SELAMAT DATANG DI AHLUL BAIT NABI SAW

AHLUL BAIT NABI SAW: Media Agama Dan Hati Umat Islam * Media Persatuan dan Kesatuan Sunni Dan Syiah


Termotivasi oleh hadits Nabi Saw, “Senantiasa berada dalam kebaikan, mereka yang selalu menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari-Muslim). Maka kebanyakan kaum muslimin begitu adzan maghrib berkumandang, segera menyantap sajian menu berbuka, bahkan tidak sedikit yang malah sekedar mendengar bunyi bedug, dengan segera ia mengakhiri puasanya.

Jika kita imsak lebih awal mungkin tidak ada masalah dan tidak mengganggu keabsahan puasa, meskipun penilaian syar’inya baru terhitung sejak fajar. Begitu juga dengan berbuka puasa. Jika waktunya telah masuk, mengakhirinyapun tidak mengurangi kesempurnaan puasa, meskipun sebaiknya adalah menyegerakan. Namun bagaimana halnya menyantap makanan dan minuman dengan niat berbuka sementara waktunya belum masuk?

Di sini saya mengingatkan (afwan kalau keilmuan saya belum membawa saya pada posisi yang pantas untuk mengingatkan) bahwa tidak ada bedanya shaim (orang yang niat berpuasa) yang makan dan minum 10 jam sebelum waktu berbuka dengan yang makan dan minum 30 detik sebelum waktunya, puasa keduanya sama-sama batal, dan tidak terhitung sebagai puasa sehari penuh, minimal merusak kesempurnaan puasa.

Adzan Maghrib Patokan Berbuka?
Untuk konteks Indonesia, waktu adzan maghrib biasanya berkisar pukul 18.00 yang ditandai dengan warna langit yang mulai redup dengan rona kemerahan di ufuk barat, waktu matahari mulai atau sedang dalam proses terbenamnya, dan langit mulai gelap berkisaran 15-20 menit setelahnya, waktu matahari telah benar-benar terbenam yang kita kenal dengan sebutan malam. Mayoritas muslim di Indonesia sejak lama telah menjadikan berkumandangnya adzan maghrib sebagai tanda waktu berbuka puasa. Pertanyaannya, adakah dalilnya yang menyatakan adzan maghrib adalah tanda waktunya berbuka puasa? Dan bagaimana pula petunjuk Nabi Saw dan Al-Qur’an mengenai waktu berbuka puasa?

Insya Allah kita bahas (tulisan ini sekedar sharing yang terbuka untuk didiskusikan kembali).
Kita mulai dari petunjuk Nabi Saw, bagaimana beliau berbuka. Jangan melulu yang dikaji ketika berkenaan dengan berbuka puasa, adalah hadits Nabi Saw yang menganjurkan untuk menyegerakan berbuka, sementara waktu berbuka sendiri belum kita ketahui, bagaimana Nabi telah menetapkannya.

Hadits-hadits berbuka puasa dari kitab Shahih Bukhari:
Dari Ashim bin Umar bin Khattab ra dari ayahnya ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Apabila malam datang dari sini, dan siang berlalu dari sini, sedang matahari terbenam sesungguhnya orang yang puasa boleh berbuka” (Hadits no. 1865).

Dari Abdullah bin Abu Aufa ra., ia berkata: “Kami bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan. Sedang beliau dalam keadaan berpuasa. Ketika matahari terbenam, maka beliau bersabda sebagian kepada kaum . “Wahai Fulan, berdirilah, campurlah sawiq (tepung gandum) dengan air.”….. Orang yang diperintah lalu turun, terus membuat minuman. Kemudian Nabi saw minum lalu beliau bersabda: “Apabila kamu melihat malam datang dari sini maka berbukalah orang yang berpuasa.” (Hadits no. 1866).

Begitu juga dengan hadist no. 1867 dengan tambahan teks, “Dan beliau mengisyaratkan dengan jari beliau ke arah timur.”

Hadist-hadits tentang berbuka puasa dengan sanad dan matan hadits sebagaimana di atas juga terdapat dalam Shahih Muslim pada bab “Kitab As-Shiyaam”. Selain itu, dalam Shahih Muslim juga terdapat riwayat dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasululah saw telah bersabda, “Apabila siang telah pergi dengan terbenamnya matahari, maka orang yang berpuasa telah boleh berbuka.”

Nah, dari hadits-hadits di atas, tidak ada satupun kata atau kalimat yang mengaitkan antara adzan maghrib dengan berbuka puasa, begitu juga tidak ada penetapan dari Nabi, bahwa begitu adzan maghrib dikumandangkan, kita telah boleh berbuka puasa. Patokan atau tanda bolehnya berbuka puasa sebagaimana riwayat-riwayat di atas adalah siang telah pergi, matahari telah tenggelam dan malam telah datang. Ringkasnya begini, dari hadits-hadits mengenai waktu berbuka yang diriwayatkan dalam Shahihain, tidak satupun yang dapat dijadikan dalil bahwa adzan maghrib adalah tanda waktu berbuka puasa. Yang menjadi patokan adalah, tenggelamnya matahari dan telah datangnya malam. Sementara adzan maghrib bukan dikumandangkan setelah matahari tenggelam, melainkan ketika matahari sedang menuju proses tenggelamnya.

Kalaupun adzan maghrib bisa dijadikan patokan berbuka puasa, sebuah keniscayaan Nabi Muhammad Saw akan menyampaikannya, sebab tidak ada sulitnya untuk menyampaikan itu, sebagaimana Nabi Saw mengaitkan waktu imsak dengan adzan subuh, sebagaimana hadits berikut, dari Abdullah ra, katanya, telah bersabda Rasulullah saw, bahwa dengan suara adzan Bilal yang biasa kedengaran tengah malam, makan minum masih dapat diteruskan, dan batasnya adalah suara adzan bin Ummu Maktum.” (HR. Muslim).

Waktu Berbuka Menurut Al-Qur’an
Selanjutnya, bagaimana Al-Qur’an menetapkan waktu berbuka puasa?
Kita dapat membaca dalam surah Al-Baqarah ayat 187, saya penggal saja langsung pada intinya, karena berkaitan dengan mencampuri istri, Allah SWT berfirman, “…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Dari ayat ini jelas, bahkan secara tegas menetapkan perintah bahwa puasa harus disempurnakan sampai datang malam (ila-lail), artinya waktu berbuka puasa adalah setelah masuknya malam, bukan menjelang malam, seperti waktu dikumandangkannya adzan.

Selanjutnya apa yang dimaksud Al-Qur’an dengan malam, apakah adzan maghrib yang dikumandangkan saat matahari sementara dalam proses terbenamnya termasuk dalam bagian malam? Apakah masih terlihatnya redup rona kemerahan di ufuk barat termasuk tanda telah datangnya malam?.

Semua mufassir sepakat, sebaik-baik penafsir ayat Al-Qur’an adalah ayat Al-Qur’an sendiri, setelah itu qaul Nabi Saw. Kita lihat pada ayat lain dalam Al-Qur’an, bagaimana Allah SWT menjelaskan tentang malam.
Dalam surah Yaasin ayat 37 Allah SWT berfirman, “Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.”
Atau di ayat pertama surah Al-Lail, “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang).” Kita juga bisa lihat pada surah al-Falaq ayat 3, “…dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita.”

Source: Ismail Amin

(MahdiNews/ABNS) 

0 komentar:

Sejarah

ABNS Fatwa - Fatwa

Pembahasan

 
AHLUL BAIT NABI SAW - INFO SEJARAH © 2013. All Rights Reserved. Powered by AHLUL BAIT NABI SAW
Top