Baca tuh tulisan sebelumnya:
Kenapa Mu’awiyah tidak menjadi kafir zindiq padahal dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali – Fatimah – Hasan dan Husain ??
Kenapa Mu’awiyah hadisnya diterima lalu dianggap tsiqah dan adil padahal dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali – Fatimah – Hasan dan Husain ??
Banyak kitab sejarah mencatat bahwa “Khalifah Bani Umayyah memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Pemerintah Bani Umayyah menyuruh khatib khatib untuk melaknat keluarga Ali”, contoh :
Abi Sa’id al-Khudri berkata:
“Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah Saw keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan perintah.”.
Bid’ah Terbesar Sepanjang Sejarah Islam
MUAWIYAH TELAH MENGUTUK SAYYIDINA ALI PADA SETIAP KHOTBAH JUMAT DAN HAL INI MENJADI BID’AH YANG TERUS MENTRADISI SELAMA 90 TAHUN SAMPAI BERKUASANYA UMAR BIN ABDUL AZIZ YANG BIJAK
1. Ibn Abi al Hadid di dalam syarah atau komentarnya atas kitab Nahjul Balaghah Jil. 1 hlm. 464 menyatakan : “Pada akhir khotbah Jumat, Muawiyah mengatakan : “Ya Allah, laknatlah Abu Turab, dia yang telah menentang agama-Mu dan jalan-Mu, laknat dia dan hukum dia di neraka!” Muawiyah inilah yang memperkenalkan bid’ah terbesar dan terburuk ini kepada khalayak umat Islam pada masa kekuasaannya hingga masa Umar bin Abdul Aziz.”
2. Di dalam kitab Mu’jam al-Buldan Jil. 1, hlm 191, ‘Allamah Yaquut Hamawi menyatakan : “Atas perintah Mu’awiyyah, ‘Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Masyrik (Timur) hingga Maghrib (Barat) dari mimbar-mimbar Masjid.”
3. Masih di dalam kitab yang sama, Mu’jam al-Buldan Jil. 5, hlm. 35, Hamawi mengatakan : “Salah satu perubahan (bid’ah) terburuk yang telah dimulai sejak awal mula pemerintahan Muawiyah adalah bahwa Muawiyah sendiri dan dengan perintah kepada gubernurnya, membiasakan menghina Imam Ali saat berkhotbah di Masjid. Hal ini bahkan dilakukan di mimbar masjid Nabi di hadapan makam Nabi Muhammad Saw, sampai sahabat-sahabat terdekat Nabi, keluarga dan kerabat terdekat Imam Ali mendengar sumpah serapah ini.”
4. Di dalam kitab Al-Aqd al-Farid Jil. 1 hlm. 246, Anda bisa membaca : “Setelah kematian ‘Ali dan Hasan, Muawiyah memerintahkan sebuah titah ke seluruh masjid termasuk masjid Nabawi agar semua orang turut melaknat ‘Ali!”
5. Di dalam kitab yang sama, Al-Aqd al-Farid Jil. 2 hlm. 300 anda bisa membaca isi surat Ummu Salamah, isteri Rasulullah Saw, yang menulis kepada Muawiyah : “…Engkau sedang mengutuk Allah dan Rasul-Nya di mimbarmu karena engkau mengutuk Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang mencintai Ali, aku bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya mencintainya.” Tetapi tak seorang pun memperhatikan ucapannya.
6. Di dalam kitab al-Nasa’ih al-Kafiyah hlm. 77, Anda juga bisa membaca : “Praktek (pelaknatan) yang berlangsung sekian lama ini memunculkan sebuah asumsi bahwa apabila seseorang tidak melakukan pelaknatan tersebut maka shalat Jumat-nya tidaklah dianggap sah!”
7. Seorang alim dari Pakistan yang bermazhab Hanafi, Maulana Raghib Rahmani, di dalam kitabnya tentang “Hazrat Umar bin Abdul Aziz”, Khalifatul Zahid, hlm. 246 menyampaikan komentarnya dengan tajam : “(Praktek pelaknatan) ini tentu saja tidak menguntungkan, karena ini adalah bid’ah yang telah diperkenalkan ke masyarakat yang telah “memotong hidung” (memalukan) kota-kota, di mana bid’ah ini bahkan dilakukan di mimbar-mibar masjid, bahkan tanpa malu sampai juga ke “telinga” masjid Nabawi. Inilah bid’ah yang diperkenalkan oleh Amir Muawiyah!”
8. Di dalam bukunya Al-Khilafah wal Mulk yang sempat menggemparkan dunia Islam, Abul A’la al-Maududi, seorang alim Pakistan bermazhab Hanafi, menulis :
“Ketika pada zaman Muawiyah dimulai kebiasaan mengutuk Sayyidina Ali dari atas mimbar-mimbar dan pencaci-makian serta pencercaan terhadap pribadinya secara terang-terangan, di siang hari maupun di malam hari, kaum muslimin di mana-mana merasa sedih dan sakit hati sungguh pun mereka terpaksa harus berdiam diri menekan perasaannya itu. Kecuali Hujur bin Adi, yang tidak dapat menyabarkan dirinya…” (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 209-210, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).
Dan akhirnya, Muawiyah menyuruh Ziyad untuk membunuh Hujur bin ‘Adi, salah seorang sahabat besar Nabi yang zahid, abid, dan termasuk di antara tokoh-tokoh umat terbaik. Di dalam surat perintahnya, Muawiyah menulis : “Bunuhlah orang ini (Hujur) dengan cara yang seburuk-buruknya.” Maka Ziyad mengubur Hujur dalam keadaan hidup-hidup. (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 211, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).
“Kisah terperinci mengenai cobaan berat yang dialami oleh Hujur bin ‘Adi itu banyak terdapat di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ahli hadis maupun para ahli sejarah, baik yang sudah tersebar luas maupun yang tidak disebarkan,” Begitu tulis Thaha Husain di dalam bukunya yang terkenal al-Fitnah al-Kubra yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Malapetaka Terbesar Dalam Sejarah Islam pada hlm. 624, yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Cet. I, Tahun 1985.
Inilah sebagian bukti-bukti tertulis di dalam kitab-kitab sejarah yang bisa anda temui hingga saat ini. Apakah masih terbetik keraguan di dalam hati anda tentang bejatnya Muawiyah, si setan berwujud manusia ini?
Dan ketika Hasan bin Ali mengundurkan diri sebagai khalifah, Muawiyah pun akhirnya berdiri sebagai seorang penguasa tunggal, lalu dia menyampaikan pidatonya di kota Madinah :
“Amma ba’du! Sesungguhnya aku, demi Allah ketika menjadi penguasa atas kamu sekalian, bukannya aku tidak mengetahui bahwa kalian tidak menyenangi kekuasaanku ini, tetapi sesungguhnya aku benar-benar tahu apa yang ada dalam hati kalian tentang hal ini, namun aku telah merampasnya dari kalian dengan pedangku ini. Dan sekiranya kalian tidak menadpati diriku telah memenuhi hak-hak kamu seluruhnya, hendaknya kalian memuaskan diri dengan sebagiannya saja dariku!” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jil. 8, hlm. 132)
Pada masa kekuasaan Muawiyah, rakyat dibungkam dari menyampaikan kebenaran, mereka hanya boleh memuji-muji atau jika enggan sebaiknya diam. Karena jika rakyat berani memprotes pemerintah pada masa itu maka bersiap-siaplah untuk dijebloskan ke dalam penjara, dibunuh, disiksa atau paling tidak dibuang! (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 209, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).
Apakah orang seperti ini yang ingin anda bela mati-matian? Hanya orang-orang yang serupa dengan Muawiyah saja dan pengikutnya yang super dungu yang ngotot membela manusia keji semacam ini! Mereka itulah kaum Wahabi para pemuja kaum durjana seperti Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid bin Muawiyah. Mereka menjadikan keduanya sebagai pemimpin-pemimpin mereka!
Jika anda membenci kekejaman, kezaliman, dan kebengisan yang dilakukan para diktator dunia seperti Adolf Hitler, Pol Pot, Slobodan Milosevich, Saddam Husein, George W Bush, Ehud Olmert, maka anda juga mesti membenci makhluk durjana seperti Muawiiyah ini. Tapi itu pun jika hati nurani anda masih sehat wal afiat…
Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal Jil. 6, hlm. 33, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw yang kita cintai telah bersabda, “Barangsiapa yang mengutuk Ali sesungguhnya ia telah mengutukku. Barangsiapa yang berani mengutukku berarti ia telah mengutuk Allah. Barangsiapa yang telah mengutuk Allah, maka Allah akan melemparkannya ke neraka Jahannam!”
Rasulullah Saw telah menubuwatkan bahwa peristiwa pelaknatan atau pengutukan atas sahabat Nabi yang mulia, Ali bin Abi Thalib, yang juga salah seorang anggota Ahlul Bayt akan terjadi. Melalui mata batinnya, Rasulullah Saw telah melihat beberapa sahabatnya yang sangat dengki terhadap Sayyidina Ali as. Allah Swt pun menyingkapkan kedengkian mereka terhadap Nabi Saw dan Ahlul Baytnya :
“Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun kepada manusia. Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (Al-Quran Surah Al-Nisaa [4] ayat 54)
Ingatkah anda, bagaimana anda melafadzkan shalawat kepada Nabi Saw di dalam shalat anda?
Inilah mengapa dengan teramat keras Nabi Saw memperingatkan umatnya untuk tidak melakukan tindakan bodoh tersebut. Dan anda perhatikan, bahwa Ummu Salamah, isteri Nabi telah memperingatkan Muawiyah tentang hal ini, namun lelaki durjana ini tiada mempedulikan peringatan tersebut.
Saya berdoa kepada Allah Swt semoga orang-orang yang tulus namun masih meragukan kebenaran ini menjadi tersadarkan dan semakin mendapatkan keyakinan yang sahih…
INILAH MUAWIYAH
Maulana Sayid lal Shah Bukhari dalam Isthakhlaaf ai Yazid halaman 216 menyebutkan “Imam” Nashibi :
“Penemu ideologi Nashibi adalah Muawiyah”
Muawiyah putra pasangan Abu Sufyan dan Hindun (si perobek perut dan pengunyah jantung Hamzah pamanda Nabi saww.) setelah menancapkan kekuasaannya mengeluarkan beberapa titah kepada seluruh aparatnya, di antaranya :
Muawiyah menulis surat keputusan yang dikirimkan kepada para gubenur dan kepala daerah segera setelah ia berkuasa:
“Lepas kekebalan bagi yang meriwayatkan sesuatu apapun tentang keutamaan Abu Thurab (Imam Ali as.) dan Ahlulbaitnya.”
Maka setelah itu (kata al Madaini, seorang sejarawan kondang Ahlusunnah) para penceramah di setiap desa dan di atas setiap mimbar berlomba-lomba melaknati Ali dan berlepas tangan darinya serta mencaci makinya dan juga Ahlulbaitnya. Masyarakat paling sengsara saat itu adalah penduduk kota Kufah sebab banyak dari mereka adalah Syi’ah Ali as. Dan untuk lebih menekan mereka, Mu’awiyah mengangkat Ziyad ibn Sumayyah sebagai gubernur kota tersebut dengan menggabungkan propinsi Basrah dan Kufah. Ziyad menyisir kaum Syiah –dan ia sangat mengenali mereka, sebab dahulu ia pernah bergabung dengan mereka di masa Khilafah Ali as.. Ziyad membantai mereka di manapun mereka ditemukan, mengintimidasi mereka, memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka, menusuk mata-mata mereka dengan besi mengangah dan menyalib mereka di atas batang-batang pohon kurma. Mereka juga diusir dari Irak, sehingga tidak ada lagi dari mereka yang terkenal. (Syarah Nahjul Balaghah,jl.3/juz 11, hal.14-17).
Setelah menyusulnya dengan beberapa surat perintah yang menganjurkan pembuatan hadis-hadis keutamaan yang bertujuan menandingi keutamaan Ali as., Muawiyah menyusulnya dengan surat kelima sebagai di bawah ini:
“Perhatikan siapa yang terbukti mencintai Ali dan Ahlulbaitnya maka hapuslah namanya dari catatan sipil negara, gugurkan uang pemberian untuknya!”
Tidak puas dengan itu, Muawiyah malayangkan surat keenam:
“Barang siapa yang kamu curigai mencintai Ali dari mereka maka jatuhkan sangsi berat atasnya! Hancurkan rumahnya!”
Muhaddith Shah Abdul Aziz telah membuat dua komentar menarik dalam Haddiya al Mujidiiya hal. 813 :
“Seorang yang memerangi Ali (ra) dengan kebencian adalah kafir menurut ijma Ahlu Sunah”
“Barang siapa menganggap Ali (ra) kafir atau menentang kekahlifahannya maka ia menjadi kafir, ciri seperti ini ada pada Khawarij saat (perang) Nahrawan”.
Dalam Tadhrib al Radhi hal. 311 Allamah Jalaudin Suyuti, mencatat: “Ideologi Nashibi berarti membenci Ali dan lebih menyukai Muawiyah”
Dalam Fatwa Azizi, oleh Shah Abdul Aziz Dehlavi pada hal.123, dikatakan olehnya: “Muawiyah melaknat Hadrath Ali”
Sejarah Muawiyah melaknat dan mengutuk serta memerintahkan seluruh pengikutnya melakukan hal yang sama (mengutuk Imam Ali as) di imbar-minar shalat jum’at bukanlah berita asing, tealh banyak dipaparkan oleh ulama-ulama ahlu sunah sndiri.
Maka cukup bagi kita sabda Orang YANG PALING MULIA yaitu Rasulullah Muhammad (saww) :
“Barang siapa yang menyakiti Ali, berarti ia menyakiti aku!” (Musnad Ahmad ibn Hanbal, jld. 3, hal. 483; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jl. 2, hal. 580, hadis 981; -Sawaiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab II, bag I, hal. 263).
“Barang siapa mengutuk Ali, berarti ia mengutuk aku.” (Misykat al-Masabih, versi bhsa. Inggris, hadis 6092; al-Mustadrak, Hakim jld 3, hal. 121. Hakim menyebutkan bahwa hadis ini shahih; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jld 6, hal. 323; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jl 2, hal. 594, hadis 1011; Majma az-Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 130; Tarikh al-Khulafa, Jalaluddin Suyuthi, hal. 173).
Orang yang mengutuk Imam Ali (as) sama saja menutuk Rasulullah (saww), mana mungkin hati kita bisa mencintai orang yang mengutuk Rasulullah (saww)..??
Barangsiapa yang mengutuk (menganiaya melalui ucapan) Ali, sesungguhnya ia telah mengutukku. Barang siapa yang berani mengutukku berarti ia telah mengutuk Allah. Barang siapa yang telah mengutuk Allah, Allah akan melemparnya ke neraka Jahanam (Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 6, hl. 33).
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang menyimpan apa yang Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami menerangkannyakepada manusia dalam Al-Kitab, MEREKA ITU DILAKNAT OLEH ALLAH DAN DILAKNAT OLEH SEMUA MAKHLUK YANG DAPAT MELAKNAT. Kecuali mereka yang telah bertaubat dan melakukan perbaikan dan menerangkan kebenaran, mereka itu Akulah Yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 159-160).
Kalamullah telah menegaskan dan Rasulullah saww telah menerangkan..!
Bagaimana dengan sabda Rasulullah (saww) mengenai perintah mengikuti para Imam dari Ahlul Bait (as) dibawah ini, apakah termasuk didalamnya mencakup perintah dari Rasulullah (saww) atau bukan..? marilah kita baca dan kita renungi bersama-sama sabda Rasulullah saww dibawah ini :
Rasulullah saww :
“Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluarkan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu ke pintu kesesatan.“ (Shahih Bukhari, jld 5, hl. 65, cetkn. Darul Fikr).
Dalam Ikmal al-Din terdapat sebuah hadits melalui Jabir i yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah yang berkata :
“Ya Rasulullah kami telah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, lalu siapakah ulil amri yang Allah jadikan ketaatan kepada mereka sama dengan ketaatan kepadamu?”
Lalu Nabi SAW bersabda : (perhatikan baik-baik nama-nam penerus Rasulullah saww yang diperintahkan untuk diikuti)
“Wahai Jabir, mereka adalah penerusku dan para pemimpin muslimin. Yang pertama dari mereka adalah ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian (Imam) Hasan dan (Imam) Husain, kemudian ‘Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin ‘Ali, yang dikenal dalam taurat dengan nama al-Baqir, yang engkau akan jumpai kelak. Wahai jabir! Apabila engkau menjumpainya, sampaikanlah salamku padanya.
Setelahnya adalah ash-Shadiq, Ja’far bin Muhammad; kemudian Musa bin Ja’far, kemudian ‘Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin ‘Ali, kemudian ‘Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin ‘Ali, setelahnya adalah al-Qa’im yang nama asli dan gelarnya sama denganku. Dia adalah hujjah Allah di bumi dan pengingat hamba-hamba-Nya. Dia anak (Imam) Hasan bin ‘Ali (al-’Askari). Pribadi inilah yang menyebabkan tangan Allah akan membukakan arah Timur dan Barat dunia dan pribadi ini jugalah yang akan digaibkan dari para pengikut dan pencintanya. karena inilah (kegaiban) keimamahannya tidak dapat dibuktikan oleh pernyataan siapapun kecuali oleh orang yang keimanannya telah Allah uji.”
Jabir berkata :
“Aku bertanya padanya: ‘Wahai Rasulullah! Apakah para pengikut (syi’ah)-nya akan mendapatkan manfaat dari kegaibannya?’ Dia menjawab: ‘Ya. Demi Zat yang mengutusku dengan kenabian, mereka akan mencari cahaya dan taat kepadanya pada masa gaibnya sebagaimana manusia mendapat manfaat dari (cahaya) matahari ketika awan menutupnya’ …” (Ikmal al-Din, jld 1, hal 253, dengan makna yang hampir sama dalam Yanabi’ al Mawaddah, hal.117).
Masa Sulit bagi Kaum Syi’ah
Setelah Imam Ali a.s. syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 ma’shum a.s.).
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., –sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor– ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.
Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.
Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali a.s.
Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.
Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit bagi kaum Syi’ah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.
Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya, dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas perlu diragukan.
Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.
Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.
Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali a.s. karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun mengalami kekalahan– sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna.
Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Rasulullah SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.
Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.
Mereka yang menamakan dirinya Salafi tidak henti-hentinya berkata syiah itu kafir dan sesat. Tentu saja mereka mengikuti syaikh mereka atau ulama salafi yang telah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah kafir dan sesat. Salah satu dari ulama tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin.
Tulisan ini merupakan tanggapan dan peringatan kepada mereka yang bisanya sekedar mengikut saja. Sekedar ikut-ikutan berteriak bahwa syiah kafir dan syiah sesat tanpa mengetahui apapun selain apa yang dikatakan syaikh mereka. Jika ditanya, mereka akan mengembalikan semua permasalahan kepada ulama mereka, Syaikh kami telah berfatwa begitu. Padahal setiap orang akan mempertanggungjawabkan perkataannya sendiri dan bukan syaikh-syaikhnya. Apalagi jika perkataan yang dimaksud adalah tuduhan kafir terhadap seorang muslim. Bukankah Rasulullah SAW bersabda “Apabila salah seorang berkata pada saudaranya “hai kafir”, maka tetaplah hal itu bagi salah seorangnya. (Shahih Bukhari Juz 4 hal 47). Artinya jika yang dikatakan kafir itu adalah seorang muslim maka perkataan kafir akan berbalik ke dirinya sendiri. Singkatnya Mengkafirkan Muslim adalah Kafir.
Yang seperti ini sebenarnya sudah cukup untuk membuat orang berhati-hati dalam mengeluarkan kata “kafir”. Jelas sekali adalah kewajiban mereka untuk menelaah apa yang dikatakan oleh syaikh-syaikh mereka. Apakah benar atau Cuma pernyataan sepihak saja?. Sayangnya mereka yang berteriak itu tidak pernah mau beranjak dari pelukan syaikh mereka. Sepertinya dunia ini terbatas dalam perkataan syaikh mereka saja. Heran sekali kenapa mereka tidak pernah menghiraukan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain seperti Syaikh-syaikh Al Azhar yaitu Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali dan Syaikh Yusuf Al Qardhawi yang jelas-jelas menyatakan bahwa Syiah itu Islam dan saudara kita.
Tentu jika mereka saja tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain selain syaikh mereka, maka tidak heran kalau mereka tidak pernah mendengarkan apa yang dikatakan Ulama Syiah tentang Bagaimana Syiah sebenarnya. Padahal mereka Ulama Syiah jelas lebih tahu tentang mahzab Syiah ketimbang orang lain. Kaidah tidak percaya adalah sah-sah saja tetapi hal itu harus dibuktikan. Ketidakpercayaan yang tak berdasar jelas sebuah kesalahan. Apa salahnya jika mereka mau merendah hati sejenak mendengarkan apa yang dikatakan ulama syiah tentang syiah dan jawaban ulama syiah terhadap pernyataan syaikh mereka, Insya Allah mereka tidak akan gegabah ikut-ikutan berteriak kafir kepada saudara mereka yang Syiah. Sayangnya sekali lagi mereka tidak mau tapi dengan mudahnya berteriak kafir.
Jadi wajar sekali kalau mereka yang berteriak itu tidak mengetahui bahwa setiap dalil dari syaikh mereka sudah dijawab oleh Ulama Syiah. Dan tidak sedikit dari dalil syaikh mereka itu yang merupakan kesalahpahaman dan sekedar tuduhan tak berdasar. Mereka yang berteriak itu akan berkata “syaikh kami telah berfatwa berdasarkan kitab-kitab syiah sendiri”. Ho ho ho benar sekali dan ulama syiah bahkan telah menjawab syaikh mereka berdasarkan kitab syiah dan kitab yang menjadi pegangan kaum sunni. Tetapi sayang mereka tidak tahu, karena mereka bisanya cuma teriak saja. Tong Kosong Nyaring Bunyinya.
Baiklah anggap saja kita tidak usah memusingkan segala tekstualitas antara ulama sunni dan syiah itu, maka cukup kiranya mereka yang berteriak Syiah kafir itu menjawab pertanyaan ini
Apakah kafir orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah?
Apakah kafir orang yang menunaikan shalat?
Apakah kafir orang yang berpuasa di bulan Ramadhan?
Apakah kafir orang yang menunaikan zakat?
Apakah kafir orang yang berhaji ke Baitullah?
Saya yakin mereka bisa menjawab, dan jawabannya tidak, mana ada orang kafir yang seperti itu. Orang yang seperti itu jelas-jelas Muslim. Dan sudah menjadi hal yang umum kalau Syiah jelas mengucapkan syahadat, menunaikan shalat, puasa di bulan ramadhan, membayar zakat dan haji ke Baitullah. Jadi jelas sekali Syiah itu Muslim.
Betapa mudahnya mulut mereka berbicara, sungguh aneh sekali ketika pikiran terperangkap dalam kurungan ashabiyah.
Tulisan ini juga ditujukan kepada mereka yang belum tahu tentang Syiah, cukuplah penjelasan bahwa Syiah adalah Islam sama seperti Sunni, perbedaannya mereka Syiah berpedoman pada Ahlul Bait Nabi SAW. Semoga saja siapapun yang belum mengenal Syiah tidak termakan dengan Fatwa-fatwa yang mengkafirkan syiah. Jika tidak tahu cukuplah diam dan lebih baik berprasangka baik. Jangan ikutan berteriak, biarkan saja mereka yang berteriak Syiah kafir. Dan Sekali lagi bagi mereka yang berteriak, Baca, baca lagi dan pikirkan baik-baik. Maaf, Jangan mau membodohi diri dan tampak seperti orang bodoh. Dengarkan ulama sunni yang lain, dan dengarkan pembelaan mereka Ulama Syiah. Jangan maunya sekedar berteriak. Ingatlah Semua orang bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya.
Untuk mengharumkan nama Mu’awiyah yang aroma busuknya telah menyengat setiap hidung kaum beriman dan mereka yang jujur, para Salafi Wahhâbi melakukan segala cara, yang walaupun pada akhirnya hanya akan membongkar kedok sebenarnya siapa mereka dan akan membawa malu di dunia sebelum nanti di akhirat!
Di antara cara yang mereka lakukan adalah mendustkan berbagai fakta sejarah yang terang benderang bak matahari di siang bolong yang membuktikan kemunafikan dan kejahatan Mu’awiyah dan banu Umayyah pada umumnya…
Dan di antara yang mereka hendak sembunyikan adalah fakta sejarah bahwa Mu’awiyah telah melancarkan pencaci-makian dan pelaknatan atas Imam Ali (karramallahu wajhahu wa radhiyallahu ‘ahnu)…. bahkan lebih dari itu, Mu’awiyah telah memerintahkan umat Islam untuk memcaci-maki dan melaknati Khalifah Ali ra. serta menjadikannya program dinasti tiran yang dipimpinannya!
Terlampau banyak bukti yang menegeskan kenyataan ini… hanya saja dalam kesempatan ini saya akan menyajikan satu dari ratusan butki yang memastikan fakta sejarah itu. Sementara bukti-bukti lain insya Allah akan saya sajikan dalam kesempatan lain.
Di antara bukti itu adalah riwayat shahih yang dikeluarkan Imam Ibnu Mâjah,1/26 hadis no.121 (hadis terakhir dalam Bab Keutamaan Ali bin Ali Thalib ra.) di bawah ini:
Teks Hadis:
Hadis riwayat di atas telah masyhur dinukil para ulama hadis kita dari sahabat Sa’ad ra. dan bukan sesuatu yang samar bagi para santri apalagi para kyia Ahlusunnah. Hanya saja yang penting dicatat di sini adalah bahwa riwayat di atas -yang tegas-tegas menyebutkan dan membuktikan bahwa Mu’awiyah mencaci-maki Imam Ali ra. itu- telah dishahihkan oleh Syeikh Nâshiruddîn al Albâni; Gembong Ahli Hadis Kebanggaan Wahhâbi Sallafi, walaupu kami Ahlusunnah sama sekali tidak pernah membanggakannya sebab ia sering linglung dalam mentakhrij hadis/riwayat/atsar. Baca keterangannya dalam Silsilah al Ahâdîts ash Shahîhah, 4/335. Baca juga dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah; juga oleh al Albâni (terbitan Maktabah at tarbiyah al Arabi. Cet III. Tahun 1408 H/1988M.) atau lihat di tahrij hadis aleh Al Bani online DISINI
Jika Wahhâbi Salafi Mengelak!
Mungkin kaum awam Salafi Wahhâbi (yang sering menjadi korban pembodohan para ustdaz dan masyâikh mereka) berusaha mengelak dengan mengatakan bahwa tidak ada kejelasan dalam riwayat di atas bahwa Mu’awiyah mencaci-maki Ali! Yang ada hanya kata nâla yang artinya menyentuh atau menyebut-nyebut? Jadi mungkin saja Mu’awiyah sedang memuji Ali! Jika ada yang berkata demikian maka, pertama-tama saya ucapkan bela sungkawa atas kematian ilmu dan nurani.
Sebab kecintaan kepada pemimpin pohon terkutuk rupanya telah membutakan akal pikirannya! Kedua, tidak ada ulama Ahlusunnah yang memahami demikian. Justeru semua menegskan bahwa dalam kesempatan itu Mu’awiyah mencaci-maki dan mencela-cela Sayyidina Ali ra. sehingga Sa’ad terpaksa membuktikan kedok kemunafikan Mu’awiyah dengan menyebut tiga hadis penting keutamaan Khalifah Ali ra. sebagai balasan atas kejahatan Mu’awiyah tersebut, sebab prbadi yang sedang mereka makan daging sucinya itu adalah pribadi yang sangat mulia dan agung kedudukannya di sisi Allah dan rasul-Nya…. dan apa yang dilakukan Mu’awiyah atasnya adalah bukti dendam kusumatnya atas Allah dan Rasul-Nya…
Tiga hadis itu adalah hadis Muwâlah, hadis Manzilah dan hadis Râyah. Ketiga hadis ini telah diriwayatkan para ahli hadis kita dengan banyak jalur yang shahih…. kendati sebagian kaum Wahhâbi Salafi berusaha mendha’ifkannya karena dianggapnya ia menguntungkan Syi’ah dalam menegakkan akidah mereka tentang imamah!
Hadis Di atas Tegas Mengatakan Bahwa Mu’awiyah Mencaci dan Mencela Sayyidina Ali ra.!
Sekali lagi saya katakan di sini bahwa teks hadis tersebut di atas sudah jelas dan gamblang! Mu’awiyah mencela dan mencaci maki Sayyidina Ali ra. perhatikan apa yang ditegaskan oleh Syeikh Fuâd Abdul Bâqi (pentahqiq kitab Sunan Ibnu Mâjah) ketika beliau menerangkan kata-kata: فنال منه: Maksudnya Mu’awiyah mencela dan mencaci-maki Ali.” (Selanjutnya baca Sunan Ibnu Mâjah,1/45. Diterbitkan oleh Maktabah Dahlân-Indonesia).
Akhirnya!
Dan sebelum saya akhiri ulasan saya ini saya ingin katakan bahwa riwayat di atas adalah satu dari ratusan riwayat dan data sejarah akurat yang menegaskan kejahatan Mu’awiyah atas Islam dan atas Ali bin Abi Thalib ra. dan tidak cukup demikian ia memaksakan kejahatan itu agar dilakukan oleh kaum Muslimin… dan akhirnya kaum Muslimin pun terjatuh dalam kubangan kejahatan Mu’awiyah… mereka mena’ati Mu’awiyah dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq dengan mencela dan mencaci Sayyidina Ali ra. jadi pantaslah jika Nabi Muhammad saw. (yang tidak pernah akan berkata-kata melainkan dari wahyu suci) menyebut Mu’awiyah sebagai PEMIMPIN KELOMPOK PENGANJUR KE DALAM API NERAKA!
Umat Islam di masa kekuasaan zalim Mu’awiyah ikut-ikutan berlomba-lomba mencaci dan melaknati Ali, Khalifah Nabi saw. sementara Nabi telah bersabda bahwa mencaci Ali sama dengan mencaci Nabi saw.! Lalu apakah bayangan kita hukum orang yang mencaci Nabi saw.?! Pasti neraka tempatnya, karena ia adalah bukti kakafiran!
Jadi kaum Muslimin di zaman kekuasaan Mu’awiyah yang tiran itu yang ikut serta mencaci dan melaknati Ali ada dua kemungkinan:
Pertama: Mereka memang sudah menjadi munafik dengan membenci dan memerangi Ali serta mencaci dan melaknati beliau ra.
Atau kedua, mereka dalam melakukan semua kekufuran itu karena takut kekejaman Mu’awiyah atas siapapun yang menolak melaksanakan perintahnya untuk melaknati dan mencela-cela Ali ra.
Jika kemungkinan pertama yang terjadi itu artinya bahwa kaum Muslimin benar-benar telah disesatkan oleh Mu’awiyah dan digiring ke dalam api nereka Jahannam (atau dalam istilah kaum Wahhâbi Salafi seperti Ustadz Firanda: kaum Muslimin sedang diberi hidayah oleh Mu’awiyah sebab Mu’awiyah adalah Hâdiyan Mahdiyan/yang memberi petunjuk dan diberi petunujuk oleh Allah, seperti dalam hadis palsu yang sering dibanggakan Salafi Wahhâbi para pendukung kemunafikan dann kaum munafikin).
Dan jika kemungkinan kedua yang terjadi, dan bahwa mereka hanya karena terpaksa untuk menyelamatkan diri dalam melakukan kehendak Mu’awiyah… maka itu artinya kaum Muslimin sedang tertaqiyyah! Lalu mengapaka kaum Salafi Wahhâbi sering mengejek-ngejek kaum Syi’ah sebagai bermunafik karena mereka bertaqiyyah??!! Bukankah kenyataan ini akan membuat malu kita di hadapan kaum Syi’ah? Karena itulah saya sejak awal telah mengatakan bahwa kaum Wahhâbi Salafi termasuk gembong kaum Nashibi seperti Ibnu Taimiyah jika mereka masih kita akui sebagai bagian dari Ahlusunnah hanya akan membuat malu kita di hadapan kaum Syi’ah!!
Karena itu waspadai kelicikan dan kelicinan kejahatan mereka!
Salamalaikum wa rahmatollah. Bismillahi Taala.
Sejarah telah mencatatkan bahawa di kalangan para sahabat Nabi ternyata ada yang menghina dan mencaci Ahlul Bait Rasul, Ali bin Abi Thalib(a). Ada yang mengatakan bahwa hal ini sudah menjadi tradisi dan berawal pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Bahkan sebahagian orang menyatakan bahwa tradisi ini merupakan perintah atau anjuran Muawiyah sendiri. Tanpa membicarakan untuk apa tujuan tradisi tersebut, namun ia tetap telah menyalahi ajaran Islam.
Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan bahawa siapa saja yang mencaci-maki Al(a) bererti sama sahaja dengan mencaci-maki baginda(s).
Salah seorang sahabat Nabi SAW yang mencaci-maki Imam Ali AS adalah Mughirah bin Syu’bah.
Hadis ini shahih sesuai persyaratan Imam Muslim tapi beliau tidak meriwayatkannya.
Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid juz 8 hal 145 hadis no 13028 juga telah meriwayatkan hadis ini dan berkata:
Riwayat Thabrani dengan sanad-sanadnya dan salah satu sanadnya para Perawinya tsiqat.
Catatan Hadis:
Thabrani meriwayatkan hadis ini dalam Mu’jam Al Kabir juz 5 hal 168 iaitu hadis no 4973, 4974 dan 4975. Hadis no 4973 dan 4975 di dalam sanadnya terdapat Abu Ayub Maula Bani Tsa’labah sebagaimana disebutkan dalam At Ta’jil Al Manfa’ah Ibnu Hajar juz 2 hal 411 no 1232 bahawa beliau adalah majhul.
Sedangkan hadis riwayat Thabrani no 4974 dan hadis riwayat Al Hakim dalam sanadnya tidak ada Abu Ayub tersebut. Hadis ini lah yang dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan seperti yang dikatakan Al Haitsami para perawinya tsiqat.
Hadis yang di dalam sanadnya ada Abu Ayub iaitu perawi yang majhul hal ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 369 hadis no 19307 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Hadis ini sanadnya dhaif karena perawinya Abu Ayub adalah majhul tetapi hadis ini dikuatkan oleh riwayat Al Hakim dan Thabrani. Oleh karena itu Syaikh Syu’aib berkata mengenai hadis Abu Ayub ini:
Shahih tetapi sanad hadis ini dhaif
Kesimpulan:
1. Telah nyata dari riwayat ini, wujud para sahabat yang saling mencaci antara satu sama lain. Dengan mengambil konsep keadilan para sahabat secara total dan keredhaan Allah swt atas mereka semua, adakah tindakan sahabi ini mendapat keredhaan Allah swt dan menunjukkan sifat keadilan beliau?
2. Dengan mengambil prinsip bahawa menghina sahabat bererti menghina Rasul(s), dan boleh menyebabkan kekafiran/kesesatan seseorang, maka adakah Mughirah, seorang sahabat Rasul(s) ini telah menjadi murtad dengan perbuatannya ini?
(Syiahali/islamicweb/ABNS)
Kenapa Mu’awiyah tidak menjadi kafir zindiq padahal dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali – Fatimah – Hasan dan Husain ??
Kenapa Mu’awiyah hadisnya diterima lalu dianggap tsiqah dan adil padahal dia memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali – Fatimah – Hasan dan Husain ??
Banyak kitab sejarah mencatat bahwa “Khalifah Bani Umayyah memerintahkan pemuka agama untuk melaknat Imam Ali, Fatimah, Hasan dan Husain. Pemerintah Bani Umayyah menyuruh khatib khatib untuk melaknat keluarga Ali”, contoh :
- Kitab Al Ahdats karya Ali Al Madini (gurunya Bukhari).
- Tarikh Ibnu Asakir jilid 4 halaman 69.
- Tarikh Ibnu Ishaq.
- Tarikh Ibnu Khaldun 3/55-58.
- Musnad Ahmad jilid 1 halaman 188.
- Mustadrak Al Hakim jilid 1 halaman 358.
Abi Sa’id al-Khudri berkata:
“Pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah Saw keluar rumah untuk menunaikan shalat Id. Usai shalat beliau berdiri menghadap para hadirin yang masih duduk di saf, kemudian berkhotbah yang penuh dengan nasehat dan perintah.”.
Abu Sa’id melanjutkan:
“Cara seperti ini dilanjutkan oleh para
sahabatnya sampailah suatu hari ketika aku keluar untuk shalat Id (Idul
Fitri atau Idul Adha) bersama Marwan, gubernur kota Madinah. Sesampainya
di sana Marwan langsung naik ke atas mimbar yang dibuat oleh Katsir bin
Shalt. Aku tarik bajunya. Tapi dia menolakku. Marwan kemudian
memulai khotbah Id-nya sebelum shalat. Kukatakan padanya: “Demi Allah
kalian telah rubah.” “Wahai Aba Sa’id” Tukas Marwan, “Telah sirna apa
yang kau ketahui” Kukatakan padanya: “Demi Allah, apa yang
kutahu adalah lebih baik dari apa yang tidak kuketahui.” Kemudian Marwan
berkata lagi: “Orang-orang ini tidak akan mau duduk mendengar khotbah
kami seusai shalat. Karena itu kulakukan khotbah sebelumnya.”.[1]
Coba teliti gerangan apa yang menyebabkan sahabat seperti ini
berani merubah Sunnah Nabi. Itu dikarenakan Bani Umaiyah (yang
mayoritasnya adalah sahabat Nabi) terutama Muawiyah bin Abu Sufyan yang
konon sebagai Penulis Wahyu, senantiasa memaksa kaum muslimin untuk
mencaci dan melaknat Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar- mimbar masjid.
Muawiyah memerintahkan orang-orangnya di setiap negeri untuk menjadikan
cacian dan laknat pada Ali sebagai suatu tradisi yang mesti dinyatakan
oleh para khatib.
Ketika sejumlah sahabat protes atas ketetapan ini, Muawiyah tidak segan-segan
memerintahkan mereka dibunuh atau dibakar. Muawiyah telah membunuh
sejumlah sahabat yang sangat terkenal seperti Hujur bin U’dai beserta
para pengikutnya, dan sebagian lain dikuburkan hidup-hidup.
“Kesalahan” mereka (dalam persepsi Muawiyah) semata-mata karena enggan mengutuk Ali dan bersikap protes atas dekrit Muawiyah.
Abul A’la al-Maududi dalam kitabnya al-Khilafah Wal Muluk (Khilafah
Dan Kerajaan) menukil dari Hasan al-Bashri yang berkata: “Ada empat hal
dalam diri Muawiyah, yang apabila satu saja ada pada dirinya, itu sudah
cukup sebagai alasan untuk mencelakakannya:
- Dia berkuasa tanpa melakukan sebarang musyawarah sementara sahabat-sahabat lain yang merupakan cahaya kemuliaan masih hidup.
- Dia melantik puteranya (Yazid) sebagai pemimpin setelahnya, padahal sang putera adalah seorang pemabuk dan pecandu minuman keras dan musikus.
- Dia menyatakan Ziyad (seorang anak zina) sebagai puteranya, padahal Nabi Saw bersabda: “Anak adalah milik sang ayah, sementara yang melacur dikenakan sanksi rajam.
- Dia telah membunuh Hujur dan para pengikutnya. Karena itu maka celakalah dia lantaran (membunuh) Hujur; dan celakalah dia karena Hujur dan para pengikutnya.[2]
Sebagian sahabat yang mukmin lari dari masjid seusai shalat karena
tidak mau mendengar khotbah yang berakhir pada kutukan terhadap Ali dan
keluarganya. Itulah kenapa Bani Umaiyah merubah Sunnah Nabi ini dengan
mendahulukan khotbah sebelum shalat agar yang hadir terpaksa
mendengarnya.
Nah, sahabat jenis apa yang berani merubah Sunnah Nabinya, bahkan
hukum-hukum Allah sekalipun semata-mata demi meraih cita-citanya yang
rendah dan ekspresi dari rasa dengki yang sudah terukir. Bagaimana
mereka bisa melaknat seseorang yang telah Allah sucikan dari segala dosa
dan nista dan diwajibkan oleh Allah untuk bersalawat kepadanya
sebagaimana kepada Rasul-Nya.
Allah juga telah mewajibkan kepada semua manusia untuk mencintainya hingga Nabi Saw bersabda:
“Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak.“.[3]
Namun sahabat-sahabat seperti ini telah merubahnya. Mereka berkata,
kami telah dengar sabda-sabda Nabi tentang Ali, tetapi kami tidak
mematuhinya. Seharusnya mereka bersalawat kepadanya, mencintainya dan
taat patuh kepadanya; namun sebaliknya mereka telah mencaci dan
melaknatnya sepanjang enam puluh tahun, seperti yang dicatat oleh
sejarah.
Apabila sahabat-sahabat Musa pernah sepakat mengancam nyawa Harun
dan hampir-hampir membunuhnya, maka sebagian sahabat Muhammad Saw telah
membunuh “Harun-nya” (yakni Ali) dan mengejar-ngejar anak keturunannya
serta para Syi’ahnya di setiap tempat dan ruang. Mereka telah hapuskan
nama-nama dan bahkan melarang kaum muslimin menggunakan nama mereka.
Tidak sekadar itu, hatta para sahabat besar dan agungpun mereka
paksa untuk melakukan hal yang serupa. Demi Allah, sangat mengherankan
ketika membaca buku-buku referensi kitab ahl-Sunnah yang memuat berbagai
Hadits yang mewajibkan cinta pada Nabi dan saudaranya serta anak
pamannya, yakni Ali bin Abi Thalib, dan sejumlah Hadits-Hadits lain yang
mengutamakan Ali atas para sahabat yang lain.
Sehingga Nabi Saw bersabda:
“Engkau (hai Ali) di sisiku bagaikan kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tiada Nabi setelahku.”[4]
Atau sabdanya:
“Engkau dariku dan aku darimu”.[5]
Dan sabdanya lagi:
“Mencintai Ali adalah iman dan membencinya adalah nifak”.[6]
Sabdanya:
“Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya”.[7]
Dan sabdanya:
“Ali adalah wali (pemimpin) setiap mukmin setelahku.“[8]
Dan sabdanya:
“Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (pemimpinnya)
maka Ali adalah maulanya. Ya Allah, bantulah mereka yang mewila’nya dan
musuhilah mereka yang memusuhinya.“[9]
Apabila kita ingin mencatat semua keutamaan Ali yang disabdakan
oleh Nabi Saw dan yang diriwayatkan oleh para ulama ahl-Sunnah dengan
sanadnya yang shahih, maka ia pasti akan memerlukan suatu buku
tersendiri. Bagaimana mungkin sejumlah sahabat seperti itu pura-pura
tidak tahu akan Hadits ini, lalu mencacinya, memusuhinya, melaknatnya
dari atas mimbar dan membunuh atau memerangi mereka?
Orang pertama yang pernah mengancam akan membakar rumahnya (Ali)
beserta para penghuni yang ada di dalamnya adalah Umar bin Khattab;
orang pertama yang memeranginya adalah Thalhah, Zubair, Ummul Mukminin
Aisyah binti Abu Bakar, Muawiyah bin Abu Sufyan dan A’mr bin A’sh dan
sebagainya.
Rasa terkejut dan kagetku bertambah dalam dan seakan tidak akan berakhir.
Setiap orang yang berpikir rasional akan segera mendukung
pendapatku ini. Bagaimana ulama-ulama Ahlu Sunnah sepakat mengatakan
bahwa semua sahabat adalah adil sambil mengucapkan “Radhiallahu Anhum”,
bahkan mengucapkan salawat untuk mereka tanpa kecuali.
Sehingga ada yang berkata, “Laknatlah Yazid tapi jangan berlebihan“.
Apa yang dapat kita bayangkan tentang Yazid yang telah melakukan
tragedi yang sangat tragis ini, yang tidak dapat diterima bahkan oleh
akal dan agama. Aku nyatakan kepada Ahlu Sunnah Wal Jamaah, jika mereka
benar-benar mengikut Sunnah Nabi, agar meninjau hukum Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi secara cermat dan seadil-adilnya tentang kefasikan Yazid dan
kekufurannya.
Rasululah Saw telah bersabda:
“Siapa yang mencaci Ali maka dia telah mencaciku; dan siapa
yang mencaciku maka dia telah mencaci Allah; dan siapa yang mencaci
Allah maka Aku akan menjatuhkannya ke dalam api neraka.“[10]
Demikian itu adalah sanksi bagi orang yang mencaci Ali. Maka
bagaimana pula apabila ada orang yang melaknatnya dan memeranginya. Mana
alim-ulama kita dari hakikat kebenaran ini? Apakah hati mereka telah
tertutup rapat?
Anas bin Malik berkata:
“Tiada sesuatu yang kuketahui di zaman nabi lebih baik dari
(hukum) shalat.” Kemudian dia bertanya: “Tidakkah kalian kehilangan
sesuatu di dalam shalat?”
Az-Zuhri pernah bercerita:
“Suatu hari aku berjumpa dengan Anas bin Malik di Damsyik.
Saat itu beliau sedang menangis. “Apa yang menyebabkan Anda menangis?”,
tanyaku. “Aku telah lupa segala yang kuketahui melainkan shalat ini.
Itupun telah kusia-siakan.” Jawab Anas.[11]
Agar jangan sampai terkeliru dengan mengatakan bahwa para
Tabi’inlah yang merubah segala sesuatu setelah terjadinya sejumlah
fitnah, perselisihan dan serta peperangan, ingin kunyatakan di sini
bahwa orang pertama yang merubah Sunnah Rasul dalam hal shalat adalah
khalifah muslimin yang ketiga, yakni Utsman bin Affan. Begitu juga Ummul
Mukminin Aisyah. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitabnya bahwa
Rasulullah Saw menunaikan shalat di Mina dua rakaat (qashar). Begitu
juga Abu Bakar, Umar dan periode awal dari kekhalifahan Utsman. Setelah
itu Utsman Shalat di sana (Mina) sebanyak empat rakaat.”[12]
Muslim juga meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa Zuhri berkata:
“Suatu hari aku bertanya pada Urwah kenapa Aisyah shalat empat rakaat
dalam perjalanan musafirnya?”
“Aisyah telah melakukan takwil sebagaimana Utsman”[13]
jawabnya. Umar bin Khattab juga tidak jarang berijtihad dan bertakwil di
hadapan nas-nas Nabi yang sangat jelas, bahkan dihadapan nas-nas
Al-Qur’an, lalu kemudian menjatuhkan hukuman mengikut pendapatnya.
Beliau pernah berkata:
“Dua mut’ah yang dahulunya (halal) dan
dilakukan di zaman Nabi, kini aku melarangnya dan mengenakan hukuman
bagi orang yang melaksanakannya[14], (bertamattu’ dalam haji dan nikah
mut’ah pent.) Beliau juga pernah berkata kepada orang yang junub tetapi
tidak memperoleh air untuk mandi, “Jangan sembahyang”
.
Walaupun ada firman Allah di dalam surah al-Maidah ayat 6:
“… Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang bersih”.
Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya pada Bab Idza Khofa
al-Junub A’la Nafsihi (Apabila Orang Junub Takut Akan Dirinya) berikut:
“Kudengar
Syaqiq bin Salmah berkata, suatu hari aku hadir dalam majlis Abdillah
dan Abu Musa. Abu Musa bertanya pada Abdillah bagaimana pendapatmu
tentang orang yang junub kemudian tidak memperoleh air untuk mandi?”
Abdillah menjawab, “dia tidak perlu shalat sampai ia temukan air.” Abu
Musa bertanya lagi, “bagaimana pendapatmu tentang jawaban Nabi kepada
Ammar dalam masalah yang sama ini?” Abdullah menjawab, “Umar tidak
begitu yakin dengan itu.” Abu Musa melanjutkan, “lalu bagaimana dengan
ayat ini, (al-Maidah: 6)?” Abdullah diam tidak menjawab. Kemudian dia
berkata, “apabila kita izinkan mereka (melakukan tayammum), niscaya
mereka akan bertayammum saja dan tidak akan menggunakan air apabila
udaranya dirasakan dingin. ” Kukatakan pada Syaqiqbahwa Abdillah
sebenarnya tidak suka lantaran ini semata-mata; dan Syaqiq pun
mengiakan”.
Kesaksian Sahabat atas Diri Mereka
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda kepada kaum Anshar: “Suatu
hari kalian akan menyaksikan sifat tamak yang dahsyat sepeninggalku.
Karena itu bersabarlah sehingga kalian menemui Allah dan Rasul-Nya di
telaga haudh.” Anas berkata, “Kami tidak sabar.“.[15]
Ala’ bin Musayyab dari ayahnya pernah berkata: “Aku berjumpa
dengan Barra’ bin A’zib ra. Kukatakan padanya, “berbahagialah Anda
karena dapat bersahabat dengan Nabi SAWW dan membai’atnya di bawah pohon
(bai’ah tahta syajarah). Barra’ menjawab, “wahai putera saudaraku, engkau tidak tahu apa yang telah kami lakukan sepeninggalnya.”.[16]
Jika sahabat utama yang tergolong di antara as-Sabiqin al-Awwalin
dan pernah membai’at Nabi di bawah pohon, serta Allah rela kepada mereka
dan Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka sehingga diberinya
ganjaran yang besar; apabila sahabat-sahabat ini kemudian bersaksi bahwa
dirinya dan para sahabat yang lain telah melakukan “sesuatu”
sepeninggal Nabi, bukankah pengakuan mereka ini adalah bukti kebenaran
yang disabdakan oleh Nabi Saw bahwa sebagian dari sahabatnya akan
berpaling darinya sepeninggalnya.
Apakah seseorang yang berpikir rasional akan tetap mengatakan bahwa
semua sahabat adalah adil seperti yang diklaim oleh Ahlu Sunnah Wal
Jama’ah. Mereka yang mengklaim seperti itu jelas telah menyalahi nas dan
akal. Karena dengan demikian hilanglah segala kriteria intelektual yang
sepatutnya dijadikan pegangan sebuah penelitian dan kajian.
—————————————
Referensi:
- Shahih Bukhari jil. 1 hal. 122.
- Al-Khilafah Wal Muluk Oleh al-Maududi hal. 106.
- Shahih Muslim jil. 2 hal. 61
- Shahih Bukhari jil. 2 hal. 305; Shahih Muslim jil. 2 hal. 366; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109.
- Shahih Bukhari jil. 1 hal. 76; Shahih Turmidzi jil. 5 hal. 300; Shahih Ibnu Majahjil. 1 hal. 44
- Shahih Muslim jil. 1 hal. 61; Sunan an-Nasai jil. 6 hal. 177; Shahih Turmudzi jil. 8 hal. 306.
- Shahih Thurmudzi jil. 5 hal. 201; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 126.
- Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 5 hal. 25; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 134.
- Shahih Muslim jil.2 hal.362; Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 109; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 4 hal, 281.
- Mustadrak al-Hakim jil. 3 hal. 121; Khasais an-Nasai hal. 24; Musnad Ahmad Bin Hanbal jil. 6 hal. 33; Manaqib al-Khawarizmi hal. 81; ar-Riyadh an Nadhirah oleh Thabari jil. 2 hal. 219; Tarikh as-Suyuti hal. 73.
- Shahih Bukhari jil.l hal.74
- Shahih Bukhari jil. 2 hal. 154; Shahih Muslim jil. 1 hal. 260
- Shahih Muslim jil. 2 hal.134.
- Shahih Bukhari jil. 1 hal. 54
- Shahih Bukhari jil. 2 hal. 135
- Shahih Bukhari jil.3 hal. 32.
Bid’ah Terbesar Sepanjang Sejarah Islam
MUAWIYAH TELAH MENGUTUK SAYYIDINA ALI PADA SETIAP KHOTBAH JUMAT DAN HAL INI MENJADI BID’AH YANG TERUS MENTRADISI SELAMA 90 TAHUN SAMPAI BERKUASANYA UMAR BIN ABDUL AZIZ YANG BIJAK
1. Ibn Abi al Hadid di dalam syarah atau komentarnya atas kitab Nahjul Balaghah Jil. 1 hlm. 464 menyatakan : “Pada akhir khotbah Jumat, Muawiyah mengatakan : “Ya Allah, laknatlah Abu Turab, dia yang telah menentang agama-Mu dan jalan-Mu, laknat dia dan hukum dia di neraka!” Muawiyah inilah yang memperkenalkan bid’ah terbesar dan terburuk ini kepada khalayak umat Islam pada masa kekuasaannya hingga masa Umar bin Abdul Aziz.”
2. Di dalam kitab Mu’jam al-Buldan Jil. 1, hlm 191, ‘Allamah Yaquut Hamawi menyatakan : “Atas perintah Mu’awiyyah, ‘Ali dilaknat selama masa kekuasaan Bani Umayyah dari Masyrik (Timur) hingga Maghrib (Barat) dari mimbar-mimbar Masjid.”
3. Masih di dalam kitab yang sama, Mu’jam al-Buldan Jil. 5, hlm. 35, Hamawi mengatakan : “Salah satu perubahan (bid’ah) terburuk yang telah dimulai sejak awal mula pemerintahan Muawiyah adalah bahwa Muawiyah sendiri dan dengan perintah kepada gubernurnya, membiasakan menghina Imam Ali saat berkhotbah di Masjid. Hal ini bahkan dilakukan di mimbar masjid Nabi di hadapan makam Nabi Muhammad Saw, sampai sahabat-sahabat terdekat Nabi, keluarga dan kerabat terdekat Imam Ali mendengar sumpah serapah ini.”
4. Di dalam kitab Al-Aqd al-Farid Jil. 1 hlm. 246, Anda bisa membaca : “Setelah kematian ‘Ali dan Hasan, Muawiyah memerintahkan sebuah titah ke seluruh masjid termasuk masjid Nabawi agar semua orang turut melaknat ‘Ali!”
5. Di dalam kitab yang sama, Al-Aqd al-Farid Jil. 2 hlm. 300 anda bisa membaca isi surat Ummu Salamah, isteri Rasulullah Saw, yang menulis kepada Muawiyah : “…Engkau sedang mengutuk Allah dan Rasul-Nya di mimbarmu karena engkau mengutuk Ali bin Abi Thalib. Barangsiapa yang mencintai Ali, aku bersaksi bahwa Allah dan Rasul-Nya mencintainya.” Tetapi tak seorang pun memperhatikan ucapannya.
6. Di dalam kitab al-Nasa’ih al-Kafiyah hlm. 77, Anda juga bisa membaca : “Praktek (pelaknatan) yang berlangsung sekian lama ini memunculkan sebuah asumsi bahwa apabila seseorang tidak melakukan pelaknatan tersebut maka shalat Jumat-nya tidaklah dianggap sah!”
7. Seorang alim dari Pakistan yang bermazhab Hanafi, Maulana Raghib Rahmani, di dalam kitabnya tentang “Hazrat Umar bin Abdul Aziz”, Khalifatul Zahid, hlm. 246 menyampaikan komentarnya dengan tajam : “(Praktek pelaknatan) ini tentu saja tidak menguntungkan, karena ini adalah bid’ah yang telah diperkenalkan ke masyarakat yang telah “memotong hidung” (memalukan) kota-kota, di mana bid’ah ini bahkan dilakukan di mimbar-mibar masjid, bahkan tanpa malu sampai juga ke “telinga” masjid Nabawi. Inilah bid’ah yang diperkenalkan oleh Amir Muawiyah!”
8. Di dalam bukunya Al-Khilafah wal Mulk yang sempat menggemparkan dunia Islam, Abul A’la al-Maududi, seorang alim Pakistan bermazhab Hanafi, menulis :
“Ketika pada zaman Muawiyah dimulai kebiasaan mengutuk Sayyidina Ali dari atas mimbar-mimbar dan pencaci-makian serta pencercaan terhadap pribadinya secara terang-terangan, di siang hari maupun di malam hari, kaum muslimin di mana-mana merasa sedih dan sakit hati sungguh pun mereka terpaksa harus berdiam diri menekan perasaannya itu. Kecuali Hujur bin Adi, yang tidak dapat menyabarkan dirinya…” (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 209-210, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).
Dan akhirnya, Muawiyah menyuruh Ziyad untuk membunuh Hujur bin ‘Adi, salah seorang sahabat besar Nabi yang zahid, abid, dan termasuk di antara tokoh-tokoh umat terbaik. Di dalam surat perintahnya, Muawiyah menulis : “Bunuhlah orang ini (Hujur) dengan cara yang seburuk-buruknya.” Maka Ziyad mengubur Hujur dalam keadaan hidup-hidup. (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 211, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).
“Kisah terperinci mengenai cobaan berat yang dialami oleh Hujur bin ‘Adi itu banyak terdapat di dalam buku-buku yang ditulis oleh para ahli hadis maupun para ahli sejarah, baik yang sudah tersebar luas maupun yang tidak disebarkan,” Begitu tulis Thaha Husain di dalam bukunya yang terkenal al-Fitnah al-Kubra yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Malapetaka Terbesar Dalam Sejarah Islam pada hlm. 624, yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, Cet. I, Tahun 1985.
Inilah sebagian bukti-bukti tertulis di dalam kitab-kitab sejarah yang bisa anda temui hingga saat ini. Apakah masih terbetik keraguan di dalam hati anda tentang bejatnya Muawiyah, si setan berwujud manusia ini?
Dan ketika Hasan bin Ali mengundurkan diri sebagai khalifah, Muawiyah pun akhirnya berdiri sebagai seorang penguasa tunggal, lalu dia menyampaikan pidatonya di kota Madinah :
“Amma ba’du! Sesungguhnya aku, demi Allah ketika menjadi penguasa atas kamu sekalian, bukannya aku tidak mengetahui bahwa kalian tidak menyenangi kekuasaanku ini, tetapi sesungguhnya aku benar-benar tahu apa yang ada dalam hati kalian tentang hal ini, namun aku telah merampasnya dari kalian dengan pedangku ini. Dan sekiranya kalian tidak menadpati diriku telah memenuhi hak-hak kamu seluruhnya, hendaknya kalian memuaskan diri dengan sebagiannya saja dariku!” (Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jil. 8, hlm. 132)
Pada masa kekuasaan Muawiyah, rakyat dibungkam dari menyampaikan kebenaran, mereka hanya boleh memuji-muji atau jika enggan sebaiknya diam. Karena jika rakyat berani memprotes pemerintah pada masa itu maka bersiap-siaplah untuk dijebloskan ke dalam penjara, dibunuh, disiksa atau paling tidak dibuang! (Abul A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan, hlm. 209, Penerbit Mizan, Cet. VII, 1998, Bandung).
Apakah orang seperti ini yang ingin anda bela mati-matian? Hanya orang-orang yang serupa dengan Muawiyah saja dan pengikutnya yang super dungu yang ngotot membela manusia keji semacam ini! Mereka itulah kaum Wahabi para pemuja kaum durjana seperti Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid bin Muawiyah. Mereka menjadikan keduanya sebagai pemimpin-pemimpin mereka!
Jika anda membenci kekejaman, kezaliman, dan kebengisan yang dilakukan para diktator dunia seperti Adolf Hitler, Pol Pot, Slobodan Milosevich, Saddam Husein, George W Bush, Ehud Olmert, maka anda juga mesti membenci makhluk durjana seperti Muawiiyah ini. Tapi itu pun jika hati nurani anda masih sehat wal afiat…
Di dalam Musnad Ahmad bin Hanbal Jil. 6, hlm. 33, diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw yang kita cintai telah bersabda, “Barangsiapa yang mengutuk Ali sesungguhnya ia telah mengutukku. Barangsiapa yang berani mengutukku berarti ia telah mengutuk Allah. Barangsiapa yang telah mengutuk Allah, maka Allah akan melemparkannya ke neraka Jahannam!”
Rasulullah Saw telah menubuwatkan bahwa peristiwa pelaknatan atau pengutukan atas sahabat Nabi yang mulia, Ali bin Abi Thalib, yang juga salah seorang anggota Ahlul Bayt akan terjadi. Melalui mata batinnya, Rasulullah Saw telah melihat beberapa sahabatnya yang sangat dengki terhadap Sayyidina Ali as. Allah Swt pun menyingkapkan kedengkian mereka terhadap Nabi Saw dan Ahlul Baytnya :
“Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya. Ataukah ada bagi mereka bahagian dari kerajaan? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun kepada manusia. Ataukah mereka dengki kepada manusia lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (Al-Quran Surah Al-Nisaa [4] ayat 54)
Ingatkah anda, bagaimana anda melafadzkan shalawat kepada Nabi Saw di dalam shalat anda?
Inilah mengapa dengan teramat keras Nabi Saw memperingatkan umatnya untuk tidak melakukan tindakan bodoh tersebut. Dan anda perhatikan, bahwa Ummu Salamah, isteri Nabi telah memperingatkan Muawiyah tentang hal ini, namun lelaki durjana ini tiada mempedulikan peringatan tersebut.
Saya berdoa kepada Allah Swt semoga orang-orang yang tulus namun masih meragukan kebenaran ini menjadi tersadarkan dan semakin mendapatkan keyakinan yang sahih…
*****
INILAH MUAWIYAH
Maulana Sayid lal Shah Bukhari dalam Isthakhlaaf ai Yazid halaman 216 menyebutkan “Imam” Nashibi :
“Penemu ideologi Nashibi adalah Muawiyah”
Muawiyah putra pasangan Abu Sufyan dan Hindun (si perobek perut dan pengunyah jantung Hamzah pamanda Nabi saww.) setelah menancapkan kekuasaannya mengeluarkan beberapa titah kepada seluruh aparatnya, di antaranya :
Muawiyah menulis surat keputusan yang dikirimkan kepada para gubenur dan kepala daerah segera setelah ia berkuasa:
أن برِئَت الذمة مِمن روى شيئا فِي فَضْلِ أبِي تُراب و أهْلِ بَيْتِهِ
“Lepas kekebalan bagi yang meriwayatkan sesuatu apapun tentang keutamaan Abu Thurab (Imam Ali as.) dan Ahlulbaitnya.”
Maka setelah itu (kata al Madaini, seorang sejarawan kondang Ahlusunnah) para penceramah di setiap desa dan di atas setiap mimbar berlomba-lomba melaknati Ali dan berlepas tangan darinya serta mencaci makinya dan juga Ahlulbaitnya. Masyarakat paling sengsara saat itu adalah penduduk kota Kufah sebab banyak dari mereka adalah Syi’ah Ali as. Dan untuk lebih menekan mereka, Mu’awiyah mengangkat Ziyad ibn Sumayyah sebagai gubernur kota tersebut dengan menggabungkan propinsi Basrah dan Kufah. Ziyad menyisir kaum Syiah –dan ia sangat mengenali mereka, sebab dahulu ia pernah bergabung dengan mereka di masa Khilafah Ali as.. Ziyad membantai mereka di manapun mereka ditemukan, mengintimidasi mereka, memotong tangan-tangan dan kaki-kaki mereka, menusuk mata-mata mereka dengan besi mengangah dan menyalib mereka di atas batang-batang pohon kurma. Mereka juga diusir dari Irak, sehingga tidak ada lagi dari mereka yang terkenal. (Syarah Nahjul Balaghah,jl.3/juz 11, hal.14-17).
Setelah menyusulnya dengan beberapa surat perintah yang menganjurkan pembuatan hadis-hadis keutamaan yang bertujuan menandingi keutamaan Ali as., Muawiyah menyusulnya dengan surat kelima sebagai di bawah ini:
انْظُرُوْا إِلَى مَن قَامَتْ عليهِ الْبَيِّنَةُ أنَّهُ يُحِبُّ
عَلِيًّا وَ أهْلَ بَيْتِهِ فَامْحُوْهُ مِنَ الدِّيوَانِ وَ أسْقِطُوا
عَطَاءَهُ وَ رِزْقَهُ.
“Perhatikan siapa yang terbukti mencintai Ali dan Ahlulbaitnya maka hapuslah namanya dari catatan sipil negara, gugurkan uang pemberian untuknya!”
Tidak puas dengan itu, Muawiyah malayangkan surat keenam:
مَنْ اتَّهَمْتُمُوْهُ بِمُوَالاَةِ هَؤُلاَءِ القَوْمِ فَنَكِّلُوْا بِهِ وَ اهْدِمُوْا دَارَهُ.
“Barang siapa yang kamu curigai mencintai Ali dari mereka maka jatuhkan sangsi berat atasnya! Hancurkan rumahnya!”
Muhaddith Shah Abdul Aziz telah membuat dua komentar menarik dalam Haddiya al Mujidiiya hal. 813 :
“Seorang yang memerangi Ali (ra) dengan kebencian adalah kafir menurut ijma Ahlu Sunah”
“Barang siapa menganggap Ali (ra) kafir atau menentang kekahlifahannya maka ia menjadi kafir, ciri seperti ini ada pada Khawarij saat (perang) Nahrawan”.
Dalam Tadhrib al Radhi hal. 311 Allamah Jalaudin Suyuti, mencatat: “Ideologi Nashibi berarti membenci Ali dan lebih menyukai Muawiyah”
Dalam Fatwa Azizi, oleh Shah Abdul Aziz Dehlavi pada hal.123, dikatakan olehnya: “Muawiyah melaknat Hadrath Ali”
Sejarah Muawiyah melaknat dan mengutuk serta memerintahkan seluruh pengikutnya melakukan hal yang sama (mengutuk Imam Ali as) di imbar-minar shalat jum’at bukanlah berita asing, tealh banyak dipaparkan oleh ulama-ulama ahlu sunah sndiri.
Maka cukup bagi kita sabda Orang YANG PALING MULIA yaitu Rasulullah Muhammad (saww) :
“Barang siapa yang menyakiti Ali, berarti ia menyakiti aku!” (Musnad Ahmad ibn Hanbal, jld. 3, hal. 483; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jl. 2, hal. 580, hadis 981; -Sawaiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar Haitsami, bab II, bag I, hal. 263).
“Barang siapa mengutuk Ali, berarti ia mengutuk aku.” (Misykat al-Masabih, versi bhsa. Inggris, hadis 6092; al-Mustadrak, Hakim jld 3, hal. 121. Hakim menyebutkan bahwa hadis ini shahih; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jld 6, hal. 323; Fadha’il ash-Shahabah, Ahmad bin Hanbal, jl 2, hal. 594, hadis 1011; Majma az-Zawa’id, Haitsami, jilid 9, hal. 130; Tarikh al-Khulafa, Jalaluddin Suyuthi, hal. 173).
Orang yang mengutuk Imam Ali (as) sama saja menutuk Rasulullah (saww), mana mungkin hati kita bisa mencintai orang yang mengutuk Rasulullah (saww)..??
Barangsiapa yang mengutuk (menganiaya melalui ucapan) Ali, sesungguhnya ia telah mengutukku. Barang siapa yang berani mengutukku berarti ia telah mengutuk Allah. Barang siapa yang telah mengutuk Allah, Allah akan melemparnya ke neraka Jahanam (Musnad Ahmad bin Hanbal, jld. 6, hl. 33).
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang menyimpan apa yang Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami menerangkannyakepada manusia dalam Al-Kitab, MEREKA ITU DILAKNAT OLEH ALLAH DAN DILAKNAT OLEH SEMUA MAKHLUK YANG DAPAT MELAKNAT. Kecuali mereka yang telah bertaubat dan melakukan perbaikan dan menerangkan kebenaran, mereka itu Akulah Yang Maha menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 159-160).
Kalamullah telah menegaskan dan Rasulullah saww telah menerangkan..!
Bagaimana dengan sabda Rasulullah (saww) mengenai perintah mengikuti para Imam dari Ahlul Bait (as) dibawah ini, apakah termasuk didalamnya mencakup perintah dari Rasulullah (saww) atau bukan..? marilah kita baca dan kita renungi bersama-sama sabda Rasulullah saww dibawah ini :
Rasulullah saww :
“Siapa yang ingin hidup seperti hidupku dan wafat seperti wafatku serta masuk ke surga yang telah dijanjikan kepadaku oleh Tuhanku yaitu Jannatul Khuld, maka hendaklah ia berwilayah (berpemimpin) kepada Ali dan keturunan sesudahnya, karena sesungguhnya mereka tidak akan mengeluarkan kamu dari pintu petunjuk dan tidak akan memasukkan kamu ke pintu kesesatan.“ (Shahih Bukhari, jld 5, hl. 65, cetkn. Darul Fikr).
Dalam Ikmal al-Din terdapat sebuah hadits melalui Jabir i yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah yang berkata :
“Ya Rasulullah kami telah mengetahui Allah dan Rasul-Nya, lalu siapakah ulil amri yang Allah jadikan ketaatan kepada mereka sama dengan ketaatan kepadamu?”
Lalu Nabi SAW bersabda : (perhatikan baik-baik nama-nam penerus Rasulullah saww yang diperintahkan untuk diikuti)
“Wahai Jabir, mereka adalah penerusku dan para pemimpin muslimin. Yang pertama dari mereka adalah ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian (Imam) Hasan dan (Imam) Husain, kemudian ‘Ali bin Husain, kemudian Muhammad bin ‘Ali, yang dikenal dalam taurat dengan nama al-Baqir, yang engkau akan jumpai kelak. Wahai jabir! Apabila engkau menjumpainya, sampaikanlah salamku padanya.
Setelahnya adalah ash-Shadiq, Ja’far bin Muhammad; kemudian Musa bin Ja’far, kemudian ‘Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin ‘Ali, kemudian ‘Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin ‘Ali, setelahnya adalah al-Qa’im yang nama asli dan gelarnya sama denganku. Dia adalah hujjah Allah di bumi dan pengingat hamba-hamba-Nya. Dia anak (Imam) Hasan bin ‘Ali (al-’Askari). Pribadi inilah yang menyebabkan tangan Allah akan membukakan arah Timur dan Barat dunia dan pribadi ini jugalah yang akan digaibkan dari para pengikut dan pencintanya. karena inilah (kegaiban) keimamahannya tidak dapat dibuktikan oleh pernyataan siapapun kecuali oleh orang yang keimanannya telah Allah uji.”
Jabir berkata :
“Aku bertanya padanya: ‘Wahai Rasulullah! Apakah para pengikut (syi’ah)-nya akan mendapatkan manfaat dari kegaibannya?’ Dia menjawab: ‘Ya. Demi Zat yang mengutusku dengan kenabian, mereka akan mencari cahaya dan taat kepadanya pada masa gaibnya sebagaimana manusia mendapat manfaat dari (cahaya) matahari ketika awan menutupnya’ …” (Ikmal al-Din, jld 1, hal 253, dengan makna yang hampir sama dalam Yanabi’ al Mawaddah, hal.117).
*****
Masa Sulit bagi Kaum Syi’ah
Setelah Imam Ali a.s. syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 ma’shum a.s.).
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., –sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor– ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.
Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.
Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali a.s.
Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.
Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit bagi kaum Syi’ah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.
Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya, dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas perlu diragukan.
Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.
Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.
Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali a.s. karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka –meskipun mengalami kekalahan– sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna.
Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Rasulullah SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.
Syi’ah Pada Abad Ke-2 H.
Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.
*****
Mereka yang menamakan dirinya Salafi tidak henti-hentinya berkata syiah itu kafir dan sesat. Tentu saja mereka mengikuti syaikh mereka atau ulama salafi yang telah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah kafir dan sesat. Salah satu dari ulama tersebut adalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin.
Tulisan ini merupakan tanggapan dan peringatan kepada mereka yang bisanya sekedar mengikut saja. Sekedar ikut-ikutan berteriak bahwa syiah kafir dan syiah sesat tanpa mengetahui apapun selain apa yang dikatakan syaikh mereka. Jika ditanya, mereka akan mengembalikan semua permasalahan kepada ulama mereka, Syaikh kami telah berfatwa begitu. Padahal setiap orang akan mempertanggungjawabkan perkataannya sendiri dan bukan syaikh-syaikhnya. Apalagi jika perkataan yang dimaksud adalah tuduhan kafir terhadap seorang muslim. Bukankah Rasulullah SAW bersabda “Apabila salah seorang berkata pada saudaranya “hai kafir”, maka tetaplah hal itu bagi salah seorangnya. (Shahih Bukhari Juz 4 hal 47). Artinya jika yang dikatakan kafir itu adalah seorang muslim maka perkataan kafir akan berbalik ke dirinya sendiri. Singkatnya Mengkafirkan Muslim adalah Kafir.
Yang seperti ini sebenarnya sudah cukup untuk membuat orang berhati-hati dalam mengeluarkan kata “kafir”. Jelas sekali adalah kewajiban mereka untuk menelaah apa yang dikatakan oleh syaikh-syaikh mereka. Apakah benar atau Cuma pernyataan sepihak saja?. Sayangnya mereka yang berteriak itu tidak pernah mau beranjak dari pelukan syaikh mereka. Sepertinya dunia ini terbatas dalam perkataan syaikh mereka saja. Heran sekali kenapa mereka tidak pernah menghiraukan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain seperti Syaikh-syaikh Al Azhar yaitu Syaikh Mahmud Saltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali dan Syaikh Yusuf Al Qardhawi yang jelas-jelas menyatakan bahwa Syiah itu Islam dan saudara kita.
Tentu jika mereka saja tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh ulama sunni yang lain selain syaikh mereka, maka tidak heran kalau mereka tidak pernah mendengarkan apa yang dikatakan Ulama Syiah tentang Bagaimana Syiah sebenarnya. Padahal mereka Ulama Syiah jelas lebih tahu tentang mahzab Syiah ketimbang orang lain. Kaidah tidak percaya adalah sah-sah saja tetapi hal itu harus dibuktikan. Ketidakpercayaan yang tak berdasar jelas sebuah kesalahan. Apa salahnya jika mereka mau merendah hati sejenak mendengarkan apa yang dikatakan ulama syiah tentang syiah dan jawaban ulama syiah terhadap pernyataan syaikh mereka, Insya Allah mereka tidak akan gegabah ikut-ikutan berteriak kafir kepada saudara mereka yang Syiah. Sayangnya sekali lagi mereka tidak mau tapi dengan mudahnya berteriak kafir.
Jadi wajar sekali kalau mereka yang berteriak itu tidak mengetahui bahwa setiap dalil dari syaikh mereka sudah dijawab oleh Ulama Syiah. Dan tidak sedikit dari dalil syaikh mereka itu yang merupakan kesalahpahaman dan sekedar tuduhan tak berdasar. Mereka yang berteriak itu akan berkata “syaikh kami telah berfatwa berdasarkan kitab-kitab syiah sendiri”. Ho ho ho benar sekali dan ulama syiah bahkan telah menjawab syaikh mereka berdasarkan kitab syiah dan kitab yang menjadi pegangan kaum sunni. Tetapi sayang mereka tidak tahu, karena mereka bisanya cuma teriak saja. Tong Kosong Nyaring Bunyinya.
Baiklah anggap saja kita tidak usah memusingkan segala tekstualitas antara ulama sunni dan syiah itu, maka cukup kiranya mereka yang berteriak Syiah kafir itu menjawab pertanyaan ini
Apakah kafir orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah?
Apakah kafir orang yang menunaikan shalat?
Apakah kafir orang yang berpuasa di bulan Ramadhan?
Apakah kafir orang yang menunaikan zakat?
Apakah kafir orang yang berhaji ke Baitullah?
Saya yakin mereka bisa menjawab, dan jawabannya tidak, mana ada orang kafir yang seperti itu. Orang yang seperti itu jelas-jelas Muslim. Dan sudah menjadi hal yang umum kalau Syiah jelas mengucapkan syahadat, menunaikan shalat, puasa di bulan ramadhan, membayar zakat dan haji ke Baitullah. Jadi jelas sekali Syiah itu Muslim.
Betapa mudahnya mulut mereka berbicara, sungguh aneh sekali ketika pikiran terperangkap dalam kurungan ashabiyah.
Tulisan ini juga ditujukan kepada mereka yang belum tahu tentang Syiah, cukuplah penjelasan bahwa Syiah adalah Islam sama seperti Sunni, perbedaannya mereka Syiah berpedoman pada Ahlul Bait Nabi SAW. Semoga saja siapapun yang belum mengenal Syiah tidak termakan dengan Fatwa-fatwa yang mengkafirkan syiah. Jika tidak tahu cukuplah diam dan lebih baik berprasangka baik. Jangan ikutan berteriak, biarkan saja mereka yang berteriak Syiah kafir. Dan Sekali lagi bagi mereka yang berteriak, Baca, baca lagi dan pikirkan baik-baik. Maaf, Jangan mau membodohi diri dan tampak seperti orang bodoh. Dengarkan ulama sunni yang lain, dan dengarkan pembelaan mereka Ulama Syiah. Jangan maunya sekedar berteriak. Ingatlah Semua orang bertanggung jawab atas apa yang dikatakannya.
Untuk mengharumkan nama Mu’awiyah yang aroma busuknya telah menyengat setiap hidung kaum beriman dan mereka yang jujur, para Salafi Wahhâbi melakukan segala cara, yang walaupun pada akhirnya hanya akan membongkar kedok sebenarnya siapa mereka dan akan membawa malu di dunia sebelum nanti di akhirat!
Di antara cara yang mereka lakukan adalah mendustkan berbagai fakta sejarah yang terang benderang bak matahari di siang bolong yang membuktikan kemunafikan dan kejahatan Mu’awiyah dan banu Umayyah pada umumnya…
Dan di antara yang mereka hendak sembunyikan adalah fakta sejarah bahwa Mu’awiyah telah melancarkan pencaci-makian dan pelaknatan atas Imam Ali (karramallahu wajhahu wa radhiyallahu ‘ahnu)…. bahkan lebih dari itu, Mu’awiyah telah memerintahkan umat Islam untuk memcaci-maki dan melaknati Khalifah Ali ra. serta menjadikannya program dinasti tiran yang dipimpinannya!
Terlampau banyak bukti yang menegeskan kenyataan ini… hanya saja dalam kesempatan ini saya akan menyajikan satu dari ratusan butki yang memastikan fakta sejarah itu. Sementara bukti-bukti lain insya Allah akan saya sajikan dalam kesempatan lain.
Di antara bukti itu adalah riwayat shahih yang dikeluarkan Imam Ibnu Mâjah,1/26 hadis no.121 (hadis terakhir dalam Bab Keutamaan Ali bin Ali Thalib ra.) di bawah ini:
Teks Hadis:
حدثنا علي بن محمد حدثنا أبو معاوية حدثنا موسى بن مسلم عن ابن سابط وهو عبد الرحمن عن سعد بن أبي وقاص قال قدم معاوية في بعض حجاته فدخل عليه سعد فذكروا عليا فنال منه فغضب سعد وقال تقول هذا لرجل سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من كنت مولاه فعلي مولاه وسمعته يقول أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنه لا نبي بعدي وسمعته يقول لأعطين الراية اليوم رجلا يحب الله ورسوله
…. dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh, ia berkata, “Mu’awiyah datang dalam salah satu kesempatan ketika ia menunaikan ibadah haji, lalu Sa’ad menemuinya, ketika itu mereka (yang duduk-duduk bersama Mu’awiyah) menyebut-nyebut Ali, dan Mu’awiyah pun mencaci-makinya. Sa’ad marah dan berkata, ‘Hai Mu’awiyah apakah engkau berkata demikian terhadap seorang yang aku telah mendengar Rasulullah saw., ‘Sesiapa yang aku Maulâ-nya maka Ali adalah Maulâ-nya’. Dan aku mendengar beliau bersabda, ‘Kedudukanmu (hai Ali) di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada nabi sepeninggalku’. Dan aku mendengar beliau bersabda, ‘Aku akan serahkan bendera kepanglimaan perang ini kepada seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.’”
[ http://islamicweb.com/arabic/books/albani.asp?id=2095 ]
Hadis riwayat di atas telah masyhur dinukil para ulama hadis kita dari sahabat Sa’ad ra. dan bukan sesuatu yang samar bagi para santri apalagi para kyia Ahlusunnah. Hanya saja yang penting dicatat di sini adalah bahwa riwayat di atas -yang tegas-tegas menyebutkan dan membuktikan bahwa Mu’awiyah mencaci-maki Imam Ali ra. itu- telah dishahihkan oleh Syeikh Nâshiruddîn al Albâni; Gembong Ahli Hadis Kebanggaan Wahhâbi Sallafi, walaupu kami Ahlusunnah sama sekali tidak pernah membanggakannya sebab ia sering linglung dalam mentakhrij hadis/riwayat/atsar. Baca keterangannya dalam Silsilah al Ahâdîts ash Shahîhah, 4/335. Baca juga dalam Shahîh Sunan Ibnu Mâjah; juga oleh al Albâni (terbitan Maktabah at tarbiyah al Arabi. Cet III. Tahun 1408 H/1988M.) atau lihat di tahrij hadis aleh Al Bani online DISINI
Jika Wahhâbi Salafi Mengelak!
Mungkin kaum awam Salafi Wahhâbi (yang sering menjadi korban pembodohan para ustdaz dan masyâikh mereka) berusaha mengelak dengan mengatakan bahwa tidak ada kejelasan dalam riwayat di atas bahwa Mu’awiyah mencaci-maki Ali! Yang ada hanya kata nâla yang artinya menyentuh atau menyebut-nyebut? Jadi mungkin saja Mu’awiyah sedang memuji Ali! Jika ada yang berkata demikian maka, pertama-tama saya ucapkan bela sungkawa atas kematian ilmu dan nurani.
Sebab kecintaan kepada pemimpin pohon terkutuk rupanya telah membutakan akal pikirannya! Kedua, tidak ada ulama Ahlusunnah yang memahami demikian. Justeru semua menegskan bahwa dalam kesempatan itu Mu’awiyah mencaci-maki dan mencela-cela Sayyidina Ali ra. sehingga Sa’ad terpaksa membuktikan kedok kemunafikan Mu’awiyah dengan menyebut tiga hadis penting keutamaan Khalifah Ali ra. sebagai balasan atas kejahatan Mu’awiyah tersebut, sebab prbadi yang sedang mereka makan daging sucinya itu adalah pribadi yang sangat mulia dan agung kedudukannya di sisi Allah dan rasul-Nya…. dan apa yang dilakukan Mu’awiyah atasnya adalah bukti dendam kusumatnya atas Allah dan Rasul-Nya…
Tiga hadis itu adalah hadis Muwâlah, hadis Manzilah dan hadis Râyah. Ketiga hadis ini telah diriwayatkan para ahli hadis kita dengan banyak jalur yang shahih…. kendati sebagian kaum Wahhâbi Salafi berusaha mendha’ifkannya karena dianggapnya ia menguntungkan Syi’ah dalam menegakkan akidah mereka tentang imamah!
Hadis Di atas Tegas Mengatakan Bahwa Mu’awiyah Mencaci dan Mencela Sayyidina Ali ra.!
Sekali lagi saya katakan di sini bahwa teks hadis tersebut di atas sudah jelas dan gamblang! Mu’awiyah mencela dan mencaci maki Sayyidina Ali ra. perhatikan apa yang ditegaskan oleh Syeikh Fuâd Abdul Bâqi (pentahqiq kitab Sunan Ibnu Mâjah) ketika beliau menerangkan kata-kata: فنال منه: Maksudnya Mu’awiyah mencela dan mencaci-maki Ali.” (Selanjutnya baca Sunan Ibnu Mâjah,1/45. Diterbitkan oleh Maktabah Dahlân-Indonesia).
Akhirnya!
Dan sebelum saya akhiri ulasan saya ini saya ingin katakan bahwa riwayat di atas adalah satu dari ratusan riwayat dan data sejarah akurat yang menegaskan kejahatan Mu’awiyah atas Islam dan atas Ali bin Abi Thalib ra. dan tidak cukup demikian ia memaksakan kejahatan itu agar dilakukan oleh kaum Muslimin… dan akhirnya kaum Muslimin pun terjatuh dalam kubangan kejahatan Mu’awiyah… mereka mena’ati Mu’awiyah dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq dengan mencela dan mencaci Sayyidina Ali ra. jadi pantaslah jika Nabi Muhammad saw. (yang tidak pernah akan berkata-kata melainkan dari wahyu suci) menyebut Mu’awiyah sebagai PEMIMPIN KELOMPOK PENGANJUR KE DALAM API NERAKA!
Umat Islam di masa kekuasaan zalim Mu’awiyah ikut-ikutan berlomba-lomba mencaci dan melaknati Ali, Khalifah Nabi saw. sementara Nabi telah bersabda bahwa mencaci Ali sama dengan mencaci Nabi saw.! Lalu apakah bayangan kita hukum orang yang mencaci Nabi saw.?! Pasti neraka tempatnya, karena ia adalah bukti kakafiran!
Jadi kaum Muslimin di zaman kekuasaan Mu’awiyah yang tiran itu yang ikut serta mencaci dan melaknati Ali ada dua kemungkinan:
Pertama: Mereka memang sudah menjadi munafik dengan membenci dan memerangi Ali serta mencaci dan melaknati beliau ra.
Atau kedua, mereka dalam melakukan semua kekufuran itu karena takut kekejaman Mu’awiyah atas siapapun yang menolak melaksanakan perintahnya untuk melaknati dan mencela-cela Ali ra.
Jika kemungkinan pertama yang terjadi itu artinya bahwa kaum Muslimin benar-benar telah disesatkan oleh Mu’awiyah dan digiring ke dalam api nereka Jahannam (atau dalam istilah kaum Wahhâbi Salafi seperti Ustadz Firanda: kaum Muslimin sedang diberi hidayah oleh Mu’awiyah sebab Mu’awiyah adalah Hâdiyan Mahdiyan/yang memberi petunjuk dan diberi petunujuk oleh Allah, seperti dalam hadis palsu yang sering dibanggakan Salafi Wahhâbi para pendukung kemunafikan dann kaum munafikin).
Dan jika kemungkinan kedua yang terjadi, dan bahwa mereka hanya karena terpaksa untuk menyelamatkan diri dalam melakukan kehendak Mu’awiyah… maka itu artinya kaum Muslimin sedang tertaqiyyah! Lalu mengapaka kaum Salafi Wahhâbi sering mengejek-ngejek kaum Syi’ah sebagai bermunafik karena mereka bertaqiyyah??!! Bukankah kenyataan ini akan membuat malu kita di hadapan kaum Syi’ah? Karena itulah saya sejak awal telah mengatakan bahwa kaum Wahhâbi Salafi termasuk gembong kaum Nashibi seperti Ibnu Taimiyah jika mereka masih kita akui sebagai bagian dari Ahlusunnah hanya akan membuat malu kita di hadapan kaum Syi’ah!!
Karena itu waspadai kelicikan dan kelicinan kejahatan mereka!
Sahabat Mencaci Sahabat Yang Lain
Salamalaikum wa rahmatollah. Bismillahi Taala.
Sejarah telah mencatatkan bahawa di kalangan para sahabat Nabi ternyata ada yang menghina dan mencaci Ahlul Bait Rasul, Ali bin Abi Thalib(a). Ada yang mengatakan bahwa hal ini sudah menjadi tradisi dan berawal pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Bahkan sebahagian orang menyatakan bahwa tradisi ini merupakan perintah atau anjuran Muawiyah sendiri. Tanpa membicarakan untuk apa tujuan tradisi tersebut, namun ia tetap telah menyalahi ajaran Islam.
Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan bahawa siapa saja yang mencaci-maki Al(a) bererti sama sahaja dengan mencaci-maki baginda(s).
Salah seorang sahabat Nabi SAW yang mencaci-maki Imam Ali AS adalah Mughirah bin Syu’bah.
عن زياد بن علاقة عن عمه أن المغيرة بن شعبة سب علي بن أبي طالب فقام
إليه زيد بن أرقم فقال يا مغيرة ألم تعلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
نهى عن سب الأموات فلم تسب عليا وقد مات
Dari Ziyad bin Alaqah dari Pamannya bahwa Mughirah bin Syu’bah telah menghina Ali bin Abi Thalib kemudian Zaid bin Arqam berdiri dan berkata ”Hai Mughirah bukankah kamu tahu bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menghina orang yang sudah mati jadi mengapa kamu menghina Ali setelah kematiannya”.
Hadis Riwayat Al Hakim dalam Mustadrak As Shahihain juz 1 hal 541 hadis no 1419, di mana beliau berkata:
هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه
Hadis ini shahih sesuai persyaratan Imam Muslim tapi beliau tidak meriwayatkannya.
Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid juz 8 hal 145 hadis no 13028 juga telah meriwayatkan hadis ini dan berkata:
رواه الطبراني بإسنادين ورجال أحد أسانيد الطبراني ثقات
Riwayat Thabrani dengan sanad-sanadnya dan salah satu sanadnya para Perawinya tsiqat.
Catatan Hadis:
Thabrani meriwayatkan hadis ini dalam Mu’jam Al Kabir juz 5 hal 168 iaitu hadis no 4973, 4974 dan 4975. Hadis no 4973 dan 4975 di dalam sanadnya terdapat Abu Ayub Maula Bani Tsa’labah sebagaimana disebutkan dalam At Ta’jil Al Manfa’ah Ibnu Hajar juz 2 hal 411 no 1232 bahawa beliau adalah majhul.
Sedangkan hadis riwayat Thabrani no 4974 dan hadis riwayat Al Hakim dalam sanadnya tidak ada Abu Ayub tersebut. Hadis ini lah yang dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan seperti yang dikatakan Al Haitsami para perawinya tsiqat.
Hadis yang di dalam sanadnya ada Abu Ayub iaitu perawi yang majhul hal ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 369 hadis no 19307 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Hadis ini sanadnya dhaif karena perawinya Abu Ayub adalah majhul tetapi hadis ini dikuatkan oleh riwayat Al Hakim dan Thabrani. Oleh karena itu Syaikh Syu’aib berkata mengenai hadis Abu Ayub ini:
صحيح وهذا إسناد ضعيف
Shahih tetapi sanad hadis ini dhaif
Kesimpulan:
1. Telah nyata dari riwayat ini, wujud para sahabat yang saling mencaci antara satu sama lain. Dengan mengambil konsep keadilan para sahabat secara total dan keredhaan Allah swt atas mereka semua, adakah tindakan sahabi ini mendapat keredhaan Allah swt dan menunjukkan sifat keadilan beliau?
2. Dengan mengambil prinsip bahawa menghina sahabat bererti menghina Rasul(s), dan boleh menyebabkan kekafiran/kesesatan seseorang, maka adakah Mughirah, seorang sahabat Rasul(s) ini telah menjadi murtad dengan perbuatannya ini?
(Syiahali/islamicweb/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar