Kenapa Mu’awiyah tidak menjadi kafir zindiq padahal dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali – Fatimah – Hasan dan Husain ??
Kenapa Mu’awiyah hadisnya diterima lalu dianggap tsiqah dan adil padahal dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali – Fatimah – Hasan dan Husain ??
Banyak kitab sejarah mencatat bahwa “Khalifah Bani Umayyah memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Pemerintah Bani Umayyah menyuruh khatib khatib untuk melaknat keluarga Ali”, contoh :
- Kitab Al Ahdats karya Ali Al Madini (gurunya Bukhari).
- Tarikh Ibnu Asakir jilid 4 halaman 69.
- Tarikh Ibnu Ishaq.
- Tarikh Ibnu Khaldun 3/55-58.
- Musnad Ahmad jilid 1 halaman 188.
- Mustadrak Al Hakim jilid 1 halaman 358.
Abi Sa’id al-Khudri berkata:
“Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah Saw keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan perintah.”.
Abu Sa’id melanjutkan:
“Cara seperti ini dilanjutkan oleh para
sahabatnya sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul
Fitri atau Idul Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah. Sesampainya
di sana Marwan langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh Katsir bin
Shalt. Aku tarik bajunya. Tapi dia menolakku. Marwan kemudian
memulai khotbah Id-nya sebelum shalat. Kukatakan padanya: “Demi Allah
kalian telah rubah.” “Wahai Aba Sa’id” Tukas Marwan, “Telah sirna apa
yang kau ketahui” Kukatakan padanya: “Demi Allah, apa yang
kutahu adalah lebih baik dari apa yang tidak kuketahui.” Kemudian Marwan
berkata lagi: “Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khotbah
kami seusai shalat. Karena itu kulakukan khotbah sebelumnya.”.[1]
Coba teliti gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini
berani merubah Sunnah Nabi. Itu dikarenakan Bani Umaiyah (yang
mayoritasnya adalah sahabat Nabi) terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang
konon sebagai Penulis Wahyu, senantiasa memaksa kaum muslimin untuk
mencaci dan melaknat Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar- mimbar masjid.
Muawiyah memerintahkan orang-orangnya di setiap negeri untuk menjadikan
cacian dan laknat pada Ali sebagai suatu tradisi yang mesti dinyatakan
oleh para khatib.
Ketika sejumlah sahabat protes atas ketetapan ini, Muawiyah tidak segan-segan
memerintahkan mereka dibunuh atau dibakar. Muawiyah telah membunuh
sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti Hujur bin U’dai beserta
para pengikutnya, dan sebagian lain dikuburkan hidup-hidup.
“Kesalahan” mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata karena enggan mengutuk Ali dan bersikap protes atas dekrit Muawiyah.
Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah
Dan Kerajaan) menukil dari Hasan al-Bashri yang berkata: “Ada empat hal
dalam diri Muawiyah, yang apabila satu saja ada pada dirinya, itu sudah
cukup sebagai alasan untuk mencelakakannya:
- Dia berkuasa tanpa melakukan sebarang musyawarah sementara sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya kemuliaan masih hidup.
- Dia melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin setelahnya, padahal sang putera adalah seorang pemabuk dan pecandu minuman keras dan musikus.
- Dia menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai puteranya, padahal Nabi Saw bersabda: “Anak adalah milik sang ayah, sementara yang melacur dikenakan sanksi rajam.
- Dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya. Karena itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur; dan celakalah dia karena Hujur dan para pengikutnya.[2]
Sebagian sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena
tidak mau mendengar khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan
keluarganya. Itulah kenapa Bani Umaiyah merubah Sunnah Nabi ini dengan
mendahulukan khotbah sebelum shalat agar yang hadir terpaksa
mendengarnya.
Nah, sahabat jenis apa yang berani merubah Sunnah Nabinya, bahkan
hukum-hukum Allah sekalipun semata-mata demi meraih cita-citanya yang
rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah terukir. Bagaimana
mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari segala dosa
dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bersalawat kepadanya
sebagaimana kepada Rasul-Nya.
Allah juga telah mewajibkan kepada semua manusia untuk mencintainya hingga Nabi Saw bersabda:
“Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak.“.[3]
Namun sahabat-sahabat seperti ini telah merubahnya. Mereka berkata,
kami telah dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak
mematuhinya. Seharusnya mereka bersalawat kepadanya, mencintainya dan
taat patuh kepadanya; namun sebaliknya mereka telah mencaci dan
melaknatnya sepanjang enam puluh tahun, seperti yang dicatat oleh
sejarah.
Apabila sahabat-sahabat Musa pernah sepakat mengancam nyawa Harun
dan hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat Muhammad Saw telah
membunuh “Harun-nya” (yakni Ali) dan mengejar-ngejar anak keturunannya
serta para Syi’ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah hapuskan
nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka.
Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agungpun mereka
paksa untuk melakukan hal yang serupa. Demi Allah, sangat mengherankan
ketika membaca buku-buku referensi kitab ahl-Sunnah yang memuat berbagai
Hadits yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak
pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah Hadits-Hadits lain yang
mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain.
Sehingga Nabi Saw bersabda:
“Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.”[4]
Atau sabdanya:
“Engkau dariku dan aku darimu”.[5]
Dan sabdanya lagi:
“Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak”.[6]
Sabdanya:
“Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya”.[7]
Dan sabdanya:
“Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku.“[8]
Dan sabdanya:
“Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya)
maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila’nya dan
musuhilah mereka yang memusuhinya.“[9]
Apabila kita ingin mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan
oleh Nabi Saw dan yang diriwayatkan oleh para ulama ahl-Sunnah dengan
sanadnya yang shahih, maka ia pasti akan memerlukan suatu buku
tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah sahabat seperti itu pura-pura
tidak tahu akan Hadits ini, lalu mencacinya, memusuhinya, melaknatnya
dari atas mimbar dan membunuh atau memerangi mereka?
Orang pertama yang pernah mengancam akan membakar rumahnya (Ali)
beserta para penghuni yang ada di dalamnya adalah Umar bin Khattab;
orang pertama yang memeranginya adalah Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin
Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan dan A’mr bin A’sh dan
sebagainya.
Rasa terkejut dan kagetku bertambah dalam dan seakan tidak akan berakhir.
Setiap orang yang berpikir rasional akan segera mendukung
pendapatku ini. Bagaimana ulama-ulama Ahlu Sunnah sepakat mengatakan
bahwa semua sahabat adalah adil sambil mengucapkan “Radhiallahu Anhum”,
bahkan mengucapkan salawat untuk mereka tanpa kecuali.
Sehingga ada yang berkata, “Laknatlah Yazid tapi jangan berlebihan“.
Apa yang dapat kita bayangkan tentang Yazid yang telah melakukan
tragedi yang sangat tragis ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh
akal dan agama. Aku nyatakan kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah, jika mereka
benar-benar mengikut Sunnah Nabi, agar meninjau hukum Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi secara cermat dan seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan
kekufurannya.
Rasululah Saw telah bersabda:
“Siapa yang mencaci Ali maka dia telah mencaciku; dan siapa
yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah; dan siapa yang mencaci
Allah maka Aku akan menjatuhkannya ke dalam api neraka.“[10]
Demikian itu adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka
bagaimana pula apabila ada orang yang melaknatnya dan memeranginya. Mana
alim-ulama kita dari hakikat kebenaran ini? Apakah hati mereka telah
tertutup rapat?
Anas bin Malik berkata:
“Tiada sesuatu yang kuketahui di zaman nabi lebih baik dari
(hukum) shalat.” Kemudian dia bertanya: “Tidakkah kalian kehilangan
sesuatu di dalam shalat?”
Az-Zuhri pernah bercerita:
“Suatu hari aku berjumpa dengan Anas bin Malik di Damsyik.
Saat itu beliau sedang menangis. “Apa yang menyebabkan Anda menangis?”,
tanyaku. “Aku telah lupa segala yang kuketahui melainkan shalat ini.
Itupun telah kusia-siakan.” Jawab Anas.[11]
Agar jangan sampai terkeliru dengan mengatakan bahwa para
Tabi’inlah yang merubah segala sesuatu setelah terjadinya sejumlah
fitnah, perselisihan dan serta peperangan, ingin kunyatakan di sini
bahwa orang pertama yang merubah Sunnah Rasul dalam hal shalat adalah
khalifah muslimin yang ketiga, yakni Utsman bin Affan. Begitu juga Ummul
Mukminin Aisyah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitabnya bahwa
Rasulullah Saw menunaikan shalat di Mina dua rakaat (qashar). Begitu
juga Abu Bakar, Umar dan periode awal dari kekhalifahan Utsman. Setelah
itu Utsman Shalat di sana (Mina) sebanyak empat rakaat.”[12]
Muslim juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Zuhri berkata:
“Suatu hari aku bertanya pada Urwah kenapa Aisyah shalat empat rakaat
dalam perjalanan musafirnya?”
“Aisyah telah melakukan takwil sebagaimana Utsman”[13]
jawabnya. Umar bin Khattab juga tidak jarang berijtihad dan bertakwil di
hadapan nas-nas Nabi yang sangat jelas, bahkan dihadapan nas-nas
Al-Qur’an, lalu kemudian menjatuhkan hukuman mengikut pendapatnya.
Beliau pernah berkata:
“Dua mut’ah yang dahulunya (halal) dan
dilakukan di zaman Nabi, kini aku melarangnya dan mengenakan hukuman
bagi orang yang melaksanakannya[14], (bertamattu’ dalam haji dan nikah
mut’ah pent.) Beliau juga pernah berkata kepada orang yang junub tetapi
tidak memperoleh air untuk mandi, “Jangan sembahyang”
.
Walaupun ada firman Allah di dalam surah al-Maidah ayat 6:
“… Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih”.
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Idza Khofa
al-Junub A’la Nafsihi (Apabila Orang Junub Takut Akan Dirinya) berikut:
“Kudengar
Syaqiq bin Salmah berkata, suatu hari aku hadir dalam majlis Abdillah
dan Abu Musa. Abu Musa bertanya pada Abdillah bagaimana pendapatmu
tentang orang yang junub kemudian tidak memperoleh air untuk mandi?”
Abdillah menjawab, “dia tidak perlu shalat sampai ia temukan air.” Abu
Musa bertanya lagi, “bagaimana pendapatmu tentang jawaban Nabi kepada
Ammar dalam masalah yang sama ini?” Abdullah menjawab, “Umar tidak
begitu yakin dengan itu.” Abu Musa melanjutkan, “lalu bagaimana dengan
ayat ini, (al-Maidah: 6)?” Abdullah diam tidak menjawab. Kemudian dia
berkata, “apabila kita izinkan mereka (melakukan tayammum), niscaya
mereka akan bertayammum saja dan tidak akan menggunakan air apabila
udaranya dirasakan dingin. ” Kukatakan pada Syaqiqbahwa Abdillah
sebenarnya tidak suka lantaran ini semata-mata; dan Syaqiq pun
mengiakan”.
Kesaksian Sahabat atas Diri Mereka
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda kepada kaum Anshar: “Suatu
hari kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat sepeninggalku.
Karena itu bersabarlah sehingga kalian menemui Allah dan Rasul-Nya di
telaga haudh.” Anas berkata, “Kami tidak sabar.“.[15]
Ala’ bin Musayyab dari ayahnya pernah berkata: “Aku berjumpa
dengan Barra’ bin A’zib ra. Kukatakan padanya, “berbahagialah Anda
karena dapat bersahabat dengan Nabi SAWW dan membai’atnya di bawah pohon
(bai’ah tahta syajarah). Barra’ menjawab, “wahai putera saudaraku, engkau tidak tahu apa yang telah kami lakukan sepeninggalnya.”.[16]
Jika sahabat utama yang tergolong di antara as-Sabiqin al-Awwalin
dan pernah membai’at Nabi di bawah pohon, serta Allah rela kepada mereka
dan Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka sehingga diberinya
ganjaran yang besar; apabila sahabat-sahabat ini kemudian bersaksi bahwa
dirinya dan para sahabat yang lain telah melakukan “sesuatu”
sepeninggal Nabi, bukankah pengakuan mereka ini adalah bukti kebenaran
yang disabdakan oleh Nabi Saw bahwa sebagian dari sahabatnya akan
berpaling darinya sepeninggalnya.
Apakah seseorang yang berpikir rasional akan tetap mengatakan bahwa
semua sahabat adalah adil seperti yang diklaim oleh Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah. Mereka yang mengklaim seperti itu jelas telah menyalahi nas dan
akal. Karena dengan demikian hilanglah segala kriteria intelektual yang
sepatutnya dijadikan pegangan sebuah penelitian dan kajian.
—————————————
Referensi:
- Shahih Bukhari jil. 1 hal. 122.
- Al-Khilafah Wal Muluk Oleh al-Maududi hal. 106.
- Shahih Muslim jil. 2 hal. 61
- Shahih Bukhari jil. 2 hal. 305; Shahih Muslim jil. 2 hal. 366; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109.
- Shahih Bukhari jil. 1 hal. 76; Shahih Turmidzi jil. 5 hal. 300; Shahih Ibnu Majahjil. 1 hal. 44
- Shahih Muslim jil. 1 hal. 61; Sunan an-Nasai jil. 6 hal. 177; Shahih Turmudzi jil. 8 hal. 306.
- Shahih Thurmudzi jil. 5 hal. 201; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 126.
- Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 5 hal. 25; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 134.
- Shahih Muslim jil.2 hal.362; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal, 281.
- Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 121; Khasais an-Nasai hal. 24; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 6 hal. 33; Manaqib al-Khawarizmi hal. 81; ar-Riyadh an Nadhirah oleh Thabari jil. 2 hal. 219; Tarikh as-Suyuti hal. 73.
- Shahih Bukhari jil.l hal.74
- Shahih Bukhari jil. 2 hal. 154; Shahih Muslim jil. 1 hal. 260
- Shahih Muslim jil. 2 hal.134.
- Shahih Bukhari jil. 1 hal. 54
- Shahih Bukhari jil. 2 hal. 135
- Shahih Bukhari jil.3 hal. 32.
0 komentar:
Posting Komentar