Pertemuan Rahbar dengan 110 Ribu Basij:
“Sekalipun sejarah Islam mencatat terjadi
penyimpangan, tapi garis dan tolok ukur serta ide pemberi kebahagiaan
kepada manusia ini tetap langgeng dalam sejarah.”
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei di Hari Raya Ghadir Khum yang dikenal dengan Hari Wilayah dan Imamah melakukan pertemuan akbar pada Kamis (25/11) dengan 110 ribu Basij. Pertemuan ini dilakukan menjelang tanggal 5 Azar (Jumat, 26/11) yang dikenang sebagai hari terbentuknya Basij. Dalam pertemuan itu Rahbar menyebut kandungan hakiki dari peristiwa agung Ghadir Khum adalah manifestasi Imamah dan pemimpin keadilan serta pemberi kebahagiaan kepada seluruh manusia sepanjang sejarah.Beliau dalam pertemuan itu juga menyinggung kecemerlangan peran Basij dan mengatakan, “Menjadi seorang basiji dan memperkuat keikhlasan, kepekaan hati dan istiqamah merupakan kunci terealisasinya janji Allah yang pasti terjadi tentang kemenangan puncak bangsa Iran yang mukmin.”.
Rahbar dalam pertemuannya menyampaikan ucapan selamat kepada seluruh bangsa Iran dan pecinta keadilan dan kebebasan di seluruh dunia. Ditambahkannya, “Hakikat dan kandungan Ghadir milik seluruh muslimin dan semua orang yang hatinya peduli akan kemakmuran dan kesejahteraan umat manusia.”.
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menilai keyakinan mendalam para pengikut mazhab Syiah tentang kepemimpinan Imam Ali as pasca wafatnya Rasulullah Saw berlandaskan argumentasi yang kuat dan tidak dapat diragukan. Seraya mengisyaratkan hadis mutawatir dari peristiwa Ghadir Khum yang dinukil oleh seluruh ahli hadis besar Islam, Rahbar mengatakan, “Semua makna yang ada dalam wilayah Rasulullah juga ada pada diri Imam Ali as dan itu setelah Nabi memperkenalkan dan melakukan pengangkatan beliau sesuai perintah Allah Swt.”.
Rahbar menyebut Imam Ali as adalah bintang terang dan tidak ada duanya di pelbagai tingkatan ketakwaan, keberanian, istiqamah, kepekaan hati dan dalam membela Islam serta Rasulullah di seluruh periode kehidupannya, khususnya semasa mudanya. Menurut beliau, Semua orang, khususnya para pemuda di masa-masa kehidupannya dapat merasakan cahaya hidayah dan kebahagiaan dalam kehidupan agung Imam Ali as.
Masih terkait dengan Imam Ali as, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menilai pengangkatan ilahi beliau sebagai pengganti Nabi Muhammad Saw dan perhatian khusus terkait masalah Imamah merupakan dua sisi penting dan mendasar dari peristiwa Ghadir Khum. Saat menjelaskan lebih lanjut tentang pengertian Imamah Rahbar mengatakan, “Imamah adalah seseorang atau satu kelompok yang memimpin orang lain atau sebuah masyarakat sekaligus memperjelas orientasi gerakan mereka terkait agama dan dunia mereka. Oleh karena itu, Imamah dengan pengertian ini merupakan masalah utama seluruh umat manusia sepanjang sejarah.”.
Sembari menyebutkan ayat-ayat al-Quran, Rahbar membagi Imamah menjadi dua bagian yang benar-benar berbeda. Beliau mengatakan, “Bagian pertama, ada satu model dari kepemimpinan dan Imamah di mana para nabi ilahi menjadi contoh sempurna. Para Imam yang adil akan memberi petunjuk masyarakat agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan dari kehidupan manusia lewat perintah Allah dan di balik bayang-bayang petunjuk-Nya. Sementara bagian kedua adalah para pemimpin yang contohnya adalah Firaun. Mereka justru menyeret manusia pada kerusakan, kebinasaan dan api neraka.”.
Saat menjelaskan lebih lanjut soal luasnya pengertian Imamah, Rahbar mengatakan, “Dalam pemerintahan paling sekuler pun dunia dan akhirat masyarakat ternyata kedua-duanya berada di tangan penguasa, sekalipun mereka mengklaim tentang pemisahan pusat-pusat agama dari politik. Orientasi para penguasa praktis membentuk kehidupan dunia dan akhirat masyarakatnya.”.
Sekaitan dengan hal ini, Rahbar menyebut mesin-mesin propaganda budaya Barat dan para arogan dunia sebagai pemimpin yang kerjanya menyeret manusia ke dalam api kerusakan dan kehancuran sama seperti yang dilakukan Firaun.
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menilai langkah Nabi Muhammad saw membentuk pemerintahan dan menciptakan masyarakat sipil nabawi menjadi bukti peristiwa ini di mana Islam tidak terbatas pada memberikan nasihat dan mengajak dengan lisan. Tapi Islam diturunkan demi mewujudkan hukum-hukum ilahi di tengah-tengah masyarakat. Ini sebuah tujuan mulia yang tidak dapat direalisasikan tanpa membentuk sebuah pemerintahan yang adil.
Menurut Rahbar, pengangkatan pengganti Rasulullah di Ghadir Khum dilakukan atas perintah ilahi dan hal ini merupakan lanjutan dari upaya mewujudkan segala hukum ilahi di tengah-tengah masyarakat. Ditambahkannya, “Sekalipun sejarah Islam mencatat terjadi penyimpangan, tapi garis dan tolok ukur serta ide pemberi kebahagiaan kepada manusia ini tetap langgeng dalam sejarah. Semua ini kemudian terwujudkan berkat keimanan dan istiqamah Imam Khomeini ra dan bangsa Iran. Insya Allah dengan bantuan ilahi, setiap harinya ide ini akan terus meluas di dunia Islam.”.
Di bagian lain dari pidatonya, Rahbar yang sekaligus menjadi Panglima Tertinggi seluruh jajaran Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran menyebut pertemuan akbar 110 ribu Basij sebagai simbol kebun besar Basij yang wangi di seluruh negeri. Rahbar mengatakan, “Imam Khomeini ra dengan kepekaan hati dan kedalaman pemikirannya telah menciptakan kebun wangi ini. Dengan ucapan dan perilakunya, beliau telah menyiram kebun ini yang telah membuatnya dari hari ke hari semakin tumbuh besar dan berbuah.”.
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menyebut Basij sebagai hakikat yang agung, cemerlang dan tidak ada duanya. Menurut beliau, “Partisipasi seluruh etnis Iran dan keikutsertaan para mahasiswa, dosen, siswa, guru, rohaniawan, buruh, petani, pedagang dan kalangan lainnya di Basij menjadi bukti begitu luasnya institusi yang tidak ada duanya ini.
Rahbar menilai upaya keras musuh-musuh bangsa Iran dan antek-anteknya di dalam negeri untuk menistakan Basij selama ini gagal dan tidak berhasil. Kata beliau, “Sejatinya mereka juga memperlakukan al-Quran dan Nabi Muhammad Saw juga seperti ini, tapi perilaku hina seperti ini tidak dapat mengurangi keagungan dan kecemerlangan Basij.”.
Rahbar juga menilai Basij sebagai lembaga yang terorganisir dan sangat disiplin. Seraya menegaskan kualitas keimanan para basiji, Rahbar mengatakan, “Dari sisi kuantitas, tidak ada satu institusi di dunia ini yang mampu menyamai Basij, tapi yang lebih penting lagi Basij berlandaskan keyakinan, keimanan dan perasaan. Kenyataan ini mampu menjadi pembuka jalan atas segala masalah dan kesulitan negara dan bangsa di hari-hari sulit.”.
“Hendaknya semua menghargai Basij dan itu sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat Iran,” begitu kata Rahbar. Ditambahkannya, “Pada tahap awal, para Basij sendiri harus bersyukur dapat menjadi anggotanya. Kelaziman dari rasa terima kasih ini adalah memperkuat pilar-pilar Basij di benak dan perbuatan para Basij.”.
Rahbar menilai partisipasi aktif di pelbagai bidang merupakan satu dari alasan pentingnya Basij. Menurut beliau, “Sekalipun Basij pernah menunjukkan ketangguhannya di medan tempur yang sulit, tapi berkat keikhlasan, keimanan, keberanian dan kemampuan berkreasi, mereka mampu memasuki segala bidang dan akan menjadi pelopor di bidang tersebut. Hal ini telah dibuktikan oleh para pemuda dan dosen Basij saat ini di bidang sains. Mereka termasuk yang paling berhasil di bidang yang digelutinya. Para seniman Basij juga berhasil menunjukkan kecemerlangannya.”.
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei kemudian menyebut keikhlasan dan kepekaan hati merupakan pilar-pilar asli Basij. Ditambahkannya, “Dua unsur ini sangat menentukan dan masing-masing saling membantu. Bila kepekaan hati seseorang bertambah maka dengan sendirinya keikhlasannya juga akan bertambah sebesar kepekaan hatinya. Begitu juga sebaliknya, bila seseorang semakin ikhlas, maka Allah Swt akan memperluas kepekaan hatinya.”.
Di sisi lain, Rahbar juga menyebut hawa nafsu sebagai kendala terbesar untuk meraih kepekaan hati. Seraya menyinggung kinerja sebagian tokoh dalam fitnah yang didisain sangat rumit tahun lalu (1388) beliau mengatakan, “Dalam peristiwa itu, para pelaku fitnah tidak lagi mempedulikan maslahat negara hanya demi meraih kekuasaan. Mereka menolak kebenaran yang jelas di depan matanya. Hal ini membuat musuh-musuh utama bangsa Iran ini begitu gembira dan senang. Mereka mengeluarkan pernyataan dukungan, tapi sungguh disayangkan sebagian orang tidak melihat hakikat yang jelas ini. Sementara sebagian yang tahu akan hakikat ini, tapi akibat gelapnya hati dan hawa nafsu mereka tidak sudi untuk bersikap dan berbuat sesuai dengan apa yang diketahuinya.”.
Panglima Tertinggi seluruh jajaran Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran di bagian lain dari pidatonya menyebut menjadi Basij merupakan hal yang penuh berkah. Namun pada saat yang sama beliau menegaskan, “Menjadi seorang Basij dan tegar di jalan ini memang penting, tapi untuk terus menjadi Basij perlu ada pengawasan dan perawatan yang berkelanjutan.”.
Rahbar lalu menilai Revolusi bangsa Iran merupakan upaya untuk mengubah “jalur jahannam dunia yang telah tenggelam dalam materialisme”. Menurut beliau, “Ada banyak dari masyarakat dunia yang memahami hakikat Revolusi pemberi kebahagiaan bangsa Iran, tapi para kekuatan adidaya dunia juga telah berbaris siap menghadapi teriakan bangsa Iran yang memberikan kesadaran.”.
Rahbar menyebut terealisasinya janji Allah yang pasti terjadi dan kemenangan bangsa Iran merupakan hasil puncak dari pertentangan front penindasan dan arogansi dunia dengan Revolusi Islam Iran. Beliau mengatakan, “Musuh akan terus menciptakan masalah di jalur yang hendak dilalui oleh bangsa Iran demi meraih masa depan cemerlang. Oleh karena itu, semua harus melindungi dan memperkuat kesiapannya.”.
Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menyebut upaya memperbarui kesiapan nasional, penguatan keikhlasan dan kepakaan hati serta tetap berada dalam garis Basij berdasarkan kebutuhan dan kelaziman hari ini merupakan kunci keberhasilan bangsa Iran. Rahbar juga menyatakan harapannya bahwa para pemuda Iran hari ini akan menyaksikan hari di mana bangsa Iran berdiri di puncak kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara bangsa-bangsa lain akan bergerak menuju posisi bangsa Iran yang penuh kebanggaan.
Dalam upacara ini, saat Panglima Tertinggi seluruh jajaran Angkatan Bersenjata Republik Islam di tempat pertemuan akbar 110 ribu Basij, sejumlah Basij mewakili pelbagai etnis Iran mengucapkan selamat datang kepada beliau.
Di awal acara ini Mohammad Ali Jafari, Panglima Pasdaran mengucapkan selamat Hari Raya Ghadir Khum dan mengatakan, “Pohon kebaikan Basij yang merupakan variabel kekuatan nasional tengah berusaha mentransparansikan parameter asli gerakannya seperti kepekaan hati, keikhlasan dan beraksi tepat dan sesuai guna memperkuat dirinya dari dalam sekaligus meningkatkan dimensi spiritual dan kesiapan individual dan keilmuan setiap Basij demi membela dan mempertahankan Revolusi Islam.”
Sementara Brigadir Jenderal Mohammad Reza Naghdi, Komandan Basij dalam acara itu menyampaikan selamat atas berdekatannya pekan Basij dan Hari Raya Ghadir Khum dan mengatakan, “Para Basij telah meningkatkan kesiapannya untuk berpartisipasi dalam setiap medan jihad, termasuk jihad pembangunan, sains dan perang lunak. Hari ini, dilakukan pertemuan secara bersamaan jutaan Basij di 400 kota di Iran untuk memperbaharui janjinya dengan cita-cita Wilayah dan Imamah.
Dalam pertemuan akbar ini juga dilakukan upacara pembacaan “surat perjanjian Basij” yang dilakukan untuk mewakili seluruh Basij seluruh negeri.
Tanggal 18 Zulhijjah adalah hari yang amat bersejarah dalam Islam. Pada hari itu, ketika kafilah haji Rasulullah saw dalam perjalanan pulang ke Madinah, yaitu pada tahun 11 Hijriyah, tiba-tiba Rasulullah saw memerintahkan kafilah berhenti dan membangun mimbar untuk pidato beliau di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum atau Oase Khum. Rupanya ada hal amat penting yang akan disampaikan Rasulullah saw kepada seluruh kaum Muslimin. Bahkan Rasulullah saw memerintahkan agar seluruh jamaah yang telah berpisah dari kafilah Rasulullah saw, agar segera bergabung kembali supaya dapat mendengarkan pesan penting yang akan disampaikan Rasulullah saw. Setelah semuanya berkumpul, dan sesudah shalat zhuhur berjamaah yang dipimpin Rasulullah saw sendiri, Rasulullah saw naik mimbar dan berpidato.
Dalam pidatonya Rasulullah saw berkata:
“Segala puji hanya bagi Allah. Kita memuja-Nya, beriman, dan bertawakkal kepada-Nya. Kita mohon perlindungan kepada Allah atas keburukan-keburukan diri kita sendiri dan perbuatan-perbuatan kita yang, tiada petunjuk bagi yang sesat dan tiada yang dapat menyesatkan bagi yang diberi petunjuk oleh-Nya. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Selanjutnya, kaum Muslimin! Sesungguhnya Allah Yang Mahasuci lagi Maha Mengetahui memberitahuku bahwa usia yang dapat dicapai seorang nabi hanya separuh dari usia nabi sebelumnya. Aku merasa bahwa ajalku telah dekat. Aku bertanggung jawab sebagaimana kamu juga bertanggung jawab. Bagaimana menurut kamu?”
Mereka berkata: “Kami bersaksi bahwa engkau ya Rasulullah, telah melaksanakan tugasmu, memberi peringatan dan berjuang. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.” Rasulullah saw berkata: “Tidakkah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya? Sorga adalah pasti. Neraka adalah pasti. Mati adalah pasti. Hari kiamat pasti datang, tiada keraguan padanya, dan Allah akan membangkitkan manusia dari kubur.” Mereka menjawab: “Betul ya Rasulullah, kami bersaksi atas semua itu.” Rasulullah saw berkata: “Allahumma fasyhad, ya Allah saksikanlah.”
Kemudian Rasulullah saw menyeru: “Kaum Muslimin! Tidakkah kamu dengar?” Mereka menjawab: ·Kami mendengar ya Rasulullah.” Rasulullah saw berkata: “Nanti, di hari kiamat, ketika aku berada di haudh, telaga, kamu akan mendatangiku di Haudh. Haudh itu lebarnya antara Sana’ dan Bushra, Damaskus. Di dalam Haudh itu terdapat qadah sebanyak bintang yang terbuat dari perak: maka hati-hatilah. Bagaimana kamu berani menentangku mengenai dua pusaka, al-Tsaqalain, yang kutinggalkan kepada kamu?”
Seseorang bertanya, “Apa itu al-Tsaqalain, ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Pertama, adalah Al-quran, yaitu pusaka yang besar, al-tsiql al-akbar. Sebahagiannya di tangan Allah dan sebahagiannya lagi di tangan kamu. Berpeganglah pada Alqur’an, niscaya kamu tidak sesat. Dan kedua, adalah keluargaku, yaitu pusaka yang kecil, al-tsiql al-asghar. Tuhan yang Mahasuci dan Maha Mengetahui memberitahuku bahwa keduanya tidak akan berpisah sampai menjumpaiku di al-Haudh. Maka, jangan sekali-kali kamu dahului mereka, sebab jika kamu lakukan itu kamu akan celaka, dan jangan sekali-kali kamu kurangi hak mereka. Karena dengan itu, kamu akan celaka.” Lalu Nabi saw mengambil tangan Ali dan mengangkatnya tinggi-tinggi sehingga tampak ketiak mereka.
Nabi bertanya: “Kaum Muslimin! Siapakah yang paling berhak terhadap diri kaum Muslimin?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Nabi saw berkata:
“Sesungguhnya Allah adalah maula, tuan atau pemimpinmu, dan aku adalah maula kaum mukminin. Aku lebih berhak terhadap diri mereka daripada mereka sendiri. Maka barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya. Barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya. Barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya ! Ya Allah, berpihaklah kepada orang yang berpihak kepada Ali dan perangilah orang yang memusuhinya. Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang membencinya. Belalah orang yang membelanya dan hinakanlah orang yang meninggalkannya. Ya Allah, sertakanlah kebenaran bersama Ali dimana pun kebenaran itu berada. Kaum Muslimin! Kalian yang hadir di sini hendaklah menyampaikan hal ini kepada orang-orang yang tidak hadir.”.
Sesaat kemudian sebelum jamaah bubar, Malaikat Jibril datang membawa wahyu (terakhir): “Hari ini Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan Kulengkapkan buat kamu nikmat-Ku. Aku ridha Islam sebagai agamamu.” (QS. 5: 3) Mendapati itu Rasulullah saw amat gembira dan mengucapkan takbir, sebagai rasa syukur kepada Allah swt. Rasulullah saw berkata: “Allahu-akbar! Agama telah sempurna. Nikmat telah lengkap. dan Allah ridha atas tugasku dan kepemimpinan Ali sesudahku.”
Kaum Muslimin yang sedari tadi mengikuti amanah Rasulullah saw dengan khidmat, langsung menyerbu Ali ibn Abi Talib, begitu Rasulullah saw menyelesaikan pidatonya. Mereka rebutan mengucapkan selamat atas pengangkatan Ali ibn Abi Talib sebagai pemimpin, imam atau wali sesudah Nabi saw. Di antara yang memberikan selamat adalah dua sahabat besar, Abubakar dan Umar ibn al-Khattab, keduanya berkata: “Selamat, selamat, wahai putra Abu Talib! Engkau sekarang telah menjadi pemimpin kami dan pemimpin seluruh kaum Muslimin.”.
Peristiwa istimewa di atas seperti disinggung sebelumnya, terjadi di Ghadir, oase, Khum yang terletak antara Mekah dan Madinah. Karena itu ia disebut dengan peristiwa Al-Ghadir, dan hadits-hadits yang menceritakan kejadian tersebut disebut hadits Al-Ghadir. Para ahli sejarah, perawi dan ahli hadits memberikan perhatian yang sangat besar terhadap peristiwa ini. Karena itu sedikit atau banyak, terang atau hanya sekedar isyarat, mereka merekamnya dalam karya-karya mereka. Bahkan dapat dikatakan tidak ada suatu peristiwa sejarah yang mendapat perhatian besar sejarawan dan ahli hadits Islam sebagaimana peristiwa Al-Ghadir. Berikut beberapa catatan mengenai hal itu.
1. PERAWI HADITS AL-GHADIR.
Peristiwa Al-Ghadir disaksikan oleh lebih dari 100.000 jamaah haji yang hadir pada saat itu. Mereka terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, dari sahabat-sahabat Nabi saw paling besar hingga kaum Badui yang datang dari pedalaman gurun pasir. Pantasnya, apalagi memang diperintahkan oleh Rasulullah saw, peristiwa besar ini menjadi buah bibir seluruh kaum Muslimin sepanjang sejarah dan diceritakan dari generasi ke generasi. Ini memang terjadi, terbukti, banyak sekali hadits yang berkisah tentang peristiwa Al-Ghadir. Tetapi karena adanya tangan-tangan jahil yang senantiasa berusaha menutupi peristiwa amat penting ini maka banyak umat yang tertutupi fakta, yang sesungguhnya tidak dapat dingkari ini. Namun begitu, buku-buku sejarah dan hadits masih merekam ratusan Sahabat dan Tabiin yang menukilkan peristiwa ini.
Khusus untuk perawi kalangan Sahabat, peneliti terkemuka hadits Al-Ghadir, yaitu Allamah Abdul-Husain Ahmad al-Amini, mencatat tidak kurang dar 110 sahabat Nabi perawi hadits Al-Ghadir dalam karya monumentalnya “Al-Ghadir”. Antara lain : Abu Hurairah, Abu Laila al-Anshari, Abu Qudamah al-Anshari, Abu Rafi’ al-Qibti (hambasahaya Rasulullah), Abubakar Ibn Abi Quhafah, Usamah ibn Zaid, Ubay Ibn Ka’ab, Asma Binti Umays, Ummu Salamah (isteri Rasulullah), Ummu Hani Binti Abi Talib, Anas Ibn Malik, Bara’ Ibn Azib al-Anshari, Jabir Ibn Samrah, Jabir ibn Abdullah al-Anshari, Abuzar Al-Ghifari, Huzaifah ibn al-Yaman al-Yamani, Hassan Ibn Tsabit, Hasan Ibn Ali, Husain Ibn Ali, Abu Ayyub al-Anshari, Khuzaimah Ibn Tsabit, Zubair ibn al-Awwam, Zaid ibn al-Arqam, Ziad ibn Tsabit, Saad Ibn Waqqash, Saad Ibn Ubadah al-Anshari, Salman al-Farisi, Sahl Ibn Hunaif al-Anshari, Talhah Ibn Ubaidillah, Aisyah binti Abubakar, Abbas Ibn Abdulmuttalib, Abdurrahman Ibn Auf, Abdullah Ibn Ja’far, Abdullah Ibn Abbas, Abdullah Ibn Mas’ud, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Talib, Ammar Ibn Yasir, Umar ibn al-Khattab, Umar Ibn Hushain, dan Fatimah az-Zahra’.
Sementara perawi dari kalangan Tabiin, yang jumlahnya tidak kalah banyaknya antara lain ialah: Abu Rasyid al-Habrani, Abu Salmah Ibn Abdurrahman Ibn Auf, Abu Laila al-Kindi, Habib Ibn Abi Tsabit al-Asadi, Hakam Ibn Utaibah al-Kufi, Zaid Ibn Yutsi’, Salim Ibn Abdullah Ibn Umar, Said Ibn Jabir al-Asadi, Said ibn al-Musayyib, Sulaim Ibn Qays al-Hilali, Sulaiman al-A’masy, al-Dahhak ibn Muzahim al-Hilali, Tawus Ibn Kaisan al-Yamani, Amir Ibn Saad Ibn Abi Waqqash, Abdurrahman Ibn Abi Laila, Abdullah Ibn Muhammad Ibn Aql al-Hasyimi, Adi Ibn Tsabit al-Anshari, Atiyah ibn Saad, Ali Ibn Zaid Ibn Jad’an, Umar Ibn Abdul-aziz, Abu lshaq Amr Ibn Abdullah al-Subai’iy, Isa Ibn Talhah Ibn Ubaidillah, Yazid Ibn Abi Ziyad al-Kufi dan Yazid Ibn Hayyan.
2. MUNASYADAH DENGAN HADlTS AL-GHADIR.
Mengingat pentingnya makna yang terkandung dalam hadits Al-Ghadir di satu pihak dan tidak henti-hentinya usaha menutupi keberadaan hadits ini, terutama oleh pihak-pihak yang iri kepada Ahlubait Nabi, di pihak lain, maka untuk membuktikan keberadaan dan kebenaran hadits Al-Ghadir ini, kerap terjadi munasyadah. Yaitu tuntutan mengatakan kebenaran terhadap pihak-pihak yang mendengar hadits Al-Ghadir langsung dari Rasululah atau melalui jalur Sahabat. munasyadah itu kadang dilakukan sendiri oleh para Ahlubait Nabi atau oleh Sahabat dan Tabiin yang lain. Berikut beberapa munasyadah dimaksud :
Munasyadah Imam Ali Ibn Abi Talib
Keutamaan Imam Ali Ibn Abi Talib di mata Rasulullah saw adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Puluhan, bahkan ratusan pujian teiah dilontarkan Rasulullah kepada Ali Ibn Abi Talib, semua Sahabat Nabi mengakui hal itu. Bahkan Muawiyah sekali pun, orang yang paling memusuhi Imam Ali, tidak dapat mengingkarinya. Namun upaya untuk menutup-nutupi atau paling tidak, mengurangi keutamaan Imam Ali, terus dilakukan oleh orang-orang yang tidak senang kepada Imam Ali. Bahkan sejak zaman Rasulullah saw masih hidup, sehingga Rasulullah harus mengingatkan pihak-pihak yang iri pada Imam Ali, bahwa: “Cinta pada Ali Ibn Abi Talib adalah cerminan keimanan dan membencinya adalah cerminan kemunafikan, Hubbu Ali iman wa bughduhu nifaq.” (Al-Hadits). Atas dasar itu, dan untuk mengingatkan pihak-pihak yang mungkin lupa dengan pesan dan peringatan Rasulullah berhubungan dengan dirinya ini, Imam Ali kerap mengingatkan mereka melalui berbagai cara, yang salah satunya adalah dengan munasyadah.
Ada beberapa munasyadah yang terjadi antara Imam Ali dengan pihak-pihak tertentu, yaitu antara lain:
1. Munasyadah saat Sidang Syura, Tahun 23 H
Dikisahkan oleh Abi al-Tufail Amir Ibn Watsilah : Bahwa ketika hari persidangan Syura, aku mendengar Ali berkata kepada anggota syura:”Aku bermunasyadah kepada kalian atas nama Allah, adakah di antara kalian yang mengesakan Allah sebelum aku?” Mereka berkata: “Tidak.”
Ali berkata: “Aku bermunasyadah kepada kalian atas nama Allah, adakah di antara kalian yang memiliki saudara seperti saudaraku, Ja’far al-Tayyar yang berada di sorga bersama para malaikat?” Mereka berkata:”Tidak.”
Ali berkata: “Aku bermunasyadah kepada kalian atas nama Allah, adakah di antara kalian yang memiliki paman sebagaimana pamanku Hamzah, singa Allah, singa Rasul-Nya dan penghulu para syuhada?” Mereka berkata: “Tidak.”
Ali berkata: “Aku bermunasyadah kepada kalian atas nama Allah, adakah di antara kalian yang mempunyai isteri seperti isteriku, Fatimah binti Muhammad, penghulu para perempuan sorga?” Mereka berkata : “Tidak.”
Ali berkata: “Aku bermunasyadah kepada kalian atas nama Allah, adakah di antara kalian yang memiliki anak-anak sebagaimana anak-anakku al-Hasan dan al-Husain, penghulu pemuda sorga?” Mereka berkata:”Tidak.”
Ali berkata: “Aku bermunasyadah kepada kalian atas nama Allah, adakah di antara kalian selain diriku yang dikatakan oleh Rasulullah, ‘Barangsiapa yang mengakuiku sebagai maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ya Allah berpihaklah kepada orang yang berpihak kepada Ali, musuhilah orang yang memusuhinya, belalah orang yang membelanya. Maka hendaklah yang mendengar hal ini menyampaikannya kepada yang lain.’?” Mereka mengatakan: “Tidak.”
Peristiwa ini direkam oleh banyak ahli hadits maupun sejarah. Anda dapat merujuk ke 1)al-hnanaqib karya al-Khawarizmi al-Hanafi, 2) al-Himwaini dalam Faraid al-Simtain, 3) Ibn Hatim dalam al-Durrun-nazim, 4) al-Dar al-Qutni, 5) Ibn Hajar al-Asqalani dalam al-Shawaiq, 6) al-Hafiz ibn Uqdah, 7) Al-Hafiz al-Uqaili, 8) Ibn Abil-hadid dalam Syarh Nahjul-balaghah, dan 9)Ibn Abdil-bar dalam al-Istiab.
2. Munasyadah Pada Masa Usman Ibn Affan
Al-Himwaini dalam kitabnya Faraidh al-Simtain meriwayatkan dari Sulaim Ibn Qays al-Hilali yang isinya antara lain: “Bahwa suatu hari di masa pemerintahan Usman Ibn Affan sekelompok orang yang sedang berkumpul di masjid Nabawi membicarakan keutamaan suku Quraiys. Ada lebih dua ratus orang yang hadir. Ada Ali Ibn Abi Thalib, Saad Ibn Abi Waqqash, Abdurrahman Ibn Auf, Talhah, Zubair, Miqdad, Ibn Umar, dan lain-lain. Masing-masing membicarakan keutamaan kaumnya. Ali dan keluarganya yang hadir di situ diam saja, tidak berkomentar apa-apa. Tiba-tiba mereka datang kepada Ali dan bertanya : “Wahai Abul-hasan, apa yang membuatmu tidak berbicara, padahal semua orang sudah mengutarakan keutamaan masing-masing?” Ali berkata : “Wahai kaum Quraisy dan al-Anshar, aku ingin bertanya kepada kalian. Keutamaan yang kalian dapatkan ini, apakah oleh kalian sendiri, keluarga dan kerabat kalian, ataukah oleh orang lain?” Mereka menjawab : “Semua yang diberikan Allah ini karena Nabi Muhammad dan kerabatnya, bukan karena kerabat dan keluarga kami.”
Ali berkata : “Kalian betul sekali, bukankah kalian sendiri tahu bahwa segala kebaikan dunia dan akhirat yang kalian dapati karena kami, Ahlubait Nabi, bukan orang lain. Sesungguhnya putra pamanku, Rasulullah saw bersabda: ‘14.000 tahun sebelum diciptakannya Adam, aku dan Ahlubaitku adalah cahaya yang bergerak di sisi Allah. Maka ketika Allah menciptakan Adam, cahaya itu diletakkan-Nya di dalam sulbi Adam, kemudian Nuh, Ibrahim, dan seterusnya melalui sulbi orang-orang suci.’ ” Mereka berkata : “Ya, kami pernah mendengarnya dari Rasulullah.” Ali berkata : “Bukankah terdapat lebih dari satu ayat dalam al-Quran yang lebih memuliakan orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam? Dan sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih dahulu masuk Islam daripadaku?” Mereka berkata : “Betul sekali.”
Ali berkata: “Bukankah ketika turun ayat: ‘Dan al-sabiqun al-sabiqun, orang-orang pertama di antara yang pertama, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang dekat (QS. 56 : 10)’ Rasululah ditanya : ‘Siapa mereka?’ Rasulullah menjawab: ‘Mereka adalah para utusan Allah dan washi, penerima wasiat mereka. Aku adalah Nabi yang paling utama, sedangkan Ali adalah washi yang paling terkemuka.’ ” Mereka berkata : “Ya, kami mendengarnya dari Rasulullah.”
Ali berkata lagi: “Bukankah ketika turun ayat ‘Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya dan pemuka kamu (QS. 4: 59)’ dan ayat: ‘Apakah kamu mengira akan dibiarkan begitu saja padahal belum terbukti siapa di antara kamu yang berjuang dan tidak menjadikan selain Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai walijah, pemimpinnya, (Q.S. 9: 16)’, orang-orang bertanya kepada Rasulullah : ‘Apakah orang-orang beriman yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah orang-orang tertentu saja, atau semua orang beriman?’ Maka Allah memerintahkan Rasul-Nya agar menjelaskan kepada mereka siapa pemuka, pemimpin, dan kepemimpinan sebagaimana penjelasan tentang shalat, zakat, dan haji, lalu mengangkatku pada Ghadir Khum. Nabi berkata: ‘Kaum Muslimin! Sesungguhnya aku telah diperintahkan Allah menyampaikan sesuatu yang aku khawatir orang-orang akan membelakangiku, tapi Allah mengancamku jika aku tidak menyampaikannya. Maka, wahai kaum Muslimin! Bukankah kamu tahu bahwa Allah adalah maulaku dan aku adalah maula kaum beriman. Aku lebih utama dari mereka terhadap diri mereka sendiri.’ Mereka menjawab: ‘Ya, wahai utusan Allah.’ Maka Rasulullah berkata : ‘Berdirilah hai Ali.’ Aku berdiri. Kemudian Rasulullah berkata : ‘Barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya! Ya Allah berpihaklah kepada orang yang berpihak kepada Ali, dan musuhilah orang yang memusuhinya.’ Salman bangun dan bertanya kepada Rasulullah : ‘Kepemimpinan yang sama dengan kepemimpinanmu?’ Nabi berkata: ‘Ya! Kepemimpinan yang sama, yang aku adalah lebih utama dari dirinya.’ Sesudah itu turunlah ayat : ‘Hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu dst.’ Rasulullah lalu bertakbir dan berkata: ‘Mahabesar Allah! Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah dengan berpihak kepada Ali sesudahku.’ Abubakar dan Umar bangun. Mereka bertanya : ‘Apakah ayat-ayat itu hanya berlaku untuk Ali saja?’ Rasulullah menjawab : ‘Ya! Untuk Ali dan washi-washiku hingga hari kiamat.’ Mereka berkata: ‘Jelaskan, siapa mereka ya Rasulullah?’ Rasulullah berkata : ‘Mereka adalah Ali, saudara dan menteriku, washiku, khalifahku pada umatku, dan pemimpin setiap orang yang beriman sesudahku. Setelah itu putraku al-Hasan, lalu al-Husain, dan sembilan orang keturunan al-Husain. Al-Quran selalu menyertai mereka dan mereka selalu bersama al-Quran. Mereka tidak pernah berpisah sampai datang padaku di al-Haudh, telaga, nanti.'” Mereka berkata : “Ya, kami bersaksi pernah mendengar hal itu sebagaimana yang engkau ungkapkan, wahai Ali.”
3. Munasyadah al-Rahbah , Tahun 35 H
Al-Rahbah dalam bahasa Arab berarti beranda. Ketika Imam Ali berkuasa kemudian memindahkan kekhilafahannya ke kota Kufah, Imam menjadikan beranda masjid Kufah sebagai tempat menangani berbagai persoalan, terutama perselisihan yang terjadi dalam masyarakat. Di situlah Imam Ali memutuskan perkara-perkara yang diperselisihkan dengan amat bijak dan adil. Semua orang puas dan menerima dengan senang keputusan-keputusan yang keluar dari beranda masjid ini. Pada masa kekuasaan Imam Ali, tempat ini amat populer.
Ketika Imam Ali masih belum lama masuk kota Kufah sesudah pengangkatannya sebagai khalifah menggantikan Usman Ibn Affan yang terbunuh, ada suara-suara sumbang yang mempertanyakan kebenaran hadits-hadits Nabi tentang keutamaan Imam Ali lebih dari sahabat-sahabat lain, terutama, hadits al-Ghadir. Maka ketika orang-orang berkumpul di al-Rahbah, Imam Ali mendatangi mereka dan melakukan munasyadah. Mereka mengakui keberadaan dan kebenaran hadits-hadits itu. Tapi ada beberapa Sahabat yang karena sesuatu dan lain hal mencoba mengelak mengakui keberadaan hadits-hadits tersebut. Imam Ali menantang kejujuran mereka dengan memohon kepada Allah, jika pengelakan mereka memang karena alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, agar Allah memaafkan mereka. Tapi jika karena sesuatu dan lain hal, agar ditunjukkan keluasaan Allah sebagai bukti kebenaran dirinya. Saat itu juga Allah mengabulkan permintaan Imam Ali dan menurunkan hukuman, kualat, kepada beberapa sahabat yang mencoba menutupi kebenaran itu. Di antara sahabat yang mendapat kualat itu adalah Zaid Ibn Arqam dan Anas Ibn Malik.
Peristiwa itu menggemparkan kota Kufah dan seluruh wilayah Islam. Karena itu, ia mendapat banyak perhatian ari para perawi hadits maupun penulis sejarah. Berikut beberapa riwayat mengenai hal itu sebagaimana direkam dalam kitab-kitab hadits dan sejarah.
1. Zaid Ibn Arqam menceritakan : Bahwasanya suatu hari Ali menantang kejujuran orang-orang (bermunasyadah) dan berkata : “Wahai orang-orang! Aku bermunasyadah atas nama Allah, jika ada di antara kalian yang mendengar sabda Nabi saw, ‘Barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, berpihaklah kepada orang yang berpihak kepadanya dan musuhilah orang yang memusuhinya’, maka hendaknya bangun memberikan kesaksian!” Maka bangunlah dua belas Sahabat Nabi Ahli Badar, yang mengikuti perang Badar, memberikan kesaksian dan membenarkan apa yang dikatakan Ali. Bahwa memang benar Nabi pernah mengatakan itu. Aku, kata Zaid, adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mau bersaksi akan kebenaran hadits itu, maka butalah mataku (Hadits riwayat Ahmad ibn Hanbal).
Pengakuan langsung Zaid Ibn Arqam ini dapat Anda lihat juga pada : 1) al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid, 2) al-Maghazili dalam al-Manaqib, 3) al-Tabrani dalam al-Kabir, 4) al-Tabari dalam Zakhair al-Uqba, al-Hafiz Muhammad Ibn Abdullah dalam al-Fawaid, dan lain-lain.
2. Ahmad juga meriwayatkan dalam kitabnya al-Musnad, dari Abu al-Tufail Amir Ibn Watsilah : Bahwa pada suatu hari Ali mengumpulkan orang-orang di al-Rahbah. Ia berkata kepada mereka: “Aku bernasyadah atas nama Allah kepada setiap Muslim yang mendengar hadits Rasulullah di Ghadir Khum, hendaklah berdiri!” Maka berdirilah tiga puluh orang memberikan kesaksian. Dalam pada itu Abu Nuaim berkata : “Banyak orang yang berdiri dan bersaksi, bahwa memang benar Rasulullah berkata sambil memegang tangan Ali : ‘Bukankah kamu tahu bahwa aku lebih berhak atas orang-orang yang beriman, lebih daripada mereka sendiri?’· Mereka berkata : ‘Benar ya Rasulullah.’ Nabi kemudian berkata : ‘Barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, berpihaklah kepada orang yang berpihak kepada Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya.’ ” Abu Nuaim berkata: “Kemudian aku keluar dari tempat itu, tapi dalam hatiku masih ada suatu keraguan.” Maka kudatangi Zaid dan berkata kepadanya: “Aku mendengar Ali mengatakan ini dan itu.” Zaid berkata: “Mengapa engkau harus mengingkarinya? Aku juga mendengar Rasulullah saw berkata demikian.”
Riwayat dari Abu Tufail ini dapat dilihat juga pada 1) al-Nasai dalam Khasaish, 2) Abu Daud, 3) al-Ashimi dalam Zain al-Fata, 4) al-Kunji dalam Kifayah, 5) al-Tabari dalam al-Riyadh al-Nadhirah, 6) Ibn Katsir dalam al-Bidayah, 7) Ibn Atsir dalam Usud al-Ghabah, dan lain-lain.
3. Ibn Katsir dalam tarikhnya, meriwayatkan dari Ahmad Ibn Hanbal : Bahwasanya suatu hari Ali berkata : “Aku bermunasyadah atas nama Allah dengan munasyadah Islam kepada setiap orang yang mendengar pernyataan Rasulullah pada hari Ghadir Khum sambil memegang tanganku: ‘Kaum Muslimin! Bukankah aku lebih utama terhadap diri kamu daripada kamu sendiri?’ Mereka berkata: ‘Betul ya Rasulullah.’ Rasulullah kemudian berkata : ‘Barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka Ali adalah maulanya. Ya Alllah berpihaklah kepada orang yang berpihak kepadanya, musuhilah orang yang memusuhinya, belalah orang yang membelanya dan hinakanlah orang yang menghinakannya.’ Maka setiap orang yang mendengar hadits ini hendaklah berdiri dan bersaksi atas kebenarannya!” Maka bangunlah tujuh belas orang dan bersaksi bahwa Ali memang benar. Tapi sebagian lagi tidak mau bersaksi. Terhadap mereka, tidak ada yang keluar dari dunia ini kecuali telah lebih dahulu dibutakan atau dibuat belang.
4. Munasyadah Pada Perang Jamal
Al-Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak, dari Rifaah ibn Iyas al-Dhabbi, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa : Ketika kami berada di perang Jamal bersama-sama Ali, Ali mengutus seseorang untuk memanggil Talhah. Talhah datang menemui Ali. Ali berkata kepadanya: “Aku munasyadah engkau atas nama Allah. Tidakkah engkau mendengar Nabi saw berkata : ‘Barangsiapa yang aku adalah maulanya, maka hendaklah menjadikan Ali sebagai maulanya. Ya Allah, berpihaklah kepada orang yang berpihak kepadanya dan musuhilah orang yang memusuhinya’?” Talhah berkata: “Ya. Aku mendengarnya.” Ali berkata: “Kalau begitu, mengapa engkau memerangiku?” Talhah berkata: “Aku tidak ingat.”
Nada yang sama dapat dilihat pada 1) al-Masudi dalam Muruj al-Zahab, 2) al-Khatib al-Khawarizmi dalam al-Manaqib, 3) Ibn Asakir daiam Tarikh Syam, 4) Ibn al-Jauzi dalam Tazkirah, 5) al-Haitsami dalam Majma` al-Zawaid, 6) Ibn Hajar dalam al-Tahzib, 6) al-Suyuthi dalam Jami’-al-Jawami’ dan lain-lain.
3. IHTIJAJ AHLUBAIT DAN LAINNYA DENGAN HADlTS AL-GHADIR.
Selain munasyadah Imam Ali, Ahlubait, dan banyak pihak juga melakukan ihtijaj, berhujjah, tentang kebenaran hadits Al-Ghadir ini. Berikut beberapa ihtijaj tersebut :
Ihtijaj Fatimah Binti Rasulullah
Diriwayatkan dalam kitab Asnal-matalib, karya al-Muqirri al-Syafii bahwa Fatimah berkata kepada sahabat-sahabat Nabi : “Apakah kalian lupa pernyataan Rasulullah pada hari al-Ghadir: ‘Barangsiapa yang aku adalah maulanya maka Ali adalah maulanya’?”
Ihtijaj Imam Hasan
Al-Hafiz Abul-abbas Ibn Uqdah meriwayatkan bahwa di antara yang diucapkan Hasan Ibn Ali di atas mimbar setelah menandatangani kesepakatan perdamaian dengan Muawiyah ialah : “Bukankah umat ini mendengar nabinya berkata sambil memegang tangan Ali Ibn Abi Talib di Ghadir Khum: ‘Barangsiapa yang aku adalah maulanya maka hendaklah ia menjadikan Ali sebagai maulanya. Ya Allah, berpihaklah kepada orang yang berpihak kepadanya dan musuhilah orang yang memusuhinya’, dan Nabi memerintahkan mereka untuk menyampaikannya kepada yang tidak hadir ?”
Ihtijaj Imam Husain
Sulaim Ibn Qais meriwayatkan : Bahwa dua tahun sebelum kematian Muawiyah, Imam Husain mengumpulkan sekitar tujuh ratus orang di Mina saat haji. Mereka terdiri dari Bani Hasyim, Sahabat, Tabiin, dan para pengikut al-Husain. Al-Husain meminta mereka memberikan kesaksian atas setiap yang dikatakannya. Mereka memberikan kesaksian dan membenarkan semua yang dikatakan al-Husain. Di antara yang dikatakan al-Husain saat itu adalah: “Aku bermunasyadah atas nama Allah, bukankah kalian tahu bahwa Rasulullah saw mengangkat Ali pada hari Al-Ghadir dan menuntut setiap orang untuk mengakui kepemimpinan Ali, dan berkata: ‘Setiap yang hadir hendaknya menyampaikannya kepada yang tidak hadir’?” Semua yang berkumpul memberikan kesaksian bahwa memang demikian.
Ihtijaj Seorang Perempuan Kepada Muawiyah
Zamakhsyari menceritakan dalam kitabnya Rabi’ al-Abrar : Bahwa suatu hari, saat Muawiyah melaksanakan ibadah haji, ia memanggil seorang perempuan yang bernama Darumiyah. Ia berkata kepadanya: “Hai Darumiyah, mengapa engkau mencintai Ali dan membenciku? Berwilayah kepada Ali dan memusuhiku?” Darumiyah bertanya : “Apakah aku boleh diam?” Muawiyah berkata:”Tidak.” Darumiyah berkata: “Karena engkau memaksa, akan kukatakan yang sebenarnya. Aku mencintai Ali karena keadilannya pada rakyat dan membagi harta dengan sama rata, dan aku membencimu karena engkau memerangi orang yang lebih berhak darimu dan menuntut yang bukan hakmu. Aku berwilayah kepada Ali karena Rasulullah telah mengangkatnya sebagai pemimpin di depan batang hidungmu sendiri, kecintaannya kepada kaum miskin, dan penghormatannya kepada ahli agama. Dan aku memusuhimu karena engkau menumpahkan darah, memecah persatuan, memutuskan perkara dengan tidak adil, dan keputusanmu yang didasarkan pada hawa nafsu !!”
Ya Rabb! Masukkanlah kami ke dalam golongan yang berpihak pada Ali dan keluarganya. Amin.
(IslamTimes/syiahali/Shabestan/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar