Oleh: Mohammad Adlany
Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya, menjadi jelaslah bahwa langkah pertama yang mendasar dalam kajian-kajian epistemologi adalah penguraian terperinci, mendetail, dan akurat atas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan substansi dan definisi pengetahuan. Dengan demikian, sebelum menjelaskan dan memaparkan perkara-perkara ini, pembahasan-pembahasan utama epistemologi dan rukun-rukunnya tidak akan pernah menjadi jelas dan nyata.
Definisi Pengetahuan
Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu
yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan
adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam
sekitarnya. Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan,
informasi, akidah, dan pikiran-pikiran. Dalam komunikasi keseharian,
kita sering menggunakan kalimat seperti, “Saya terampil mengoperasikan
mesin ini”, “Saya sudah terbiasa menyelesaikan masalah itu”, “Saya
menginformasikan kejadian itu”, “Saya meyakini bahwa masyarakat pasti
mempercayai Tuhan”, “Saya tidak emosi menghadapi orang itu”, dan “Saya
mempunyai pikiran-pikiran baru dalam solusi persoalan itu”.
Ketika mengamati atau menilai suatu perkara, kita biasanya
menggunakan kalimat-kalimat seperti, saya mengetahuinya, saya
memahaminya, saya mengenal, meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan
realitas ini, bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat dan
tingkatan. Disamping itu, bisa jadi hal tersebut bagi seseorang adalah
pengetahuan, sementara bagi yang lainnya bukan pengetahuan. Terkadang
seseorang mengakui bahwa sesuatu itu diketahuinya dan mengenal
keadaannya dengan baik, namun, pada hakikatnya, ia salah memahaminya dan
ketika ia berhadapan dengan seseorang yang sungguh-sungguh mengetahui
realitas tersebut, barulah ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak
memahami permasalahan tersebut sebagaimana adanya.
Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir dikarenakan
persentuhan kita dengan suatu perkara. Keluasan dan kedalaman kehadiran
kondisi-kondisi ini dalam pikiran dan jiwa kita sangat bergantung pada
sejauh mana reaksi, pertemuan, persentuhan, dan hubungan kita dengan
objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat dan pengetahuan ialah suatu
keyakinan yang kita miliki yang hadir dalam syarat-syarat tertentu dan
terwujud karena terbentuknya hubungan-hubungan khusus antara subjek
(yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana hubungan ini sama
sekali kita tidak ragukan. John Dewey menyamakan antara hakikat itu
sendiri dan pengetahuan dan beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan
hasil dan capaian dari suatu penelitian dan observasi. Menurutnya,
pengetahuan seseorang terbentuk dari hubungan dan jalinan ia dengan
realitas-realitas yang tetap dan yang senantiasa berubah.[1]
Dalam pengetahuan sangat mungkin terdapat dua aspek yang berbeda, antara lain:
- Hal-hal yang diperoleh. Pengetahuan seperti ini mencakup tradisi, keterampilan, informasi, pemilkiran-pemikiran, dan akidah-akidah yang diyakini oleh seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi penting kehidupan. Misalnya pengetahuan seseorang tentang sejarah negaranya dan pengetahuannya terhadap etika dan agama dimana pengetahuan-pengetahuan ini nantinya ia bisa aplikasikan dan menjadikannya sebagai dasar pembahasan.
- Realitas yang terus berubah. Sangat mungkin pengetahuan itu diasumsikan sebagai suatu realitas yang senantiasa berubah dimana perolehan itu tidak pernah berakhir. Pada kondisi ini, seseorang mengetahui secara khusus perkara- perkara yang beragam, kemudian ia membandingkan perkara tersebut satu sama lain dan memberikan pandangan atasnya, dengan demikian, ia menyiapkan dirinya untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru yang lebih global.
Secara lahiriah, keberadaan kedua dimensi di atas bersifat
logis dan tak berpisah satu sama lain. Pengetahuan itu tidak bisa
dipandang sebagai suatu realitas yang konstan, tetap, tak berubah, dan
tak hidup yang terdapat dalam ruang pikiran manusia, hal ini disebabkan
oleh kenyataan bahwa jiwa manusia itu adalah tunggal dan satu,
persentuhan manusia yang terus menerus dengan objek-objek eksternal dan
syarat-syarat yang berbeda, aktivitas dan pengaruh potensi-potensi
akalnya, pembentukan konsepsi-konsepsi dan perubahannya, sisi-sisi
beragam dari pengalaman manusia, perubahan terus menerus yang terjadi
pada aspek empirik manusia, dan perubahan kualitas persepsi dan analisa
pikiran atas objek.
Uraian tersebut di atas lebih mewakili
perspektif-perspektif Barat, dan berikut ini kami akan paparkan
gagasan-gagasan filosof Islam tentang definisi pengetahuan. Namun,
sebelum hal ini, kami akan singgung sedikit tentang eksistensi
pengetahuan itu sendiri. Dikatakan bahwa wujud pengetahuan itu bersifat
gamblang dan fitri serta tidak membutuhkan pembuktikan secara
argumentatif, karena setiap pembuktian argumentatif niscaya berpijak
pada gabungan mukadimah, dan setiap mukadimah (premis mayor dan minor)
itu adalah pengetahuan itu sendiri. Lebih ringkas dapat dikatakan bahwa
pengetahuan itu identik dengan eksistensi dan keberadaan. Wujud itu
sendiri tidak membutuhkan dalil atas ke-wujud-annya, karena segala
sesuatu yang digunakan untuk menetapkannya tidak lain adalah wujud itu
sendiri, dengan demikian, penetapan wujud itu sendiri adalah mustahil
karena berujung pada lingkaran setan atau akan berpuncak pada
kontradiksi, yakni ketika kita ingin menetapkan eksistensi ilmu itu
dengan suatu ilmu yang lain, maka sebelum membuktikan “eksistensi ilmu”
kita mesti membutuhkan ilmu lain sebagai pendahuluan. Dengan demikian,
kontradiksi terjadi karena untuk menetapkan eksistensi pengetahuan itu
kita memerlukan ilmu lain sebagai mukadimahnya, sementara pada saat yang
sama kita ragu atas keberadaan ilmu itu sendiri (termasuk ilmu sebagai
mukadimahnya). Jadi, sebagaimana wujud itu sendiri tidak bisa ditetapkan
dengan wujud yang lain, eksistensi ilmu dan pengetahuan pun demikian
halnya.
Di bawah ini terdapat tiga pendapat mengenai pendefinisian pengetahuan, antara lain:
1. Pengetahuan itu tidak bisa didefinisikan, karena
pengetahuan itu bersifat gamblang dan aksiomatik. Dan pendefinisian bagi
perkara-perkara yang gamblang dan aksiomatik adalah hal yang mustahil
(yakni akan terjadi daur atau lingkaran setan). Untuk menegaskan
kegamblangan ilmu dan pengetahuan itu bisa berpijak pada beberapa hal:
- Pengetahuan itu sendiri merupakan perkara-perkara kejiwaan dan kefitraan. Dan Setiap perkara kefitraan dan kejiwaan itu bersifat aksiomatik dan badihi.
- Pengetahuan yang mutlak bersumber dari pengetahuan yang khusus dan terbatas seperti pengetahuan manusia pada wujudnya sendiri yang bersifat aksiomatik. Dan pengetahuan yang berasal dari hal-hal yang aksiomatik adalah juga bersifat aksiomatik dan gamblang.
- Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka akan berkonsekuensi pada kemustahilan pengetahuan manusia terhadap realitas bahwa “ia mengetahui sesuatu”, yakni pengetahuan manusia itu sendiri pertama-tama harus didefinisikan, barulah kemudian ia memahami bahwa dirinya memiliki pengetahuan terhadap sesuatu. Hal ini mustahil, karena keberadaan pengetahuan bagi manusia adalah bersifat fitri dan pengetahuan kepada perkara fitrawi ialah hal yang mungkin, yakni tidak butuh kepada definisi sebelumnya.
Dengan demikian, ilmu manusia, tanpa pendefinisian
sebelumnya, kepada realitas bahwa “ia memahami sesuatu” ialah bersifat
mungkin. Pengetahuan manusia bahwa “ia mengetahui sesuatu” adalah ilmu
kepada “hubungan zatnya dengan ilmu”, dan ilmu kepada “hubungan suatu
perkara kepada perkara lain” ialah bergantung atas ilmu pada salah satu
dari subjek dan predikatnya.[2]
2. Pengetahuan itu bisa didefinisikan, namun sangat sulit.
3. Pengetahuan itu mudah didefinisikan.
Sesungguhnya definisi hakiki pengetahuan adalah hal yang
mustahil, karena pada hakikatnya pengetahuan itu identik dengan
eksistensi dan wujud, dan eksistensi – sebagaimana diketahui dalam
pembahasan ontologi – secara hakiki adalah mustahil untuk didefinisikan.
Apabila pengetahuan itu bisa didefinisikan, maka sebenarnya bukanlah
definisi yang hakiki. Dalam hal ini, banyak definisi yang telah
dilontarkan berkaitan dengan pengetahuan ini, akan tetapi hanya beberapa
yang bisa mencakup segala cabang-cabang pengetahuan dan bersifat
komprehensif.
Di sini kami tidak akan menyebutkan semua definisi yang
telah digagas dan dirumuskan oleh para filosof dan teolog muslim. Untuk
lebih luasnya wawasan dalam pembahasan definisi ilmu dan pengetahuan
silahkan merujuk pada kitab-kitab filsafat dalam bab pengetahuan.
Di bawah ini kami hanya akan menyebutkan beberapa definisi yang mayoritas diterima oleh kalangan filosof:
A. Pengetahuan adalah pencerminan objek eksternal dalam pikiran
Dalam kitab klasik ilmu logika, pengetahuan itu
didefinisikan sebagai suatu gambaran objek-objek eksternal yang hadir
dalam pikiran manusia. Definisi ini juga disepakati oleh sebelas orang
filosof dan ilmuwan Rusia.[3]
Akan tetapi, apabila kita mencermati definisi di atas, maka definisi tersebut hanya mencakup llmu hushuli dan tidak termasuk ilmu hudhuri, karena ilmu hudhuri bukanlah suatu “gambaran” dan “refleksi” objek-objek eksternal di alam pikiran.
Pengetahuan terbagi dua:
1. Ilmu hushuli, yakni suatu pengetahuan yang dihasilkan
dengan menggunakan media panca indera sebagai perantara hubungan dengan
alam eksternal dan kehadiran gambaran objek-objek eksternal di alam
pikiran itu melalui fakultas-fakultas lahiriah. Dengan ungkapan lain,
ilmu hushuli adalah suatu ilmu yang hanya berhubungan dengan
konsepsi dan gambaran dari objek-objek eksternal, seperti ilmu manusia
kepada maujud-maujud eksternal.
