Oleh: Mohammad Adlany
Tema di atas bisa dipaparkan dalam empat bagian, yaitu: a. Definisi dari kata “sempurna” dan perbedaannya dengan kata “terpenuhi” dan “berkembang”; b. Kesempurnaan manusia; c. Kesempurnaan manusia dari perspektif Islam; dan d. Jalan menuju kesempurnaan.
- Definisi kata “sempurna” dan perbedaannya dengan kata “terpenuhi” dan “berkembang”.
Kata “sempurna” kadangkala diartikan dengan
makna yang sinonim dengan kata “terpenuhi”, dan kadangkala dengan
pengertian selain itu, namun bagaimanapun, lawan kata keduanya adalah
“kurang”, sebagaimana halnya lawan kata “terpenuhi” adalah “kurang”.
Yang dimaksud dengan kesempurnaan adalah
murni aktual (segalanya ada secara aktual), ketiadaan potensi atau
keberadaan sifat-sifat yang mesti dimiliki oleh sesuatu. Kesempurnaan
adalah kepemilikan segala hal yang mungkin dan layak untuk dimiliki oleh
sesuatu. Dengan perkataan lain, kesempurnaan adalah titik akhir dan
tingkatan akhir setiap sesuatu, atau keberadaan sifat-sifat yang niscaya
dimiliki oleh sesuatu, dan persoalan-persoalan lain dalam batasan yang
penting dan bermanfaat untuk sampai pada kesempurnaan hakikinya akan
menjadi “kesempurnaan awal” dan “pengantar kesempurnaan” baginya.[1]
Mungkin bisa dikatakan bahwa dalam filsafat
dan beberapa kasus tentang “sempurna” memiliki makna “terpenuhi”, dan
tidak ada perbedaan yang begitu berarti di antara keduanya. Akan
tetapi, dalam teks-teks agama dan pandangan umum masyarakat, terdapat
perbedaan antara kata sempurna dengan terpenuhi. Untuk dua kata
“sempurna” dan “terpenuhi” (kesempurnaan dan keterpenuhan) ini Al-Quran
al-Karim memberikan dua pengertian. Sebagaimana hal ini terlihat dalam
salah satu firman-Nya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan
untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah
Kuridai Islam itu menjadi agama bagimu.“[2] Agama berjalan dari kurang ke arah sempurna, dan nikmatpun demikian bergerak dari kurang ke arah terpenuhi.
Dari sini perbedaan antara kata “sempurna”
dan “terpenuhi” bisa dijelaskan dengan dua cara: “sempurna”, berada
dalam derajat dan tingkatan sebuah sesuatu, sedangkan “terpenuhi”
merupakan terwujudnya dan keberadaannya bagian-bagian sebuah sesuatu,
sedemikian hingga jika seluruh bagian yang dibutuhkan untuk diperolehnya
prinsip keberadaan sesuatu telah terwujud, maka sesuatu tersebut
berarti telah cukup, total dan terpenuhi. Dan jika tidak demikian maka
dia akan cacat atau kurang dalam prinsip kewujudan dan esensinya.
Sekarang, karena “sempurna” berada dalam sebuah posisi yang masih bisa
memiliki tingkatan lebih tinggi dari sesuatu yang telah sampai pada
batasan “terpenuhi”, maka sebuah sesuatu bisa saja terpenuhi akan tetapi
ia tidak sempurna.
Sementara itu, perbedaan antara sempurna dan
berkembang adalah bahwa dalam pengertian “sempurna” -ketika beriringan
dengan gerak dan menuju pada kesempurnaan- dan menyempurna, terdapat
ketinggian yang tersembunyi. Menyempurna merupakan gerak, sebuah gerak
vertikal yang mengarah ke atas, gerak dari satu permukaan ke permukaan
yang lebih tinggi, dari sebuah tingkatan dan tahapan ke tingkatan dan
tahapan yang lebih tinggi, akan tetapi “berkembang” berlaku juga dalam
gerak horisontal dan mendatar. Misalnya apabila sebuah pasukan atau
laskar tengah berperang di belahan bumi dan menguasai sebagian daerah
musuh, maka kita akan mengatakan, fulan pasukan dalam posisi berkembang
dan bergerak maju, dan kita tidak mengatakan bahwa mereka berada dalam
posisi menyempurna.[3]
Maujud-maujud di alam terbagi menjadi dua,
dimana kelompok pertama adalah kelompok eksistensi yang sejak awal
penciptaannya telah memiliki segala sesuatu yang layak dengan hakikat
wujudnya dan tidak memiliki gerak untuk menyempurna. Yang termasuk ke
dalam eksistensi-eksistensi semacam ini adalah eksistensi-eksistensi
nonmateri murni seperti malaikat dan sebagainya; dan kelompok yang
lainnya adalah di awal penciptaannya tidak memiliki kesempurnaan akhir
dan tidak memiliki kesempurnaan yang sesuai untuk esensi wujudnya, dan
untuk memperoleh kesempurnaan ini mereka membutuhkan gerak dan proses
untuk menyempurna, dan yang termasuk dalam kelompok ini adalah
eksistensi-eksistensi materi dan juga manusia tentunya.
Dengan memperhatikan makna pada kata
sempurna dan menyempurna (gerakan dari potensi ke aktual), maka bisa
diketahui bahwa setiap eksistensi pasti memiliki kesempurnaan yang
sesuai dengan jati dirinya. Kesempurnaan yang dicari oleh sebatang pohon
pasti berbeda dengan kesempurnaan yang hendak diraih oleh seekor
binatang. Demikian juga kesempurnaan manusia pasti berbeda dan tidak
akan pernah sama dengan kesempurnaan eksistensi-eksistensi lainnya.
Dari sinilah sehingga eksistensi-eksistensi
materi dalam kaitannya dengan kesempurnaan wujudnya bisa
diklasifikasikan tingkatannya. Di antara eksistensi-eksistensi yang kita
kenal, eksistensi in-organik berada pada tingkatan yang paling rendah,
kemudian disusul secara berurutan oleh nabati dan hewan yang berada di
urutan tengah, selanjutnya manusia berada pada tingkatan yang paling
tinggi. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa dalam tingkatan derajat
ini yang diperhatikan adalah jenis dan nilai kesempurnaannya, bukan
volume atau jumlahnya.[4]
Menentukan kesempurnaan manusia tentu saja
lebih sulit jika dibandingkan dengan menentukan kesempurnaan segala
sesuatu yang lain, sebagaimana misalnya kesulitan ketika menghadapi
masalah seperti dimanakah letak kesempurnaan manusia. Walhasil,
kesempurnaan mayoritas benda di alam ini dengan mudah bisa kita kenali,
akan tetapi tidak demikian halnya dengan kesempurnaan manusia.[5]
Jelaslah bahwa pengenalan kesempurnaan
hakiki manusia dengan metode pemahaman kalbu dan penyaksian intuitif
(syuhudi) hanya akan tersingkap ketika seseorang telah sampai pada maqam
kesempurnaan itu sendiri, akan tetapi karena untuk sampai kepada
“kesempurnaan ikhtiari” (diperhadapkan dengan kesempurnaan yang
nonikhtiari, seperti kesempurnaan maujud-maujud nonmateri) bergantung
pada ilmu dan pengetahuan, maka layaklah jika kesempurnaan semacam ini
perlu diketahui sebelumnya supaya bisa ditempatkan dalam posisi kehendak
dan kecintaan kemudian berusaha memperolehnya dengan pilihan dan
kebebasan, namun jika jalan untuk mengenalinya pada batas tertentu tidak
bisa dilakukan secara intelektual dan akal, maka hal ini tidak mungkin
bisa terjangkau dan tercapai. Jadi pengenalan awal tentang kesempurnaan
tidak diketahui dengan cara intuisi atau syuhudi, melainkan tidak lain
adalah pengenalan yang bersifat intelektual, akal, dan ilmu hushuli.[6]
Dengan memperhatikan pembahasan sebelumnya, maka bisa diketahui bahwa
ikhtilaf dan perbedaan para filosof dan cendekiawan pada persoalan
penentuan kesempurnaan hakiki manusia merupakan ikhtilaf yang wajar.
Penjelasan berbagai teori tentang
kesempurnaan manusia (dan manusia sempurna), beserta kritik dan
analisanya dalam persoalan ini akan menyebabkan panjangnya pembahasan
dimana hal ini bukan pula merupakan tujuan artikel ini. Dengan alasan
inilah kami mencukupkan diri dengan hanya menjelaskan tetang beberapa
teori kesempurnaan manusia, dan untuk mendapatkan informasi yang lebih
detail hendaklah merujuk pada kitab-kitab yang berkaitan dengannya.
Berdasarkan teori “reaksi individu terhadap
alam” yang dibentuk berdasarkan prinsip Individualisme, kesempurnaan
manusia terletak pada semakin banyaknya dia memanfaatkan alam dan
memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan materi, dan kehidupan yang lebih
sejahtera dan lebih menyenangkan akan diperoleh dengan memanfaatkan ilmu
empirik, sarana dan inovasi-inovasi terbaru yang digunakan untuk
mendulang sumber-sumber dan kekayaan-kekayaan alam.[7]
Sedangkan berdasarkan teori “reaksi sosial
terhadap alam” yang muncul dari teori sosialisme disepakati bahwa
kesejahteraan dan pemanfaatan yang lebih banyak atas
kenikmatan-kenikmatan duniawai dan materi merupakan tujuan bagi seluruh
tingkatan masyarakat.[8]
Dalam teori ini kesempurnaan manusia
terletak pada kodrat dan kekuatannya, dan yang dimaksud dengan manusia
sempurna adalah manusia yang kuat dan berkuasa, dengan semakin kuat dan
semakin berkuasanya seseorang dan semakin menguasai lingkungan di luar
dirinya, yaitu lebih menguasai alam dan manusia-manusia lainnya, berarti
dia semakin dekat dengan kesempurnaan. Teori evolusi Darwin pun
bertolak dari dasar ini. Dalam pandangan Darwin, yang dimaksud dengan
eksistensi yang lebih sempurna adalah eksistensi yang lebih kuat, yaitu
eksistensi yang lebih bisa menjaga dirinya dan memiliki kekuatan yang
lebih dalam menyingkirkan lawan dan musuhnya. Dari sini kemudian muncul
berbagai sanggahan dan sangkalan yang tertuju kepada Darwin bahwa
dengan adanya “prinsip keabadian” dia benar-benar telah memusnahkan
perbedaan dan ikhtilaf yang ada, karena keberadaan prinsip ini telah
menggetarkan dasar-dasar etika[9].
Berdasarkan teori ini kesempurnaan manusia
terdapat pada dua hal, yang pertama terletak pada pemahamannya tentang
hakikat dan realitas (sebagaimana adanya) dan yang kedua terletak pada
keadilan. Dengan kata lain, kesempurnaan manusia berada pada hikmah
teoritis dan hikmah amali.[10]
Jadi manusia sempurna di mata para hukama
adalah manusia yang akalnya berada dalam persoalan-persoalan teoritis
dan bijak (hikmah) dan dalam persoalan amal (dari prespektif etika) pun
ia juga harus seorang manusia yang berkeadilan.
Para arif sepakat bahwa “hakikat” adalah
satu yang tidak lain adalah Tuhan. Dan mereka menganggap selain Tuhan
merupakan kegelapan, dan bayangan dari hakikat. Manusia akan menjadi
sempurna ketika dia memahami hakikat dan juga sampai kepada hakikat.
“Bergabung dengan Yang Haq” dan “kedekatan kepada Tuhan” dan sebagainya
adalah sebuah kesempurnaan yang merupakan tujuan dari setiap aspirasi,
harapan kerinduan dan pengenalan Ilahi. Sedangkan makna bergabung dan
sampai adalah “kefanaan dalam Tuhan”, dengan artian bahwa ia tidak
menetap dalam lingkaran “keakuan” dan “keegoan”. Orang yang tidak
memiliki perjalanan seperti ini dan tidak sampai pada hakikat ini maka
ia akan tertinggal di jalannya sendiri. Kendaraan dalam seir dan perjalanan spiritual ini adalah cinta, kasih sayang, dan kedekatan.[11]
Sedangkan pusat cintanya adalah kalbu. Tentu saja cinta sebagaimana
yang dikatakan oleh para arif ini berbeda dengan cinta yang dimengerti
oleh kalangan umum. Cinta seorang arif adalah cinta hakiki yang akan
membawa manusia ke atas dan mengantarkannya untuk sampai kepada Tuhan.
Dan kekhususan dalam cinta kepada Tuhan (bukan cinta seksual atau cinta
yang lainnya) dalam teori yang merupakan sarana dan cara yang akan
mengantarkan manusia ke maqam kesempurnaan ini adalah “memperbaiki diri
dan mensucikan jiwa”.
Persoalan-persoalan semacam kecenderungan
mutlak terhadap batin, peniadaan ego, dan pelecehan jiwa merupakan
persoalan-persoalan yang sangat mendapat perhatian dalam aliran Irfan.[12]
Terdapat pula teori-teori lain berkaitan
dengan kesempurnaan manusia ini dimana kami menghindari untuk
menyebutkannya. Mengenai keempat teori di atas terdapat pula
analisa-analisa dan koreksi-koreksi dari perspektif Islam dan teks-teks
agama serta para pemuka Ahlul Bayt As dimana kamipun menghindarkan diri
untuk menyajikannya, dan untuk mendapatkan informasi lebih lengkap dan
mendetail tentang hal tersebut hendaklah merujuk kepada kitab-kitab yang
telah ditulis sehubungan dengan wacana ini.[13]
Tentu saja terhadap masing-masing teori di
atas, Islam tidak menerima begitu saja teori-teori tersebut secara umum
dan tidak memberikan analisa serta kritikan apapun, demikian juga Islam
tidak pula langsung menolak dan menyangkalnya, melainkan menerima
poin-poin yang positif dan benar dari masing-masingnya, dan juga
memberikan peringatan pada persoalan-persoalan yang tidak sesuai dengan
pandangan Islam dan ajaran-ajaran al-Quran.[14]
Tuhan yang Maha Tinggi adalah Kesempurnaan
Murni dan Pencipta Kesempurnaan. Segala sesuatu yang muncul dan terlahir
dari-Nya adalah sempurna. Alam dan manusia muncul dari-Nya dan keduanya
merupakan manifestasi dari Kesempurnaan Yang Haq. Seluruh atom-atom
alam wujud akan bergerak ke arah kesempurnaan, melakukan pertemuan
dengan-Nya, dan bergerak mengarungi perintah Ilahi. Manusia bukanlah
serat yang terpisah dari jaringan dunia penciptaan, oleh karena itulah
dengan sampainya ke kesempurnaan yang sesuai ia akan berusaha untuk
mengharmonikan dirinya dengan seluruh alam penciptaan.[15]
Al-Quran al-Karim dalam beberapa ayat mendeskripsikan tentang pandangan dunia (world view) yang benar dan menunjukkan jalan seir dan suluk (perjalanan ke arah kesempurnaan) kepada para arif yang salik. Hal ini karena pertama, Al- Quran memperkenalkan Tuhan sebagai Huwal akhir (Dialah Yang Terakhir)[16],
yaitu Dia adalah tujuan terjauh dan paling tinggi yang harus dicapai.
Kedua, kafilah maujud tengah berada dalam keadaan berproses dan menjadi
untuk menuju pertemuan dengan-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan“[17] di sini Al-Quran al-Karim mengingatkan kepada manusia tentang gerak dan lintasan kepada proses ini.
Perbedaan antara “berproses” dan “bergerak”
di sini adalah bahwa bergerak memiliki makna gerak yang terdapat pada
seluruh unsur-unsur bumi dan langit. Akan tetapi berproses merupakan
perubahan dan gerakan menyempurna dari jenis satu ke jenis lainnya serta
dari tingkatan yang satu ke tingkatan lainnya. Manusia yang tak
terkecuali dari keadaan berproses dan bergerak ini, tengah berproses,
berubah dan menjadi, dimana titik akhirnya adalah “Pertemuan dengan
Tuhan Yang Maha Tinggi”.[18]
Meskipun seluruh maujud -termasuk manusia-
berada dalam prosesnya bergerak ke arah-Nya, akan tetapi masing-masing
individu saling berbeda, sebagian berproses ke arah “Nama-Nya yang
Agung”, sebagiannya lagi ke arah “Nama yang lebih Agung”, sedangkan
sebagiannya berproses ke arah …[19]
Wal hasil, majemuk dari seluruh proses-proses ini, terutama proses kesempurnaan manusia adalah “Pertemuan kepada Tuhan”[20], “Kedekatan kepada-Nya”, dan “Maqam di samping-Nya”. Ketiga, dalam salah satu ayat-Nya Tuhan berfirman, “… carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya …”[21]
yaitu pilihlah sarana untuk bertemu dengan-Nya dimana Tuhan merupakan
tujuan dan selain Tuhan (segala bentuk perbuatan yang mendekatkan
kepada-Nya) adalah sarana.[22]
Berbagai ayat, riwayat dan teks-teks doa menganggap bahwa tujuan gerak manusia adalah pertemuan dengan-Nya,[23] dan begitu banyak para pembesar ahli makrifat yang membahas wacana ini di dalam kitab-kitabnya.[24]
Para Nabi dan auliya Tuhan telah banyak
meninggalkan rahasia dan kebutuhan-kebutuhan tinggi dalam pertemuan
dengan-Nya dimana membicarakannya meniscayakan penganalisaan terhadap
sekian kitab, dan sekumpulan riwayat dan doa-doa merupakan hasil dari
karya seperti ini.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, di
dalam teks-teks agama terdapat berbagai pengertian tentang kesempurnaan
manusia, seperti kedekatan kepada-Nya, pertemuan dengan-Nya, maqam dan
kedudukan di sisi-Nya, bersama dengan-Nya, wilayah, tauhid, khilafah,
warna Tuhan, berakhlak dengan akhlak Ilahi, memandang wajah-Nya,
kefanaan pada-Nya, bergantung kepada kesucian-Nya, habibullah,
kemenangan, nama Tuhan, penghambaan, dan sebagainya, dimana penjelasan
tentang masing-masingnya bukanlah merupakan tujuan, melainkan yang perlu
diperhatikan adalah jalan untuk menuju kesempurnaan (dengan cara
manapun yang telah dijelaskan) yang hal ini akan kami jelaskan pada
pembahasan mendatang.
Setelah pengertian tentang sempurna dan kesempurnaan manusia dari perspektif Islam telah jelas hingga batasan yang diperlukan, selanjutnya “jalan menuju kesempurnaan” merupakan salah satu persoalan yang mendapatkan perhatian khusus pada wacana seir dan suluk.
Kesempurnaan manusia yang adalah kedekatan
Ilahi dan bergabung ke arah-nya membutuhkan sarana, sebagaimana yang
terdapat dalam salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan.“[26], dan sarana ini tak lain dan tak bukan adalah “penghambaan”.
Penghambaan merupakan kunci bagi “wilayah”[27] dan “hamba” merupakan nama yang terbaik. Dari sinilah sehingga Rasulullah saw yang merupakan manusia sempurna adalah Abdullah ((hamba Allah yang merupakan nama Tuhan yang paling sempurna, yakni pada maqam wahidiyah)) dan pada malam mi’raj memohon penghambaan dengan bersabda,”Ya Tuhanku dekatkan aku kepada-Mu dengan penghambaan (ubudiyah)”[28]
Penghambaan dalam seluruh keberadaan-Nya,
kesempurnaan-Nya, dan … berhutang budi pada Sang Maula dan Pemimpin-nya,
dan akan membuatnya fana secara murni di haribaan-Nya.
“Hamba yang hakiki” tak lain adalah “Arif yang hakiki” yang tak akan terhiasi oleh setiap warna kecuali warna Tuhan (sibghatullah),
ia pasrah secara total, merendahkan diri dan tunduk kepada-Nya, dan
jika demikian adanya, maka kalbunya merupakan tempat bagi Dzat Suci
Tuhan, “Bumi dan langit tidak mampu ‘menampung-Ku’, tetapi hati seorang
mukminlah yang mampu ‘menampung-Ku’.”[29]
Sementara itu jika manusia keluar dari penjara jiwanya, menetapkan diri
pada penghambaan Sang Khalik, memiliki kalbu yang dipenuhi dengan
ketauhidan, menghilangkan beragam kecenderungan dalam ruhnya, dan
mengarahkan kalbunya pada satu titik kecenderungan yaitu pusat
kesempurnaan mutlak, maka ia akan mendapatkan keluasan sedemikian rupa
dalam kalbunya yang akan menjadi tempat manifestasi dan penampakan
kekuasaan mutlak Ilahi, dan akan muncul sedemikian kaya dimana seluruh
pemilik lahir dan batin tidak akan menyepelekannya. Dan dia akan
memiliki kehendak yang sedemikian besar sehingga tidak bergantung pada
kekayaan dan malakut dan dia tidak menempatkan kedua alam sebagai tempat
yang layak baginya.
Ibadah dan penghambaan merupakan sebuah esensi dimana batinnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan.”[30]
Jiwa dan ruh seorang hamba akan bercahaya karena penghambaan yang
dilakukannya dan akan menjadi pantulan dan tempat munculnya
cahaya-cahaya Ilahi, sifat dan asma-asma Rabbani, demikian juga akan
menjadi cermin yang memperlihatkan seluruh keagungan dan keindahan Yang
Maha Kuasa.
Kata ‘abd (hamba) terbentuk dari tiga huruf ‘ain, ba, dal. Huruf ‘ain merupakan konteks dari ilmu dan keyakinan hamba pada Tuhan, huruf ba merupakan isyarah terhadap keterpisahan dan keterjauhannya dari selain Yang Haq, sementara huruf dal menunjukkan atas kedekatan hamba kepada Tuhan Yang Maha Agung, tanpa adanya sedikitpun keberadaan hijab dan perantara.[31]
Mi’rajnya Rasulullah saw dan sampainya ke maqam “auadna”
adalah karena berkah sampainya ke tingkatan penghambaan mutlaknya insan
kamil tersebut (yaitu Rasulullah saw), sebagaimana salah satu
firman-Nya, “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.”[32] Rasulullah tidak hanya menyandang nama ‘abdullah akan tetapi telah sampai pada maqam ‘abduhu, dimana ‘abd merupakan identitas mutlak yang merupakan sumber dari Asmaul Husna
(asma-asma agung) Tuhan, oleh karena itulah sehingga dalam shalat kita
bersaksi, “Dan sesungguhnya aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah
hamba-Nya dan rasul-Nya”.
Dan menurut deskripsi dari sebagian pemuka agama, dalam al-Quran al-Karim, pada setiap tempat dimana kata abd digunakan secara mutlak dan tanpa penyebutan nama, berarti abd tersebut tertuju khusus untuk Rasulullah saw.[33]
Ketaatan dan ibadah merupakan satu-satunya
jalan penghambaan (kedekatan kepada-Nya): dari berbagai ayat dan riwayat
yang terdapat dalam bahasan penghambaan; kedudukan, bagian, sifat hamba
dan penghambaan bisa diperoleh. Bahkan dengan melakukan kajian dan
analisa terhadapnya bisa dikatakan bahwa hakikat penghambaan atas
ketaatan dan ibadah akan semakin kokoh setelah makrifat dan penyaksian
hamba terhadap Dzat Suci Tuhan. Hamba yang hakiki adalah yang
menyingkirkan hijab keakuan dan melakukan penghambaan diri karena
makrifat dan penyaksian terhadap Maulanya dan meletakkan kerendahan
ibadah dan penghambaan dirinya dalam kemuliaan rububiyyah. Menyingkap
hijab keakuan dan keegoan merupakan langkah yang lebih sulit dari
menyingkap seluruh hijab-hijab lainnya dan penyingkapan hijab ini
merupakan langkah awal dari penyingkapan hijab-hijab yang lain, bahkan
merupakan kunci dari kunci-kunci gaib, penyaksian, dan pintu dari
pintu-pintu menaik ke arah kesempurnaan ruhani.
Dari sinilah sehingga jalan bergabung kepada
hakikat rububiyyah adalah gerak dalam tingkatan penghambaan. Seorang
pesuluk ke arah Tuhan apabila memahami akan kerendahan maqamnya dan
hakikat wujudnya adalah kerendahan dan kemuliaan rububiyyah, dan dengan
semakin kuatnya pandangan ini maka akan memunculkan ibadah yang semakin
meruhani dan ruh ibadah yang semakin kuat.[34]
Dengan perkataan lain, langkah pertama dalam
perjalanan ke arah kesempurnaan dan kedekatan kepada-Nya adalah
sampainya kepada maqam kefanaan dzati dan dilepaskannya segala keegoan
dan keakuan. Tuhan dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Barang
siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi
ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang siapa keluar
dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya,
kemudian kematian menjemputnya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
maka sungguh pahalanya berada di sisi Allah.”[35]
Ketika jiwa bergantung kepada kebaikannya
dan memberikan perhatian terhadap keakuan, maka ia belum menjadi orang
yang melakukan perjalanan (ke arah Tuhan) dan belum berada dalam hukum musafir (orang yang melakukan perjalanan) dan muhajir (orang yang berhijrah) melainkan masih berada dalam hukum hadir.[36]
Langkah kedua adalah ketaaatan dan ibadah
kepada Yang Haq. Tuhan telah meletakkan ibadah sebagai tujuan penciptaan
jin dan manusia, sebagaimana hal ini tersirat dalam firman-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.“[37], dan memperkenalkan beribadah kepada-Nya sebagai jalan yang lurus, berfirman, “Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.”
Dari sinilah sehingga Imam Baqir As
bersabda, “Mendekatkan diri kepada Tuhan tidak akan bisa diperoleh
kecuali dengan ketaatan”, dengan alasan inilah sehingga pelaksanaan
kewajiban-kewajiban, nafilah-nafilah, shalat, zakat, dan sebagainya
merupakan cara untuk mendekati-Nya, sebagaimana salah satu hadits yang
mengatakan, “Shalat merupakan pilar utama dari seluruh ketaatan”[38]
dan “Tidak mendekat kepada-Ku seorang hamba dari hamba-hamba-Ku kecuali
dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa-apa yang Aku wajibkan
kepadanya.”[39]
Ibadah kadangkala dengan pengertian khas
yang dimilikinya dalam fikih dan syariat Islam menginformasikan pada
amalan-amalan seperti shalat, puasa, haji, jihad dan sebagainya (yaitu
kewajiban-kewajiban dan mustahab-mustahab) dan kadangkala pula
menginformasikan pada makna umum dan makna luasnya yang meliputi seluruh
perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan tujuan
mendekati-Nya dan memperoleh keridhaan-Nya, meskipun pada
masalah-masalah yang mubah sekalipun. Dengan asumsi ini maka ayat mulia “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
akan memberikan makna yang lebih jelas, karena sesuai dengan mafhum
ayat, ibadah merupakan satu-satunya tujuan penciptaan dan dengan kedua
maknanyalah sehingga akan membuat seluruh aktivitas-aktivitas manusia
sebagai ibadah. Dan sekarang, jika yang dimaksud oleh ayat adalah ibadah
dengan makna khususnya, maka secara pasti sebagian dari kehidupan
seseorang adalah melakukan aktivitas-aktivitas selain ibadah dan pada
saat-saat seperti ini berarti ia berada dalam aktivitas yang tidak
mentaati kehendak Tuhannya.
Langkah pertama ibadah untuk mendapatkan
kesempurnaan dan kedekatan kepada Tuhan adalah melaksanakan
kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.
Pada berbagai hadis yang berasal dari para
auliya Allah dan para Maksum Ahlulbait As yang sampai kepada kita
menegaskan dua poin, berikut kami akan mengisyarahkan sebagian dari
hadis tersebut,
- Amirul Mukminin As bersabda, “Tidak ada ibadah seperti melaksanakan kewajiban-kewajiban.”[40]
- Demikian juga Imam Sajjad As dalam salah satu hadisnya bersabda, “Barang siapa melakukan apa yang diwajibkan oleh Tuhan atasnya, maka ia adalah sebaik-baik manusia.”[41]
- Imam Shadiq As menukilkan dari Rasulullah saw bahwa Tuhan berfirman, “Untuk mencari kedekatan (kepada-Ku) hamba-Ku tidak akan mencari sesuatu yang lebih dicintai dari apa yang Aku wajibkan, dan demikianlah …”[42]
- Dari Imam Shadiq As telah dinukilkan bahwa beliau bersabda,”Di dalam apa yang dibisikkan oleh Tuhan kepada Musa As, Tuhan berfirman, “Wahai Musa, orang-orang yang mendekat ke arah-Ku tidak akan mendekati-Ku kecuali dengan sesuatu seperti wara’ dan menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan.”[43]
- Dari Amali Syeikh Shaduq ra menukilkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda, “Paling tingginya penghambaan manusia adalah orang yang menjalankan kewajiban-kewajiban, dan paling tingginya upaya manusia adalah orang yang meninggalkan dosa-dosa.”[44]
- Musa bin Ja’far As, salah satu cucu Rasul saw menukilkan bahwa Rasul saw bersabda, “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai di sisi-Nya kecuali beriman kepada-Nya, melakukan amalan yang shaleh, dan meninggalkan segala hal dilarang.”[45]
Berdasarkan ungkapan-ungkapan suci di atas
bahwa melakukan kewajiban-kewajiban merupakan perhatian hamba ke arah
yang dicinta dan meninggalkan apa yang diharamkan merupakan perhatian
terhadap kesuciannya dan maqam penghambaannya.[46]
Perlu dikatakan bahwa dalam riwayat-riwayat
dan doa-doa yang dinukilkan dari para Imam Maksum As, telah disebutkan
pula berbagai langkah-langkah lain untuk mendekatkan diri kepada-Nya
dimana di sini kami memiliki keterbatasan untuk membahasnya, dan
mencukupkan diri hanya dengan mengisyarahkan pada satu hal: Imam BaqirAs
bersabda, “Di antara apa yang dibisikkan oleh Tuhan kepada Musa As di
gunung Thur, Ia berfirman, “Tidak akan mendekat hamba-hamba kepada-Ku
seperti tangisan karena takut kepada-Ku.”[47] Menangis karena ketakutan kepada-Nya merupakan cara terbaik untuk mendekati-Nya.
Di akhir pembahasan, penting kiranya untuk mencantumkan 4 poin penting berikut:
- Apa yang telah dijelaskan di atas merupakan sebagian kecil dari pembahasan yang bisa dijelaskan dalam topik “cara untuk menuju ke arah kesempurnaan”.
- Sampai kepada kesempurnaan dan ibadah Ilahi memiliki syarat-syarat, sarana, penghalang, dan sebagainya dimana untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap tentangnya, hendaklah merujuk kepada kitab-kitab yang telah disusun oleh para pembesar ahli makrifat yang berkaitan dengan persoalan ini.[48]
- Para ahli seir-suluk menjelaskan beberapa tingkatan dan tahapan untuk bergabung dan bertemu serta memperoleh kedekatan Ilahi, sebagian menyebutkannya dua tingkatan, sebagiannya tiga tingkatan, kelompok lain tujuh, empat, seratus bahkan ada yang menyebutkan hingga seribu tingkatan.
- Namun, apa yang dicantumkan sebagai cara untuk mendekati-Nya dan tatacara yang terdapat dalam riwayat-riwayat, kitab-kitab dan apa yang ditentukan oleh para arif, terangkum dalam 5 perbuatan penting berikut: yaitu diam (tidak banyak bicara), lapar (tidak banyak makan), khalwat (banyak menyendiri), menghidupkan malam (melakukan shalat malam), dan senantiasa berzikir.
Penjelasan lengkap tentang persolan ini bisa didapatkan dalam kitab-kitab irfan praktis dan seir-suluk.[49]
[Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]
Referensi:
[1] . Rujuklah: Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Hudsyenosi baroye Hud Sozi, hal. 12.
[1] . Rujuklah: Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Hudsyenosi baroye Hud Sozi, hal. 12.
[2] . Qs. Al-Maidah: 3.
[3] . Rujuklah: Muthahhari, Mutadha, Takamule Ijtima’i-ye Insan, hal. 12-14; Insan Kamil, hal. 17.
[4] . Rujuklah: Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Hudsyenosi baroye Hud Sozi, hal. 12-14.
[5] . Rujuklah: Muthahhari, Murtadha, Takamule Ijtima’i-ye Insan, hal. 139.
[6] . Rujuklah: Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Hudsyenosi baroye Hud Sozi, hal. 19.
[7] . Muthahhari, Murtadha, Insan Kamil, hal. 140; Takamule Ijtima’i-ye Insan, hal. 130; Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Hudsyenosi baroye Hud Sozi, hal. 23.
[8] . Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Hudsyenosi baroye Hud Sozi, hal. 23.
[9] . Muthahhari, Murtadha, Insan Kamil, hal. 126; Takamule Ijtima’iye Insan, hal. 142.
[10] . Rujuklah: Muthahhari, Murtadha, Insan Kamil, hal. 121; Takamule Ijtima’i-yeInsan, hal. 139; Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Hudsyenosi baroye Hud Sozi, hal. 23.
[11] . Rujuklah: Muthahhari, Murtadha, Insan Kamil, hal, 123; Takamule Ijtima’i-ye Insan, hal. 135.
[12] . Rujuklah: Muthahhari, Murtadha, Insan Kamil, hal. 121-126, 170-190; Takamule Ijtima’i-ye Insan, hal: 135-138, 152-154.
[13] . Rujuklah: Muthahhari, Murtadha, Insan Kamil, hal. 170-244; Takamule Ijtima’i-ye Insan, hal. 152-154.
[14] . Ibid.
[15] . Rujuklah: Jawadi Amuli, Abdullah, Mabani-ye Akhlaq dar Quran, hal. 51.
[16] . Qs. Al-Hadid: 3.
[17] . Qs. Asy-Syura: 53.
[18] . Rujuklah: Jawadi Amuli, Abdullah, Shurat wa Seirat-e Insan dar Quran, hal.99.
[19] . Ibid, hal. 107-108; Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir-e Nasnim, jil. 2, hal. 594.
[20] . Qs. Al-Insyiqaq: 6.
[21] . Qs. Al-Maidah: 35.
[22] . Rujuklah: Jawadi Amuli, Abdullah, Mabani-ye Akhlaq dar Quran, hal. 283.
[23]
. Qs. Al-An’am:31; Yunus: 7; Ar-Ra’d: 2; Al-Kahfi: 110; Ar-Rum: 8, dan
…; Hadis Qurbu Faraidh wa Nawafil; Doa Kmail, Doa Arafah, Munajat
Khamsu’ Asyara, Munajat-munajat Zahidin, Khaifin, Raghibin, Muridin,
Muhibbin, Mutawasilin, Muftaqirin, Arifin, Dzakirin.
[24] . Malaki Tabrizi, Mirza Jawad, Risale-ye Laqaullah; Imam Khomeini, Ruhullah, Syarh-e Cehel Hadis, Liqaullah, hadis ke 28, hal. 451; Hasan Zodeh,Hasan, Liqaullah, ….
[26] . Qs. Al-Maidah: 35.
[27] . Thabathabai, Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizan, jil. 1, hal. 277.
[28] . Kafi, jil. 1, hal. 32.
[29] . Kafi, jil. 2, Kitab Iman wa Kufr, hal. 250, hadis ke 2.
[30] . Rujuklah: Imam Khomeini, Ruhullah, Syarh-e Cehel Hadis, hal. 82.
[31] . Miqdadi Ishfahani, Ali, Nesyon az bi Nesyon-ho, hal. 317; Mishbah Asy-Syariah, hal. 7.
[32] . Qs. Al-Isra': 1.
[33] . Shadral Muta’alihin, Tafsir al-Quran al-Karim, hal. 124.
[34] . Rujuklah: Imam Khomeini, Ruhullah, Adab-e Namoz, hal. 8.
[35] . Qs. An-Nisa: 100.
[36] . Rujuklah Imam Khomeini, Ruhullah, Adab-e Namoz, hal. 7-9.
[37] . Qs. Adz-Dzariyat: 56.
[38] . Qs. Yasin: 61.
[39] . Syeikh Shaduq, Man La Yahdharul Faqih, jil. 1, hal. 310; jil.7, hal. 63.
[40] . Kafi, jil. 2, hal. 82. 352.
[41] . Nahjul Balaghah, Hikmah ke 113; Biharul Anwar, jil. 71, hal. 208.
[42] . Biharul Anwar, jil. 71, hal. 195.
[43] . Kafi, jil.2, hal. 82; Biharul Anwar, jil. 71, hal. 196, hadis ke 5.
[44] . Ibid, hal. 206 dan 207.
[45] . Ibid, hal.208.
[46] . Husaini Tehrani, Muhammad Husain, Risaleh-ye Labul Bab dar Seir wa Suluk (Yodnomeh Ustadz Syahid Muthahhari, hal. 236)
[47] . Biharul Anwar, jil. 70, hal.313.
[48] . Rujuklah: Malaki Tabrizi, Mirza Jawad, Risalah Liqaullah;Thabathabai Najafi, Sayyed Mahdi, Risaleh-ye Seir wa Suluk; Husaini Tehrani, Muhammad Husain, Risaleh-yeLabul Bab; Feidh Kasyani, Mula Muhsin, Akhlaq-e Hasaneh; Roh-e Nejot; Muhajjatul Baidha; Bahari Hamadani, Muhammad,Tadzkiratul Muttaqin; Dastur Amal-hoye Irfani Ayat-eIlahi:Marhum Hasan’ali Nuhudki Ishfahani (Nesyon az bi Nesyon-ho); Sayyid Ahmad Karbalai, Mula Husainquli Hamadani, Sayyid Ahmad Karbalai, Mirza Ali Qadhi Thabathabai, dan …, Syarh Cehel Hadiswa Syarh Junude Aql wa Jahl, Imam Khomeini ra; Khajah Nashiruddin Thusi, Aushaf al-Asyraf dan penjelasannya; Jawadi Amuli, Abdullah, Marahil-e Akhlak; Muhajjatul Baidha, Feidh Kosyoni, Mula Muhsin, jil. 5, hal.128, dan sebagainya.
[49] . Husaini Tehrani, Muhammad Husain, Risaleh-ye Labul Bab; Mahjatul Baidha, jil.5,hal. 128 dan setelahnya, Nesyon az bi Nesyon-ho, hal. 30, 303, dan 313.
(teosophy/ABNS)
0 komentar:
Posting Komentar