bahwa apakah mereka benar-benar meyakini dan mempercayai “keraguan-keraguan” dan pernyataan-pernyataan yang mereka lontarkan sendiri ataukah bahkan mereka juga meragukan “keraguan-keraguan” dan ungkapan-ungkapan mereka sendiri? Apabila mereka menyatakan bahwa mereka meyakini “keraguan-keraguan” itu, maka mereka sesungguhnya mempunyai suatu keyakinan, dengan demikian, mereka membatalkan pernyataan dan pandangan mereka sendiri (yakni mereka secara mutlak menolak keberadaan suatu keyakinan, namun pada saat yang sama mereka meyakini dan mempercayai keraguan-keraguan dan pernyataan-pernyataan yang mereka lontarkan tersebut).

Dan jika dikatakan bahwa mereka juga meragukan segala keraguan mereka sendiri, maka sesungguhnya mereka itu sama sekali tidak berkata dengan benar, sebagai contoh apabila kita mendekatkan api kepada mereka sedemikian sehingga kita yakin mereka benar-benar merasa panas karenanya, dan kalau mereka menyatakan kepanasan maka kita bisa menanyakan kepadanya bahwa apakah mereka yakin dalam kepanasan ataukah tidak, kalau mereka ragu maka kita berupaya semakin mendekatkan api itu, namun jika mereka yakin kepanasan maka kita dapat menyimpulkan bahwa mereka menegaskan suatu keyakinan dan kepercayaan. Penegasan dan pernyataan mereka ini pada hakikatnya adalah “menafikan kemutlakan keraguan mereka sendiri”, yakni pada dasarnya mereka menerima keberadaan suatu keyakinan dan kepercayaan tertentu yang walaupun mempunyai wilayah yang sangatlah terbatas.

Makna ketiga:
Kaum sofis dan skeptis berupaya membangun berbagai dalil dan argumen untuk menegaskan tentang kemustahilan perolehan pengetahuan dan keyakinan serta berusaha membuktikan bahwa senantiasa terdapat kemungkinan adanya kesalahan dan kekeliruan dalam persepsi-persepsi manusia. Dalam hal ini, argumentasi-argumentasi yang mereka konstruksi ini juga membatalkan segala pernyataan dan perkataan mereka sendiri, karena dalam setiap argumentasi dan dalil mesti terdapat perkara yang diterima dan diyakini kebenarannya oleh orang yang berdalil dan berargumentasi. Begitu pula dalam setiap argumentasi dan dalil mesti terdapat beberapa hal:
  1. Mempunyai kerangka dan bentuk argumentasi;
  2. Pendahuluan argumentasi (minimal dua mukadimah);
  3. Kepercayaan bahwa akal dapat menegaskan apa-apa yang diinginkan lewat argumentasi yang dibangunnya;
  4. Keyakinan bahwa tidak terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam muatan dalil dan argumentasi serta percaya bahwa dengan argumentasi itu bisa menyingkap objek yang dikaji;
  5. Keberadaan seseorang yang berdalil dan berargumentasi;
  6. Keberadaan seorang lawan bicara;
  7. Kemustahilan bergabungnya dua perkara yang kontradiksi;
  8. Adanya kenyataan bahwa dalam hal tertentu akal dapat melakukan suatu kesalahan dan kekeliruan;
  9. Keyakinan kepada kesimpulan dan silogisme argumentasi.
Jawaban argumentasi tersebut sebagai berikut:
Pengetahuan terbagi ke dalam hushuli dan hudhuri. Dalam pengetahuan hudhuri realitas-realitas hakiki dan objek-objek pengetahuan itu hadir dalam jiwa manusia dan tidak terdapat jarak dan pemisah lagi antara pengindra dan objek ilmu, oleh karena itu, mustahil terdapat suatu kesalahan dan kekeliruan karena tidak berhubungan dengan cermin dan objek pencerminan atau cerita dan objek penceritaan sehingga tidak perlu ditegaskan lagi apakah terdapat kesesuaian dan objektivitas antara keduanya.

Pengetahuan hushuli terbagi ke dalam aksioma dan bukan aksioma, dan aksioma itu sendiri terdiri dari aksioma pertama dan aksioma kedua. Aksioma pertama adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi dan bersifat diyakini, karena hanya dengan suatu penggambaran subjek dan predikat proposisi secara tepat serta hubungan keduanya dapat dihasilkanlah suatu keyakinan.

Yang menjadi substansi dan pokok pembahasan di sini adalah persoalan relativitas. Keyakinan dalam relativitas adalah suatu hal yang bisa diterima. Dalam relativitas, kesesuaian dengan objek menjadi hal yang relatif dan keyakinan menjadi sesuatu yang berbeda-beda dalam setiap individu serta tak satupun proposisi dipandang secara mutlak dan abadi adalah benar.

Jawaban atas aliran relativisme bisa dalam bentuk sebagai berikut: apakah proposisi seperti “setiap proposisi tidak memiliki kebenaran secara mutlak” adalah suatu yang bersifat mutlak, tetap, dan universal ataukah bersifat relatif, sementara, dan partikular? Apabila dalam semua perkara dan tanpa syarat adalah senantiasa benar, maka paling tidak terdapat satu proposisi yang mutlak, tetap dan universal, akan tetapi, apabila dikatakan bahwa proposisi tersebut adalah bersifat relatif maka itu berarti bahwa dalam sebagian persoalan ada yang tidak benar, dan konsekuensinya, dalam perkara-perkara yang tidak berhubungan dengan proposisi ini adalah sebuah proposisi yang mutlak, universal, dan konstan.[10]

7. Beberapa Jawaban atas Keraguan Fundamental
a. Kesalahan indra dan akal
Mereka katakan bahwa manusia hanya mempunyai dua alat dan media pengetahuan yaitu akal dan indra. Pengetahuan dan pengenalan manusia terhadap alam eksternal melalui indra atau akal, sementara diketahui bahwa kedua alat pengetahuan itu tidak lepas dari segala bentuk kesalahan dan kekeliruan. Kesalahan indra begitu banyak, misalnya untuk indra penglihatan kita bisa saksikan bagaimana sebatang kayu yang lurus dimasukkan ke dalam air maka kayu yang berada dalam air itu akan terlihat oleh mata dalam keadaan bengkok    atau bagaimana tetesan-tetesan air hujan yang turun dari langit nampak dalam bentuk garis lurus atau api yang diputar muncul dalam bentuk lingkaran. Begitu pula kekeliruan itu dapat disaksikan pada indra-indra lainnya. Hal yang sama bisa pula diperhatikan bagaimana akal melakukan kesalahan yang banyak. Dalam argumentasi-argumentasi akal bagaimana para ulama dan filosof senantiasa berbeda pendapat dan pada akhirnya nampaklah kesalahan-kesalahan pada muatan argumentasi mereka sendiri.

Kita hanyalah mempunyai dua media pengetahuan dimana apa-apa yang kita ketahui hanya bersumber dari indra-indra atau dari akal, akan tetapi, kedua sumber pengetahuan itu senantiasa mengalami kesalahan dan kekeliruan, dengan demikian tak satupun dari kedua sumber tersebut dapat dipercayai. Ketika kita mencapai suatu keyakinan dengan perantaraan indra atau akal, akan tetapi setelah itu kita sadar bahwa kita salah dalam meyakini sesuatu itu, oleh karena itu, menjadi jelaslah bahwa indra-indra dan akal bukan jaminan atas kebenaran dan keyakinan pengetahuan. Dengan dasar inilah, hadirlah suatu kemungkinan bahwa bagaimana kita meyakini pengetahuan-pengetahuan kita yang diperoleh lewat jalur indra dan akal itu tidak mengalami kesalahan dan kekeliruan. Maka dari itu, tidak ada yang dapat dilakukan oleh manusia selain meragukan pengetahuan, keyakinan, dan makrifat yang dicapai oleh manusia.[11]

Jawaban
  1. Makna argumentasi itu adalah bahwa anda kaum sofis dan skeptis ingin menegaskan kebenaran pandangan dan perspektif keraguan mutlak melalui argumen-argumen yang anda lontarkan itu atau dengan perantaraan argumen itu anda mendapatkan suatu ilmu dan minimalnya dengan argumentai itu anda menginginkan pandangan-pandangan anda tentang kemutlakan keraguan itu bisa diterima oleh semua kalangan serta mereka memperoleh keyakinan akan kebenaran paham yang anda bangu itu. Namun, ketahuilah bahwa apa yang anda kehendaki itu mustahil tercapai, karena anda sendiri beranggapan bahwa pencapaian dan perolehan pengetahuan dan keyakinan secara mutlak adalah mustahil dan batil.
  2. Pengertian dari ditemukannya kesalahan pada indra-indra lahiriah dan akal adalah kita mengetahui bahwa persepsi-persepsi kita tidak sesuai dengan realitas dan objek eksternal, oleh karena itu yang ada adalah pengakuan akan keberadaan pengetahuan atas kesalahan dan kekeliruan pada indra-indra lahiriah dan akal.
  3. Kemestian lain dari pengetahuan kita terhadap kesalahan indra-indra lahiriah dan akal adalah bahwa kita mengetahui dan meyakini akan keberadaan realitas hakiki dan objek eksternal itu dimana persepsi-persepsi kita tidak sesuai dengannya, kalau tidak demikian maka kekeliruan yang dilakukan oleh kedua sumber pengetahuan tersebut adalah tidak bermakna sama sekali.
  4. Konsekuensi lain yang hadir dari perkara tersebut di atas adalah bahwa kesalahan pengindraan itu sendiri dan gambaran pikiran yang bertolak belakang dengan realitas eksternal dan objek hakiki haruslah menjadi jelas dan nyata bagi kita.
  5. Pada akhirnya kita harus menerima keberadaan manusia yang keliru dan pengindraan yang salah atau penyimpangan akal.
  6. Argumen-argumen yang dilontarkan oleh kaum sofis dan skeptis itu pada hakikatnya adalah juga argumen-argumen akal, dari hal ini, pada dasarnya mereka menganggap valid persepsi akal, namun mereka sendiri tidak menyadari akan hal ini.
  7. Disamping paparan di atas, di sini juga terasumsi adanya pengetahuan lain yaitu kesalahan pengindraan yang terjadi tidak mungkin bisa dibenarkan pada saat indra itu mengalami kesalahan. Dari argumentasi ini, nampaklah pengakuan terhadap keberadaan beberapa pengetahuan. Dengan pengakuan ini, bagaimana mungkin mereka dapat meragukan apalagi menolak kemungkinan perolehan pengetahuan dan keyakinan secara mutlak.
  8. Mereka juga harus menjawab pertanyaan ini bahwa apakah penegasan akan kesalahan dan kekeliruan indra dan akal itu juga tidak terlepas dari kesalahan ataukah tidak?
Solusi atas kesalahan pemikiran kaum sofis dan skeptis ialah bahwa kebenaran dan kekeliruan persepsi-persepsi indra dan akal itu niscaya ditentukan dan dibuktikan dengan bantuan argumen dan dalil rasional. Namun, tidaklah benar apa yang dikatakan oleh mereka bahwa karena ditemukannya adanya kesalahan pada salah satu argumen dan dalil akal menyebabkan hadirnya kemungkinan bahwa semua argumen dan persepsi akal itu juga adalah kelirunya, karena kemungkinan adanya kesalahan itu hanyalah pada wilayah dan ranah pemikiran-pemikiran teoritis yang bukan aksioma.
Sementara pada aksioma-aksioma yang merupakan landasan bangunan argumentasi dan demontrasi filosofis tidak akan pernah terdapat kemungkinan untuk slah dan keliru.[12]

Poin lain adalah bahwa dalam penyingkapan dan penemuan kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indra-indra lahiriah adalah indra-indra yang ada pada manusia saling mengoreksi satu sama lain, misalnya dengan menggunakan indra perasa dapat diketahui bahwa kayu yang berada dalam air yang dengan indra penglihatan kelihatan bengkok itu adalah benar-benar lurus dan tidak bengkok. Disamping itu, proses kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat adalah adanya saling koreksi yang terjadi di antara individu-individu untuk menjelaskan dan menegaskan kesalahan yang dilakukan.[13]

b. Pengenalan salah satu bagian tak bisa terpisahkan dari pengenalan seluruh bagian
Mereka beranggapan bahwa karena alam eksistensi ini adalah tunggal dan satu realitas yang terpisahkan satu sama lain, dengan demikian, pengenalan dan pengetahuan segala sesuatu bergantung kepada pengenalan satu bagian atau objek. Bagian-bagian alam ini sama seperti mata rantai yang berhubungan satu sama lain yang apabila kita tidak mengetahui salah satu mata rantai itu, maka tak mungkin kita memahami mata-mata rantai lainnya. Karena kita tak mengenal fenomena-fenomana alam dan kuantitas yang tidak kita ketahui masih lebih besar daripada yang kita pahami, maka dari itu manusia tidak mengenal dan mengatahui sesuatu apapun.[14]

Jawaban
  1. Harus dikatakan bahwa pengetahuan itu ada dua jenis, pengetahuan universal dan partikular. Terdapat realitas-realitas yang kita hanya mempunyai pengetahuan universal terhadapnya dan kita sama sekali tidak mengetahui karakteristik-karakteristik dan hubungannya dengan realitas-realitas lain di alam  secara rinci, namun ketiadaan pengetahuan terperinci dan partikular ini bukan bermakna bahwa kita tidak memiliki pengetahuan universal dan global terhadap realitas-realitas tersebut. Jadi argumentasi mereka akan menjadi benar apabila kita ingin mengenal sesuatu dengan pengenalan yang sempurna dan komprehensif. Apabila kita ingin mengetahui dan mengobservasi keadaan maujud tertentu maka tidak perlu mengenal keseluruhan sebab yang berkaitan dengan maujud itu dan hubungan-hubungannya dengan fenomena lainnya.
Misalnya kita ingin mengetahui sebuah bentuk meja yang ada dihadapan kita maka cukuplah dengan menggunakan indra peraba dan penglihatan, dalam hal ini kita tidak diharuskan mengetahui bagaimana proses perolehan kayu meja, siapa yang membuatnya, dan hubungan kayu dengan benda-benda lainnya. Atau mengenal indra mata kita, di sini pengenalan kepadanya sama sekali tidak bergantung dengan pengetahuan terhadap seluruh indra lahiriah dan hubungannya dengan indra-indra lainnya. Pengetahuan kita secara partikular kepada indra mata ini yang merupakan salah satu dari indra-indra lahiriah manusia sama sekali tidak menghalangi kita untuk mengenal secara universal keberadaan indra-indra lain. Begitu pula, pengenalan universal yang tidak bergantung pada syarat tertentu, seperti kita ingin memahami hasil perkalian dari angka dua dengan angka dua, maka pemahaman ini tidak perlu pada suatu syarat bahwa kita harus mengenal seluruh karakteristik dan sifat angka-angka lainnya.[15]

  1. Poin lain adalah dalam argumentasi kaum sofis tersebut secara tidak sadar mereka mengakui suatu jenis pengetahuan dan pengindraan terhadap realitas eksternal dimana apabila kita cermati maka dapat disaksikan bahwa dalam argumentasi tersebut mereka menerima adanya pengetahuan yang bersesuaian secara sempurna dengan realitas hakiki. Dari hal ini sangatlah diherankan bagaimana mereka dapat mengingkari dan menafikan kemungkinan perolehan pengetahuan yang benar, misalnya mereka menerima indra lahiriah dan akal sebagai dua sumber dan alat pengetahuan yang terkadang melakukan kesalahan dan ketika akal mengalami kekeliruan maka kesalahannya ini bercampur dengan ilmu dan pengetahuan yang benar, begitu pula mereka menerima bahwa pengenalan satu bagian tidak terpisahkan dari pengetahuan terhadap seluruh bagian, dan alam eksistensi ini merupakan satu kesatuan yang utuh, dengan demikian, mengenal sesuatu mesti bergantung pada pengenalan segala sesuatu, serta pengenalan yang benar kepada sesuatu berdasarkan pada pengenalan semua faktor yang berpengaruh dalam perwujudannya.

Dan semua hal tersebut di atas dinamakan sebagai “suatu pengenalan yang benar terhadap realitas hakiki dan objek eksternal”, dengan dasar ini, lantas bagaimana mereka dapat menganut suatu paham yang meragukan secara mutlak probabilitas pencapaian pengetahuan dan makrifat yang benar. Beranjak dari dimensi ini, setiap kali mereka berargumentasi atas kebenaran paham dan aliran mereka sendiri maka mereka dengan sangat terpaksa harus berpijak pada hakikat, makrifat, dan pengetahuan yang benar atas paham mereka, namun dengan menerima kenyataan ini mereka justru meruntuhkan paham yang dibangunnya itu dan bahkan secara tidak sadar mereka juga menegaskan akan keberadaan pengetahuan, ilmu, dan makrifat yang benar lewat argumen-argumen yang dikontruksinya sendiri.

c. Perbedaan para pemikir dalam menegaskan suatu kebenaran
Salah satu dalil penting kaum sofis adalah bahwa di antara para pemikir, ilmuan, dan filosof dunia tidak akan pernah disaksikan ada kesamaan secara utuh dalam pemikiran-pemikiran mereka. Kaum sofis dan skeptis yang karena memandang bahwa perolehan pengenalan dan pengetahuan benar adalah tidak mungkin maka salah satu buktinya hadirnya berbagai perbedaan dan kontradiksi di antara para pemikir tersebut, dan apa-apa yang menurut seseorang ialah suatu kenyataan dan hakikat, sangat mungkin bagi orang lain merupakan suatu hayalan kosong atau sebaliknya.

Di samping itu mereka menambahkan bahwa konsepsi-konsepsi kita atas dunia luar mengikuti pengaruh-pengaruh indra kita, seperti seseorang yang terjangkit suatu penyakit yang tidak bisa membedakan antara warna hijau dan warna merah atau seseorang yang sama sekali tak dapat mempersepsi warna-warna. Dengan demikian, manusia yang dalam keadaan dan syarat yang berbeda adalah sangat mungkin mempunyai akidah dan pemikiran yang beragam, walhasil segala realitas ini merupakan bukti atas ketidakmungkinan pengetahuan.[16]

Jawaban
Kesalahan terbesar mereka ialah bahwa mencampuradukkan antara batasan pengetahuan manusia dengan dasar-dasar makrifat. Argumentasi dan dalil mereka sama sekali tidak menafikan masalah kemungkinan pengetahuan dan bahkan mereka sendiri menegaskan keterbatasan makrifat manusia serta menyatakan bahwa terkadang pengetahuan manusia bercampurnya dengan kesalahan. Mereka ini tidak ingin mengingkari keberadaan batu meteor misalnya, tetapi menyatakan bahwa yang hanya ada adalah satu titik terang dimana karena pengaruh kesalahan penglihatan nampaklah sebagai satu garis panjang api. Begitu pula dalam keberadaan air dan derajat tertentu dari panas, menurut mereka, kita tidak keliru, melainkan kesalahan itu dalam menentukan kuantitas panas itu.

Sebenarnya, kita pun tidak beranggapan bahwa semua hakikat alam diketahui atau apa-apa yang kita persepsi itu tidak lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Tujuan dari penegasan kemungkinan pengetahuan dan makrifat tidaklah dimaksudkan bahwa kita pasti mengetahui semua hakikat, realitas, dan objek-obek eksternal itu secara benar. Dan di sinilah letak kesalahpahaman mereka tentang probabilitas makrifat.

Titik tekan pembahasan bukanlah pada penafian perbedaan pemikiran dan pandangan di antara para pemikir, melainkan bahwa apakah terdapat perkara-perkara di alam eksternal yang semua orang menerimanya dan tak seorang pun mempunyai perbedaan di dalamnya ataukah tidak? Yang jelas dan pasti, begitu banyak orang menerima pengetahuan-pengetahuan akisoma atau persoalan yang sudah lazim dimana tidak ada lagi keraguan dalam kebenarannya, dalam hal ini, manusia tidak boleh memandang secara negatif bahwa seluruh pemikiran dan pengetahuannya sendiri adalah tidak valid dan tidak benar.

Yang menarik di sini adalah beberapa argumentasi yang dilontarkan oleh para peragu atas ketiadaan kemungkinan pengetahuan justru dapat digunakan untuk menghantam balik perspektif mereka sendiri, yakni ketika mereka mengemukakan kesalahan indra-indra lahiriah itu, maka mereka tak sadar telah menegaskan keberadaan sumber pengetahuan lain yaitu akal, karena bagaimana mereka dapat mengetahui bahwa indra-indra lahiriah itu telah melakukan suatu kesalahan pencerapan, yang pasti bahwa sebelumnya kebenaran realitas-realitas itu telah disingkap namun tidak dengan menggunakan indra-indra lahiriah, melainkan dengan daya akal, dan dari akal inilah lantas diketahui kekeliruan yang dihasilkan oleh indra-indra itu.

Misalnya bagaimana kita memahami bahwa batu meteor yang nampak sebagai sebuah garis panjang api itu adalah salah, karena sebelumnya kita telah mengetahui hakikat keberadaan batu meteor itu dengan sumber dan alat pengetahuan lainnya. Dengan demikian, dibalik sebuah kesalahan itu terdapat beberapa pengetahuan dan makrifat yang benar yang kita miliki dan bahkan dengan perantaraan pengetahuan itulah kita kemudian meluruskan suatu kesalahan dan kekeliruan yang kita alami sendiri. Dengan dasar inilah kita bisa menyimpulkan bahwa dalam setiap hukum atas suatu kesalahan merupakan dalil dan bukti keberadaan pengenalan dan pengetahuan yang benar terhadap banyak realitas.

Begitu pula dalam contoh-contoh yang lain dikatakan bahwa pemikiran dan pandangan kita terhadap dunia luar dipengaruhi oleh indra-indra kita. Di sini nampak dengan jelas adanya pengakuan atas suatu pengetahuan dan makrifat yang benar yang dimiliki oleh manusia yang tidak dipengaruhi oleh indra-indra lahiriah itu. Maka dari itu, pada hakikatnya mereka justru menegaskan kemungkinan pengetahuan dan makrifat yang benar tanpa mereka sadari.

d. Dalil kaum sofis atas ketidakvalidan argumen akal
Kaum sofis dan skeptis menyatakan bahwa satu-satunya proposisi yang diterima adalah yang kebenarannya telah terbukti dengan burhan dan argumen, namun argumen seperti ini ialah batil dan mustahil serta argumen tersebut pada hakikatnya bukanlah bentuk hakiki dari suatu argumen dan burhan, karena pendahuluan-pendahuluan dari argumen itu akan membutuhkan argumen lain dan mukadimah argumen lain ini pun niscaya memerlukan argumen lain sedemikian sehingga akan membentuk silsilah-silsilah yang tak terbatas (kaidah tasalsul). Namun, apabila pendahuluan argumen itu tak butuh pada argumen yang lain, maka dalam hal ini kita tidak mempunyai suatu argumen apa pun. Kalau dikatakan bahwa terkadang satu argumen berpijak pada suatu mukadimah yang tidak lagi memerlukan suatu argumen lain, maka pernyataan ini hanyalah suatu asumsi yang mesti dibuktikan kebenarannya.[17]

Jawaban
Kaum ini ketika berargumentasi secara tidak sadar menerima keberadaan argumen-argumen rasional dimana dalil-dalil mereka itu berpijak padanya. Kaum sofis dan skeptis ini layaknya sebagai orang-orang yang memiliki keyakinan atas pemikiran-pemikirannya dan dengan menggunakan dalil-dalil akal dan indra berusaha untuk meruntuhkan kelemahan-kelemahan persepsi manusia dan dengan perantaraan akal mereka melarang manusia untuk bersandar pada akal serta dengan membangun argumen-argumen mereka berusaha untuk melemahkan segala bentuk argumentasi akal, sementara itu kaum ini sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi padanya.

Dasar-dasar argumentasi mereka berpijak pada kemustahilan tasalsul dan kaidah yang menyatakan bahwa “sesuatu yang tidak diketahui mustahil menjadi landasan bagi penyelesaian sesuatu lain yang tidak diketahui” serta juga bersandar pada hal-hal yang fitrah yakni tak menerima pandangan yang belum terbukti kebenarannya. Kita saksikan bahwa mereka yang mengkonstruksi suatu argumen dengan dasar-dasar akal dan fitrah itu bagaimana bisa beranggapan bahwa pengetahuan dan makrifat akal dan fitrah sangat tidak layak untuk dipercayai dan dijadikan landasan keyakinan yang benar.
Kritik atas argumentasi-argumentasi mereka adalah bahwa mereka tidak mengetahui batasan antara hal-hal yang “aksioma” dan “fitrawi”. Kita memiliki perkara-perkara yang tidak seorangpun meragukannya (kecuali kaum sofis dan skeptis yang walaupun secara lahiriah diingkarinya, namum secara batiniah meyakininya) dan tak memerlukan usaha berpikir untuk menerima kebenarannya seperti dua ditambah dengan dua adalah empat atau dalam waktu dan tempat yang sama ialah mustahil terjadi siang dan juga malam.

Dalam perkara-perkara yang aksioma dan badihi ini tidak terdapat kesalahan dan kekeliruan serta sangat diyakini kebenarannya oleh manusia sedemikian sehingga kalau pun didukung oleh beberapa argumentasi yang kokoh maka tidak akan menambah sedikit pun keyakinan manusia akan kebenarannya. Berhadapan dengan ilmu dan pengetahuan aksioma ini, terdapat pengetahuan-pengetahuan teoritis yang memiliki kemungkinan untuk salah dan keliru. Dalam hal ini memang benar apa yang dikatakan mereka bahwa hanyalah proposisi-proposisi teoritis yang akan dipercayai setelah terbukti dengan argumen-argumen, akan tetapi, tidaklah mesti pendahuluan argumen itu juga ditegaskan oleh argumen-argumen lain, bahkan cukuplah mukadimah argumen itu terbentuk dari perkara-perkara yang badihi dan aksioma dimana tidak seorang pun menafikannya. Walhasil, masalah-masalah teoritis dan pemikiran haruslah dianalisa dan diuji kebenarannya dengan argumen-argumen lain sedemikian sehingga berakhir pada suatu pendahuluan dan mukadimah argumen yang hanya memuat perkara-perkara aksioma, dengan demikian, silsilah argumen-argumen niscaya akan berujung dan tidak terjebak ke dalam kemustahilan tasalsul.[18]


Referensi:
[1] . Tarikh Falsafeh Copleston, penerjemah: Doktor Mujtabawi, jilid pertama.
[2] . Rujuk, Allamah Muhammad Husain Thabathabai, Ushul-e Falsafe wa Realism, jilid pertama, hal 115.
[3] . Bu Ali Sina, Ilahiyyat Syifa, bab kedelapan, pasal pertama, hal.41. Dan Mulla Sadra, Al-Asfar, jilid pertama, hal. 90, serta jilid ketiga, hal. 445.
[4] . Ibnu Sina, Ilahiyyat Syifa, bab ketujuh, pasal, pertama, hal. 311. Dan Mulla Sadra, Al-Asfar, jilid pertama, hal. 90.
[5] . Ibnu Jazm, al-Fashl, jilid ketiga, hal. 14.
[6] . Falsafe-ye Umumi, Ma ba’daththabi’at, penerjemah; Dr. Yahya Mahdy, hal. 54,
[7] . Ibnu Sina, Ilahiyyat Syifa, bab ketujuh, pasal pertama, hal. 311.
[8] . Burhan asy-Syifa, hal 111; Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, hal. 210; Ta’liqat Ibn Sina, hal. 67-88; Al-Munqidz min al-Dhalal, hal. 12-13. Mi’yarul “Ilm, hal. 208-215; Al-Mubahats al-Misyriqiyyah, jilid pertama, hal. 350-352; Muhashshalul Afkar, hal. 93-102; Talkhisul Muhashshal, hal. 45-46; Tafsir Mulla Sadra, jilid kedua, hal. 71-76; Asfar, jilid ketiga, hal. 468-499; Nihayah al-Hikmah, hal. 252-255; Al-Mizan, jilid kelima, hal. 254-271; Ushule Falsafe wa Realism, hal. 13-14; Omuzesy Falsafe, jilid pertama, hal 145.
[9] . Copleston, jilid pertama, hal. 65, 99, 100, 106, 112, 472 dan 475. Paul Edward, Dairatul Ma’arif, jilid ketiga, hal. 9, 14, 74 dan 79. Yusuf Keram, Tarikh al-Falsafah al-Yunani, hal. 21, 235-237. Yahya Mahdawi, Syakkokon, hal. 131, 136, 146 dan 167. Nilson, Naqd-e Tafakkur-e Falsafi Garb, hal. 120, 126. Descartes, Ta’ammulat, penerjemah: Ahmadi, hal. 4, 5, 35, 46, 47. Muhammad Ali Furugy, Sair-e Hikmah, hal. 167, 172, 187 dan 230. Russel, Tarikh Falsafe, jilid kedua, hal. 777, 778. Berkeley, Resoleh dar Ulume Insani, penerjemah: Yahya Mahdawi, hal. 16, 17, 24, 29. Hume, Tahqiq dar Fahm-e Insani, hal. 128, 132, 135, 169, 174.
[10] . Majmue-ye Mushannafat, Syaikh Isyraq, jilid pertama, hal. 211, 212. Nihayah al-Hikmah, Muhammad Husain Thabathabai, hal. 253, 254. Powaraqi Ushul-e Falsafe, jilid pertam, hal. 34, 35, 99, 130-132. Omuzesy Falsafe, Taqi Misbah Yazdi, jilid pertam, hal. 145-147.
[11]. Ma ba’da at-Thabi’ah, penerjemah: Dr. Yahya Mahdawi, hal. 57.
[12] . Rujuk: Taqi Misbah Yazdi, Omuzesy-e Falsafeh, jilid pertama, hal. 146.
[13] . Mulla Sadra, Al-Asfar, jilid ketiga, hal. 443.
[14] . Ma ba’da at-Thabi’ah, penerjemah: Dr. Yahya Mahdawi, hal. 57.
[15] . Ja’far Subhani, Syenokht-e dar Falsafe Islami, jilid pertama, hal. 57.
[16] . Ma ba’dattabi’ah, penerjemah: Dr. Yahya Mahdawi, hal. 60.
[17].  Ma ba’dattabi’ah, penerjemah: Dr. Yahya Mahdawi, hal. 62-63.
[18] . Ja’far Subhani, Nazariyah al-Ma’rifah, hal. 65 dan Syenokh dar Falsafe-ye Islam, hal. 54.

(teosophy/ABNS)

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top