Dalam ilmu ini terdapat tiga hal yang prinsipil:
- Subjek yang mengetahui yang bernama manusia;
- Maujud-maujud eksternal dan hakiki (dimana dalam istilah filsafat disebut dengan “objek pengetahuan yang aksidental (ma’lum bil ‘aradh)”, yakni objek yang diketahui secara aksidental);
- Suatu konsepsi yang bernama gambaran pikiran (dimana dalam istilah filsafat dikatakan sebagai “objek pengetahuan yang esensial” (ma’lum bizzat), yakni objek yang diketahui secara esensial).
Ilmu hudhuri terbagi dalam dua bagian:
- Terkadang dalam ilmu hudhuri hanya terdapat dua dimensi mendasar, seperti pengetahuan kita terhadap gambaran pikiran kita sendiri, apabila kita mengetahui objek-objek eksternal melalui gambaran pikiran sebagai media perantara, maka gambaran pikiran itu sendiri telah menjadi jelas bagi kita tanpa media perantara dan pengenalan kita kepada gambaran pikiran kita sendiri tak lagi melalui gambaran-gambaran yang lain, karena kalau demikian, maka dalam pengenalan tersebut akan hadir rangkaian gambaran-gambaran yang tak terbatas jumlahnya. Oleh sebab itu, di sini hanya ada dua aspek yaitu subjek yang mengetahui (‘âlim) dan objek pengetahuan yang esensial (ma’lum bizzat) yang dalam hal ini adalah gambaran pikiran itu sendiri;
- Bentuk lain dari ilmu hudhuri adalah kesatuan dan kemanunggalan antara ‘âlim (subjek yang mengetahui), ma’lum bizzat (objek pengetahuan yang esensial), dan ‘ilm (pengetahuan), seperti ilmu kita terhadap diri kita sendiri yang dalam filsafat dikatakan sebagai ‘ilm al-insan bizatihi (ilmu manusia kepada zatnya sendiri)[4]. Ilmu manusia seperti ini adalah bersumber dari manusia itu sendiri dan pengetahuannya itu menyatu dengan wujudnya sendiri, yakni manusia yang disamping sebagai subjek yang mengatahui, ia juga sebagai objek pengetahuan.
Dengan memperhatikan kedua ilmu ini, hushuli dan hudhuri, menjadi jelaslah bahwa hanya bagian ilmu hushuli
saja yang tercakup dalam definisi tersebut di atas. Dengan demikian,
definisi tentang pengetahuan tersebut tidaklah sempurna dan komprehensif
sehingga dapat meliputi semua cabang-cabang pengetahuan.
A. 1. Kategori kedua logikal bukan pencerminan langsung objek eksternal dalam pikiran
Keberadaan kategori-kategori kedua logikal ini meruntuhkan
keuniversalan definisi tentang pengetahuan tersebut. Dalam filsafat
Islam, kategori-kategori itu terbagi menjadi dua bagian, kategori
pertama dan kedua. Kategori pertama adalah pengenalan pertama manusia
yang lahir dari hubungan yang sederharna antara pikiran dan alam
eksternal, seperti persepsi benda-benda, warna-warna, dan bentuk-bentuk.
Kategori pertama ini merupakan bentuk yang nyata dan langsung dari
pencerminan objek-objek eksternal di alam pikiran, seperti penggambaran
kita terhadap suatu kitab, pohon, kertas, dan objek-objek partikular
lainnya. Jenis pengenalan lain yang berbeda dimana objek-objek eksternal
tidak tercermin secara nyata dan langsung di alam pikiran dan melainkan
membutuhkan aktivitas berpikir seperti konsepsi-konsepsi universal,
spesies, genus, pengetahuan, dan konsepsi lain yang dibahas dalam ilmu
logika. Di sini, mustahil terdapat suatu maujud eksternal bernama
“universal”. Lahirnya konsepsi universal di alam pikiran misalnya, itu
bukan bersumber secara langsung dari pencerminan objek-objek eksternal
(karena tidak terdapat objek eksternal dan hakiki bernama universal yang
darinya konsepsi universal itu muncul di alam pikiran), melainkan
berasal dari suatu aktivitas fakultas indera berpikir manusia yang mampu
mencipta konsepsi-konsepsi tersebut. Alam eksternal adalah alam
partikular, dan konsepsi universal itu apabila keluar dari alam pikiran
manusia, maka akan berubah menjadi realitas yang partikular. Sangat
perlu ditegaskan bahwa pikiran manusia apabila tidak berhubungan dan
terputus dengan alam eksternal, maka akan mustahil menciptakan
konsepsi-konsepsi tersebut, akan tetapi, tidak bisa dikatakan bahwa
konsepsi-konsepsi tersebut hadir secara langsung dari objek-objek
eksternal di alam pikiran manusia.[5]
A. 2. Kategori-kategori kedua filsafat bukan pencerminan langsung objek eksternal dalam pikiran
Jenis lain dari kategori-kategori yang kita miliki adalah
suatu kategori kedua filsafat dimana tidak termasuk dalam domain dan
ranah inderawi, seperti konsepsi kebergantungan dan kemungkinan (imkân, possibility) dan sesuatu (syai, thing).
Kedua konsepsi ini digunakan oleh manusia untuk menjelaskan realitas
eksternal, misalnya dikatakan: Ahmad adalah maujud bergantung (mumkinul wujud),
meja adalah sesuatu, dan lain sebagainya. Di sini, predikat dalam
proposisi itu adalah sifat bagi subjek itu sendiri dan keduanya menyatu
di alam eksternal serta tidak berpisah satu sama lain, sementara di alam
pikiran terdapat dua hal yang terpisah (Ahmad dan maujud bergantung)
dan keduanya memiliki konsepsi yang berbeda-beda dimana kita kemudian
mempredikasikan maujud bergantung itu kepada Ahmad. Kita mustahil
menemukan suatu individu yang mandiri bernama “maujud bergantung”, pada
saat yang sama adalah benar kalau kita menjelaskan bahwa Ahmad adalah
maujud bergantung. Di sini, kita tidak dapat menyatakan bahwa pengenalan
kita terhadap Ahmad sebagai mumkinul wujud adalah berasal dari
pencerminan langsung dari suatu objek eksternal, melainkan pikiran kita
dengan aktivitas khasnya mampu membagi segala sesuatu itu menjadi tiga
bagian {Wajibul Wujud (Wujud Niscaya-Ada), mumkinul wujud (wujud mungkin-ada atau wujud bergantung), dan mumtane’ul wujud (wujud mustahil-ada)} dan menjelaskan segala sesuatu itu dengan salah satu dari ketiga bagian dan sifat-sifat ini.[6]
Dengan demikian, mesti dikatakan bahwa tidak setiap gambaran pikiran
itu adalah pencerminan langsung objek-objek eksternal, walaupun
konsepsi-konsepsi dan kategori-kategori kedua filsafat tersebut mustahil
terwujud tanpa adanya hubungan manusia dengan objek-objek eksternal.
A. 3. Perkara-perkara ketiadaan dan kemustahilan bukan merupakan pencerminan langsung objek-objek eksternal
Tidak diragukan bahwa kita memiliki perkara-perkara yang bersifat ketiadaan dan kemustahilan seperti daur (lingkaran setan) dan tasalsul (rangkaian
tak berbatas). Kemustahilan kedua hal ini adalah sangat jelas dan telah
dibuktikan dalam kitab logika dan filsafat. Persoalannya adalah apakah
pengenalan kita terhadap daur dan tasalsul ini berasal dari pencerminan sesuatu yang eksternal? Pada prinsipnya, tidak terdapat objek eksternal yang bernama daur dan tasalsul sehingga bisa tercermin dan terbias dalam pikiran.[7]
A. 4. Bilangan Matematika bukan pencerminan langsung objek eksternal
Semua bilangan matematika bukan merupakan pencerminan dari
realitas eksternal, namun apa-apa yang terdapat di alam luar hanyalah
individu-individu bilangan dan bukan bilangan itu sendiri, misalnya
angka satu itu sendiri tidak akan kita temukan di alam eksternal, yang
ada hanyalah satu kitab, satu pohon, satu lebah. Dengan demikian, setiap
pengenalan itu tidaklah mesti selalu bersumber dari pencerminan dan
pembiasan langsung dari objek-objek eksternal, walaupun hal ini tidak
bermakna bahwa manusia tidak membutuhkan suatu hubungan antara alam
pikiran dan alam eksternal, karena apabila manusia tidak berhubungan
dengan alam eksternal melalui media panca indera maka dia akan
kehilangan banyak konsepsi-konsepsi yang dihasilkan lewat media tersebut
dan mustahil pikiran bisa mengetahui, memahami, dan menggambarkan
ketiadaan-ketiadaan dan kemustahilan-kemustahilan. Dalam filsafat Islam,
proses pemahaman, penggambaran, dan pencerapan pikiran terhadap
konsepsi-konsepsi universal, ketiadaan, dan kemustahilan bersumber dari
pengenalan-pengenalan sebelumnya terhadap hal-hal yang berwujud dan
bermateri sedemikian sehingga dengan pengenalan tersebut akal mampu
menghadirkan dan menciptakan serta mempersepsi konsepsi-konsepsi semacam
itu.[8]
Dengan demikian, tidaklah mustahil bahwa terdapat suatu
konsepsi-konsepsi di alam pikiran manusia yang sama sekali tidak
mempunyai individu-individu di alam eksternal, akan tetapi pada saat
yang sama hubungan manusia dengan alam eksternal adalah sebagai media
persiapan bagi penciptaan, perwujudan, dan kehadiran konsepsi-konsepsi
semacam itu di alam pikiran.[9]
B. Pengetahuan adalah sejenis kesatuan wujud antara ‘âqil (intelligent) dan ma’qûl (intellected)
Para pendukung definisi ini menyatakan, “Pencerminan dan
penggambaran semata-mata objek-objek eksternal di alam pikiran tidak
akan langsung dapat mewujudkan pengetahuan, karena setiap kali
gambaran-gambaran itu terpantul di atas cermin pengetahuan, secara
otomatik cermin tersebut tidak bisa menangkap gambaran-gambaran itu. Hal
ini karena pengetahuan itu hanya akan terbentuk ketika terdapat
kesatuan dan kemanunggalan antara penerima gambaran dan gambaran itu
sendiri, yang dalam istilah filsafat dikatakan kemanunggalan ‘âlim dan ma’lûm bizzat
(yakni gambaran pikiran atau obyek pengetahuan esensial). Dan apabila
tidak demikian, maka setiap bentuk gambaran yang terpantul pada air,
cermin, dan pikiran adalah sama.[10]
Penyerupaan pikiran manusia dengan cermin tersebut telah
ada sejak lama sebagaimana yang tertulis dalam kitab logika milik Mir
Sayyid Syarif Jurjany yang merupakan kitab-kitab awal dalam ilmu logika,
di situ tertera, “Pada manusia terdapat suatu fakultas pengindera yang
memantulkan gambaran-gambaran segala sesuatu sebagaimana halnya cermin.”[11]
Penyerupaan antara cermin dan pikiran manusia disebabkan
terdapat kesamaan di antara keduanya, seperti setiap warna yang dimiliki
oleh cermin, maka gambar-gambar dan bentuk-bentuk yang ditampakkan oleh
cermin akan terwarnai sebagaimana warna yang dimilikinya, namun apabila
cermin itu tidak memiliki warna, maka ia akan menampakkan gambar dan
bentuk itu sesuai dengan warna yang dimiliki oleh gambar dan bentuk. Dan
semakin tidak berwarna dan semakin bersih cermin itu dari warna, maka
penampakan realitas dan segala sesuatu akan sebagaimana adanya.
Dimensi
dan kenyataan ini sama seperti pikiran manusia, yakni apabila pikiran
manusia mempunyai “warna”, maka ia akan melihat benda-benda itu
sebagaimana “warna” pikiran, akan tetapi, kalau pikiran manusia tidak
mempunyai “warna”, maka ia akan menunjukkan kepada manusia
hakikat-hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya. Hal ini sebagaimana
perkataan suci Imam Ali As yang bersabda, “Ketika manusia telah larut
dalam suatu kecintaan maka dia akan sangat dipengaruhi olehnya
sedemikian sehingga dia tidak dapat melihat dan memandang sesuatu itu
sebagaimana mestinya, begitu pula ketika dia hanyut dalam lautan
kebencian dan kedengkian sehingga mewarnai jiwanya maka dia pun tidak
akan mampu menilai realitas sebagaimana yang seharusnya, cinta
menampakkan keburukan itu menjadi sesuatu yang indah, sebagaimana benci
dan hasud akan memperlihatkan keindahan itu sebagai realitas yang buruk.[12]
Di dalam al-Quran juga diungkapkan hal yang sama, Allah berfirman,
“Apakah orang yang pekerjaan buruknya dihias indah (oleh setan) sehingga
dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang melihat
realita sebagaimana adanya)? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Maka janganlah dirimu binasa karena sedih terhadap mereka. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[13]
Dan dalam ayat yang lain difirmankan, “Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”[14]
Dengan demikian, pengenalan dan pengetahuan hakiki sangat
menekankan kebersihan pikiran dan kesucian jiwa dari segala bentuk
“warna”, kekotoran, dan fanatisme yang sebagaimana suatu cermin yang
bersih dari warna sehingga bisa memantulkan gambar dan bentuk secara
akurat, teliti, dan alami.
Namun, antara cermin dan pikiran juga memiliki perbedaan, antara lain:
- Cermin itu tidak bisa menampakkan aspek batin dan makna sesuatu, yang ditunjukkan olehnya hanyalah dimensi lahiriah seperti bentuk dan warna serta volume manusia, akan tetapi apakah cermin itu akan bisa menampakkan pengetahuan, kecintaan, dan emosi manusia? Jawabannya ialah negatif, namun berbeda dengan pikiran manusia yang juga bisa mengetahui makna-makna tersebut;
- Cermin terkadang salah menampakkan realitas dan sekaligus tidak mampu menunjukkan dimana letak kesalahannya, misalnya terkadang cermin menunjukkan sesuatu itu lebih besar atau lebih kecil dari yang sesungguhnya, akan tetapi, pikiran manusia tidak hanya bisa menunjukkan kesalahan hasil kontemplasinya sendiri, melainkan juga mampu merekonstruksi dan merumuskannya kembali;
- Cermin hanya dapat menampakkan sesuatu yang lain dan tidak bisa menunjukkan dirinya sendiri. Akan tetapi, berbeda dengan pikiran manusia yang disamping mampu menggambarkan realitas-realitas yang lain, ia juga dapat menyadari akan kenyataan dirinya sendiri. Pikiran manusia disamping memahami segala sesuatu di luar dirinya ia pun mampu mengetahui keberadaan dan hakikat dirinya sendiri;
- Cermin hanya dapat memantulkan sesuatu yang berada dihadapannya dan tak mampu menggeneralisasikannya, sementara pikiran manusia selain mampu menangkap apa-apa yang berada didepannya juga bisa memahami realitas-realitas yang tak terbatas dan lebih dari itu ia mempunyai kemampuan menggeneralisasikan segala realitas yang diketahuinya itu;
- Cermin hanya dapat memantulkan benda-benda fisik yang terlihat, akan tetapi tidak bisa membiaskan hal-hal yang terdengar, tercium, dan terasa;
- Cermin merupakan benda materi dan fisikal, sementara pikiran manusia adalah realitas yang nonfisik dan nonmateri.
C. Pengetahuan adalah kehadiran realitas nonmateri pada maujud yang juga nonmateri (jiwa)
Definisi pengetahuan adalah kehadiran sesuatu yang bersifat
nonmateri pada sesuatu yang nonmateri juga (baca: jiwa). Allamah
Thabathabai dalam kitab Nihayah al-Hikmah menyatakan bahwa apa
yang kita cerap melalui persepsi-persepsi kita tidak lain adalah
bentuk-bentuk yang nonmateri dan pengetahuan hakiki kita adalah realitas
yang nonmateri itu, pada hakikatnya pencerapan kita tidak berhubungan
langsung dengan objek-objek eksternal. Persepsi kita niscaya berkaitan
dengan bentuk-bentuk pengetahuan yang juga nonmateri. Dengan demikian,
persepsi-persepsi kita sendiri itu apabila dihubungkan dengan
benda-benda materi, misalnya dikatakan: kita mengetahui buku ini, yakni
pengetahuan itu dikaitkan dengan buku itu, sementara pada hakikatnya
yang kita ketahui adalah bentuk-bentuk yang nonmateri dari kitab dan
bukan kitab itu sendiri sebagai objek eksternal. Kitab yang ada di alam
eksternal yang disaksikan langsung oleh mata hanyalah berfungsi sebagai
pengkondisian untuk terciptanya bentuk-bentuk nonmateri dari kitab itu
yang kemudian hadir pada jiwa manusia. Pada dasarnya, objek ilmu dan
pengetahuan kita bukanlah kitab eksternal itu, melainkan bentuk-bentuk
pengetahuan yang berhubungan dengan alam nonmateri. Pengetahuan tidak
lain adalah emanasi dari alam nonmateri dan hadir di alam jiwa yang juga
nonmateri. Jadi, apabila kita katakan bahwa saya sedang menyaksikan dan
mengatahui benda-benda eksternal tersebut, maka ungkapan ini hanyalah
bersifat toleransi saja.
Dengan demikian, apa-apa yang diketahui dan dipahami itu adalah suatu perkara yang nonmateri dan subjek yang mengetahui (‘âlim)
juga mestilah maujud yang nonmateri. Benda-benda materi tidak bisa
mengetahui dan mencerap hal-hal yang nonmateri dan bentuk-bentuk dan
gambaran-gambaran pengetahuan itu mestilah hadir di alam nonmateri
(jiwa). Maka dari itu, pengetahuan tersebut adalah kehadiran realitas
yang nonmateri di alam nonmateri (jiwa) atau kehadiran sesuatu nonmateri
pada maujud nonmateri pula.[15] [16]
D. Pengetahuan adalah “keyakinan pasti” yang sesuai dengan realitas eskternal
Kritikan atas definisi tersebut adalah bahwa tidak meliputi
perkara-perkara yang mustahil terwujud dan konsepsi-konsepsi, karena
hal-hal yang mustahil itu tidak mempunyai eksistensi dan realitas
eksternal yang dapat diabstraksi oleh akal, begitu pula
konsepsi-konsepsi tersebut tidak tergolong sebagai keyakinan.
E. Pengetahuan adalah sesuatu yang
menyatu dengan perbuatan (dan sangat mungkin perbuatan yang terpancar
dari pengetahuan itu adalah lebih kuat dan lebih pasti)
Kerumitan definisi ini adalah karena tidak mencakup ilmu
dan pengetahuan yang tidak bersumber dari suatu perbuatan atau
pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan suatu perbuatan
dan prilaku, seperti pengetahuan manusia kepada dirinya sendiri,
pengetahuan kepada Tuhan Sang Pencipta, dan pengetahuan kepada
perkara-perkara yang tak berwujud.
F. Pengetahuan adalah hubungan khusus yang terwujud antara subjek (‘âlim) dan objek-objek eksternal (ma’lûm)
Sebagian teolog yang dipelopori oleh Abul Hasan Asy’ary
menggagas definisi penngetahuan tersebut. Akan tetapi, pengertian suatu
“hubungan” adalah terciptanya jalinan di antara dua sesuatu. Oleh karena
itu, dengan berdasarkan kepada pengertian tersebut mustahil terwujud
dan terciptanya hubungan dan jalinan di antara “yang berwujud” dan “yang
tak berwujud” (tiada), karena “yang tak berwujud” itu adalah tiada dan
tidak memiliki eksistensi sehingga dapat dijalin suatu hubungan.
Pada satu sisi, kita dapat mengetahui dan menggambarkan
perkara-perkara yang sama sekali tidak berwujud di alam eksternal,
seperti gambaran kita tentang manusia yang mempunyai empat kepala,
sekutu hakiki Tuhan, dan yang lainnya. Dengan demikian, definisi
tersebut di atas tidak sempurna dan tidak komprehensif.
G. Pengetahuan adalah kehadiran bayangan objek eksternal dalam pikiran
Sebagian beranggapan bahwa yang hadir di alam pikiran kita
tidak lain adalah bayangan objek-objek eksternal itu sendiri dan
bukanlah hakikat objek-objek tersebut, yakni sesuatu yang hadir di alam
pikiran kita secara esensial dan hakiki berbeda dengan objek-objek
eksternal, dan yang hadir itu hanyalah memiliki beberapa kesamaan dan
kesesuaian dengan objek-objek eksternal serta hanya menunjukkan sebagian
dari karakteristik-karakteristiknya.
Berdasarkan definisi tersebut, hubungan di antara
konsepsi-konsepsi pikiran dan benda-benda eksternal adalah tidak
bersifat nonesensial, melainkan sejenis hubungan gambar sesuatu dengan
sesuatu itu sendiri, seperti penggambaran pikiran kita terhadap seekor
kuda atau seperti suatu gambar yang tergores di atas dinding. Gambar
seekor kambing di atas dinding tersusun dari gabungan warna-warna, oleh
karena itu, pada hakikatnya gambar itu merupakan askiden, sementara
seekor kambing yang hakiki adalah sejenis substansi bendawi. Akan tetapi
dengan perbedaan esensial ini, gambar seekor kambing merupakan suatu
cerita dan cermin dari seeokor kambing hakiki. Konsepsi kambing dalam
pikiran kita juga merupakan perkara yang aksidental dan kategori
kualitas rasional, maka dari itu, dari dimensi esensial berbeda dengan
kambing yang hakiki dimana merupakan suatu kategori substansi (lawan
dari aksiden).
Gagasan terhadap definisi tersebut banyak di anut oleh kaum
materialisme yang kemudian berujung pada Sophisme yang mengingkari
pengetahuan hakiki terhadap realitas-realitas dan objek-objek eksternal,
karena apabila seluruh ilmu, persepsi, dan pengetahuan kita tidak
sesuai secara esensial dengan objek-objek eksternal dan hanyalah
merupakan banyangan dari objek-objek itu, maka apa-apa yang kita ketahui
dan pahami adalah bayangan benda-benda eksternal dan bukanlah
benda-benda eksternal itu sendiri, walhasil kita mustahil dapat mencerap
dan menggapai perkara-perkara eksternal sebagaimana mestinya.
Perlu ditegaskan kembali bahwa satu-satunya jalur yang
menghubungkan kita dengan objek-objek eksternal ialah konsepsi-konsepsi
pikiran. Konsepsi-konsepsi pikiran kita terhadap gunung, daratan, laut,
langit, manusia-manusia, dan benda-benda lain yang apabila tidak
bersesuaian secara esensial dengan benda-benda eksternal, maka segala
konsepsi pikiran kita adalah realitas yang lain yang berbeda dengan
perkara-perkara eksternal. Jadi dalam hal ini, kita mustahil mengetahui
dan memahami perkara-perkara luar, dan pada hakikatnya, kalau kita
mempunyai “pengetahuan”, maka “pengetahuan” itu adalah kejahilan dan
kebodohan, bukanlah ilmu dan pengetahuan yang hakiki dan sebagaimana
adanya. Dengan demikian, kita akan terjebak ke dalam paham Sophisme.
Apabila kita menerima definisi tersebut, maka tidak
terdapat lagi perbedaan antara pengetahuan dan sejenis kebodohan (yakni
seseorang merasa mengetahui sesuatu padahal dia sesungguhnya tidak
mengetahui). Jadi, Segala pengetahuan manusia merupakan sejenis
kebodohan dan sama sekali tidak mempunyai nilai dan makna. Begitu pula,
tak satupun dari pengetahuan dan persepsi manusia adalah sejenis
penyingkapan dan pengungkapan dari suatu realitas yang sesungguhnya.
Dengan demikian, kita sama sekali tak memiliki pengetahuan terhadap
objek-objek eksternal. Berkaitan dengan ini, filosof Iran, Murtadha
Muthahhari, berkata, “Apabila yang terdapat di alam eksternal berbeda
dan tidak bersesuaian secara esensial dengan pengetahuan dan konsepsi
kita maka tidak terdapat satu pun argumen dan dalil yang dapat digunakan
untuk menegaskan keberadaan objek-objek eksternal itu sendiri.”[17]
H. Pengetahuan adalah cahaya dan kehadiran
Sebagian beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan
cahaya, karena maujud itu terbagi menjadi: cahaya dan bukan cahaya.
Keberadaan maujud yang tak bercahaya membutuhkan maujud yang bercahaya.
Cahaya secara esensial adalah kehadiran itu sendiri dan juga
menghadirkan yang lain. Dengan demikian, apa yang secara esensial adalah
kehadiran itu sendiri dan juga menghadirkan sesuatu bagi jiwa tidak
lain adalah cahaya itu sendiri.
Akan tetapi, karena cahaya secara hakiki adalah wujud itu
sendiri, dengan demikian, permasalahan mendasar pada definisi ini adalah
bahwa karena pengetahuan itu terbagi ke dalam tashawwur (conception), tashdiq (judgement),
universal, dan partikular, sementara wujud itu sendiri (yang disamakan
dengan cahaya) – yang karena bukan suatu kategori hubungan, melainkan
kategori emanasi[18] – tidak dapat dibagi sebagaimana pengetahuan, maka dari itu, definisi ini tidaklah sempurna dan komprehensif.[19]
I. Pengetahuan adalah wujud itu sendiri
Pengetahuan adalah wujud itu sendiri, karena selain hakikat
wujud adalah ketiadaan, konsepsi, dan kuiditas. Ketiadaan adalah
kegelapan mutlak dan kuiditas secara esensial adalah tak berwujud dan
juga bukan tiada mutlak dimana akan menjadi ada karena wujud dan tanpa
wujud kuiditas mustahil mengada. Dan segala sesuatu yang hadir pada ‘alim
secara esensial adalah dengan media dan perantara wujud, sebagaimana
segala sesuatu akan mengada dengan perantaraan wujud. Segala
pengetahuan, seperti pengetahuan Tuhan, pengetahuan manusia, pengetahuan
terhadap substansi, aksiden, dan konsepsi-konsepsi lain yang mempunyai
lebih dari dua kategori filsafat adalah bukan dari jenis kuiditas (mahiyah),
melainkan dari jenis wujud dan juga terabstraksi dari hakikat-hakikat.
Dan wujud adalah suatu hakikat yang dimiliki sama oleh Tuhan dan
selain-Nya. Mulla Sadra menyatakan bahwa ilmu dan pengetahuan ialah
wujud murni yang tidak bercampur dengan sejenis ketiadaan, atau
pengetahuan adalah suatu wujud yang nonmateri.[20]
Walhasil, hakikat pengetahuan adalah suatu wujud yang nonmateri dan
tetap (permanen), dan karena wujud materi itu senantiasa berubah maka
dari itu tidak bisa dikatakan sebagai pengetahuan.
J. Pengetahuan adalah kehadiran objek pengetahuan (ma’lûm) pada subjek yang mengetahui (‘âlim)
Apabila ingin diajukan suatu definisi yang lebih akurat dan
teliti tentang pengetahuan dimana bisa mencakup seluruh bagian dan
cabang pengetahuan, maka mestilah dikatakan bahwa ilmu dan pengetahuan
adalah kehadiran objek pengetahuan (ma’lûm) pada subjek yang mengetahui (‘âlim). Dalam ilmu hushuli, kehadiran objek pengetahuannya di alam jiwa adalah tidak secara langsung atau mediated, melainkan hadir dalam bentuk dan gambaran dari objek eksternal. Sementara dalam ilmu hudhuri, kehadiran objek pengetahuannya adalah secara langsung atau immediate.
Definisi pengetahuan mestilah meliputi dan mencakup seluruh
bagian pengetahuan seperti kehadiran objek ilmu itu sendiri, gambaran
partikular, atau konsepsi universalnya dalam realitas jiwa dan pikiran
yang nonmateri.[21] Definisi ini bisa mencakup ilmu hushuli dan hudhuri serta segala kategori rasional.
K. Pengetahuan adalah “keyakinan tetap” yang sesuai dengan realitas
Definisi lain yang berhubungan dengan pengetahuan dan
makrifat dimana mayoritas diterima adalah “keyakinan tetap” yang sesuai
dengan realitas.[22]
Definisi ini akan dikupas secara lebih luas dan terperinci karena lebih
universal, lebih sempurna, dan lebih komprehensif serta mayoritas
diterima oleh kalangan filosof dan urafa. Definisi ini lebih menyentuh
pada wilayah makrifat dan pengetahuan hakiki, oleh karena itu, akan
dijadikan sebagai landasan dan pijakan utama dalam penyusunan berbagai
pembahasan dan pengkajian epistemologi pada makalah ini.
Referensi:
[1] . John Dewey, Philosophy of Education, hal. 14.
[2] . Mulla Sadra, Hikmah Muta’âliyah, jilid ketiga, hal 279. Dan Mafatihul Ghaib, hal, 99 dan 100.
[3] . Materialism Dialektik, hal. 317.
[4] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 236, 237 dan Ushul-e Falsafe wa Realism, jilid ketiga, hal. 32.
[5] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bag. ketiga, hal. 71, bag. keempat, hal. 77.
[6] . Mulla Hadi Zabzawari, Syarh-e Manzumah, hal. 39, bagian metafisika khusus.
[7] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 268 dan 239.
[8] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bag. ketiga, hal. 71, bag. keempat, hal. 77.
[9] . Sadrul Muta’allihin, al-Asfar al-Arba’ah, jilid pertama, hal. 319.
[10] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, bagian ketujuh. Dan Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 312-319. Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 214.
[11] . Mir Sayyid Syarif Jurjany, Kitab al-Mantiq al-Kubra, hal. 170.
[12] . Nahjul Balaghah, khutbah 107.
[13] . Qs. Fathir: 8
[14] . Qs. Kahf: 104
[15] . Allamah Thabathabai, Nihayah al-Hikmah, hal. 239-240.
[16] . Mulla Sadra, al-Asfar al-Arba’ah, jilid pertama, hal. 287-291 dan jilid ketiga, hal. 284-296.
[17] . Syahid Murtadha Muthahhari, Syarh-e Mukhtashar Manzumah, jilid pertama, hal. 53 dan 54.
[18]
. Kategori hubungan adalah mesti terdapat dua sesuatu yang mandiri yang
dihubungkan satu sama lain, sementara kategori emanasi adalah hanya
terdapat satu realitas (seperti hubungan antara wujud dan manifestasi
wujud).
[19] .Syaikh Kosyony, Misbahul Hidayah wa Miftahul kifayah, hal. 56. Dan Mulla Sadra, Asfar, jilid ketiga, hal. 291 dan jilid keenam, hal. 249.
[20] . Mulla Sadra, Asfar, jilid pertama, hal. 290 dan jilid ketiga, hal. 295, 297, 351.
[21] . Taqi Mishbah Yazdi, Omûzesy Falsafeh, jilid pertama, hal. 137.
[22] . Alfarabi, Fushûlul Muntaza’ah, hal. 52. Ibnu Arabi, Fushûshul Hikam, hal. 56 dan 57. Ibnu Sina, an-Najah,hal 374. Bahmanyar, at-Tahshil, hal. 291 dan 292.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar