Oleh: Mohammad Adlany
1. Perbedaan Cahaya-Cahaya Substansial
Syaikh Isyraq beranggapan bahwa perbedaan cahaya-cahaya
murni (baca: akal-akal) bersifat gradasional (bertingkat-tingkat). Dia
menjelaskan, semua cahaya murni dari sisi zat dan hakikatnya adalah satu
dan perbedaannya hanya pada aspek kesempurnaan, kekurangan,
aksiden-aksiden, dan hal-hal yang ada di luar zat. Karena kalau
perbedaan cahaya-cahaya itu terletak pada zat, maka setiap zat dari
cahaya-cahaya itu harus tersusun dari genus dan diferensia; yakni setiap
zat cahaya-cahaya itu memiliki dua bagian yaitu aksiden-aksiden gelap
dan substansi gelap (benda), namun kedua bagian ini bukanlah cahaya.
Dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin penyatuan dua
bagian itu bisa mewujudkan cahaya? Jika diasumsikan salah satu dari dua
bagian adalah cahaya dan bagian lain adalah bukan cahaya, maka yang
bukan cahaya mustahil memiliki efek dalam perwujudan cahaya, karena yang
bukan cahaya pada hakikatnya bukan merupakan sumber cahaya. Dan bagian
yang lain tidak lain adalah cahaya. Maka, gabungan dari dua bagian ini
tidaklah bermanfaat.
Pada cahaya-cahaya murni tidak ada perbedaan dalam hakikat
zatnya, karena jika tidak demikian maka setiap cahaya semestinya
mempunyai dua bagian, yaitu cahaya dan bukan cahaya. Yang bukan cahaya
sebagai aksiden yang “menempel” pada cahaya atau sebaliknya, atau kedua
bagian itu merupakan substansi yang mandiri (tidak bergantung satu sama
lain).
Pada asumsi pertama, tidak akan melahirkan cahaya, karena
suatu aksiden hanya akan ada setelah keberadaan sesuatu yang mandiri
dimana aksiden menempel padanya, dan karena aksiden berada di luar zat
maka mustahil sebagai penyebab perbedaan zat.
Pada asumsi kedua, cahaya ini adalah bukan cahaya murni,
melainkan cahaya tak murni yang “menempel” pada substansi gelap. Asumsi
ini adalah batal karena yang diasumsikan pada bagian itu adalah cahaya
murni, dan mustahil dia sebagai cahaya murni dan pada saat yang sama
juga sebagai cahaya tak murni.
Sementara pada asumsi ketiga, tak satupun dari
bagian-bagian itu saling berpengaruh satu sama lain. Dan karena keduanya
diasumsikan sebagai substansi maka pasti tidak memiliki “wadah” yang
sama. Dan Karena bagian-bagain itu bukan benda yang bersambung satu sama
lain, dengan dasar inilah tak satupun memiliki kebergantungan satu sama
lain dan tidak bisa menjadi lahan bagi keberadaan sesuatu yang lain.
Oleh karena itu, cahaya-cahaya murni tidak memiliki perbedaan dalam zat dan hakikat.
Lebih lanjut Suhrawardi menuturkan, kita mengetahui bahwa
hakikat kita adalah cahaya murni, dan karenanya kita memiliki
pengetahuan atas diri sendiri, dan karena cahaya-cahaya murni tak
memiliki perbedaan dari dimensi zat dan hakikat, dengan demikian semua
cahaya murni semestinya memiliki pengetahuan atas diri sendiri, karena
setiap hukum yang berlaku pada satu individu pasti juga berlaku pada
individu-individu lain yang memiliki kesamaan hakikat. Hal ini juga
merupakan dalil atas realitas itu.[1]
2. Pengada Semua Benda adalah Sesuatu yang Berilmu
Suhrawardi pada persoalan ini menjelaskan sifat keberilmuan
sebab pengada bagi benda-benda. Dia menyatakan bahwa karena yang
memberikan cahaya dan mengadakan semua benda adalah cahaya murni, maka
dari itu pemberi cahaya dan wujud merupakan suatu maujud yang hidup dan
memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, karena ia adalah cahaya
mandiri dan tidak bergantung.[2]
3. Pembuktian Cahaya Segala Cahaya (Nurul Anwar)
Syaikh Isyraq membuktikan bahwa apabila cahaya murni itu
bergantung pada realitas yang lain maka kebutuhannya bukan pada
substasni gelap atau benda tak hidup, karena benda tak hidup tidak bisa
menjadi sebab bagi keberadaan sesuatu (cahaya murni) yang lebih sempurna
dan lebih tinggi dari semua aspek. Dan juga aksiden kegelapan bukan
sumber eksistensi cahaya murni. Maka dari itu, kebutuhan dan
kebergantungan cahaya murni niscaya pada cahaya murni yang lain. Karena tasalsul
atau mata rantai yang tak terbatas pada keberadaan maujud-maujud adalah
mustahil terjadi, dengan demikian mata rantai keberadaan cahaya-cahaya
murni ini harus berakhir. Semua benda, aksiden kegelapan, cahaya tak
murni, dan cahaya murni harus bergantung pada satu cahaya yang tidak ada
lagi cahaya setelahnya, cahaya ini disebut Cahaya di atas Cahaya atau
Cahaya Segala Cahaya (Nurul Anwar) yang Maha Meliputi, Pemberi Wujud, Maha Suci, Maha Agung, Maha Menguasai, dan Maha Kaya.[3]
4. Ketunggalan Nurul Anwar
Syaikh Isyraq dengan berpijak pada cahaya dan kegelapan,
kemestian kesamaan dan perbedaan sesuatu, dan kebutuhan pada faktor
pengada dan pencipta, menetapkan ketunggalan Nurul Anwar. Dia
menjabarkan bahwa keberadaan dua cahaya murni yang tak bergantung adalah
mustahil, karena kedua cahaya ini dari sisi zat dan hakikat tidak
terdapat perbedaan (sebagaimana penjelasan di atas).
Kesamaan hakikat mustahil menjadi penyebab perbedaan
individu-individu (baca: cahaya-cahaya) yang ada. Begitu pula kemestian
esensial dari kesamaan zat dan hakikat tidak akan dapat mewujudkan
perbedaan, dikarenakan kedua cahaya itu memiliki kesamaan pada zat dan
hakikat, maka kemestian esensial kedua zat juga adalah sama.
Perbedaan ini juga mustahil terwujud dengan aksiden-aksiden
yang melekat pada zat, tak peduli apakah aksiden-aksiden itu
cahaya-cahaya tak murni atau benda-benda, sementara tidak ada lagi
maujud-maujud yang lebih tinggi dari cahaya murni yang bisa menghadirkan
aksiden-aksiden tersebut. Adalah mustahil kalau kita asumsikan bahwa
kedua cahaya murni itu mengadakan dirinya sendirinya atau satu sama lain
saling mewujudkan, karena kemestian hal ini ialah kedua cahaya murni
itu tanpa adanya faktor pengada telah mengada dan memiliki perbedaan,
hal ini mustahil.
Oleh karena itu, cahaya murni yang tak bergantung ini pasti tunggal dan tak berangkap. Cahaya murni ini tidak lain adalah Nurul Anwar
yang seluruh cahaya bergantung dan butuh padanya serta dengan
kepenciptaannya terwujudlah segala maujud. Begitu pula, tidak ada yang
serupa dan identik dengan Dia dan Dia berpengaruh dan berkuasa atas
segala hal, tidak satupun maujud yang berkuasa dan berpengaruh atas-Nya,
dan tidak ada yang dapat menandingi-Nya, karena semua kodrat,
kekuasaan, dan kesempurnaan berasal dari-Nya. Akibat (ma’lul) tak pernah seimbang dengan sebab.[4]
5. Kemustahilan Ketiadaan Nurul Anwar
Suhrawardi menegaskan bahwa Nurul Anwar mustahil
tiada, karena kalau ketiadaan-Nya bersifat mungkin, maka keberadaan-Nya
pun bersifat mungkin. Jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya Dia
memerlukan Pengada yang akan mewujudkan-Nya. Walhasil Dia adalah maujud
yang secara esensial bergantung dan membutuhkan maujud lain yang secara
mutlak dan esensial tak bergantung yang disebut dengan Nurul Anwar. Bagaimanapun rangkaian sebab dan akibat (kausalitas) harus berakhir pada Sebab Hakiki dan Pertama.
Suatu maujud tak akan pernah mengharuskan secara esensial
ketiadaan dirinya sendiri, kalau demikian halnya, maka dari awal ia
tidak akan pernah ada. Nurul Anwar ialah tak berangkap (basith)
dan keberadaan zat-Nya tidak berhubungan dengan syarat-syarat, segala
sesuatu bergantung selain diri-Nya dan segala sesuatu butuh pada-Nya.
Maka dari itu, karena Dia tak bersyarat dan tak memiliki lawan yang bisa
memusnahkan-Nya, Dia terus ada dan abadi.[5]
6. Kemanunggalan Sifat Nurul Anwar dengan Zat-Nya
Pada bagian ini pembahasan berkenaan dengan kesatuan sifat Nurul Anwar dengan zat-Nya. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa tidak satupun sifat yang bercahaya atau gelap menempel pada zat Nurul Anwar.
Dan juga tidak satupun sifat dari sifat-sifat-Nya yang hubungannya
dengan zat-Nya bersifat mungkin, bahkan hubungan semua sifat-Nya dengan
zat-Nya bersifat mesti dan niscaya. Berikut ini akan diutarakan beberapa
dalil dan argumentasi:
- Apabila Nurul Anwar memiliki aksiden-aksiden gelap maka mesti terdapat pada zat-Nya sisi kegelapan yang dihadirkan oleh aksiden-aksiden tersebut. Dalam kondisi ini, Nurul Anwar terangkap dari dua dimensi kegelapan dan cahaya, dan akhirnya Dia bukan cahaya murni lagi. Sementara dipahami bahwa Dia ialah cahaya murni. Jika diasumsikan Nurul Anwar memiliki suatu sifat cahaya yang tidak menyatu dengan zat-Nya, maka wadah sifat itu harus memiliki cahaya yang lebih terang yang kemudian menerangi zat Nurul Anwar. Karena tidak ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih terang dari Nurul Anwar yang ia itu sebagai faktor yang mewujudkan sifat cahaya lain, kesimpulannya sifat cahaya lain lebih terang dari Nurul Anwar yang sebagai akibat-Nya sendiri dan hal ini ialah mustahil;
- Senantiasa pemberi cahaya lebih terang dari penerima cahaya, karena ia merupakan sumber cahaya ini. Oleh karena itu, apabila Nurul Anwar sendiri mewujudkan suatu sifat lain pada zat-Nya, maka zat dengan sifat lain itu lebih terang dan bercahaya dari zat Nurul Anwar itu sendiri, dan hal ini adalah juga mustahil terjadi;
- Apabila Nurul Anwar menciptakan suatu sifat lain dalam zat-Nya sendiri, maka zat-Nya yang sebagai pelaku adalah juga penerima atau Dia sebagai pemberi dan juga sebagai penerima. Dari satu sisi, pemberi dan pelaku berbeda dengan penerima, karena dalam hal itu semestinya setiap pemberi ialah juga penerima sesuatu dan setiap penerima juga adalah pemberi, sementara tidaklah demikian. Dengan demikian, Nurul Anwar harus memiliki dua dimensi yang satu dimensi memberikan dan dimensi lain menerima. Karena mata rantai yang tak berhingga itu adalah mustahil terjadi, pada akhirnya akan berujung kepada zat Nurul Anwar dan kesimpulannya, zat Dia menjadi terangkap dari dua dimensi yaitu dimensi yang memberi dan yang menerima;
- Dua dimensi tersebut adalah bukan cahaya tak bergantung, pada pembahasan yang lalu telah ditetapkan tentang kemustahilan keberadaan dua cahaya yang sama-sama tak bergantung. Dan juga dari dua dimensi itu tidak bisa diasumsikan bahwa satu dimensi tak bergantung dan dimensi lain bergantung, karena kalau cahaya bergantung bersandar pada cahaya tak bergantung akan lahir masalah sebagaimana pada poin (c). Apabila cahaya bergantung tidak bersandar pada cahaya tak bergantung, maka tidak terdapat dua dimensi, sementara diasumsikan zat-Nya memiliki dua dimensi dan hal ini adalah batal karena terjadi kontradiksi. Begitu pula dari dua dimensi tersebut tidak dapat diasumsikan bahwa satu dimensi sebagai cahaya dan dimensi lain adalah aksiden gelap, karena akan terdapat dimensi gelap pada zat Nurul Anwar. Juga mustahil diasumsikan satu dimensi ialah benda dan dimensi lain ialah cahaya murni, karena dengan kondisi ini, tak akan terjadi kebergantungan satu sama lain dan tak akan berhubungan dengan zat Nurul Anwar.
Dengan penjelasan di atas menjadi jelaslah bahwa Nurul Anwar
tak memiliki sifat yang terpisah dari zat-Nya yang kemudian menempel
padanya dan lebih terang dari zat-Nya sendiri. Karena kembalinya ilmu
segala sesuatu kepada zatnya, dengan makna bahwa zatnya bagi dirinya
sendiri adalah jelas dan terang. Dan hal ini tidak lain ialah cahaya
murni yang kehadirannya tak bergantung kepada yang lain. Dengan
demikian, kehidupan dan pengetahuan Nurul Anwar yang merupakan cahaya murni adalah menyatu dengan zat-Nya sendiri, dan bukan terpisah dari zat-Nya.[6]
Referensi:
[1] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 293.
[2] . Ibid.
[3] . Ibid, hal. 294.
[4]. Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 295.
[5] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 296.
[6] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 299.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar