Oleh: Mahdi Hairi Yazdi
Pengertian Obyek Esensial
Apabila dalam pemahaman Aristotelian tentang intensionalitas[1]
terdapat pembenaran untuk membedakan dua jenis perbuatan manusia, yaitu
‘perbuatan imanen’ dan ‘perbuatan transitif’, maka tampaknya tak ada
yang menghambat kita untuk mengambil garis yang sama dengan membedakan
dua jenis obyek yang sebanding, yaitu “obyek esensial atau obyek imanen”[2] dan “obyek aksidental atau obyek transitif”[3].
Distingsi ini tidak dilandaskan pada penyamaan dan
sewenang-wenang atas penjabaran Aristotelian yang termasyhur mengenai
dua perbuatan dan aksi yang berbeda tersebut dengan distingsi sementara
kami antara dua sistem obyektivitas. Kami memahami secara prima facie,
bahwa identifikasi yang tak layak seperti ini tidak bisa diterima,
karena suatu perbuatan dan tindakan, yang imanen maupun yang transitif,
tidak pernah dapat diaplikasikan dan diterapkan kepada obyek-obyek
tindakan tersebut. Walaupun demikian, adalah niscaya bahwa suatu
tindakan imanen seperti halnya pengetahuan da makrifat kita, bisa
dianalisis secara sangat logis menjadi subyek yang mengetahui (‘âlim) dan obyek yang diketahui (ma’lum).
Dengan demikian, anatomi obyek yang diketahui pada gilirannya bisa
dianalisis menjadi obyek internal dan obyek eksternal. Manakala analisis
kita sampai pada tahap ini, tanpa keraguan sedikitpun, kita boleh
merasa berhak untuk mencirikan dengan sah obyek internal sebagai obyek
imanen dan obyek eksternal sebagai obyek transitif.
Beralih pada analisis konsep pengetahuan itu sendiri, di
antara berbagai distingsi yang sejauh ini telah dibuat berhubungan
dengan konsep tentang pengetahuan manusia, distingsi dan perbedaan
antara “subyek” dan “obyek” adalah yang paling luas diterima. Dengan
adanya anteseden ini, salah satu konsekuensi logisnya adalah
perkembangan distingsi lain yang telah dilakukan oleh beberapa filosof
antara “obyek subyektif” dan “obyek transitif”[4] atau dalam terminologi kita, antara “obyek imanen” dan “obyek transitif”[5].
Pembahasan ini akan menaruh perhatian pada distingsi yang disebutkan
belakangan. Mereka yang tak akrab dengan spekulasi filosofis, mungkin
akan cenderung mengesampingkan pembedaan seperti ini, namun perenungan
tentang konsep pengetahuan itu sendiri menegaskan bahwa harus ada suatu
obyek imanen, yang berbeda dari obyek transitif.
Dalam analisis tentang teori pengetahuan, istilah “subyek”
berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui mengetahui
sesuatu, sebagaimana halnya istilah “obyek” mengacu kepada benda atau
proposisi yang diketahui oleh subyek tersebut, Akan tetapi, karena dalam
sebuah proposisi yang diketahui selalu ada sesuatu yang terlibat, baik
yang khusus maupun yang universal, maka konsekuensinya adalah benar jika
dikatakan bahwa obyek pengetahuan selamanya adalah apa yang kita sebut
hal yang diketahui. Dinyatakan juga bahwa karena hubungan yang disebut
“mengetahui” terbentuk oleh pikiran sebagai subyek yang diasosiasikan
dengan sesuatu sebagai obyek, yang kedua-duanya terjalin bersama menjadi
suatu kompleks yang utuh, maka subyek dan obyek juga mesti disebut
bagian-bagian dari kesatuan pengetahuan. Istilah “subyek” dan “obyek”
adalah dua esensialitas dari kesatuan pengetahuan.
Karena pada esensinya bersifat intensional, maka tidak
mengetahui senantiasa dimotivasi, ditentukan, dan dibentuk oleh
obyeknya. Karenanya obyek memiliki saham, bersama subyek, dalam
penyusunan dan penentuan tindak mengetahui[6],
namun berbeda dari subyek karena memiliki peran yang unik dalam
memotivasi tindak mengetahui. Karenanya, sementara ciri utama obyek
adalah memotivasi tindakan subyek, sebaliknya subyek tak bisa mengambil
bagian dalam prosedur memotivasi tindakan intensionalnya sendiri, dengan
alasan sederhana bahwa orang yang selalu hadir bagi dirinya sendiri
tidak mungkin menjadi obyek bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain,
pikiran dirancang untuk berfungsi sebagai kausa efisien bagi tindak
intensional mengetahui sesuatu, dan obyek berfungsi sebagai kausa final
untuk bagi pelaksanaan tindakan itu. Kausa efisien (al-‘illah al-fa’ili) tidak dianggap mutlak identik dengan kausa final (al-‘illah al-ghayi) dalam sistem kausalitas Aristotelian. Dengan demikian, suatu subyek tidak mungkin identik dengan obyeknya.
Dengan meletakkan hubungan subyek-obyek dalam konteks
sistem kausalitas Aristotelian, lebih lanjut bisa disimpulkan adanya
distingsi khas lain antara subyek yang mengetahui sebagai kausa efisien
dan sesuatu yang diketahui sebagai kausa final bagi tindak pengetahuan.
Sementara kausa efisien didefinisikan sebagai agen yang bertindak,
artinya yang melahirkan tindak mengetahui,[7] maka kausa final berfungsi dengan dua cara berbeda tergantung pada eksistensi eksternal dan internalnya.[8] Eksistensi eksternal obyek, karena secara prima facie independen
terhadap dan tidak hadir dalam pikiran, hanya bisa memotivasi kegiatan
intelektual subyek dari arah luar dan tidak bisa diidentikkan dengannya.
Akan tetapi, eksistensi mental obyek yang sama, karena hadir di alam
pikiran, merupakan kausa bagi kausalitas subyek. Artinya, subyek yang
mengetahui sebagai kausa efisien pada gilirannya disebabkan dan
digerakkan oleh bayangan mental dan pikiran obyek dalam pelaksanaan
tindak pengetahuan. Karena gagasan tentang obyeklah yang pertama kali
mengefektifkan kausalitas potensial subyek dengan membawanya dari
keadaan potensialitas (bil quwwah) ke keadaan actual (bil fi’il).
Seandainya gagasan tentang obyek tidak terdapat dalam gagasan subyek
yang mengetahui, niscaya subyek potensial tersebut tidak akan pernah
sampai pada tindak mengetahui sama sekali. Oleh karena itu, dalam urutan
kausalitas ini gagasan tentang obyek muncul lebih dahulu, dan dipandang
sebagai kausa prima (sebab pertama) atau salah satu kausa dari sistem
kausalitas. Dan realitas obyektif dari hal yang sama merupakan kausa
terakhir dan final dari tindak imanen pengetahuan. Dalam pengertian ini
tidaklah mengherankan bahwa satu hal pada waktu yang bersamaan menjadi
sebab pertama dan terakhir apabila dipandang dari perspektif yang
berbeda. Sementara representasi mental realitas tersebut merupakan kausa
pertama dan utama dari mengetahui, realitas obyektifnya merupakan kausa
terakhir dan final.
Makna Ganda Obyektivitas
Sesuai dengan analisis di atas, kita bisa dengan sah
menyatakan arti ganda obyektivitas yang mencirikan satu entitas tunggal
sebagai obyek imanen maupun obyek transitif. Seperti telah dijelaskan,
obyek imanen datang terlebih dahulu, dan menjadi representasi mental
dari hal yang diketahui. Ini adalah semata-mata gagasan tentang obyek
yang dimanifestasikan oleh subyek dalam subyek itu sendiri. Representasi
mental ini merangsang kekuatan intelektual subyek dengan mendorongnya
kepada tindak mengetahui. Dari sudut pandang ini, gagasan tentang obyek
mempunyai prioritas terhadap semua sebab lain yang dipersoalkan, karena
ia menghasilkan efek sebelum sebab-sebab lain bisa melakukannya. Di lain
pihak, obyek transitif datang belakangan karena ia adalah realitas
prospektif dari obyek ideal tersebut. Karena obyek transitif tidak hadir
dalam pikiran pelaku, dengan sendirinya ia terletak di luar kerangka
pikirannya, dan juga di luar eksistensi intelektual obyek imanen.[9]
Semua ini terjadi apabila orang menafsirkan tindak
epistemik mengetahui yang intensional sebagai urutan mental
peristiwa-peristiwa alamiah yang analog dengan serangkaian peristiwa
eksternal yang didominasi oleh hukum sebab-akibat (kausalitas). Akan
tetapi, jika suatu tindak mengetahui terjadi, terdapat suatu kesatuan
kompleks dimana mengetahui merupakan hubungan yang menyatukan, dan
subyek dan obyek disusun dalam tertib tertentu sehingga arti tindak
mengetahui mengatur keseluruhan sebagai suatu bentuk penyatu. Dalam
struktur ini kedua istilah tersebut-subyek dan obyek- berfungsi sebagai
batu-bata, bukan sebagai semen. Semen ini adalah hubungan yang
menyatukan itu sendiri yaitu mengetahui.
Teori pengetahuan berlipat tiga ini, yakni subyek sebagai yang tahu (‘âlim), obyek sebagai hal yang diketahui (ma’lum), dan hubungan antara keduanya sebagai mengetahui (‘ilm),
menjelaskan seluruh batang tubuh tindak pengetahuan dan intensional.
Seperti halnya seluruh hubungan yang kompleks dicirikan oleh keadaannya
yang imanen dan intensional, maka demikian juga masing-masing dan setiap
bagian darinya mempunyai ciri imanensi dan intensionalitas. Jadi, dari
sudut pandang ini dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa mesti ada
obyek imanen yang esensial terhadap bangunan pengetahuan kita sendiri,
lepas dari obyek yang secara independen terdapat di luar pikiran kita
dan tak memiliki hubungan identik dengan pengetahuan kita.
Cunningham[10]
mengelaborasi lebih lanjut jenis obyek ini, yakni obyek imanen, dan
menunjukkan bagaimana pikiran-pikiran terikat bersama dan tak pernah
terpisah dalam status fenomena mereka, “…acuan obyektif penilaian
berarti bahwa, dalam tindak mengetahui, pikiran dan obyek terikat
bersama dan tidak terpisah serta bisa dibedakan dengan jelas. Jadi,
pengetahuan terutama merupakan hubungan antara pikiran dengan
obyek-obyek, dan hanya eksis jika hubungan itu ada. Jika tidak ada
obyek, maka tidak ada pula penilaian, jika tidak ada penilaian, maka
tidak ada pula pengetahuan.”[11]
Ducasse[12]
telah mengembangkan gagasan ini dengan cukup akurat dan jelas dengan
menempatkannya dalam pengertian dualistik obyektivitas. Jadi, “Akan
tetapi, di sini terkesan adanya komentar bahwa jika Cunningham
mengatakan bahwa apapun yang diketahui oleh pikiran adalah obyek, maka
kita terpaksa membedakan antara apa yang mungkin sekali bisa disebut
“obyek-obyek subyektif” (yakni keadaan-keadaan pikiran, semisal
perasaan-perasaan kita yang dinamakan sakit atau mual, atau konsepsi
kita tentang Julius Caesar, atau tentang angka desimal ketujuh dari
sebuah bilangan, dan sebagainya) dan “obyek-obyek obyektif” (semisal
Julius Caesar itu sendiri, atau angka desimal ketujuh itu sendiri, dan
sebagainya). Hubungan antara pikiran dengan “obyek-obyek subyektif”
barangkali tidak merupakan masalah, tetapi hubungan pikiran dengan
“obyek-obyek obyektif” bagaimanapun secara radikal merupakan hubungan
yang berbeda dan merupakan pokok persoalan spesifik ketika membicarakan
“acuan obyektif.”[13]
Pokok utama bahasan ini adalah bahwa istilah obyek dalam
kaitannya dengan mengetahui harus dipahami dalam dua arti yang berbeda:
arti yang pertama adalah “sesuatu yang dekat, imanen, dan identik dengan
eksistensi subyek yang mengetahui”; yang kedua adalah “sesuatu yang
transitif dan independen, yang eksistensinya terletak di luar, dan
bersifat eksterior terhadap eksistensi subyek”. Pengertian pertama
adalah pengertian yang telah disebut dengan cukup akurat oleh Ducasse
sebagai “obyek subyektif” dan yang kedua sebagai “obyek obyektif”.
Distingsi antara obyek-obyek subyektif dengan obyek-obyek
obyektif tidak hanya berfungsi untuk menunjukkan bagaimana kedua jenis
obyek ini saling terkait, dan menjelaskan keterkaitan antara dua
eksistensi eksternal dan internal. Di samping itu, distingsi ini
memungkinkan kita memahami bahwa dalam pengetahuan kita tentang dunia
eksternal selalu terdapat esensialitas yang tergabung dengan pengertian
probabilitas dalam hubungan antara kedua jenis obyek ini. Esensialitas
tersebut adalah esensialitas obyek-obyek subyektif, dan dipahami melalui
definisi gagasan pengetahuan itu sendiri. Probabilitas tersebut adalah
probabilitas obyek obyektif. Keduanya mesti bergabung untuk membentuk
pengetahuan kita mengenai obyek-obyek eksternal. Probabilitas di sini
berarti bahwa obyek-obyek obyektif tersebut mungkin benar-benar
berkorespondensi (muthâbaqah) dengan obyek-obyek subyektif atau tidak. Akan tetapi, probablititas menjadi ciri pengetahuan fenomenal kita.[14]
Obyektivitas Ganda sebagai Ciri Khas Pengetahuan Fenomenal (Konsepsional)
Akan tetapi, pengertian ganda obyektivitas adalah sifat
esensial pengetahuan fenomenal (ilmu hushuli) kita, atau dalam
terminologi Kantian, “pengetahuan diskursif”, baik yang bersifat
konseptual, empiris, ataupun transendental. Apa yang secara imanen
dimiliki oleh pikiran –representasi- adalah obyek subyektif yang wajib,
seperti persepsi kita tentang Julius Caesar atau konsepsi mengenai angka
desimal ketujuh dari sebuah bilangan, akan tetapi tidak dengan
sendirinya merupakan obyek obyektif seperti Julius Caesar atau angka
desimal ketujuh itu sendiri. Dalam hal persepsi indera, jika saya
mempersepsi sebuah obyek fisik, misalnya bentuk sebuah pesawat televisi,
maka ada dua entitas obyektif yang harus dibedakan satu sama lain. Di
satu pihak ada obyek eksternal yang eksis secara mandiri di luar pikiran
saya, yang realitasnya termasuk ke dalam realitas dunia eksternal, dan
tak punya kaitan dan hubungan apapun dengan pencerapan dan persepsi
saya. Inilah obyek obyektif yang merupakan realitas fisik dari bentuk
pesawat televisi itu sendiri yang terlepas dari persepsi saya
tentangnya.
Di lain pihak, berkorespondensi dengan ini, ada pula sebuah
obyek yang hadir di dalam dan identik dengan eksistensi kekuatan
persepsi saya. Ini adalah obyek subyektif yang membentuk esensi tindak
mempersepsi saya yang imanen, yang realitasnya termasuk dalam realitas
persepsi saya. Akan tetapi, hubungan antara subyek yang mengetahui atau
mempersepsi dengan obyek obyektif bersifat aksidental, sedang
hubungannya dengan obyek subyektif bersifat esensial.[15]
Hubungan yang pertama bersifat aksidental karena ia merupakan obyek
eksternal dimana sebagai eksistensi mandiri yang terletak di luar kuasa
mental (pikiran) saya dan bersifat ektserior terhadapnya. Hanya soal
koaksidentalitas eksistensi pikiran kitalah, bersama dengan
pengetahuannya serta eksistensi obyek obyektif, yang membawa mereka ke
dalam persatuan tindak mengetahui. Tetapi, dalam definisi pengetahuan
itu sendiri, obyek subyektif itu bersifat esensial, sebab sepanjang
menyangkut hubungannya dengan subyek yang mengetahui, adalah mustahil
aksi semacam ini terjadi tanpa memiliki, atau bahkan dengan kemungkinan
memiliki, suatu obyek subyektif. Tapi tidak ada absurditas dalam
terjadinya aksi semacam ini sementara tidak ada obyek obyektif di dunia
eksternal. Dengan demikian, sangatlah bermakna untuk mengatakan bahwa
obyek subyektif adalah bagian yang memang sudah ada dalam inti gagasan
mengetahui sendiri, tetapi obyek obyektif bersifat aksidental, terletak
di luar konsepsi pengetahuan dalam dunia ekstramental dan bertindak
sebagai kausa final dalam kasus faktual pengetahuan kita tentang obyek
eksternal.
Konformitas dalam Pengertian Korespondensi
Semua ini tidak ada salahnya, sepanjang menyangkut
pernyataan-pernyataan pendahuluan bagi teori prospektif kita tentang
pengetahuan “korespondensi”. Sekalipun demikian, kita mesti menegaskan
bahwa konsepsi Aristoteles mengenai “kausalitas” sebagaimana yang
ditafsirkan di sini tidaklah dengan sendirinya menegakkan teori
“konformitas” lain sebagai lawan dari teori “korespondensi”, sebuah
konformitas dalam pengertian keserupaan sesuatu sebagai obyek eksternal
dengan sesuatu sebagai entitas mental yang kemudian tampak oleh kita.
Dengan mengambil suatu obyek eksternal sebagai realitas kausa final yang
independen, dan bayangan mentalnya sebagai obyek internal, maka tidak
ada kemungkinan keserupaan satu dengan yang lain antara kedua jenis
eksistensi yang sama sekali berbeda ini. Oleh karena itu, bagaimanapun
kuatnya gagasan kausalitas Aristotelian ini harus ditafsirkan, ia tidak
akan pernah bisa membawa kita kepada pengertian konformitas, yang
terakhir dalam semacam identitas antara sesuatu dalam dirinya sendiri
dengan sesuatu sebagaimana yang kita ketahui. Karenanya, makna
korespondensi mau tidak mau harus dimengerti sebagai penafian gagasan
“identitas”[16],
dan dengan demikian gagasan konformitas, lepas dari kepada apa ia
mungkin diatributkan, hanya bisa dimengerti sebagai sesuatu yang lebih
dekat dengan korespondensi[17] daripada dengan identitas.
Oleh karena itu, kami tidak menentang titik fokus tesis terkenal Aristotelian[18] mengenai identitas antara pemahaman dengan hal yang dipahami: idem est intellectus et intellectum, akal dan apa yang dipahami adalah identik.[19]
Sebaliknya, kami benar-benar ingin menafsirkannya dengan cara tertentu
sehingga ia bisa bertahan terhadap kritik Kant yang dahsyat terhadap
gagasan konformitas dalam pengertian identitas. Dalam hal ini, Kant
mengatakan, “Kalau begitu, apabila dengan pengandaian bahwa pengetahuan
empiris kita “sesuai” dengan obyek-obyek “dalam dirinya sendiri”, maka
kita temukan bahwa keadaan tanpa syarat itu tidak mungkin terjadi tanpa
kontradiksi. Ketika, di lain pihak kita mengandaikan bahwa representasi
kita tentang sesuatu sebagaimana yang disuguhkan kepada kita, tidak
sesuai dengan keadaan mereka sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri,
tetapi merupakan obyek-obyek sebagai penampakan-penampakan yang sesuai
dengan mode representasi kita, maka kontradiksi tersebut akan lenyap …[20]
Tampak jelas bagi saya bahwa seluruh bobot argumen Kantian
ini terbebankan pada pendapat bahwa seandainya sesuatu dalam dirinya
sendiri sesuai atau identik dengan sesuatu sebagaimana yang disuguhkan
pada kita, maka akan muncul kontradiksi yang nyata. Dinyatakan dengan
ringkas, apabila obyek-obyek yang transitif, independen, dan eksternal,
dalam kasus pengetahuan, secara eksistensial identik dengan obyek imanen
yang sepenuhnya tergantung pada pikiran kita, maka ini adalah
kontradiksi yang pelik. Satu-satunya jawaban bagi kontradiksi ini
nampaknya adalah : pertama, konformitas antara obyek eksternal dengan
obyek internal hendaknya tidak dipahami sebagai identitas eksistensial,
melainkan sebagai hubungan korespondensi antara obyek imanen dengan
obyek transitif; kedua, tesis Aristotelian tentang identitas, sangat
mungkin sekali membutuhkan pengertian identitas eksistensial yang kuat
tentang tindak pemahaman dengan obyek imanen yang dipahami secara
esensial, bahkan dengan obyek transitif yang dipahami hanya secara
aksidental.
Dengan melihat persoalan dalam totalitasnya, sejauh ini
kita telah mencapai kesimpulan bahwa bahkan dalam pengetahuan kita yang
biasa, yang kita sebut pengetahuan fenomenal, tak bisa dihindarkan
adanya dua pengertian tentang obyektivitas: yang pertama adalah obyek
imanen, dan yang kedua adalah obyek transitif. Di lain pihak, dalam
konsepsi kita tentang ilmu hudhuri hanya ada satu pengertian
obyektivitas, yakni obyek imanen.
Referensi:
[1].
Mengenai wacananya tentang “intensionalias “di Pontifical Institute
Toronto pada tahun 1975-76, Prof. A.C. Pegis, ketika menafsirkan
filsafat pengetahuan Aristotelian, membedakan dua jenis perbuatan
manusia: ‘tindakan imanen’ dan ‘tindakan transitif’. Ilustrasi yang
diberikannya untuk yang pertama adalah pengetahuan manusia yang hadir di
dalam pikiran subyek yang mengetahui; dan untuk yang kedua adalah
tindakan yang benar-benar melalui pikiran dan menjadi stabil secara
mandiri, di antara obyek-obyek fisik eksternal di dunia eksternal
seperti membangun rumah, menulis buku, dan lain-lain. Atas dasar
perbedaan ini tampaknya bisa diterima untuk menurunkan dua jenis obyek
yang menyusun dan menentukan tindak pengetahuan kita. Kedua jenis obyek
ini adalah obyek imanen dan obyek transitif pengetahuan kita.
[2] . Obyek imanen, obyek subyektif, atau obyek esensial (ma’lum bi adz-dzat) adalah obyek yang berhubungan langsung dengan subyek yang mengetahui (‘âlim) dan menyatu dengannya. Obyek ini berada di alam pikiran kita.
[3] . Obyek transitif, obyek obyektif, atau obyek aksidental (malum bi al-aradh)
adalah obyek yang tidak berkaitan langsung dengan subyek yang
mengetahui dan tidak menyatu dengannya. Obyek ini bersifat mandiri dan
independent yang berada di alam eksternal.
[4] . C.J. Ducasse,Truth, Knowledge and Causation, hal. 94-95.
[5] . St. Thomas, The Commentary on Aristotle’s De Anima II, IV, hal. 303-305.
[6]
. Berkenaan dengan kausa efisien, Aristoteles mengatakan: “Karena tidak
perlu untuk menambahkan kualifikasi ini: ketika tak ada sesuatu yang
eksternal yang menghalanginya; karena agen tersebut memiliki potensi
sejauh ia merupakan potensi untuk bertindak. (Metaphysics of Aristotle, (1047b31-1048a24), vol. 2, hal. 670).
[7] . St. Thomas, Commentary on the Metaphysics of Aristotle, vol. 2, hal. 1648-80)
[8]. Op.cit.
Tentang persoalan perbedaan antara kausa efisien dan kausa final, St.
Thomas menafsirkan Aristoteles dengan cara begini: …kausa seperti itu
(kausa efisien) diselidiki sebagai kausa bagi proses penciptaan
(generation) dan pemusnahan (corruption). Akan tetapi, kausa
yang lain (kausa final) diselidiki tidak semata-mata sebagai kausa bagi
proses “penciptaan dan pemusnahan” (kaun wa fasad), tetapi juga
kausa untuk mengada (being) … Dan selama tujuan itu menggerakkan agen
melalui niatnya ke arah itu, ia juga menjadi kausa bagi penciptaan dan
pemusnahan. Dan selama hal itu diarahkan kepada tujuannya melalui
bentuk-bentunya, ia juga merupakan kausa untuk mengada (Vol. 2, 1,17:
C.hal. 1648-80).
[9] . Shadr Al-Din Syirazi, Al-Asfar, jilid pertama, bagian 3, hal. 112.
[10] . G.W. Cunningham, The Problem of Philosophy, hal.97.
[11] . Op. cit., hal. 102-103.
[12] . C. J. Ducasse, Trut, Knowledge and Causation, hal. 63.
[13] . Op. cit., hal. 93-5.
[14]
. Distingsi ini juga bisa menegaskan pokok masalah lain dengan
menjelaskan perbedaan antara masalah sains dan masalah logika.
Pembuktian eksperimental ilmiah bergantung sepenuhnya pada kenyataan
bahwa sains mencoba lebih jauh untuk memperoleh korespondensi yang
handal antara obyek-obyak subyektif dengan obyek-obyek obyektif,
sementara logika pada hakikatnya tidak terlibat dalam implementasi
pembuktian seperti itu.
[15] . Syirazi, Al-Asfar, jilid 3, bab 2, hal. 466-70.
[16] . Yakni apa yang tergambar dalam mental dan pikiran adalah benar-benar sebagaimana obyek eksternalnya sendiri.
[17] . Yang tergambar di alam pikiran kita mempunyai kesesuaian dan keserupaan dengan obyek eksternanya.
[18]
. De Anima karya Aristoteles: Pengetahuan spekulatif adalah sama
seperti apa yang bisa diketahui dengan cara ini (III, IV, 724-7, hal.
421)
[19]
. St. Thomas, The Commentary on Aristotle’s De Anima: Jadi pemahaman
dan apa yang dipahami adalah satu hal yang sama, asalkan yang disebut
belakangan betul-betul dipahami; dan hal yang sama berlaku pada
penginderaan obyek dan subyek. (III Iv, 724).
[20] . Kant’s Critique of Pure Reason, terj. N. K. Smith, A-302, B-421.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar