Pada suatu hari Dhirar bin Dhab, salah seorang ulama Ahlu Sunah, berkata kepada Yahya bin Khalid, wazir Harun Ar Rasyid: “Aku siap untuk berdebat. Siapapun yang berani mengajakku, silahkan.”
Yahya: “Apa kamu siap berdebat tentang ‘Rukun Syiah’?”
Dhirar: “Aku siap, dengan siapapun saja.”
Akhirnya Yahya pun menawarkannya untuk berdebat dengan Hisyam bin Hakam, seorang murid Imam Shadiq. Demikian perdebatan itu:
Hisyam: “Tentang imamah (ke-imam-an), apakah kelayakan seseorang untuk menjadi imam dan pemimpin ada di batin (yang tidak nampak) atau di lahir (yang nampak)?”
Dhirar: “Kita memahami dari lahir. Karena kita tidak bisa mengetahui batin seseorang kecuali nabi yang mendapatkan pengetahuan dari wahyu.”
Hisyam: “Benar yang kau katakan. Coba katakan padaku, jika dilihat dari segi lahiriah, antara Ali dan Abu Bakar, siapa yang sering membela nabi dengan pedang dan nyawanya? Menembus barisan musuh membasmi orang-orang yang memusuhi nabi? Siapa yang paling berperan dalam kemenangan-kemenangan umat Islam dalam peperangan mereka?”
Dhirar: “Ya, memang dari segi perang berperang, Ali memang unggul. Namun Abu Bakar punya kriteria maknawiah yang tidak dipunyai Ali, dan Abu Bakar lebih tinggi darinya.”
Hisyam: “Bukannya kriteria maknawi itu adalah perkara batin? Bukannya kau katakan tadi kamu tidak bisa menilai seseorang dari batinnya? Kamu dapat berkata begitu kalau nabi memang pernah menyatakan keunggulan Abu Bakar atas dasar wahyu yang beliau terima. Namun nyatanya nabi lebih sering mengungkap keutamaan-keutamaan Ali bin Abi Thalib. Misalnya beliau berkata, “Waha Ali, engkau di sisiku bagai Harun di sisi Musa.” Apakah nabi pernah mengatakan perkataan seperti itu tenang Abu Bakar? Lalu jawab juga pertanyaanku ini, apakah ketika nabi berkata seperti itu, perkataannya tidak sesuai dengan apa yang ada di batin Ali? Apakah perkataan nabi salah dan wahyu itu salah?”
Hisyam pun tidak menjawab pertanyaannya. Lalu Hisyam berkata, “Bukankah dari segi lahir dan batin Ali bin Abi Thalib lebih layak untuk menjadi khalifah dari pada Abu Bakar?”[1]
Referensi:
[1] Fushulul Mukhtarah, Sayid Murtadha, jilid 1, halaman 9; Qamus Ar Rijal, jilid 9, halaman 342.
Jika Imam Ali as memang telah ditunjuk oleh Rasulullah saw untuk menjadi khalifah, lalu mengapa beliau bersedia membai’at Abu Bakar? Kalau beliau membai’at Abu Bakar, berarti beliau memang tidak ditentukan nabi sebagai khalifah, atau paling tidak berarti beliau telah menyerahkan haknya kepada orang lain.
Pertanyaan ini memiliki dua sisi:
1. Telah ditentukannya kekhalifahan Imam Ali as oleh nabi.
2. Imam Ali as membai’at Abu Bakar.
Tentang telah ditentukannya kekhalifahan Imam Ali as oleh nabi, dalil-dalilnya sangat banyak dan jelas sekali.
Dalil-dalil tersebut tentunya sangat lebih dari cukup bagi orang yang berniat mencari kebenaran tanpa fanatisme. Dalil-dalil tersebut diantaranya adalah:
1. Hadits Yaumul Indzar: Rasulullah saw sejak hari pertama beliau mengumumkan kenabiannya kepada keluarga besarnya telah menjelaskan kekhalifahan Imam Ali as. Di hari yang dikenal dengan Yaumul Indzar atau Yaumud Daar, dalam ucapan-ucapannya kepada Bani Hasyim beliau berkata: “Aku diutus oleh Allah swt untuk mengajakmu kepada kebaikan dunia dan akherat. Siapakah di antara kalian yang bersedia untuk membantuku dalam hal ini?”
Beliau menanyakan hal yang sama sebanyak tiga kali namun tak ada yang menjawab beliau selain Ali bin Abi Thalib as. Dua kali Rasulullah saw memintanya untuk diam, namun kali ketiga beliau menerimanya. Lalu beliau bersabda: “Ia adalah saudaraku, pewarisku, dan khalifah setelahku di antara kalian. Maka dengarkanlah perkataannya dan taati ia.”[1]
2. Hadits Manzilah: Selain itu sering sekali beliau menjelaskan kepada semua orang tentang kedudukan Imam Ali as baginya. Ungkapan-ungkapan yang beliau gunakan dalam ucapannya menunjukkan bahwa Imam Ali as adalah pengganti sepeninggal beliau. Saat Imam Ali as kesal mendengar ucapan-ucapan orang munafik, beliau mengadukannya kepada Rasulullah saw. Kemudian nabi berkata kepadanya: “Wahai Ali, tidakkah engkau ridha di sisiku berkedudukan bagai Harun as di sisi Musa as? Hanya saja tidak ada nabi setelahku.”[2] Di riwayat lain disebutkan: “Bagiku engkau seperti Harun as di sisi Musa as, hanya saja tak ada nabi setelahku.”[3]
Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa kedudukan Imam Ali as di sisi nabi bagaikan kedudukan Harun as di sisi Musa as. Jelas jika seandainya dulu nabi Harun as masih hidup, ia pasti menjadi pengganti nabi Musa as.
3. Hadits Tsaqalain: Beberapa kali Rasulullah saw mengucapkan hadits ini. Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku meninggalkan dua hal berharga bagi kalian yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya kalian tidak akan pernah tersesat selamanya, dan salah satunya lebih agung dari lainnya: Kitab Allah swt, tali yang menjulur dari langit ke bumi, dan yang kedua Ahlul Baitku; keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya masuk ke dalam telaga surga. Maka lihatlah bagaimana diri kalian kelak akan bersikap.”[4] Dalam hadits tersebut beliau menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah pegangan utama umat Islam dan Ahlul-Bait adalah penafsir Al-Qur’an yang harus dijadikan rujukan. Karena Imam Ali as adalah Ahlul-Bait nabi, hendaknya umat Islam menjadikannya rujukan sepeninggal nabi.
4. Hadits Ghadir: Begitu juga saat Rasulullah saw berada di Ghadir Khum, setelah beliau meminta kesaksian dari seluruh umat Islam bahwa dirinya lebih dahulu daripada harta dan jiwa mereka, beliau bersabda: “Barang siapa menjadikanku tuannya, maka hendaknya menjadikan Ali sebagai tuannya pula. Ya Tuhan, tolonglah orang yang menolongnya, dan hinakanlah orang yang menghinanya.”[5]
Ahlu Sunah Meragukan Hadits Ghadir
Meskipun Ahlu Sunah dikenal meragukan hadits Ghadir sebagai bukti kekhalifahan Imam Ali as, namun dengan melihat indikasi-indikasi sebelum dan sesudah beliau mengucapkan hadits itu, kenyataannya akan jelas bahwa yang dimaksud “tuan” dalam hadits tersebut berarti “pemimpin”. Sebelum mengucapkan hadits itu Rasulullah saw meminta kesaksian umatnya: “Bukankah aku paling berhak atas kalian? Atas jiwa dan harta kalian?” Setelah semua orang mengiyakan, beliau menyatakan bahwa demikian juga Ali bin Abi Thalib memilki wewenang yang sama sepertinya. Lalu setelah itu nabi berdoa agar melaknat orang yang memusuhi Ali bin Abi Thalib as dan menolong orang yang menolongnya. Nabi juga menjelaskan bahwa mencintai Ali as berarti mencintai Allah swt dan nabi-Nya, memusuhi Ali as juga berarti memusuhi Allah swt dan nabi-Nya. Hal-hal sedemikian rupa membuktikan bahwa maksud Rasulullah dalam hadits Ghadir adalah menyatakan kepada semua orang bahwa Imam Ali as adalah pengganti sepeninggal beliau.
Alasan Imam Ali as membai’at Abu Bakar
Adapun Imam Ali as membai’at Abu Bakar, jika itu memang benar, hal itu tidak bertentangan dengan telah ditentukannya kekhalifahan Imam as oleh nabi. Karena tugas beliau adalah memimpin umat; entah beliau diangkat oleh umatnya ataupun tidak, beliau tetap dapat menjalankan tugasnya semaksimal mungkin yang beliau bisa. Imam Ali as membai’at Abu Bakar karena tidak ingin menimbulkan kericuhan di dalam umat Islam. Karena jika tidak maka kekacauan dan perpecahan tersebut akan digunakan oleh musuh-musuh Islam dari Luar, seperti Roma dan Persia saat itu, untuk menyerang dan menghancurkan Islam. Dengan kebijakan tersebut Imam Ali as dapat menghindari keributan di dalam demi memfokuskan fikiran umat Islam bersama untuk menghadapi bahaya musuh-musuh di luar.
Dalam segala keadaan Imam Ali as rela mengorbankan apapun demi Islam. Bagaikan seorang ibu sejati yang rela mengorbankan nyawanya pun demi anaknya.[6] Imam Ali as sendiri berkata: “Demi Allah, aku sama sekali tidak berfikir bahwa Arab akan merampas kekhalifahan dari tangan Ahlul Bait dan menjauhkannya dariku. Aku melihat mereka berbondong-bondong membai’at seseorang. Aku pun enggan untuk membai’atnya. Namun aku melihat ada sekelompok orang yang hendak menghancurkan agama Muhammad saw. Maka aku takut jika aku tidak berbuat apa-apa untuk Islam dan Muslimin maka akan timbul perpecahan di dada Islam, yang mana musibah itu bagiku lebih besar daripada kehilangan kedudukan yang menurut kalian sangat diidamkan.”[7]
Untuk mengkaji lebih jauh:
1. Allamah Sayid Muhammad Husain Husaini Thabthabai, Emam Shenashi, penerbit Hekmat, 1421, jil. 4-7.
2. Sayid Syarafuddin Al-Musawi, Rahbari e Emam Ali as Dar Qor’an va Sonnat, terjemahan Muhammad Ja’far Emami, Moawenat e Farhanggi Sazman e Tablighat, 1370.
Hadits akhir:
Rasulullah saw bersabda: “Wahai Bani Hasyim! Sesungguhnya saudaraku, pewarisku, dan penggantiku di antara keluargaku adalah Ali bin Abi Thalib as. Ia yang akan menunaikan hutang-hutangku dan menjalankan tugas-tugasku.”[8]
Referensi:
[1] Muhammad bin Jarir Thabari, Tarikh Thabari, jil. 2, hal. 321, Tahkik: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim; Abdul Rahman bin Muhammad bin Khuldun,Tarikh Ibnu Khuldun, jil. 1, hal. 647; Al-Kamil, jil. 2, hal. 32.
[1] Muhammad bin Jarir Thabari, Tarikh Thabari, jil. 2, hal. 321, Tahkik: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim; Abdul Rahman bin Muhammad bin Khuldun,Tarikh Ibnu Khuldun, jil. 1, hal. 647; Al-Kamil, jil. 2, hal. 32.
[2] Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Atsir, Usdul Ghabah Fi Ma’rifati Ash-Shahabah, jil. 3, hal. 601.
[3] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Al-Ishabah fi Tamyiiz Ash-Shahabah, Tahkik: Adil Ahmad Abdul Maujud dan Ali Muhammad Mu’awidh, jil. 3, hal. 1097;Ahmad bin Yahya bin Jabir Baladzari, Ansab Al Asyraf, Tahkik: Muhammad Hamidullah, jil. 2, hal. 94.
[4] Usdul Ghabah, jil. 1, hal. 490.
[5] Ibid, jil. 1, hal. 439; Abul Fida’ Ismail bin ‘Amr bin Katsir Al-Dimashqi, Al-Bidayah wa An-Nihayah, jil. 5, hal. 210.
[6] Di
jaman Umar ada dua orang wanita berselisih mengaku seorang bayi sebagai
anaknya. Supaya dapat membuktikan siapa ibu anak itu yang sebenarnya,
Imam Ali as berencana untuk memotong anak menjadi dua lalu dibagikan
tiap potongnya kepada setiap wanita itu. Salah seorang wanita itu
bersedia, namun satunya lagi tidak bersedia dan berkata: “Jangan, lebih
baik berikan saja jatahku untuk wanita itu.” Lalu akhirnya Imam Ali
menyatakan bahwa ibu yang tidak bersedia anaknya dipotong itu adalah ibu
yang sebenarnya. (Qezavat Haye Mohayerol Oqul, Sayid Hasan Muhsin Amin ‘Amili, hal. 37)
[7] Nahjul Balaghah, Faidz Al-Kashani, surat ke 62.
[8] Amali Thusi, 602/1244.
(islamquest/hauzahmaya/syiahali/ABNS)
(islamquest/hauzahmaya/syiahali/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar