Oleh: Mohammad Adlany
Sebagian ulama dan ilmuwan Muslim sepakat bahwa malaikat
merupakan materi-materi yang lembut dan bercahaya, dan mampu menjelmakan
dirinya dalam berbagai bentuk dan hanya para nabi serta para wali lah
yang memiliki kemampuan untuk melihat para malaikat ini.
Mereka juga sepakat bahwa teori kenonmaterian malaikat
bertentangan dengan lahiriah ayat-ayat dan hadis-hadis mutawatir,
sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Muhaqqiq Dawani dalam Syarh Aqaid dan Syarih Maqasid
yang sepakat bahwa malaikat dalam ilmu dan kodrat merupakan sebuah
eksistensi yang sempurna, siang-malam berada dalam keadaan beribadah
tanpa merasa lelah atau berkeinginan untuk menentang perintah-perintah
Ilahi.
Akan tetapi, dalam pandangan para filosof, malaikat
merupakan akal nonmateri yang tidak memiliki keterkaitan sedikitpun
dengan materi.[1] Fakhrurazi dalam tafsirnya mengatakan, “Terdapat perbedaan pendapat dalam kuiditas (mahiyah)
dan hakikat malaikat, dimana pendapat-pendapat tersebut adalah sebagai
berikut: malaikat sebuah eksistensi yang yang berwujud secara
substansial dan terbagi dalam dua kelompok, yaitu bermateri atau tidak
bermateri. Akan tetapi, dalam kebermaterian malaikat pun terdapat dua
teori:
- Malaikat merupakan materi halus dan mampu berubah dalam berbagai bentuk, tempat tinggl mereka di langit, dan teori ini merupakan teori mayoritas kaum Muslim;
- Teori para penyembah patung mengatakan bahwa malaikat tidak lain adalah bintang-bintang yang terbagi dalam dua bentuk. Bintang-bintang khusy yaman dan sa’id yang merupakan malaikat pembawa rahmat dan bintang-bintang nahas yaitu para malaikat pembawa siksa;
- Teori mayoritas kaum Majusi dan Tsanawiyyah yang mengatakan bahwa alam terbentuk dari dua bagian prinsip yaitu cahaya dan kegelapan. Esensi cahaya yaitu para malaikat merupakan eksistensi-eksistensi yang berjiwa mulia dan penyampai keberuntungan bagi para penghuni alam, sementara esensi dari kegelapan adalah para setan.
Akan tetapi, mereka yang mengatakan bahwa malaikat bukanlah
eksistensi yang bermateri dan terlepas dari materi, pun memiliki dua
teori:
- Teori yang dimiliki oleh kelompok Nasrani yang sepakat bahwa malaikat pada hakikatnya merupakan jiwa yang berakal dan secara substansi terlepas dari materi;
- Teori para filosof yang menyatakan bahwa esensi malaikat adalah berwujud secara substansial dan bersifat nonmateri dimana dari sisi kuiditasnya (mahiyah) berbeda dengan akal manusia dan dari sisi kodrat dan ilmu lebih sempurna dari jiwa-jiwa manusia, hubungan antara malaikat dan manusia sebagaimana hubungan antara matahari dengan cahaya-cahaya yang terpancar darinya (seperti sumber cahaya dengan cahayanya). Mereka yang sepakat dengan teori ini terbagi lagi dalam dua kelompok:
- Malaikat yang hubungan mereka terhadap benda-benda langit seperti hubungan antara jiwa manusia dengan badan, merupakan para malaikat pengatur benda-benda langit;
- Kelompok kedua yang memiliki kedudukan dan maqam lebih tinggi, tenggelam dalam mensucikan dan beribadah kepada-Nya. Kelompok malaikat ini dinamakan dengan malaikat muqarrab.[2]
Sebagian filosof memiliki teori lain untuk para malaikat,
dan mereka adalah kelompok yang menganggap malaikat sebagai pengatur
alam rendah.[3]
Dari kumpulan argumen dan teori-teori semacam ini bisa disimpulkan bahwa malaikat terdiri dari dua kelompok:
- Kelompok pertama adalah malaikat muqarrabin yang senantiasa berada dalam keadaan beribadah, tanpa merasa lelah dan tanpa memiliki keinginan untuk melakukan perbuatan maksiat , yang istilahnya dikatakan sebagai ‘karrubin‘, kelompok ini memiliki akal yang nonmateri (tajarrud) atau berada pada derajat nonmateri sempurna;
- Kelompok kedua adalah para malaikat yang bertanggung jawab dalam mengatur persoalan-persoalan alam, seperti menyampaikan wahyu, mematikan manusia, memberikan nikmat, memberikan siksa dan semisalnya, kelompok dari malaikat ini memiliki substansi nonmateri, dikatakan sebagai tajarrud mitsali, memiliki kemampuan untuk berubah dalam berbagai bentuk. Mereka pun memiliki kemampuan, kesempurnaan dan ilmu, dan apa yang diperintahkan dari Tuhan akan dilaksanakannya tanpa mengurangi atau melebihkan. Para Nabi dan para penerusnya mampu menyaksikan malaikat dari kelompok ini dan bisa melakukan percakapan dengan mereka. Seperti cerita Nabi Ibrahim As yang membawakan makanan dan bercakap dengan mereka karena menyangka mereka ini adalah manusia, atau percakapan Nabi Luth As dengan mereka, penurunan adzab kepada kaum Luth serta menjelmanya malaikat Jibrail As dalam bentuk Dahiyeh Kalbi.
Untuk menjelaskan perbedaan kenonmaterian mitsali (kenonmaterian kurang sempurna, yakni memiliki bentuk tanpa beban) atau kenonmaterian akli
(kenonmaterian sempurna, tanpa bentuk dan beban), perlu kiranya untuk
mengemukakan poin bahwa para filosof mengklasifikasikan alam dalam tiga
kelompok dan tiga tingkat, yaitu:
- Alam dunia yang bersifat materi dan juga memiliki efek-efek materi yang merupakan tempat terjadinya benturan dan kontradiksi;
- Alam mitsal yang memiliki efek materi dalam bentuk dan warna, akan tetapi tidak memiliki beban dam berat. Seperti bentuk atau orang yang kita lihat dalam mimpi;
- Alam akal yang di dalamnya tidak hanya tidak terdapat materi dan volume, melainkan tidak pula terdapat efek-efek materi;[4]
Akan tetapi, untuk kenonmaterian malaikat telah terdapat argumen-argumen, yang diantaranya adalah:
- Dalam kitab-kitab Ilmu Kalam pada pembahasan kenabian telah diungkapkan tentang pembahasan apakah maqam dan kedudukan para nabi lebih mulia dari malaikat ataukah maqam malaikat yang lebih tinggi dari para Nabi? Mereka yang sepakat dengan ketinggian maqam para Nabi menyandarkan pada dalil bahwa selain para Nabi memiliki dimensi ruh dan akal, mereka juga memiliki potensi syahwat dan amarah dan dengan bantuan akal dan iman mereka akan mampu mengalahkan syahwat dan amarah tersebut, akan tetapi dalam diri malaikat tidak terdapat potensi syahwat dan amarah dan mereka tidak memiliki pengganggu yang akan mengusik aktivitas ibadahnya, dan hal ini menjelaskan bahwa eksistensi yang tidak memiliki potensi syahwat dan amarah haruslah eksistensi yang nonmateri, karena eksistensi yang hidup dan memiliki akal dan kebebasan, jika ia adalah materi, pasti ia harus pula memiliki potensi syahwat dan amarah;[5]
- Malaikat diciptakan tanpa mengalami perubahan dan pergantian, dan mereka merupakan eksistensi yang tetap dan konstan, sebagaimana hal ini disiyarahkan dalam sebagian riwayat. Eksistensi yang demikian ini adalah eksistensi yang mujarrad dan nonmateri, karena salah satu dari karakteristik dan keistimewaan dari eksistensi materi adalah mengalami perubahan;
- Dari ayat-ayat dan riwayat bisa disimpulkan bahwa malaikat senantiasa berada dalam keadaan beribadah dan melaksanakan perintah-perintah Ilahi tanpa merasakan kelelahan, sedangkan eksistensi yang materi akan mengalami keletihan ketika melakukan pekerjaan dan aktivitas;
- Terdapat maqam dan kedudukan yang tertentu untuk para malaikat dan tidak terdapat jenjang kesempurnaan dalam diri mereka, yaitu seluruh kesempunaan mereka telah mereka peroleh sejak awal dari Tuhan, padahal eksistensi materi seperti manusia senantiasa berada dalam langkahnya untuk mencapai kesempurnaan dan tidak ada batas untuk kesempurnaan tersebut,[6] kesempurnaan manusia pada awalnya hanya merupakan potensi yang kemudian akan mengaktual dengan perjuangannya melawan hawa nafsu, akan tetapi kesempurnaan para malaikat, keseluruhannya adalah aktual dan ada sejak awal, dan hal ini merupakan karakteristik dari tajarrud dan kenonmaterian;
- Malaikat tidak bisa diisyarahkan secara inderawi, yaitu malaikat tidak bisa diisyarahkan secara langsung dengan indra lahiriah, sebagaimana yang berkaitan dengan benda dan materi, maupun dengan isyarah secara tidak langsung, seperti yang terjadi pada hal-hal yang dikaitkan dengan materi seperti fakultas melihat atau mendengar. Oleh karena itu, isyarah indera merupakan karakteristik materi, jadi setiap eksistensi yang tidak bisa diisyarahkan secara inderawi, bukanlah eksistensi yang material;
- Eksistensi yang materi, akan memenuhi ruang dan tidak ada eksistensi lain yang terletak secara bersamaan di tempat tersebut, sementara malaikat tidak memenuhi ruang dan dalam sebuah tempat yang terbatas bisa terdapat malaikat dalam jumlah yang tak terbatas;
- Tuhan mengutus para nabi untuk menyempurnakan manusia, bukan malaikat, jadi jelaslah bahwa malaikat, bertolak belakang dengan manusia, tidak memperoleh kesempurnaan yang baru, melainkan seluruh kesempurnaannya yang layak telah mereka miliki sejak awal. Jadi pada diri mereka tidak ada gerak dari potensi ke aktual dan sesuai dengan kaidah filsafat bisa kita simpulkan bahwa malaikat haruslah mujarrad dan nonmateri, karena ketiadaan perubahan tidak sesuai dengan kaidah materi.
Makna Keberadaan Sayap pada malaikat
Dalam al-Quran surah al-Fathir ayat pertama[7],
dikatakan bahwa para malaikat memiliki sayap. Akan tetapi berdasarkan
fakta dan konteks-konteks yang telah disebutkan sebelumnya dan juga pada
kasus-kasus lainnya, yang dimaksud dengan sayap di sini bukanlah sayap
materi dan sayap lahiriah, dan ayat ini bisa dita’wilkan, sebagaimana
hal senada terdapat juga pada ayat-ayat al-Quran seperti “Maka datanglah
Tuhanmu”, dimana karena kemujarradan Tuhan, maka yang dimaksud di sini
bukanlah kedatangan-Nya, melainkan maksudnya adalah “Datanglah perintah Tuhanmu.”
Atau pada ayat ke 5 surah Thaha yang berfirman,”Tuhan Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arasy.” , yang
dimaksud dengan bersemayam di sini bukanlah bersemayam dalam makna
lahiriah,melainkan ‘kekuasaan’, sedangkan yang dimaksud dengan ‘arsy
adalah alam keberadaan, yaitu bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi menguasai
seluruh keberadaan dan seluruh alam.
Selain itu naiknya para malaikat ke hadapan Tuhan[8]
bisa dijadikan dalil atas kenonmaterian malaikat, karena jika mereka
materi, maka tempat menghadapnya pun harus dalam bentuk materi. Oleh
karena itu kepemilikan sayap pada para malaikat mengisyarahkan pada
tahapan kedekatan dan kodrat mereka.
[Terjemahan makalah Ayatullah
Hadawi Tehrani]
Referensi:
[1] . Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar, jil. 59, hal. 202 dan seterusnya.
[1] . Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar, jil. 59, hal. 202 dan seterusnya.
[2] . Ibid, hal. 202-204.
[3] . Ibid, hal. 206.
[4] . Allamah Thabathabai, Muhammad Husain, Nihayah al-Hikmah, marhaleye dawozdahum, hal. 313 dan seterusnya.
[5] . Allamah Hilly, Syarh Tajrid, Th Beirut, Maqsad Sewwum, Mas-aleye cohorum, hal. 387.
[6] . “Tiada seorang pun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu.“ (Qs. Ash-Shaffat: 164)
[7] . “Segala
puji bagi Allah pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat
sebagai para utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang
mempunyai sayap, masing-masing (ada yang memiliki) dua, tiga, dan empat
(sayap).“
[8] . “Malaikat-malaikat dan ruh (malaikat muqarrab di sisi Allah) naik (menghadap) kepada Tuhan …” (Qs. Al-Ma’arij: 4)
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar