Oleh: Bandeh Khudo
Kosa kata “tasawuf” dan “irfan” dalam banyak karya tulis digunakan dalam arti yang sinonim. Malah sebagian ulama menganggap bahwa tasawuf sinonim dengan irfan Islami. Oleh karena itu, mereka tidak membenarkan penyandaran kata itu kepada selain Islam, seperti tasawuf Kristen, tasawuf Yahudi, dan tasawuf India.
Ajaran irfan semestinya sudah ada bersama
kehidupan manusia. Jika seseorang tidak menginginkan akalnya hanya
terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata,
begitu apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat
rasional, dan pada waktu yang sama, ia juga tidak menafikan wujud
materi, sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran irfani. Ya, tidak
seluruh irfan memiliki substansi ajaran agama, baik dahulu maupun
sekarang.
Atas dasar ini, irfan memiliki dua
klasifikasi: irfan agamis dan irfan non-agamis. Sebelum ajaran Islam
datang, seluruh jenis irfan ini pernah ada. Dalam ajaran Zoroaster dan
Kristen, kita masih dapat menemukan urat-urat nadi ajaran-ajaran irfani.
Dalam ajaran Budha yang tidak bisa kita sebut sebagai agama, kita juga
masih dapat melihat urat-urat nadi ajaran-ajaran agama.
Atas dasar ini, kita dapat berasumsi bahwa
irfan telah dilahirkan bersama agama. Akan tetapi, irfan tidak sama
dengan agama. Dengan demikian, irfan sudah sejak dulu sebelum Islam
muncuk ke permukaan, khususnya dalam aliran Stoicisme, Cynicisme, dan
area peradaban Helenik; yakni Athena, Roma, dan Yunani. Di arean
peradaban inilah, Plotinus dan para pengikut aliran Neoplatonisme
mengerahkan tenaga untuk mempelajari masalah ini. Mereka berhasil
mewujudkan sebuah pandangan irfan. Bapak seluruh pemikiran ini adalah
Plato. Hal ini berlanjut hingga agama Islam muncul.
Irfan dalam ajaran Islam memiliki beberapa periode:
1. Dari sejak Al-Quran diturunkan hingga
permulaan abad ketiga, irfan banyak memiliki dimensi zuhud. Pada periode
ini, kita hanya mendengar banyak para pembesar zahid. Di sini kita
tidak pernah mendengar terminologi arif. Abu Hasyim Kufi, Hasan Bashri,
dan lain sebagainya kita sebut sebagai para zahid agung.
2. Dari sejak permulaan abad ketiga, ajaran
zuhud mulai mengenal dan bertabrakan dengan ajara-ajaran lain yang
sedang berkembang di Yunani, Iran, India, Mesir, dan tempat-tempat lain.
Dengan pertemuan ini, ajaran zuhud memiliki ajaran gabungan dan mulai
bergerak ke arah irfan. Ada satu kriteria utama yang merupakan ajaran
zuhud menjadi irfan. Dalam ajaran zuhud, seluruh tolok ukur adalah rasa
takut kepada Allah. Sedangkan dalam irfan, barometer utama adalah
kecintaan kepada Allah. Pada hakikatnya, dari sejak Hallaj, Rabi’ah,
Sibli, Bayazid, dan tokoh-tokoh yang lain melontarkan konsep “kecintaan
kepada Allah”, irfan Islami mulai muncul dan tersebar luas di kalangan
masyarakat.
Tidak diragukan lagi, kondisi sosial,
historis, politik, dan kemasyarakatan kala itu sangat mempengaruhi
masalah ini. Kala itu, pondasi utama kemunculan agama Islam adakan
keadilan dan tauhid. Muslimin pada abad kedua dan ketiga Hijriah melihat
agama yang berkembang kala itu sangat berbeda dengan agama yang pernah
dibawa oleh Rasulullah saw. Sebagai contoh, kelakukan, ucapan, dan
perilaku para penguasa dari Dinasti Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah
tidak serupa sama sekali dengan ucapan dan perilaku Rasulullah saw.
Melihat semua ini, masyarakat akhirnya memiliki kecondongan kepada
ajaran irfan dan mencari hakikat Islam sejati yang spiritualnya tidak
bergantung kepada kegemerlapan dunia.
Realita ini adalah faktor utama mengapa
irfan Islami tersebar luas. Banyak periode yang juga telah dilalui oleh
perkembangan irfan ini.
Irfan Islami dalam Sejarah
Jika kita ingin menelaah irfan Islam secara global, ada 4 periode yang dapat kita jadikan sebagai patokan utama:
Pertama, dari sejak kemunculan irfan hingga masa Hallaj dan Rabi’ah.
Kedua, dari sejak masa Rabi’ah hingga masa Bayazid dan Abu Sa’id Abul Khair.
Ketiga, dari masa Abul Khair hingga Ibn Arabi.
Keempat, dari masa Ibn Arabi hingga masa kini.
Periode pertama merupakan periode
pertumbuhan irfan yang banyak menekankan prinsip ajaran pada Al-Quran,
Sunah, kezuhudan, ibadah, dan lain sebagainya.
Dari abad ketiga hingga permulaan abad
keempat Hijriah, irfan Islami bergerak menuju irfan yang berlandaskan
pada kecintaan kepada Allah. Pada periode ini, banyak juga syuhada yang
guggur. Kematian Hallaj merupakan perwakilan dari gerakan yang ingin
mendeklarasikan bahwa Tuhan dan manusia bak dua sisi uang logam ini.
Ketika ia menyatakan ungkapan “anal haqq”, maksudnya adalah masalah ini.
Sayangnya, pemikiran zuhud yang dimoinan kala itu tidak dapat mengunyah
pernyataan. Akhirnya, Hallaj pun digantung.
Pada masa berikutnya, Abu Said Abul Khair
telah melakukan dua hal penting dalam kultur Persia: pertama, ia
berhasil memasukkan ajaran irfan ke masjid dan mushalla-mushalla. Dengan
tindakan ini, ia berhasil melenyapkan keterasingan irfan dari kultur
Islam; kedua, ia mampu menyederhanakan bahasa irfan dan berhasil menarik
perhatian masyarakat kepada ajaran ini.
Setelah Abu Sa’id meninggal dunia,
masyarakat membacakan syair-syair irfani di masjid-masjid. Sebelum ini,
pembacaan syair irfani di masjid dilarang. Sunah ini tersebar luas di
dunia Islam berkata usaha para pujangga seperti Sanaei, Aththar,
Maulana, dan lain sebagainya.
Pada hakikatnya, aliran irfan Khurasani yang
dipelopori oleh Sanaei, Aththar, Jami, dan Maulana adalan penerus
ajaran Hallaj, Bayazid Busthami, dan Abu Sa’id Abul Khair. Ini adalah
salah satu cabang penting irfan Islami pada masa itu.
Cabang irfan yang lain muncul dari sejak
masa Ibn Arabi hidup. Irfan ini lebih bersifat rasionalis ketimbang
cerapan hati (dzauq). Perbedaan antara Ibn Arabi dan Maulana adalah
bahwa dalam pemikiran Ibn Arabi, ada sebuah sistem untuk menafsirkan
fenomena. Segala sesuatu diinterpretasikan dengan saling berhubungan dan
teratur. Untuk itu, irfan Ibn Arabi bersifat setengah filosofis dan
ilmiah. Irfan ini, berbeda dengan diklaim oleh sebagian orang, tidak
bersifat dzauqi.
Sekalipun demikian, irfan ini sangat dalam dan oleh
karena itu sangat berpengaruh. Sayangnya, irfan ini banyak berkembang di
belahan barat Dunia Islam. Sementara itu, irfan Khurasani banyak
berkembang di belahan timur Dunia Islam.
Ibn Arabi yang muncul pada abad keenam
Hijriah berhasil mempengaruhi seluruh ajaran dan aliran irfan. Sampai
sekarang pun, tidak ada satu pun aliran irfan baru yang muncul ke
permukaan. Para pakar yang muncul setelah itu seperti Mulla Shadra dan
mereka yang muncul setelah periode Shafaiyah hanya menggabungkan aliran
irfan Ibn Arabi dan irfan Khurasani. Sebenarnya aliran ini adalah betuk
irfan ilmiah dari irfan Ibn Arabi dan dzauq irfan Khurasani. Muncullah
Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra.
Aliran irfan Ibn Arabi bak sebuah pohon.
Akar pohon ini merambat ke dalam beberapa aliran. Ini berarti bahwa ia
mengenal seluruh jenis pemikiran ini. Akan tetapi, ia tidak hanya
bersandarkan pada aliran-aliran ini. Ia juga mengenal dengan baik irfan
dzauqi Khurasani, Hakim Turmudzi, aliran filsafat yunani, India, dan
Iran kuno. Ia memanfaatkan seluruh jenis aliran ini dan membangunnya
menjadi sebuah aliran khusus.
Mungkin sebagian orang berkeyakinan bahwa
aliran irfan Ibn Arabi tidak memiliki daya tarik khusus sebagaimana yang
dimiliki oleh aliran irfan Khurasani. Tapi, menurut hemat penulis,
sekalipun aliran irfan Ibn Arbai memiliki banyak problem seperti, aliran
ini sangat memiliki daya tarik dan tersusun secara teratur. Untuk itu,
bisa diklaim bahwa aliran irfan Ibn Arabi adalah bak sebuah lautan yang
bermuara dari tujuh sungai. Jelas, maksud dari angka tujuh adalah
ungkapan alegoris. Maksud sebenarnya adalah banyak, karena muara irfan
Ibn Arabi lebih banyak dari angka ini.
Kriteria Irfan Islami
Irfan Islami memiliki beberapa kriteria.
Yang terpenting adalah kesesuaian aliran ini dengan syariat Islam. Kita
tidak bisa mengklaim ada sebuah aliran irfan dalam Islam yang
bertentangan dengan Al-Quran dan Sunah. Jika terbukti ada sebuah ajaran
irfan yang bertentangan dengan norma agama, kita terpaksa harus
melakukan takwil.
Kriteria kedua, irfan Islami adalah irfan
Islami memiliki tingkatan-tingkatan yang harus dititi secara bertahap.
Seoorang pesuluk pada hari pertama tidak dapat langsung sampai ke
peringkat akhir. Irfan ini harus dilalui melalui suluk yang harus
ditempuh secara bertahap satu peringkat demi peringkat.
Kriteria ketiga, seluruh tingkah dan
perilaku seorang pesuluk harus hanya dilandasi oleh taqarub kepada
Allah, bukan cinta dunia dan harta benda. Artinya, sekalipun kita
memandang irfan ini sebagai sebuah perantara dan fasilitas untuk
membersihkan diri, kita sebenarnya telah terjauhkan dari jalan irfani.
Kriteria keempat, irfan Islami tidak pernah
bertentangan dengan masyarakat. Orientasi irfan berpihak kepada
masyarakat. Abu Sa’id Abul Khair pernah mengungkapka, “Arif adalah orang
yang bersama masyarakat dan berada dalam masyarakat, tapi bukan dari
masyarakat.” “Hiduplah bersama masyarakat, tapi janganlah seperti
masyarakat.”
Kriteria kelima, segala sesuatu harus
bergerak menuju suatu arah yang dapat memperluas ruang gerak manusia,
bukan malah membatasinya. Segala sesuatu yang membatasi ruang gerak
manusia berarti ia bukan irfan.
Kriteria keenam, kecenderungan ke arah
keindahan. Tak satu pun aliran irfan di dunia ini yang memiliki
kecenderungan kepada keindahan seperti irfan Islami. Segala sesuatu yang
indah adalah menifestasi Allah.
Kriteria ketujuah, sastra yang sangat transedental. Artinya, arif berada dalam puncak sastra puisi dan prosa.
Kriteria kedelapan, irfan Islami memiliki
kemampuan untuk menarik hati kalangan bangsawan dan kalangan papa. Dalam
irfan Islami, tidak ada istilah kedudukan tinggi dan rendah. Seluruh
manusia memiliki kedudukan yang sama rata.
Mungkin irfan Islami masih memiliki kriteria
yang lain. Tapi delapan kriteria ini adalah kriteria-priteria penting
dalam irfan Islami.
Keistimewaan Irfan Islami
Irfan Islami memiliki beberapa keistimewaan
yang dianggap sangat baru oleh manusia di abad modern ini. Kita telaah
beberapa keistimewaan irfan pada kesempatan berikut ini:
Pertama, seseorang akan dipenuhi oleh
kesendirian. Ketika ia mendalami ajaran-ajaran irfani, ia tidak pernah
berpikir bahwa ada sebuah kesendirian yang mutlak. Mungkin ia terpisah,
tapi ia tidak sendirian. Ketika kita mengatakan terpisah, ia memiliki
sebuah pokok. Ia terpisah darinya dan merasa asing. Tapi ini bukan
berarti ia sendirian.
Kedua, irfan dapat memuaskan naluri
keindahan yang dimiliki oleh seesorang. Tidak ada suatu apapun dalam
pandangan seseorang yang lebih menarik daripada keindahan. Irfan Islami
dapat memenuhi naluri ini dengan sempurna.
Ketiga, irfan Islami membantu seseorang
untuk menyingkap seluruh kemampuan yang dimiliki. Mengenal diri adalah
pondasi utama ajaran irfan. Dan hal ini memberikan kesempatan kepada
seseorang untuk mengenal dirinya dengan baik.
Keempat, irfan Islami dapat memberikan
kesempatan kepada seseorang untuk merasakan rasa sakit yang dimiliki
oleh orang lain. Irfan tidak akan membuat seseorang merasa terasing dari
orang lain. Sebaliknya, irfan dapat menyatukan dengan perasaan orang
lain. Manusia dapat dikatakan manusia ketika ia menghormati orang lain
dan merasakan penderitaannya.
Kelima, irfan Islami dapat mewujudkan ribuan
makhluk sehati dan sejiwa. Di manapan kita menginjakkan kaki, kita
pasti memiliki makhluk yang sejiwa. Dalam ungkapan Maulana, kesehatian
itu lebih manis daripada kesamaan bahasa. Ini adalah sebuah masalah yang
sangat penting. Pondasi utama ajaran irfan berdiri tegak di atas
kesehatian, bukan kesamaan bahasa. Setiap orang yang memiliki pemikiran
seperti kita, di manapun ia berada, ia berarti bersama kita.
Keenam, irfan Islami memperkenalkan ajaran spiritual masa lalu kepada kita dalam jumlahnya yang sangat banyak.
Ketujuh, irfan Islami mengajarkan kita
supaya terus melangkah ke depan. Dalam ajaran ini ditegaskan, janganlah
berjalan di tempat. Melangkahlah satu langkah ke depan. Seluruh yang
Anda miliki adalah sedikit. Melangkahlah satu langkah ke depan.
Kedelapan, irfan Islami memperkenalkan
Hadirat Qudsi kepada kita. Dan ini adalah yang terpenting. Kehidupan
manusia bukan cuma tidur, makan, membakar amarah, dan mengumbar syahwat.
Sekalipun demikian, ajaran ini tidak menafikan sisi jasmaniah dan
material manusia. Kecintaan jasmaniah bukanlah ujuran jalan, tapi
permulaan sebuah jalan. Jika Dunia Barat hari ini menetapkan kenikmatan
jasmaniah sebagai pondasi seluruh kenikmatan, pemikiran seperti ini
dinafikan dalam ajaran irfan Islami. Iya, irfan Islami tidak menafikan
hal ini. Menurutnya, kenikmatan jasmaniah bukan ujung perjalanan, tapi
permulaan sebuah perjalanan.
Apakah Tasawuf adalah Irfan?
Dalam banyak karya tulis, kosa kata “irfan”
dan “tasawuf” diartikan sebagai dua kata yang sinonim. Sebagian ahli
malah menganggap “tasawuf” sinonim dengan “irfan Islami”. Atas dasar
ini, mereka tidak memperbolehkan kosa kata ini digabungkan dengan kosa
lain yang tidak Islami, seperti tasawuf Yahudi, tasawuf Kristen, dan
tasawuf India. Sekarang, dalam tradisi kalangan orientalis, terminologi
seperti ini sangat banyak ditemukan. Ketika mereka mengatakan “tasawuf”
atau “sufisme”, maksud mereka tidak lain adalah “irfan Islami”. Akan
tetapi, dalam tradisi mazhab Syiah, tasawuf memiliki arti negatif dan
irfan memiliki arti positif.
Dalam tradisi mazhab Syiah, kata “tasawuf”
biasanya digunakan untuk orang-orang yang menampakkan diri sebagai orang
sufi atau aliran-aliran irfan palsu. Atas dasar ini, mereka tidak
menyebut para figur seperti Mulla Husainquli Hamadani, Qadhi Tabatabaei,
Allamah Tabatabaei, dan Imam Khomeini sebagai figur-figur sufi. Mereka
adalah orang-orang arif.
Supaya kita dapat menemukan perbedaan yang
jelas antara irfan dan tasawuf, pertama kali kita harus mendefinisikan
tasawuf dengan baik.
Dalam sebagian definisi, tasawuf tidak
memiliki perbedaan dengan irfan, khususnya irfan amali. Mari kita
perhatikan beberapa contoh di bawah ini:
– Ma’ruf Karkhi menulis, “Tasawuf adalah
menerima seluruh hakikat, mengucapkan segala sesuatu dengan penuh
kejelian, dan tidak merasa memerlukan segala sesuatu yang ada di tangan
manusia.”
– Abu Sa’id Abul Khair menulis, “Tasawuf
adalah kesabaran menerima perintah dan larangan Ilahi, serta rida dan
menerima segala ketentuan Ilahi.”
– Ketika Ibn Arabi ditanya tentang maksud
tasawuf, ia menjawab, “Tasawuf adalah melakukan seluruh tata krama
syariat, baik secara lahiriah maupun batiniah. Dan ini adalah akhlak
yang mulia.”
Jelas sekali, jika maksud tasawuf adalah
definisi-definisi yang telah disebutkan oleh para tokoh di atas, tasawuf
tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan irfan amali, dan tak
seorang pun menentang hal ini. Malah sebaliknya, kita harus melangkahkan
kaki untuk mewujudkan tasawuf seperti ini dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, apabila kita ingin
mendefinisikan tasawuf dengan melihat realita di alam nyata, banyak
orang yang telah dikenal sebagai sufi tidak layak menyandang
definisi-definisi tersebut di atas, baik dalam ranah ilmiah maupun
amaliah. Mereka bukan hanya tidak mengamalkan syariat, bahkan mereka
melarang para murid mereka untuk mengamalkannya. Mereka bukan hanya
tidak melarikan diri dari dunia dan kegemerlapan duniawi, mereka malah
berlomba-lomba menumpuk dunia. Mereka bukan hanya tidak melarikan dari
dari ketenaran, malah seluruh mimpi dan keinginan mereka adalah
ketamakan. Mereka bukan hanya tidak mau bertobat, mereka malah
menganggap diri mereka lebih tinggi dari arti tobat sehingga memiliki
maqam kemaksuman. Mereka menganggap diri mereka bersambung dengan air
kur yang tidak dapat dinajiskan oleh apapun.
Jika tasawuf dicela dalam beberapa hadis,
hal ini menunjukkan bahwa definisi-definisi di atas tidak memiliki
pengejawantahan di dunia nyata. Jika tidak demikian, mengapa Rasulullah
saw dan para Imam Maksum as harus menentang aliran tasawuf?
Kisah tentang perdebatan Imam Shadiq as
dengan golongan sufi banyak disebutkan dalam buku-buku referensi hadis.
Pembaca yang berminat menelaah masalah ini bisa merujuk buku Hadiqoh
Al-Syi’ah karya Mulla Ahmad bin Ahmad yang lebih dikenal dengan nama
Muqaddas Ardebili (wafat tahun 993 H.). Mungkin sebagian sanad
hadis-hadis yang termaktub dalam buku ini masih berproblema, tapi secara
keseluruhan membuktikan bahwa cercaan dan kritikan pedas yang ada dalam
hadis-hadis ini menunjukkan definisi-definisi tasawuf di atas tidak
terwujudkan dalam diri—paling tidak—sebagian mereka yang mengaku sufi.
Jika tidak demikian, tidak alasan para Imam Maksum as mencerca dengan
mengkritik mereka dengan sangat pedas.
Satu hal layak kita perhatikan di sini.
Pertama kali, irfan Islami dan tasawuf juga sama-sama pernah mengalami
penyelwengan. Irfan Islami sebenarnya adalah sebuah ajaran-ajaran batin
yang pernah diberikan kepada para sahabat khusus. Banyak sahabat
terkemuka seperti Uwais Qarani, Abu Hamzah Tsumali, Kumail bin Ziyad,
dan lain sebagainya memiliki ajaran-ajaran ini. Ahlul Bait as memiliki
dua keistimewaan: pertama, mereka menguasai hati manusia (kekuasaan
batiniah) dan kedua, mereka memegang tampuk pemerintahan di tengah
masyarakat luas (kekuasaan lahiriah). Sekalipun pihak oposisi berhasil
merebut kekuasaan lahiriah ini, masih menyaksikan kekuasaan batiniah
mereka dalam relung kalbu masyarakat. Untuk menghadapi kekuasaan ini,
para perampas kekuasaan lahiriah itu menciptakan aliran-aliran batiniah
sempalan.
Seorang sufi seperti Sufyan Tsauri yang
berpakaian compang-camping dan ahli zuhud pernah memprotes Imam Shadiq
as yang berpakaian serba bersih dan teratur rapi. Imam Shadiq as
mengambil Sufyan dan memasukkannya ke bagian dalam pakaiannya yang
kasar. Ia lantas berkata, “Saya masih mengenakan pakaian kasar di bagian
dalam pakaianku supaya saya tidak membiasakannya terhadap pakaian halus
dan lembut. Engkau sendiri mengenakan pakaian halus dan lembut di bawah
pakaian yang kasar dan compang-camping ini.”
Fenomena lahiriahisme ini masih terus
menerus melakukan perlawanan hingga masa kini. Sekalipun demikian, irfan
hakiki mash tetap meneruskan kehidupan dengan berpindah-pindah dari
dada ke dada.
Sebuah Kata Bernama “Spiritual”
Pada dasawarsa terakhir ini, ada sebuah
terminologi yang mencuat ke permukaan; yaitu kosa kata “spiritual”.
Sebagian penulis mengklaim, era modern ini adalah era spiritual.
Sebagian penulis juga memprediksikan, abad XXI adalah abad spiritual.
Jika tidak demikian, tidak ada abad lagi setelah ini. Artinya,
menghadapi fasilitas pembunuh masa yang berhasil mereka ciptakan,
modernisasi, dan tuntutan-tuntutan kehidupan industri, jika mereka tidak
bergerak ke arah spiritual, mereka akan musnah ditelan masa.
Pertanyaan yang penting sekarang adalah
apakah maksud dari kosa kata “spiritual” ini? Terminologi ini sudah
berpuluh-puluh tahun mencuat dalam tulisan-tulisan para pakar Dunia
Barat. Tapi, sayangnya sampai sekarang belum ada definisi kongkrit yang
diberikan oleh mereka. Oleh karena itu, batasan-batasan terminologi dan
persamaan serta perbedaannya dengan agama dan irfan tidak begitu jelas.
Tapi satu hal yang sangat jelas bagi kita.
Bangsa Barat, dengan bersandarkan pada pondasi humanisme dan
sekularisme, ingin menjawab seluruh kebutuhan spiritual manusia abad
modern. Oleh karena itu, spiritualisme yang sedang berkembang di Dunia
Barat, pada umunya, berlandaskan pada asas sekular dan ideologi liberal.
Sebagai contoh nyata, sebagian spiritualisme Timur yang sedang aktif di
Dunia Barat seperti Budhisme dan Hinduisme sejalan dengan prinsip
sekular Barat, atau paling tidak, bentuk spiritualisme yang telah
disesuaikan dengan prinsip ini.
Spiritualisme baru tidak meyakini sebagai
aliran yang berbasiskan keyakinan kepada Tuhan, apalagi harus
berlandaskan ajaran agama. Mereka mencari spiritual di luar ruang
lingkup ajaran agama Ilahi. Berdasarkan realita ini, para penyembah
setan dan aksi penjinakan jin juga dihitung sebagai ajaran-ajaran
spiritual.
Berdasarkan keyakinan Dunia Barat di atas,
maksud dari “spiritualisme” adalah segala sesuatu yang dapat
dimanfaatkan guna memunculkan resistensi dalam diri kita untuk
menghadapi kegundahan batin yang sekarang ini sedang mengancam setiap
jiwa manusia. Spiritualisme seperti ini tidak mewajibkan sebuah
keyakinan terhadap Allah, tidak memerlukan ajaran-ajaran para nabi, dan
juga tidak butuh kepada dunia lain yang akan muncul setelah dunia ini.
Yang diperlukan oleh manusia dalam spiritualisme ini adalah sebuah
keridaan batin yang sesuai dengan kehidupan duniawi ini.
Dengan ini, jelas bahwa spiritualisme yang
dalam ajaran agama dan spiritualisme seperti ini sangat berbeda.
Spiritualisme agama tidak membatasi kehidupan manusia hanya di dunia
ini. Bahkan, kehidupan asli bagi manusia adalah alam akhirat.
(teosophy/Shabestan/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar