Oleh: Mahdi Hairi Yazdi
Faktor prinsipil dan fundamental dalam kelogisan dan luasnya popularitas filsafat Iluminasi adalah ilmu bahasa pengetahuan mistik (makrifat irfan).[1] Ilmu dan makrifat ini dipelopori dan dikembangkan oleh Ibn Al-Arabi (1165-1240). Sebagaimana akan ditunjukkan di dalam pembahasan ini, Irfan mesti diposisikan sebagai ilmu bahasa pengetahuan mistik, dan merupakan ungkapan pengalaman-pengalaman mistik baik dalam perjalanan mi’raj yang introvertif (perjalanan internal kejiwaan secara menaik) maupun proses penurunan yang ekstrovertif (proses pengenalan mistik terhadap hakikat-hakikat eksternal). Segala usaha dan upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi Irfan sebagai sebuah pengetahuan yang mandiri dan berbeda dari filsafat, teologi (kalam), dan agama.
Keberhasilan dan prestasi besar Ibnu ‘Arabi dalam
pengetahuan baru yang terkerangka baik ini adalah doktrinnya yang
masyhur tentang “kesatuan wujud”[2] (wahdat al-wujud) yang mutlak. Doktrin ini dilandaskan pada proposisi bahwa seluruh realitas eksistensi dan apa-apa yang benar-benar eksis (al-wujud wa al-mawjud)
adalah mutlak satu, tunggal, dan sama. Dan bahwa semua kejamakan yang
ada di alam realitas, baik yang bersifat materi (yang dapat terindera
secara lahiriah) maupun nonmateri (yang bisa tercerap secara
intelektual), hanyalah semata-mata bersifat majasi yang hadir dalam
pikiran kita dimana bagaikan bayangan kedua dari sebuah benda yang
bermain dalam bola mata orang yang juling. Kesimpulan pembahasan kami
menegaskan bahwa doktrin Ibn ‘Arabi mengenai kesatuan wujud tidak
berwarna panteistik ataupun monoteistik mutlak, seperti yang ditafsirkan
oleh hampir semua ilmuwan. Melainkan, ajaran ini harus dipahami sebagai
monorealistik (wahdah asy-syakhsh), yang menegaskan pandangan ketakberagaman dan keketatan arti ketunggalan dan kesatuan alam realitas.[3]
Melalui berbagai pengalaman mistik dan dengan menggunakan sarana ilmu
bahasa yang disebut Iirfan, Ibn ‘Arabi berupaya menyuguhkan kebenaran
mistik ajaran kesatuan wujud dan mengemukakan garis besar
prinsip-prinsip, problem-problem dan konsekuensi-konsekuensinya.
Penjelasan Ibn Al-‘Arabi yang bagus mengenai ajaran ini tidak hanya
sangat mempengaruhi kalangan filosofis dan teologis, akan tetapi di
samping itu juga membawakan suatu pola kehidupan alternatif bagi
bangunan sosial dan politik masyarakat Muslim.
Belakangan, versi mistikontologi (pengenalan eksistensi
secara mistikal) alam realitas ini juga dipengaruhi secara mendalam oleh
prinsip-prinsip filosofis ontologi (filsafat eksistensi) Islam,
meskipun tak diragukan lagi adanya perbedaan besar antara pandangan
monorealistik (wahdah asy-syakhsh al-wujud) yang begitu murni
mistik dengan pendekatan filosofis terhadap “kesatuan dalam kejamakan”
dan “kejamakan dalam ketunggalan” dari gagasan eksistensi yang diusulkan
oleh Shadr Al-Din Syirazi.
Kembali kepada topik latar belakang historis pengetahuan
iluminatif, refleksi terhadap penafsiran awal gagasan-gagasan
Aristoteles tentang Akal Aktif dan kausa efisien, serta
pertimbangan-pertimbangan mistik, tampaknya cukup untuk membawa kita
kepada suatu kesimpulan yang menjadi pokok perhatian kajian ini. Sebab
meningkatnya arti penting pengetahuan iluminatif yang disebut di muka
dalam mendekati masalah akal manusia dalam hubungannya dengan akal
Ilahi.
Berdasarkan sistem filsafat pengetahuan ini, pembuktian
atau pembantahan hipotesis mistisisme dan kebenaran atau kepalsuan
pernyataan-pernyataannya yang paradoks bukan semata-mata hasil penilaian
individual melalui akal teoritis yang tidak mendasar, melainkan memang
sangat mungkin untuk melakukan pendekatan analitis terhadap masalah
mistisisme secara rasional. Terlebih lagi, secara filosofis adalah sah
untuk berbicara tentang diri dan hakikat jiwa, maupun hubungan yang
sangat pribadi antara jiwa dengan penginderaannya, fakultas-fakultas
pencerapannya, dan badannya. Semua ini pada prinsipnya bisa diperoleh
melalui ilmu hudhuri secara logis.
Ilmu Hudhuri dalam Perspektif Filsafat Iluminasi
Walaupun Ibnu Rusyd pada akhirnya terdorong ke arah sejenis
pengetahuan melalui penyatuan eksistensial dengan substansi-substansi
mandiri yang Ilahi, akan tetapi dia tidak berhasil memberikan penguraian
dan penjelasan yang sempurna mengenai teori ilmu hudhuri. Suatu
penjabaran filosofis berkaitan dengan ilmu hudhuri hadir untuk pertama
kalinya dalam sejarah tradisi Islam dalam filsafat Iluminasi, yang
perintis utamanya adalah Syihab Al-Din Suhrawardi (Syaikh Al-Isyraq).
Meskipun dalam hal ini, tokoh penting, Nashir Al-Din Thusi (w.1274) yang
prestasi besarnya berhubungan dengan ilmu hudhuri berkisar pada
persoalan pengetahuan Tuhan mengenai Diri-Nya sendiri dan
pengetahuan-Nya mengenai alam semesta. Mengenai komentarnya tentang
gagasan emanasi Ibnu Sina, perhatian Syaikh Thusi yang medasar adalah
memberikan solusi atas pertanyaan: Bagaimana Tuhan sebagai Wujud yang
Niscaya (Wajibul Wujud), yang juga bersifat mesti dalam
tindakan dan pengetahuan-Nya, mengetahui emanasi-Nya? Suhrawardi
mempercayai bahwa orang tidak bisa melakukan penelitian ke dalam
pengetahuan orang lain yang berada di luar realitas dirinya sendiri
sebelum masuk secara mendalam ke dalam pengetahuan tentang kediriannya
sendiri yang tak lain adalah ilmu hudhuri itu sendiri.
Berkaitan dengan mimpinya tentang Aristoteles, pernyataan
mukadimah Suhrawardi adalah keluhannya mengenai kesulitan besar yang
telah membingungkan dirinya untuk waktu yang lama menyangkut masalah
pengetahuan manusia. Satu-satunya solusi yang diajarkan oleh Aristoteles
kepadanya dalam trans mistik ini adalah: “Berpikirlah tentang dirimu
sendiri sebelum berpikir tentang yang lain. Apabila itu kau lakukan,
engkau akan menemukan bahwa kedirian dirimu sendiri yang membantumu
menyelesaikan masalahmu”.[4]
Dalam segala bentuknya, filsafat Iluminasi Suhrawardi
sepenuhnya berasaskan dengan dimensi-dimensi pengetahuan yang menyatu
dengan kesadaran eksistensial dan ontologis manusia. Dia mengkontruksi
dasar-dasar dan landasan-landasan persepsi intelektual dan pengalaman
inderawi kita itu dengan analisis filosofis yang mendalam dari ilmu
hudhuri.
Istilah “kehadiran” (hudhur) atau “pengetahuan
dengan kehadiran” sangat sering muncul dalam karya-karya Plotinus, dan
juga paparan-paparan filosofis Neoplatonis lainnya. Mengapa bentuk
pengetahuan dan makrifat ini harus memiliki tempat dalam realitas diri
individual merupakan suatu persoalan yang tidak secara eksplisit
dijelajahi dalam batang tubuh filsafat Neoplatonis.
Pertanyaan utama yang dengannya Suhrawardi memulai
penyelidikannya adalah: Apakah acuan obyektif “aku” ketika digunakan ke
dalam pernyataan yang lazim seperti “aku kira begini atau begitu” atau
“aku melakukan ini atau itu?” Doktrin Suhrawardi mengenai ilmu hudhuri
ditandai oleh ciri intrinsik “swa-obyektivitas”, baik dalam mistisisme
maupun dalam manifestasi lain dari pengetahuan ini. Karena sifat
esensial pengetahuan adalah bahwa realitas kesadaran dan realitas yang
disadari oleh diri secara eksistensial adalah sama. Dengan mengambil
hipotesis kesadaran-diri sebagai contoh, dia mengemukakan bahwa diri
haruslah secara mutlak sadar akan dirinya tanpa perantaraan representasi
dan konsepsional. Suatu representasi diri yang bagaimanapun, empiris
ataupun transenden, pasti menjadikan hipotesis kesadaran-diri mengandung
kontradiksi. Sebaliknya, dengan kehadiran realitas diri itu sendirilah
diri sadar akan dirinya secara mutlak. Konsekuensinya, diri dan
pengetahuan-diri secara individual dan numerik merupakan entitas
tunggal, tak berangkap, dan basith. Rangkaian pemikiran ini
sampai secara langsung, dan tak terhindarkan, pada gagasan mengenai
swa-obyektivitas ilmu hudhuri. Betapapun, swa-obyektivitas yang
merupakan ciri utama teori ilmu hudhuri yang dibahas dalam kajian ini,
harus dibedakan dari spesies-spesies pengetahuan manusia yang lain.[5]
Filsafat Eksistensi Islam (Prinsipalitas Wujud)
Lama sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat ini, yang
berlanjut pada arah yang sama, memunculkan keberhasilan lain yang juga
bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya. Yakni munculnya satu
jenis filsafat “prinsipalitas wujud” Islam, yang secara resmi disebut ashalah al-wujud.
Pendiri madzhab filsafat ini adalah Shadr Al-Din Syirazi (Mulla
Shadra), yang menyebut metodologi pemikirannya “filsafat transendental” (al-hikmah al-muta’aliyah).[6]
Sifat dasar filsafat transendental atau Hikmah Muta’aliyah
Mulla Shadra adalah bahwa ia memberikan suatu metode metalinguistik
dalam filsafat yang dengan menggunakannya bisa dihasilkan
keputusan-keputus[7]an
independen mengenai keabsahan dan kekuatan semua isu filosofis dan
persoalan logika -baik yang Platonis, Aristotelian, Neoplatonis, mistik,
ataupun religius. Proses pembuatan keputusan bisa dilaksanakan tanpa
terlibat dalam kekhususan-kekhususan masing-masing sistem ini. Upaya
pertama Mulla Shadra adalah dengan memberikan sebuah makna yang bersifat
univok, gamblang (badihi), dan primordial (azali) kepada istilah “eksistensi dan wujud”[8].
Dengan ini dia bermaksud menegaskan bahwa konsep eksistensi bisa
menyerap dan mengakomodasi dalam dirinya semua bentuk dan derajat
realitas pada umumnya, dan khususnya mengatasi distingsi Platonik antara
“mengada” dan “menjadi”. Dengan demikian, istilah eksistensi ekivalen
dengan istilah “realitas”, dan diterapkan kepada eksistensi Tuhan dengan
makna univok yang sama seperti ketika diterapkan pada eksistensi obyek
fenomenal manapun (eksistensi selain Tuhan). Dalam pandangan Mulla
Shadra tidak terdapat alasan yang kuat untuk memisahkan tatanan wujud
dari tatanan akal, atau dari jenis “mengetahui” yang manapun.
Ringkasnya, apapun yang muncul dari “ketiadaan” mutlak ke dalam suatu
derajat realisasi –tak soal betapa lemahnya ia, atau yang ada, dari
keabadian, di alam realitas, benar-benar dipertimbangkan sebagai suatu
eksistensi dan wujud. Karenanya, eksistensi merupakan suatu konsep, ide,
dan intensi (mafhum) yang secara hakiki bersifat tanpa
perantara atau segera (yakni langsung menunjuk obyeknya) dan merupakan
konsep yang paling luas penerapannya.[9]
Kegamblangan makna eksistensi dalam filsafat Mulla Shadra
inilah yang membentuk sifat terdalam dari konsep tersebut. Pada sisi
luar konsep wujud ini, tidak lain adalah gradasi dan variasi dari
pengertian kegamblangan makna tersebut, karena alasan adanya variasi
sisi luar konsep ini bergantung pada sisi terdalam dari kegamblangan
makna itu sendiri; Oleh karena itu, ia tidak merusak aplikasi
kegamblangan makna kata eksistensi. Dalam pengertian ini eksistensi
ialah benar-benar mewakili dan menunjuk penampakan-penampakan maupun
realitas-realitas serta entitas-entitas “gaib” ataupun
substansi-substansi eksternal yang mandiri. Cahaya eksistensi ini begitu
terang dan cemerlang sehingga ia menerangi segala sesuatu, bahkan
pengingkaran dan penafian atas eksistensi itu sendiri. Mengutip sebuah
contoh, manakala seseorang dalam khayalannya sedang berpikir tentang
“ketiadaan” sebagai sebuah realitas dan entitas pikiran, maka fenomena
“ketiadaan” ini merupakan contoh dari konsep eksistensi yang paling
komprehensif tersebut. Fenomena “ketiadaan” dengan demikian adalah
sebuah “bentuk eksistensi” yang berhubungan dengan alam realitas.
Apa yang telah dibahas sejauh ini merupakan masalah latar
belakang sejarah ilmu hudhuri dan konsekuensi-konsekuensi langsungnya,
seperti swa-obyektivitas. Tujuan paparan historis ini adalah menunjukkan
bahwa tidak terdapat kontradiksi ketika kita sampai pada realitas
kesadaran dan pengetahuan ontologis yang mendasar, dimana hakikat
eksistensial subyek yang mengetahui dan pengetahuannya, serta obyek yang
diketahui, menjadi satu (yakni terwujudnya penyatuan antara subyek yang
mengetahui (‘alim), pengetahuan (‘ilm), dan obyek yang diketahui (ma’lum).
Hakikat eksistensial ini, yang akan dibahas sepenuhnya nanti, bisa
dipandang sebagai acuan obyektif jenis pengetahuan yang khusus ini,
maupun sebagai swa-pengetahuan (mengetahui dengan sendirinya). Juga,
survey historis ini mengukuhkan kenyataan bahwa bukan hanya filsafat
mistisisme saja yang menuntun kita kepada logika swa-obyektivitas, tapi
watak filsafat tentang diri serta pendekatan manapun terhadap teori
metafisik mengenai pengetahuan manusia juga akan menuntun kita kepada
posisi dimana kita mesti mengajukan pertanyaan: Bagaimana suatu bentuk
ilmu hudhuri bisa menjadi kebutuhan dalam filsafat, dan bagaimana sifat
swa-obyektivitasnya menjadi landasan bagi semua pengetahuan fenomenal
dan konsepsional (ilmu hushuli) kita? Oleh karena itu, konsep
swa-obyektivitas ilmu hudhuri mesti diletakkan sebagai subyek dan ranah
pembahasan yang cermat dan analisis yang sistematis.
Referensi:
[1]
. Pada bab terakhir pembahasan ini, akan dikaji permasalahan Irfan
sebagai ilmu kebahasaan mistisisme yang secara asli berbicara “dari”
pengalaman-pengalaman mistik sebagaimana diperlawankan dengan
metamistisisme yang berbicara “tentang” bahasa obyek mistisisme. Irfan
secara harfiah berarti “makrifat” atau “pengetahuan”. Akan tetapi, dalam
bahasa filosofis Islam ia selalu digunakan dalam pengertian pengetahuan
yang tidak identik dengan, atau bahkan bisa diucapkan pada, pengertian
normal kita tentang pengetahuan dalam arti yang ketat, Irfan sama sekali
tidak boleh dipakai secara teknis dalam pengertian pengetahuan
filosofis tentang Tuhan. Alih-alih, ia dimaksudkan untuk digunakan dalam
pengertian semacam kesadaran yang dicapai hanya melalui pengalaman
mistik. Makrifat dan pengetahuan ini disebut oleh para sufi Islam
sebagai “syuhud” (penyaksian hati) atau “musyahadah” (penyingkapan
batin).
[2] . Muhyi Ad-Din ibn Al-‘Arabi, Fushush Al-Hikam,
ed. Abu’l-A’la ‘Afifi, (Beirut, 1966), hal. 32-35; juga karya utama Ibn
Al-‘Arabi, Al-Futuhat al-Makiyyah, ed. O. Yahya (Mesir, 1972), pada bab
1-3.
[3] . Eksistensi monorealistik adalah arti harfiah dari wahdah al-wujud yang tidak menerima kemajemukan ataupun dualisme dalam eksistensi, apalagi kemajemukan ketuhanan ataupun panteisme.
[4] . Dialog Suhrawardi dengan Aristoteles dalam suatu “Tahapan Mistik”. Lihat Suhrawardi, Al-Talwihat, hal.70.
[5]
. Swa-obyektivitas adalah ciri dasar pengetahuan dengan kehadiran (ilmu
hudhuri). Shadr Al-Din menggambarkan hal tersebut, demikian: “Dipahami
bahwa dalam jenis pengetahuan ini apa yang sesungguhnya diketahui oleh
subyek yang mengetahui dan apa yang sesungguhnya eksis dalam sendirinya
adalah satu dan sama”. (Al-Ashfar, jilid pertama , bagian ketiga, hal. 313.
[6] . Lihat komentar oleh Qumsya’i dalam Vol.1, hal. 13-16 dari Al-Asfar.
[7] . Badihi
atau aksioma adalah bersifat jelas dengan sendirinya. Kejelasan dan
kegamblangannya ini tidak lagi membutuhkan argumen dan dalil.
[8] . Lihat arti “al-tasyik fi al-wujud”, Al-Asfar, jilid 1, bab pertama.
[9] . Op. cit., bab 1,2,3.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar